Part 4
Usai menyatu raga, Malik membawa tubuh sang istri tidur ke dalam dekapan. Madina pun tidak bisa menolaknya, rasa cemburu yang sempat dia pendam di dalam dada menguap seketika, setelah ritual indah mereka pagi ini."Tidurlah, Sayang. Kamu butuh istirahat yang cukup. Maafkan suamimu ini, ya, karena sudah membuatmu kelelahan," ucap Malik lembut pada sang istri. Setelah mengucap kata itu, Malik mendaratkan kecupan penuh cinta di kening wanitanya."Hmm," gumam Madina singkat.Tiga puluh menit kemudian, akhirnya mereka berdua terlelap bersama. Tepat pukul satu siang, Malik terjaga dari lelapnya karena mendengar suara nada dering ponsel pintar miliknya yang tergeletak di atas nakas. Gegas Malik meraih benda pipih tersebut, lalu menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan karena Malik tidak ingin waktu jam istirahat wanitanya terganggu.[“Assalamu’alaikum, iya, halo. Kenapa, Jihan?”]“....”[“Insyaallah bisa. Secepatnya saya akan datang ke rumah sakit. Dalam waktu setengah jam, saya usahakan sudah sampai di sana.”]“....”[“Iya, kamu percaya sama saya, kan, Jihan? Saya pasti akan menolongmu, apalagi ini tentang kewajiban kita sebagai seorang dokter.”]“....”[“Wa ‘alaikumus-salam ....”]Kemudian, Malik memindahkan kepala istrinya pelan-pelan ke atas bantal. Setelahnya, pria berhidung mancung itu langsung bergegas melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Selesai dengan ritual mandinya, Malik langsung masuk ke ruangan walk in closet. Dia harus segera bersiap karena di rumah sakit ada pasien yang sedang membutuhkan pertolongannya.Malik seorang dokter spesialis bedah, jadi kapan pun pasien membutuhkan pertolongannya, dia harus selalu siap. Karena memang itu tanggung jawab dan kewajibannya sebagai seorang dokter. Sebelum pergi, dia memberi kecupan sayang di kening Madina, lalu turun beralih memberi kecupan lembut di perut buncit wanita tersebut."Baik-baik di dalam perut Ummi, ya, Sayang. Abi tinggal kerja dulu," pamitnya pada sang buah hati. Rasanya Malik sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan sang buah hati yang masih betah berlindung di dalam rahim istrinya.Malik merasa bersalah pada sang istri. Namun, di satu sisi, dia tidak bisa mengabaikan pasien yang sedang membutuhkan pertolongannya. Dia juga tidak tega membiarkan Jihan sendiri menangani pasien di sana."Maafkan Mas, Sayang. Mas berharap kamu mengerti seperti biasanya tentang kewajiban suamimu sebagai seorang dokter," lirih Malik sebelum beranjak pergi meninggalkan kamarnya.**** Pajero hitam itu meluncur cepat membelah keramaian jalanan ibu kota. Dia harus secepatnya sampai di rumah sakit, di sana ada nyawa seseorang yang sedang dipertaruhkan, antara hidup dan mati. Setibanya di rumah sakit, Malik mengayunkan langkah panjangnya dengan cepat menuju ke ruangan operasi setelah sebelumnya dia mengganti pakaiannya di ruangan pribadi."Syukurlah, kamu langsung datang ke sini, Mas! Aku sangat membutuhkan bantuanmu, Mas. Aku takut gagal dan tidak bisa menangani pasien itu," ucap Dokter Jihan pada Malik. Seketika dia merasa lega."Insyaallah, saya akan selalu siap membantumu, Jihan. Sekarang, sebaiknya kita langsung memulai operasinya. Saya enggak mau menyia-nyiakan waktu," titah Malik tegas pada dokter yang memiliki paras jelita di sampingnya.Setelah memakan waktu kurang lebih hampir tiga jam, akhirnya proses operasi pasien