"Saya sudah menyampaikannya pada Bejo, Gusti Ratu." Bik Nara terengah-engah ketika sampai di dekat Dewi Rukmini. Demi mengejar waktu, Bik Nara terpaksa berlari pulang pergi ke tempat ruangan para prajurit pengawal."Apalagi yang akan kita lakukan, Gusti Ratu? Saya siap mendapat perintah apapun demi memperjuangkan nama baik saya. Tapi jika sekiranya nama baik saya tak bisa lagi saya perjuangkan, biarlah wangi bunga Wijayakusuma yang akan menghantarkan sukma saya ke swargaloka, saat jasad saya tiba di pasetran nanti." Ucapan Bik Nara itu lebih terdengar bagai sebuah ucapan putus asa. "Tenang saja, Bik. Gusti Pangeran Kang Moho Agung tidak akan mungkin membiarkan kebenaran menghilang dari muka bumi. Kita hanya butuh waktu dan bukti." Dewi Rukmini berkata dengan pandangan mata yang tak lepas mengarah ke lorong penjeda antara bangunan puri istana dengan bangunan keputren. Ada lorong sejarak lima badan manusia dewasa yang berakhir di halaman belakang puri istana.Kabut bertambah tipis, sei
Tak terbilang rasa malu yang mengendap dalam hati Patih giga Pangeran Rangga Aditya. Mendapati kenyataan bahwa saudara sepupunya itu melakukan hal nista. Apalagi dia tengah menjalani masa ujian untuk dapat mendapatkan pengukuhan sebagai patih resmi kerajaan. Masih sembilan masa lagi yang harus dijalaninya. Dan kini semuanya hancur.Patih satu Diro Menggolo sangat memahami apa yang ada di dalam hati Patih tiga Pangeran Rangga Aditya. Dia menepuk pelan bahu patih muda itu dan berusaha menenangkannya. "Jangan kuatir, Ananda Patih. Gusti Ratu Dewi Rukmini adalah seorang pemimpin negri yang sangat bijak, meskipun keras dalam memegang prinsip dan peraturan. Sifatnya itu menurun dari kakeknya, Prabu Saloko Ageng., ayahanda dari Prabu Arya Pamenang. Tenanglah," ujar Patih satu Diro Menggolo."Baik, Paman Patih," jawab Patih tiga Pangeran Rangga Aditya. Dia hanya bisa mengangguk tanpa bisa berkomentar apa-apa lagi. Sepanjang menanti kehadiran Dewi Rukmini di balairung istana, dia terus menund
"Bagaimana bisa panjenengan meninggalkan kami, Gusti Ratu?" tanya Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan mata berkabut. Dialihkannya pandang mata berkabut itu ke arah lain. Tak ingin Dewi Rukmini melihat kesedihannya."Aku harus pergi, Kangmas Dimas." Dewi Rukmini pun menatap ke arah lain. Mereka kini saling membelakangi. "Aku kini bukan penguasa di Kerajaan Sanggabumi lagi. Jadi panggil saja namaku sebagai sahabatmu, bukan sebagai ratumu. Seperti hari-hari yang dulu."Patih dua Dimas Bagus Penggalih berusaha keras agar air matanya tak luruh. Dia seorang laki-laki dan juga seorang patih, petinggi istana. Tidak boleh memiliki jiwa yang lemah. Tidak boleh berurai air mata.Namun, Patih dua Dimas Bagus Penggalih tetaplah seorang manusia biasa. Dia memiliki hati, memiliki perasaan. Batinnya pasti akan hancur jika kehilangan seseorang yang sangat disayangi."Bertahanlah, Rukmini. Bukankah ada aku yang akan selalu mendampingimu? Ingatkah kamu akan janjimu? Bahwa kita akan selalu bersama samp
"Sudah hampir malam. Lihat langit sudah mulai beranjak gelap. Nanti Batara Kala muncul memakan kalian," ujar Patih satu Diro Menggolo seraya menatap langit petang yang hampir berganti warna.Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih masuk ke dalam istana. Seiring dengan suara derak pintu besi yang ditarik oleh oara pengawal istana."Paman Patih, bisakah kita bicara sebenta" tanya Dewi Rukmini pada Patih satu Diro Menggolo yang berjalan di belakangnya. "Duli, Gusti Ratu. Saya selalu siap kapanpun Gusti Ratu memerlukan saya." Patih satu Diro Menggolo menghentikan langkahnya tepat di depan pendopo keputren."Mari kita ke ruang utama keputren. Kangmas Dimas juga," ajak Dewi Rukmini. Mereka berdua mengikuti langkah Dewi Rukmini masuk ke dalam ruang utama keputren. Ruangan keputren yang luasnya separuh dari ruang utama puri istana, terlihat begitu asri dengan banyaknya bunga yang ditempatkan dalam guci-,guci keramik kecil. Semua perabotan yang ada dalam ruang utama keputren berlapi
