Meskipun usia Bik Nara telah merambat senja, tapi kecantikannya tak memudar. Gurat-gurat keindahan wajahnya masih terlihat jelas. Apalagi ketika dia berdandan dengan pakaian istimewanya saat ini.Bentuk fisik yng sangat berbeda antara Bik Nara dengan Ki Jalapati, tak menlunturkan kasih sayang yang sudah terbentuk dalam hati mereka. Tekad untuk bersama-sama mengarungi bahtera rumah tangga di sisa umur mereka.Dua pengantin itu duduk bersanding dengan begitu anggunnya. Tidak ada pesta pora. Namun, tetap saja ada kesan meriah. Dengan posisi Ki Jalapati sebagai lurah, tentu saja mengundang seluruh warga untuk datang meski tanpa panggilan.Dewi Rukmini melihat sepasang pengantin itu dengan haru. Setelah sekian puluh tahun, akhirnya Bik Nara menemukan jodohnya. Kenyamanan adalah hal penting yang ingin didapatkan dalam sebuah pernikahan, dalam rumah tangga.Fisik Ki Jalapati yang hanya setinggi ketiak Bik Nara tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk memupuk cinta kasih. Bik Nara mendap
Pemimpin prajurit Kerajaan Lemah Ireng yang berbadan tinggi besar itu masih berdiri di hadapan Ki Jalapti. Menggenggam sebilah pedang panjang yang berkilauan di mata tajamnya. Cahaya bulan yang remang-remang menyinari sebagian wajah pemimpin prajurit bernama Ki Pujo itu."Apa yang kamu kehendaki, Ki Pujo? Hampir setiap tiga purnama, kamu datang ke sini mengobrak abrik desa yang kami tempati. Dulu kami hidup nyaman di desa Balongsari, tapi kau usir kami dari sana. Sekarang kami mendirikan sesa baru di sini. Apakah kamu akan mengusir kami lagi?" tanya Ki Jalapati dengan suara tertahan.Rasa lelah atas tekanan dan penindasan yang dia alami, membuat Ki Jalapati tak lagi memiliki rasa takut. Selain karena pompaan semangat yang terus menerus dari Dewi Rukmini dan teman-temannya.Tanpa dinyana, tubuh Ki Pujo meluruh ke tanah. Dia bersimpuh di kaki Ki Jalapati. Pedang panjang yang semula tergenggam erat, kini dilepasnya. Dibiarkannya tergeletak di hadapan Ki Jalapati."Apa yang kamu lakukan i
Tak ada sesuatu hal yang tak berujung. Demikian pula halnya dengan segala sesuatu peristiwa yang menyertai hidup manusia.Seperti halnya pagi itu Ketika Bik Nara harus melepaskan kepergian anak asuhnya untuk menggapai cita-cita di Perguruan Songgo Langit milik Ki Guru Saloka. Jika boleh menawar taqdir, dia ingin agar Dewi Rukmini tetap tinggal bersamanya di desa Kedawung.Tapi Dewi Rukmini adalah seorang Sekar Kedaton. Calon Ratu, pemimpin sebuah negri bernama Kerajaan Sanggabumi. Banyak hal yang kelak akan menjadi tanggung jawabnya."Bik Nara, harus ikhlas melepasku. Agar aku tenang menjalani masa belajarku di padepokan Ki Guru Saloka. Berikan restumu, Bik." Dewi Rukmini memeluk erat ibu keduanya itu."Saya mengerti, Gusti Ratu. Tapi tetap saja terasa berat. Tiga tahun harus menunggu. Pasti akan berbeda sekali saat panjenengan kembali ke sini. Tambah dewasa dan cantik." Bik Nara seakan tak ingin melepaskan pelukannya. Masih tetap terus mendekap Dewi Rukmini dengan erat."Bik, biarkan
"Bunyi apa itu, Kangmas Pangeran?" tanya Dewi Rukmini. Matahari telah mencapai tinggi sepenggalah. Seperempat hari telah terlewati. Kini tiga ksatria itu tengah hutan lebat di sepanjang jalan. Ada jalan setapak yang terbentuk di tengah hutan itu. Jalan yang terbentuk karena bekas jejak langkah yang melewati secara berulang kali. Dewi Rukmini menghentikan langkah di tengah jalan setapak itu. Keadaan hutan kian lama kian benderang. Pepohonan mulai jarang dan satu dua mulai terlihat pohon kelapa dengan tinggi menjulang. "Ada apa, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Dia menghela tali kekang kudanya kuat-kuat, agar berhenti mengikuti langkah Dewi Rukmini. "Ada suara gemuruh yang lamat-lamat aku dengar. Tidak berbahayakah jika kita meneruskan perjalanan? Aku kuatir itu suara gunung yang hendak meletus," ujar Dewi Rukmini. Wajahnya terlihat sangat cemas. Pangeran Gagat tersenyum melihat ekspresi wajah Dewi Rukmini. "Itu suara debur ombak, Nimas Ayu. Sangat jauh be