tersebut berjalan dengan lancar."Alhamdulillah, operasi kita berjalan lancar, Mas. Terima kasih, Mas Malik. Aku enggak tahu apakah proses operasi ini bisa berjalan lancar kalau sampai Mas Malik enggak datang ke sini untuk menolongku," tutur Jihan seraya menatap lekat wajah cinta pertamanya."Sama-sama, semuanya berkat kuasa dan pertolongan dari Allah, kita hanya perantaraannya," jawab Malik. Dia terlihat berusaha menjaga jarak dengan wanita yang ada di masa lalunya."Kebetulan aku mau turun ke kantin, apa Mas Malik mau nitip sesuatu?" tanya wanita bersurai kecokelatan itu pada Malik. Degup jantung di dalam dada selalu lebih cepat setiap kali dia berada di dekat pria yang namanya masih menguasai seluruh ruang di hatinya."Satu cup coffee susu hangat, kalau tidak merepotkanmu, Jihan.""Oke, Mas," jawab Jihan seraya mengacungkan jempolnya pada Malik. Hati Jihan terasa dipenuhi bunga-bunga karena bisa menatap lebih lama wajah rupawan sang pujaan hati. Setelahnya, dokter bertubuh sintal itu berlalu pergi menuju kantin rumah sakit yang letaknya tepat di lantai bawah.Sebentar lagi akan memasuki waktu salat asar, gegas Malik membelokkan langkahnya menuju ke ruangan pribadinya. Berulang kali bibir tebalnya merapal zikir istigfar, berusaha mengendalikan hati agar tidak terpengaruh oleh bisikan-bisikan yang akhir-akhir ini cukup mengganggu pikiran dan juga desiran aneh di dalam dada setiap kali berada di dekat Jihan.Ruangan kerja Malik ukurannya lumayan luas. Di dalamnya ada kamar mandi beserta ranjang berukuran sedang dan juga ada fasilitas lengkap yang lainnya. Malik juga menyimpan beberapa potong pakaiannya di sana, di salah satu lemari yang letaknya bersebelahan dengan ranjang.Sedangkan di tempat lain, di kawasan perumahan elite. Madina meraba sisi pembaringannya, wanita hamil itu merasa heran karena sang suami tidak ada di sampingnya. 'Ke mana perginya Mas Malik? Apa dia sedang berada di dalam kamar mandi?' batin Madina. Madina bangun, lalu dia membenarkan jubah tidurnya. Kemudian, dia mengayunkan langkah jenjangnya menuju ke kamar mandi, tetapi tidak menemukan prianya. Setelah itu, dia beralih menuju sisi lain ruangan kamarnya, membelokkan langkah masuk ke ruangan walk in closet."Mas, Mas Malik?" panggilnya berulang kali. "Di dalam sini juga enggak ada. Mungkin, Mas Malik sedang salat di masjid," gumam Madina pada dirinya sendiri.Setelahnya, Madina bergegas membersihkan dirinya terlebih dahulu karena sudah memasuki waktu salat asar. Dia merutuki dirinya sendiri karena sudah melalaikan kewajiban sebagai umat muslim. Madina sudah melewatkan waktu salat zuhur, sekalian Madina akan mengqadanya. Untuk sejenak, wajah Madina terasa memanas kala mengingat perlakuan manis sang suami saat menyentuhnya dengan sangat lembut, Malik terlihat sangat memujanya. Madina bahagia dan juga merasa sangat dihargai oleh sang suami.Selesai menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim, kini Madina sudah tampil rapi dan juga terlihat sangat cantik untuk menyambut kepulangan suaminya dari masjid. Namun, sudah hampir pukul empat petang, kenapa prianya belum juga kunjung pulang ke rumah? Kemudian, Madina langsung menutupi surai indahnya dengan hijab instan berwarna hitam. Dia berniat turun ke lantai bawah. Namun, baru dua langkah Madina akan keluar meninggalkan kamarnya, tiba-tiba saja terdengar nada dering panggilan di ponselnya yang berada di atas nakas.Madina kembali memutar kedua langkah jenjangnya menuju ranjang. Dia meraih ponsel pintarnya, lalu menggeser tombol hijau di layar untuk menjawab panggilan masuk dari nomor yang tidak dia kenal.