Part 5
Suara bel rumah terdengar nyaring. Madina yang kebetulan sedang berada di dapur membantu Bibi memasak pun langsung mencuci tangannya terlebih dahulu, sebelum dia beranjak ke sumber suara."Biar aku saja, Bik, yang membukanya," ucap wanita hamil itu lembut pada Bik Nani. Setelahnya, Madina langsung mengayunkan kedua kaki jenjangnya menuju ke ruangan depan untuk membukakan pintu.Setelah pintu terbuka, Madina mengukir senyuman di bibir mungilnya seraya menatap wajah cemberut sang putra dalam gendongan ayahnya."Assalamu'alaikum, Madina ...." "Wa ‘alaikumus-salam, Mas. Alhamdulillah putra Umi sudah pulang," jawab Madina ramah pada pria masa lalunya.Setelah itu, Akbar turun dari gendongan Farzan, lalu menyambut uluran tangan sang ibu untuk dicium dengan takzim."Masyaallah, salehnya putra Umi. Abang kenapa, Nak?" tanya Madina seraya mengelus lembut pipi tembam sang putra tercinta."Dia ketiduran tadi di dalam mobil, Dina. Oleh sebab itu, Mas sengaja menggendong putra kita. Mungkin Akbar masih mengantuk, Dina," jawab Farzan mewakili putra sulungnya."Kasian putra Umi. Sekarang, Abang ke dalam dulu, ya, Nak. Sebentar lagi Umi menyusul," titah Madina penuh kasih pada sang putra."Iya, Umi," jawab Akbar. Sebelum masuk ke rumah, bocah tampan itu mencium punggung tangan ayahnya terlebih dahulu. "Assalamualaikum, Yah!""Wa 'alaikumus-salam, Nak," jawab Farzan seraya mengelus sayang kepala sang putra tercinta."Terima kasih, Mas, sudah mau meluangkan waktu untuk mengantar jemput Akbar," ucap wanita berhidung mancung itu pada mantan suaminya."Sama-sama, Dina. Maaf, Mas sedikit telat mengantar Akbar pulang ke rumahmu. Tadi, Mas mengajak putra kita singgah ke kantor, ada sedikit pekerjaan yang harus Mas selesaikan di sana. Walau bagaimana pun, status Akbar masih putraku juga, Madina. Sudah menjadi tanggung jawab Mas untuk memerhatikan semua kebutuhannya.Jadi, kamu enggak usah mengucapkan terima kasih kepada Mas. Kehadirannya adalah sebuah anugerah terindah dari Allah, buah cinta kita berdua," jawab Farzan panjang pada wanita yang dahulu pernah menjadi ratu di hatinya atau mungkin nama Madina masih tersimpan rapi di sudut ruang hati terdalam Farzan. Pria yang memiliki rahang tegas dan sudah dikaruniai dua putri cantik, serta satu putra tampan yang terlahir dari rahim wanita yang berbeda itu tersenyum."Iya, Mas," jawab Madina seraya menghindari tatapan tajam Farzan yang dipenuhi binar bahagia."Mas Farzan, tunggu sebentar di sini, ya. Aku buatkan minuman dulu untukmu, Mas," ucap Madina mencoba mengalihkan pembicaraan tentang kenangan masa lalunya bersama mantan suami. Wanita berwajah teduh itu berusaha agar tetap bisa menghargai dan menghormati sosok ayah dari kedua anaknya."Enggak usah, Dina. Mas harus segera pulang, kasian Maya dan juga Ibu di rumah. Mereka pasti sudah menunggu Mas, Maya juga enggak mau makan kalau bukan Mas yang menyuapinya. Mas pamit pulang, ya, Madina. Titip salam untuk suami kamu, Malik. Tadi, sebelum Mas menjemput Akbar di sekolah, sepintas Mas sempat melihat mobil suami kamu terparkir rapi di sebuah restoran yang tempatnya tidak jauh dari kantor Mas, Dina," tutur Farzan seraya menatap lekat wajah cantik wanita yang telah melahirkan kedua buah hatinya."Ooh, mungkin Mas Malik sedang makan siang di restoran itu bersama rekan kerjanya, Mas," jawab Madina kalem berusaha berprasangka baik pada suaminya di sana."Eh, iya. Mungkin saja, Dina," ucap Farzan salah tingkah. "Ya, sudah, Dina, Mas pamit pulang dulu, takut kejebak macet di jalan. Assalamu'alaikum ....""Wa ‘alaikumus-salam ...."