Kabut di masa hemanta memang sangat tebal. Udara dingin begitu kuat menggigit tulang. Namun, tekad dan kemauan Dewi Rukmini mengalahkan segala rintangan yang ada. Dinginnya cuaca tidak akan mampu membekukan niatnya."Gusti Ratu! Jangan melaju terlalu kencang. Kabut masih sangat tebal. Menganggu jarak pandang kita. Berbahaya!" seru Bejo, berteriak memanggil Dewi Rukmini yang melaju kencang di atas kuda putih bernama Jalu.Perlahan Dewi Rukmini melemaskan helaan tali kekang Si Jalu. Membuat kuda itu lantas memperlambat derapnya hingga akhirnya berhenti. Dewi Rukmini menunggu Bejo, Kalong, dan Bik Nara di bawah sebuah pohon beringin besar."Punten dalem sewu, Gusti Ratu. Jangan terlalu kencang melaju. Karena setelah padang ilalang ini, kita hsrus melewati areal perbukitan yang berkelok-kelok. Sementara jarak pandang kita terbatas. Kuatir nanti justru terperosok dalam jurang," ujar Bejo sambil mengeluarkan air minum yang dia gantungkan di sisi kanan kudanya. "Terima kasih, Kakang Bejo, s
"Apa yang kamu lakukan, Bik Nara?" tanya Kalong ketika melihat wanita paruh baya itu melepas selendang yang dia jadikan pengikat bekalnya.Bik Nara menggigit ujung kain panjangnya itu, lantas menyobeknya hingga menjadi sobekan kecil-kecil. Disisipkannya satu sebekan kecil itu ke lubang telinga kanan dan kiri.Kalang, Bejo, dn Putri Candra Utari tertawa melihat ide Bik Nara. Mereka mwnarima sobekan kain yang diberi oleh Bik Nara. Masing-masing menyumpal kedua lubang telinganya dengan sobekan kain selendang Bik Nara.Sebelum mereka berangkat untuk meneruskan perjalanan lagi, Kalong mengikat pinggang masing-masing temannya dengan tali rami yang dia bawa. Mencegah mereka terpencar.Perlahan keempat warga istana Kerajaan Sanggabumi itu menembus kabut mendekati desa siluman. Suasana ramai di desa tersebut terlihat. Meskipun tidak terlalu jelas karena tebalnya kabut Terlihat banyak orang yang hilir mudik salam desa itu.Mereka berempat terus berjalan tanpa mengindahkan apapun yang ada di kan
"Kenapa dengan pemuda itu?" tanya Bejo. Wajahnya terlihat bingung melihat Kalong yang tiba-tiba pucat pasi. "Pemuda tadi tidak berkepala," jawab Kalong. Pandangannya tetap terarah ke timur, posisi di mana pemuda tadi berjalan meninggalkan mereka. "Dia sudah hilang di kelokan jalan. Biarlah. Bagaimanapun juga dia telah berbaik hati pada kita. Menunjukkan arah ke desa Karangkitri." Meskipun sebenarnya Bejo pun pasti akan merasa ngeri jika melihat manusia berjalan tanpa kepala. "Banyak sekali hal aneh yang kita temui. Masih banyak tempat angker yang nampaknya mesti kita temui. Perjalanan masih panjang. Sekarang bagaimana? Hendak lanjut ataukah akan beristirahat dulu?" tanya Dewi Rukmini pada Bejo, Kalong, dan Bik Nara. "Sepertinya kita harus mencari desa terdekat, Cempluk. Tubuh kita terlalu lelah dengan banyaknya kejutan. Dan saya juga ingin mencari informasi tentang desa Kedawung." Bejo mengeluarkan sebuah daun lontar yang digulung dan dimasukkan ke dalam ikat pinggang lebarnya.
"Itu pintu gerbang desa Balongsari. Ramai sekali desanya." Kalong melihat dari kejauhan dengan takjub. Masih sekitar 500 meter lagi jarak mereka dari pintu masuk desa Balongsari. Namun, suasana desa yang ramai sudah terlihat."Semoga warga di sana ramah-ramah," gumam Bik Nara. "Perasaanku tidak nyaman.""Kenapa seperti itu, Bik?" tanya Dewi Rukmini. Pandangannya mengarah lurus ke depan. Tubuh orang-orang yang kekar dan berambut gondrong itukah, yang membuat perasaan Bik Nara menjadi tidak nyaman?"Mereka berpenampilan sangar. Seperti preman pasar." Bik Nara terlihat sangat kuatir.Mereka berempat memacu kudanya dengan sangat perlahan. Dan ketika sudah sangat dekat, mereka berempat pun turun dan menuntun kudanya.Empat orang lelaki bertubuh kekar duduk-duduk di pintu gerbang desa. Memperhatikan rombongan Dewi Rukmini dengan pandangan menelisik tajam."Hendak ke mana, Kisanak?" tanya salah satu dari empat orang itu. Berkepala botak, perut buncit, dan berkulit legam."Kami hendak mencari