[“Assalamu’alaikum, bidadariku,”] sapa suara seseorang yang sangat Madina kenal.[“Wa ‘alaikumus-salam. Mas, kok, belum pulang dari masjid? Terus, ini Mas telepon pake nomor siapa?”] tanya Madina terdengar menuntut. Dia sangat penasaran ingin segera mengetahuinya.[“Mas pinjam ponsel milik teman Mas, Sayang. Ponsel Mas habis baterenya, baru Mas cas sepuluh menitan yang lalu. Mas sekarang sedang berada di rumah sakit, Sayang. Maaf, Mas meninggalkan kamu tanpa pamit terlebih dahulu. Karena keadaan sedang darurat, Dina. Ada pasien yang sangat membutuhkan bantuan Mas di sini, Mas tadi pergi ke rumah sakit sekitar pukul satu siang. Mas enggak tega mau membangunkan kamu, Sayang. Sekali lagi, tolong maafkan suamimu ini, ya, Sayang,”] pinta Malik terdengar memohon pada sang istri.[“Iya, enggak apa-apa, Mas. Insyaallah aku mengerti. Mas jangan sampai telat makan! Aku menunggu Mas pulang ke rumah. Aku masih sangat merindukanmu, Mas,”] ucap Madina manja pada pria yang menemani hidupnya saat ini.[“Insyaallah, Sayang. Mas juga masih sangat merindukanmu, Dina. Kamu juga jangan lupa makan, minum susu dan juga vitaminnya jangan sampai ketinggalan, ya! Love you,”] tutur Malik tak kalah lembut pada istri tercintanya."Mas, ini aku bawakan makanan kesukaanmu dari rumahku, titipin dari Bibik."Madina mematung untuk sesaat setelah mendengar suara lembut seorang wanita memanggil mesra suaminya dengan sebutan mas."Iya, terima kasih."[“Ya, sudah, Sayang. Mas mau makan siang dulu. Tunggu Mas pulang, ya, Sayang!Assalamu'alaikum.”]Madina masih mematung, dia acuh tak acuh saat sang suami mengucap salam pada dirinya. Tiba-tiba saja buliran bening sudah membasahi kedua pipinya, dada Madina terasa sesak membayangkan rumah tangganya akan kembali diuji seperti pernikahan di masa lalunya."Siapa wanita itu? Semoga kejadian di masa lalu tidak terulang kembali, Ya Robb ...."♡♡♡♡TBCPart 5Suara bel rumah terdengar nyaring. Madina yang kebetulan sedang berada di dapur membantu Bibi memasak pun langsung mencuci tangannya terlebih dahulu, sebelum dia beranjak ke sumber suara."Biar aku saja, Bik, yang membukanya," ucap wanita hamil itu lembut pada Bik Nani. Setelahnya, Madina langsung mengayunkan kedua kaki jenjangnya menuju ke ruangan depan untuk membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, Madina mengukir senyuman di bibir mungilnya seraya menatap wajah cemberut sang putra dalam gendongan ayahnya."Assalamu'alaikum, Madina ...." "Wa ‘alaikumus-salam, Mas. Alhamdulillah putra Umi sudah pulang," jawab Madina ramah pada pria masa lalunya. Setelah itu, Akbar turun dari gendongan Farzan, lalu menyambut uluran tangan sang ibu untuk dicium dengan takzim. "Masyaallah, salehnya putra Umi. Abang kenapa, Nak?" tanya Madina seraya mengelus lembut pipi tembam sang putra tercinta. "Dia ketiduran tadi di dalam mobil, Dina. Oleh sebab itu, Mas sengaja menggendong putra kita. Mu