****"Sekarang, sebaiknya Abang mandi dulu, ya, Nak. Ini sudah mau magrib, lho, Nak. Tadi siang, putra Umi salat Zuhur apa, enggak? Asar juga kamu salat apa, enggak, Nak, di kantor ayahmu, hmm?" tanya Madina pelan pada Akbar. Wanita berhati lembut itu memang selalu mengajarkan pada kedua anaknya untuk selalu menjalankan kewajiban sebagai umat muslim."Salat, Mi. Akbar salat Zuhur dan juga Asar di kantor Ayah, Mi. Akbar juga sempat bobok siang di sana, Mi. Di kantor Ayah ada kamarnya juga, lho, Mi, Akbar suka bobok di sana," tutur Akbar sangat senang."Alhamdulillah, pintarnya putra Umi. Mungkin, kamar itu khusus untuk ayahmu beristirahat, kalo ayahmu kecapekan, Nak. Ya, sudah. Sekarang, Abang Akbar cepat mandi dulu. Umi tunggu di sini sambil menyiapkan baju ganti untuk Abang.""Siap, Umi ...."****Tepat pukul delapan malam, setelah selesai menyuapi putranya makan dan juga menunaikan salat Isya bersama, Madina kembali ke kamarnya sebentar. Dia berniat ingin menghubungi nomor ponsel Malik, hendak menanyakan kenapa belum juga pulang ke rumah. Seingat Madina, tadi siang saat sang suami menghubunginya, Malik sudah berjanji akan segera pulang.Madina mengucap istigfar berulang kali, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang sempat singgah di dalam kepala. Madina akan selalu berusaha mengerti tentang kewajiban sang suami sebagai seorang dokter. Setelah itu, dia meraih ponsel pintarnya di atas nakas, di samping ranjang tidur. Ternyata sudah ada satu pesan masuk dari sang suami, satu jam yang lalu, tertera di aplikasi hijau.[Maaf, Sayang. Mas enggak bisa menepati janji padamu untuk segera pulang ke rumah. Mendadak tadi setelah asar banyak pasien masuk, mereka sangat membutuhkan pertolongan Mas, Sayang. Maafkan suamimu ini, kemungkinan nanti Mas pulang agak sedikit telat. Kamu langsung istirahat saja, Sayang. Enggak usah nungguin Mas karena Mas enggak mau kalau nanti kamu sampai kecapekan. Kasian anak kita yang ada di dalam kandunganmu, bisa kena dampaknya nanti kalau uminya kurang beristirahat. Kalau ada apa-apa dengan kandungan kamu, segera hubungi Mas, ya, Sayang. Titip salam rindu Mas untuk Akbar, putra kita. I love you, bidadariku.]Madina hanya membaca pesan tersebut tanpa ada niatan untuk membalasnya. Ada sedikit rasa kecewa di sudut hatinya, lagi-lagi dia harus bersabar dan juga berusaha mengerti pekerjaan sang suami sebagai seorang dokter. Entah kenapa, malam ini perasaan Madina sedikit tidak tenang."Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Mas Malik. Lindungilah selalu suami hamba di sana, Ya Robb," ucap Madina merapal doa untuk sang kekasih hati. Dia merasa akan ada sesuatu yang besar masuk ke dalam mahligai rumah tangganya.Usai menemani putranya tidur, Madina kembali ke dalam kamar pribadinya. Dia tadi sempat ketiduran di kamar Akbar, lalu sekarang sudah pukul sepuluh malam lewat tiga puluh menit. Namun, prianya belum jua pulang ke rumah. Apakah benar hari ini banyak pasien yang harus suaminya tangani di rumah sakit? Hati Madina tidak bisa tenang, rasa gelisah menjalar di dalam dada. Madina kembali merapal zikir istigfar di bibir seraya mengusap-usap lembut perut buncitnya untuk menenangkan sang buah hati, yang sedari tadi terus-menerus bergerak sangat aktif, memberi tendangan-tendangan kecil di perutnya, seolah-olah bisa merasakan perasaan gelisah sang ibu."Sabar, ya, Sayang. Yuuk, sekarang kita coba telepon nomor ponsel abi kamu dulu, Nak," ucap Madina lembut, tangannya masih memberi usapan-usapan lembut di perut.Tut-tut!Madina merasa lega karena panggilan darinya langsung dijawab oleh pria yang namanya sejak tadi memenuhi ruang hati dan juga pikirannya. Namun, baru saja dia mengucap kata salam, pria beralis tebal itu langsung mematikan secara sepihak sambungan telepon dari Madina tanpa sempat menjawab salam.Sebelum itu, Madina sempat mendengar Malik menyebut nama seorang wanita penuh kekhawatiran di dalam nadanya. Dada Madina terasa sesak, serasa dihantam bongkahan batu yang sangat besar. Kedua pipinya sudah dibanjiri oleh derasnya air mata, Madina merasa kebahagiaan rumah tangganya yang sudah satu tahun dibina bersama Malik hancur seketika, dunianya terasa gelap."Enggak mungkin! Semua ini pasti hanyalah mimpi. Mas Malik enggak mungkin tega menyakiti hatiku!"♡♡♡♡TBCPart 6Sepanjang malam, sepasang netra teduhnya enggan terpejam. Madina masih terus memikirkan sang suami di sana. Pria tercintanya belum kunjung pulang ke rumah. Hati Madina masih terasa sesak kala mengingat sang suami terdengar begitu mengkhawatirkan wanita lain selain dirinya. Akan tetapi, Madina mencoba untuk tidak berprasangka buruk pada Malik.Mungkin saja wanita itu adalah salah satu pasien yang sedang suaminya tangani. Semalam hanya sepintas dia mendengarnya karena setelah itu sang suami langsung memutuskan sambungan telepon darinya secara sepihak. Madina sudah berusaha kembali menghubungi nomor ponsel Malik, tetapi hasilnya nihil dan sudah tidak aktif. "Sayang, kamu adalah buah cinta Umi dan juga Abi. Sekarang, waktunya Umi salat dulu, kita doakan abi kamu, ya, Nak. Semoga abi kamu selalu dalam lindungan Allah, selalu ingat kita yang ada di rumah terus menunggu kepulangannya," ucap Madina pada sang buah hati yang masih di dalam kandungnya. Madina membelai lembut perutnya se
Part 7"Sayang, Mas berangkat kerja dulu. Jaga diri kamu baik-baik di rumah. Nanti, kalau ada apa-apa dengan kandunganmu, langsung hubungi nomor ponsel Mas, ya, Sayang," ucap Malik pada istrinya."Iya, Mas. Jangan lupa nanti roti paratanya langsung dimakan kalau Mas sudah sampai di rumah sakit.""Siaap, Sayang ...."Sebelum pergi, Malik mencium kening istrinya dengan lembut. "Assalamu'alaikum, Sayang ....""Wa 'alaikumus-salam. Hati-hati, Mas ...."Perlahan Pajero hitam itu meluncur meninggalkan pelataran rumah Madina. Malik mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia merasa sangat bersalah pada sang istri karena ini adalah pertama kalinya dia berdusta pada teman hidupnya tersebut.Pria itu tampak menghela napasnya pelan. "Maafkan Mas, Madina. Percayalah, rasa cinta yang Mas miliki di dalam hati hanyalah untukmu seorang, Madina."Setibanya di halaman rumah sakit, dokter spesialis bedah itu memarkirkan kendaraan roda empatnya di tempat parkir khusus untuk para dokter yang bekerja