"Apakah kamu menerima pinanganku, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Masih sambil mendekap tubuh Dewi Rukmini dengan erat. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Kangmas. Aku harus membicarakannya terlebih dahulu dengan romoku." Kali ini Dewi Rukmini menarik tubuhnya. Menunduk sembari memainkan pasir putih di kakinya. Sesungguhnya Dewi Rukmini bukan hendak menunggu persetujuan Sang Ayah, Prabu Arya Pamenang. Karena Sang Prabu pasti akan menerima Pangeran Gagat. Tapi hatinya sendirilah yang sedang dia tunggu persetujuannya. Dia membutuhkan waktu untuk berpikir dan memilih. "Aku sudah berbicara dengan Gusti Prabu Arya Pamenang. Saat tempo hari mengirimkan hantaran desa Kedawung ke sana. Sang Prabu malah akan bersiap mengadakan pesat besar untuk pernikahan kita nanti." Pangeran Gagat berkata sambil tersenyum. Pasti hal itu sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Dewi Rukmini. "Hah? Mengapa Kangmas tidak berembug dulu dengan saya?" tanya Dewi Rukmini kaget. Tak
Sambutan yang diberikan oleh warg desa Segoro Biru sangat luar biasa. Seluruh warga berkumpul di pintu masuk desa sembari membawa sebuah mangkok gerabah yang berisi bunga-bungaan. Yang ditaburkan ke arah Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo. Ki Lurah Rekso berada di tengah-tengah warganya dengan mengenakan pakaian resmi. Dewi Rukmini menggeleng-gelengkan kepala. "Ini terlalu berlebihan, Ki Lurah. Kami hanya tamu biasa yang sekedar singgah." Dewi Rukmini menerima sekuntum bunga melati yang diulurkan oleh seorang warga perempuan. Disematkannya kuntum melati itu di daun telinga kanan. "Apa yang kami lakukan ini tidak akan sebanding dengan berkah yang bakal kami dapatkan jika kaki-kaki panjenengan telah menginjak desa kami," ujar Ki Lurah Rekso. "Mari singgah ke rumah saya, Gusti Pangeran, Gusti Ratu, dan Ki Bejo." Ki Lurah Rekso mempersilakan ketiga tamunya itu untuk mengikuti langkahnya. Ternyata rumah Ki Lurah Rekso tidak jauh dari pintu gerba
Ki Lurah terdiam sesaat sembari melihat-lihat batu hijau itu. Lantas pandangannya menerawang. "Waktu hujan keras dan angin badai itu, terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Ombak yang sangat besar datang hampir mencapai desa kami. Ada dua rumah paling belakang yang tergulung oleh ombak itu. Semua warga panik. Sekuat tenaga saya berusaha menenangkan mereka." Ki Lurah menunduk dalam-dalam. Masih tetap dengan memutar-mutar batu hijau itu. "Bolehkah saya melihat batu itu, Ki Lurah?" tanya Dewi Rukmini. Ki Lurah Rekso mengangguk, dan mengulurkan batu hiju itu pada Sang Ratu. "Berapa lama ombak besar itu datang?" tanya Pangeran Gagat. Matanya tak lekat menatap wajah Ki Lurah Rekso. "Tidak lama, Gusti Pangeran. Hanya terdengar beberapa saat. Tapi tak lama setelah bunyi ombak itu menghilang, ada kereta kencana memasuki jalan desa kami. Warna keretanya keemasan berkilau sangat terang. Di dalamnya terdapat seorang ratu yang sangat ayu. Saya melihatnya sekilas m
Dewi Rukmini menari dengan begitu gemulai. Tarian itu hasil olah ciptanya sendiri, di mana setiap gerakannya dia sesuaikan dengan tempo dan irama dari musik gamelan yang berada di belakangnya. Terkadang gerakannya begitu cepat, melompat ke sana kemari, tapi terladang juga begitu pelan dan bergerak dengan beringsut perlahan. Para warga yang tengah membuat hiasan sesaji untuk dilarung esok hari, tak bisa lagi memusatkan perhatian pada kesibukannya. Karena mata mereka seluruhnya tertuju pada setiap gerakan tarian yang dilakukan Dewi Rukmini. "Gusti Ratu memang luar biasa. Pandai menyesuaikan gerak dengan musik. Di sini belum ada penari yang bisa melakukan gerakan mandiri seperti itu. Andaikan Gusti Ratu berkenan bertahan beberapa waktu lagi di desa kami, akan saya minta bantuannya untuk mengajari menari para gadis di desa kami. Agar kesenian daerah seperti ini tidak pupus oleh waktu dan masa." Ki Lurah Rekso berujar dengan pandangan mata yang tak lepas dari geraka