Part 6Sepanjang malam, sepasang netra teduhnya enggan terpejam. Madina masih terus memikirkan sang suami di sana. Pria tercintanya belum kunjung pulang ke rumah. Hati Madina masih terasa sesak kala mengingat sang suami terdengar begitu mengkhawatirkan wanita lain selain dirinya. Akan tetapi, Madina mencoba untuk tidak berprasangka buruk pada Malik.Mungkin saja wanita itu adalah salah satu pasien yang sedang suaminya tangani. Semalam hanya sepintas dia mendengarnya karena setelah itu sang suami langsung memutuskan sambungan telepon darinya secara sepihak. Madina sudah berusaha kembali menghubungi nomor ponsel Malik, tetapi hasilnya nihil dan sudah tidak aktif. "Sayang, kamu adalah buah cinta Umi dan juga Abi. Sekarang, waktunya Umi salat dulu, kita doakan abi kamu, ya, Nak. Semoga abi kamu selalu dalam lindungan Allah, selalu ingat kita yang ada di rumah terus menunggu kepulangannya," ucap Madina pada sang buah hati yang masih di dalam kandungnya. Madina membelai lembut perutnya se
Part 7"Sayang, Mas berangkat kerja dulu. Jaga diri kamu baik-baik di rumah. Nanti, kalau ada apa-apa dengan kandunganmu, langsung hubungi nomor ponsel Mas, ya, Sayang," ucap Malik pada istrinya."Iya, Mas. Jangan lupa nanti roti paratanya langsung dimakan kalau Mas sudah sampai di rumah sakit.""Siaap, Sayang ...."Sebelum pergi, Malik mencium kening istrinya dengan lembut. "Assalamu'alaikum, Sayang ....""Wa 'alaikumus-salam. Hati-hati, Mas ...."Perlahan Pajero hitam itu meluncur meninggalkan pelataran rumah Madina. Malik mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia merasa sangat bersalah pada sang istri karena ini adalah pertama kalinya dia berdusta pada teman hidupnya tersebut.Pria itu tampak menghela napasnya pelan. "Maafkan Mas, Madina. Percayalah, rasa cinta yang Mas miliki di dalam hati hanyalah untukmu seorang, Madina."Setibanya di halaman rumah sakit, dokter spesialis bedah itu memarkirkan kendaraan roda empatnya di tempat parkir khusus untuk para dokter yang bekerja
Part 8Tolong, tolong ... tolong!" teriak wanita itu lemah. Dia terlihat sudah tidak berdaya. Keadaan wanita itu terlihat mengenaskan dengan baju atasan yang sudah terkoyak karena ulah dari tiga pria berbadan besar yang masih berusaha menodainya."Lepaskan wanita itu!" ucap Malik tajam pada tiga pria di depannya."Ada jagoan rupanya. Jangan coba-coba mengganggu kesenangan kami! Hei, anak muda! Lebih baik, pergi saja dari hadapan kami!" peringat pria berkepala plontos itu tajam pada Malik. Pria tersebut adalah salah satu gerombolan dari tiga pria berbadan besar yang masih berusaha menguasai tubuh indah wanita itu.Malik sendiri, selain sosok pria yang ramah dan baik, ia juga pandai dalam ilmu bela diri. Malik tak memiliki perasaan takut pada sesama manusia. Baginya yang pantas ditakuti hanyalah Allah Sang Maha Segalanya. Dalam waktu dua puluh menit, Malik sudah berhasil menumbangkan ketiga pria tadi. Para berandal itu sudah tidak berdaya di hadapannya. Ada dua pengendara ojek online m
Part 9"Mbok, saya pamit pulang dulu. Nanti kalau ada apa-apa dengan Jihan, Mbok Yati bisa langsung menghubungi nomor telepon saya.""Enggih, Den Malik. Terima kasih karena Den Malik sudah menolong dan masih peduli dengan Non Jihan.""Sama-sama, Mbok. Assalamu’alaikum," ucap Malik santun pada wanita paruh baya di hadapannya."Wa ‘alaikumus-salam."Mobil Malik langsung meluncur membelah jalanan ibu kota yang tampak sepi menuju rumahnya. Dalam waktu setengah jam, dia sudah sampai di rumahnya. Setelah memastikan semuanya aman, dengan gerakan pelan Malik membuka pintu rumah menggunakan kunci cadangan yang selalu dibawanya ke mana pun pergi.Sebelum naik ke lantai atas, Malik mencuci tangannya terlebih dahulu. Setelah itu, dia langsung menapakkan kedua kaki panjangnya menaiki undakan anak tangga menuju ke lantai atas. Setibanya di lantai atas, lalu Malik membelokkan langkahnya menuju ke kamar utama. Setelah menutup pintu kamarnya dengan perlahan, Malik mengedarkan pandangan, mencari kebera