Part 8Tolong, tolong ... tolong!" teriak wanita itu lemah. Dia terlihat sudah tidak berdaya. Keadaan wanita itu terlihat mengenaskan dengan baju atasan yang sudah terkoyak karena ulah dari tiga pria berbadan besar yang masih berusaha menodainya."Lepaskan wanita itu!" ucap Malik tajam pada tiga pria di depannya."Ada jagoan rupanya. Jangan coba-coba mengganggu kesenangan kami! Hei, anak muda! Lebih baik, pergi saja dari hadapan kami!" peringat pria berkepala plontos itu tajam pada Malik. Pria tersebut adalah salah satu gerombolan dari tiga pria berbadan besar yang masih berusaha menguasai tubuh indah wanita itu.Malik sendiri, selain sosok pria yang ramah dan baik, ia juga pandai dalam ilmu bela diri. Malik tak memiliki perasaan takut pada sesama manusia. Baginya yang pantas ditakuti hanyalah Allah Sang Maha Segalanya. Dalam waktu dua puluh menit, Malik sudah berhasil menumbangkan ketiga pria tadi. Para berandal itu sudah tidak berdaya di hadapannya. Ada dua pengendara ojek online m
Part 9"Mbok, saya pamit pulang dulu. Nanti kalau ada apa-apa dengan Jihan, Mbok Yati bisa langsung menghubungi nomor telepon saya.""Enggih, Den Malik. Terima kasih karena Den Malik sudah menolong dan masih peduli dengan Non Jihan.""Sama-sama, Mbok. Assalamu’alaikum," ucap Malik santun pada wanita paruh baya di hadapannya."Wa ‘alaikumus-salam."Mobil Malik langsung meluncur membelah jalanan ibu kota yang tampak sepi menuju rumahnya. Dalam waktu setengah jam, dia sudah sampai di rumahnya. Setelah memastikan semuanya aman, dengan gerakan pelan Malik membuka pintu rumah menggunakan kunci cadangan yang selalu dibawanya ke mana pun pergi.Sebelum naik ke lantai atas, Malik mencuci tangannya terlebih dahulu. Setelah itu, dia langsung menapakkan kedua kaki panjangnya menaiki undakan anak tangga menuju ke lantai atas. Setibanya di lantai atas, lalu Malik membelokkan langkahnya menuju ke kamar utama. Setelah menutup pintu kamarnya dengan perlahan, Malik mengedarkan pandangan, mencari kebera
Part 10"Bu Madina kritis, Dok," jawab Dokter Fani penuh sesal dan sangat iba. "Saya ikut bersedih dan juga turut berduka atas apa yang telah terjadi pada Bu Madina. Anda yang sabar, ya, Dok. Kita doakan agar Bu Madina bisa secepatnya melewati masa kritisnya." "Maafkan Mas, Sayang. Semuanya salah Mas," ucap Malik seraya terisak. Pria itu terlihat sangat hancur."Kami akan memindahkan Bu Madina ke ruangan perawatan. Silakan kalau Dokter Malik ingin melihat dan menggendong putra Dokter terlebih dahulu. Bayi itu sangat tampan seperti Anda, Dok, tapi Allah lebih menyayangi putra Anda, Dok.""Iya, Dok. Terima kasih, Dokter Fani.""Satu lagi, Dok. Akibat benturan kuat saat Bu Madina terjatuh, rahim istri Anda mengalami luka dan kemungkinan akan membutuhkan waktu agak sedikit lama untuk memulihkannya. Jika Bu Madina ingin hamil kembali, minimal harus menunggu waktu selama satu tahunan setelah pasca pemulihan. Karena risiko keguguran di kehamilan Bu Madina berikutnya akan lebih besar dari ke
Part 11Sebelum pergi ke rumah Malik, Jihan memutuskan singgah terlebih dahulu di pemakaman di mana putra dari pria yang sangat dicintainya dikebumikan."Kamu yang tenang di sana, ya, Baby. Tante janji sama kamu, Baby Yazid, setelah ini hanya akan ada senyum bahagia menghiasi wajah tampan ayahmu. Itu janji Tante sama kamu, Baby," ucap Jihan seraya menaburkan kelopak bunga mawar di atas pusara almarhum Muhammad Yazid Ilmany, sesekali dia menghapus cairan bening di sudut matanya. "Tante pergi dulu, ya, Baby. Kapan-kapan Tante akan datang ke sini lagi." Dua puluh menit kemudian, Jihan sudah tiba di rumah Madina. Rumah yang tampak asri, dengan halaman cukup luas dan dilengkapi sebuah taman yang dihiasi berbagai jenis bunga-bunga indah. "Maaf, Ibu sedang cari siapa di sini?" tanya ramah satpam yang berjaga di depan gerbang rumah Madina."Ini benar rumahnya Dokter Malik, kan, Pak?" tanya balik wanita yang pagi ini mengenakan abaya hitam senada dengan pasmina yang menutupi kepalanya."Bena
Part 12"Wa ‘alaikumus-salam. Mbak?" tanya Madina dengan suara lemah. Dia merasa pernah melihat sosok wanita cantik yang sedang berdiri dengan gaya anggun di hadapannya."Saya, Jihan, Mbak. Lebih tepatnya Dokter Jihan, dokter spesialis bedah sama seperti suami Mbak, Mas Malik," jawab Jihan penuh percaya diri. "Saya ikut bersedih atas musibah yang Mbak Madina alami. Mbak yang sabar, ya. Cepat sembuh, Mbak. Semoga nanti Allah kembali memberikan kepercayaan lagi pada Mbak Madina dan juga Mas Malik, menitipkan amanah dari-Nya di dalam rahi—"Dengan cepat Bu Aisyah memotong ucapan wanita muda yang dahulu pernah menjadi tunangan putra tercintanya. Bahkan Bu Aisyah sudah menganggap wanita itu dan menyayangi Jihan seperti selayaknya putri kandungnya sendiri. Namun, dengan tega Jihan memutuskan ikatan pertunangannya dengan sang putra. "Jihan. Yuuk! Lebih baik, kita keluar dulu dari sini. Ada banyak pertanyaan yang mau Umi tanyakan kepada kamu. Kita berikan ruang privasi untuk mereka berdua. B
Part 13"Umii!" Dengan cepat Jihan menangkap tubuh Bu Aisyah ke dalam pelukan."Uminya Malik, kamu kenapa, Sayang?" tanya Pak Ibrahim cemas sembari menenangkan Lydia yang tiba-tiba saja menangis dalam gendongannya."Lho, Nak Jihan? Jadi, tadi kamu yang sedang berlutut di depan uminya Malik?""Iya, Abi," sahut Jihan seraya mendaratkan bokong di kursi yang letaknya tepat di depan ruang perawatan Madina, lalu dengan hati-hati wanita itu membaringkan tubuh Bu Aisyah dan membawa kepala ibunya Malik berbaring di atas pangkuannya. "Sebaiknya, kita panggil dokter saja, Nak Jihan. Abi takut uminya Malik kenapa-napa," ucap Pak Ibrahim panik ketika menatap wajah pucat sang istri."Abi enggak usah khawatir, Bi. Di sini sudah ada saya, Bi. Saya juga seorang dokter, sama seperti Mas Malik. Umi Aisyah baik-baik saja, beliau cuman pingsan biasa. Mungkin beliau syok saat melihat suster dan juga Dokter Fani berlari ke dalam ruang perawatan Mbak Madina. Jadi, Abi enggak usah khawatir atau pun cemas," t