Part 10"Bu Madina kritis, Dok," jawab Dokter Fani penuh sesal dan sangat iba. "Saya ikut bersedih dan juga turut berduka atas apa yang telah terjadi pada Bu Madina. Anda yang sabar, ya, Dok. Kita doakan agar Bu Madina bisa secepatnya melewati masa kritisnya." "Maafkan Mas, Sayang. Semuanya salah Mas," ucap Malik seraya terisak. Pria itu terlihat sangat hancur."Kami akan memindahkan Bu Madina ke ruangan perawatan. Silakan kalau Dokter Malik ingin melihat dan menggendong putra Dokter terlebih dahulu. Bayi itu sangat tampan seperti Anda, Dok, tapi Allah lebih menyayangi putra Anda, Dok.""Iya, Dok. Terima kasih, Dokter Fani.""Satu lagi, Dok. Akibat benturan kuat saat Bu Madina terjatuh, rahim istri Anda mengalami luka dan kemungkinan akan membutuhkan waktu agak sedikit lama untuk memulihkannya. Jika Bu Madina ingin hamil kembali, minimal harus menunggu waktu selama satu tahunan setelah pasca pemulihan. Karena risiko keguguran di kehamilan Bu Madina berikutnya akan lebih besar dari ke
Part 11Sebelum pergi ke rumah Malik, Jihan memutuskan singgah terlebih dahulu di pemakaman di mana putra dari pria yang sangat dicintainya dikebumikan."Kamu yang tenang di sana, ya, Baby. Tante janji sama kamu, Baby Yazid, setelah ini hanya akan ada senyum bahagia menghiasi wajah tampan ayahmu. Itu janji Tante sama kamu, Baby," ucap Jihan seraya menaburkan kelopak bunga mawar di atas pusara almarhum Muhammad Yazid Ilmany, sesekali dia menghapus cairan bening di sudut matanya. "Tante pergi dulu, ya, Baby. Kapan-kapan Tante akan datang ke sini lagi." Dua puluh menit kemudian, Jihan sudah tiba di rumah Madina. Rumah yang tampak asri, dengan halaman cukup luas dan dilengkapi sebuah taman yang dihiasi berbagai jenis bunga-bunga indah. "Maaf, Ibu sedang cari siapa di sini?" tanya ramah satpam yang berjaga di depan gerbang rumah Madina."Ini benar rumahnya Dokter Malik, kan, Pak?" tanya balik wanita yang pagi ini mengenakan abaya hitam senada dengan pasmina yang menutupi kepalanya."Bena
Part 12"Wa ‘alaikumus-salam. Mbak?" tanya Madina dengan suara lemah. Dia merasa pernah melihat sosok wanita cantik yang sedang berdiri dengan gaya anggun di hadapannya."Saya, Jihan, Mbak. Lebih tepatnya Dokter Jihan, dokter spesialis bedah sama seperti suami Mbak, Mas Malik," jawab Jihan penuh percaya diri. "Saya ikut bersedih atas musibah yang Mbak Madina alami. Mbak yang sabar, ya. Cepat sembuh, Mbak. Semoga nanti Allah kembali memberikan kepercayaan lagi pada Mbak Madina dan juga Mas Malik, menitipkan amanah dari-Nya di dalam rahi—"Dengan cepat Bu Aisyah memotong ucapan wanita muda yang dahulu pernah menjadi tunangan putra tercintanya. Bahkan Bu Aisyah sudah menganggap wanita itu dan menyayangi Jihan seperti selayaknya putri kandungnya sendiri. Namun, dengan tega Jihan memutuskan ikatan pertunangannya dengan sang putra. "Jihan. Yuuk! Lebih baik, kita keluar dulu dari sini. Ada banyak pertanyaan yang mau Umi tanyakan kepada kamu. Kita berikan ruang privasi untuk mereka berdua. B