Part 3
Malik melambaikan tangan pada kendaraan yang telah mengantarkannya pulang, ke tempat di mana ada keluarga kecil yang sangat dia cinta. Lengkungan senyum di bibir Malik makin lebar. Dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dan memeluk wanitanya. Rasa rindu sudah sangat membuncah di dalam dada, Malik mengayunkan langkahnya cepat."Assalamu’alaikum, Sayang," ucapnya riang.Madina yang masih sedikit dikuasai oleh perasaan cemburu, terpaksa harus menyambut kedatangan sang suami. Karena dia pun sama, sangat merindukan calon ayah dari anaknya, pria yang dia cintai karena Allah."Wa 'alaikumus-salam," jawab Madina datar, lalu dia mencium punggung tangan suaminya dengan takzim. Setelah itu, dia merasakan kecupan mesra di kening dan juga hidung mancungnya."Mas sangat merindukanmu, Sayang. Bidadariku, calon umi dari anakku," bisik Malik lembut pada istrinya, lalu dia mendekap tubuh wanitanya. Rasa lelah dari perjalanan jauh, hilang seketika setelah melihat wajah cantik sang istri. "Sayang, kamu kenapa, hmm?" tanya Malik pelan pada istrinya. Dokter ahli bedah itu merasa ada yang berbeda dari Madina, tidak seperti biasanya.Lazimnya, Madina selalu menyambut kedatangan Malik dengan wajah dan binar ceria. Namun, untuk kali ini, Madina hanya diam. Tidak ada suara merengek manja keluar dari bibir mungilnya."Enggak kenapa-kenapa, Mas. Sebaiknya, kita ke dalam terlebih dahulu. Enggak enak kalau sampai nanti ada yang lihat kita mengumbar kemesraan seperti ini di luar, Mas. Bukankah dalam agama kita ada aturannya, Mas? Aku juga harus segera ke lantai atas, mau menyiapkan air hangat untuk Mas mandi," jawab Madina santun dan agak sedikit panjang.Setelahnya, wanita berwajah teduh itu pun berlalu pergi masuk ke rumah, meninggalkan sang suami yang masih dalam keadaan bingung."Dina, kamu kenapa, Sayang? Tunggu Mas, kita ke atas bersama saja," ujar Malik. Pria berbadan tegap itu melangkah cepat menyusul Madina. Setelah itu, dia langsung membawa tubuh sang istri ke dalam gendongannya.Madina memekik terkejut kala merasakan tubuhnya tiba-tiba sudah melayang dalam gendongan sang suami."Mas ...!" teriak Madina seraya memberi cubitan kecil di dada bidang sang suami."Auww, sakit, Sayang!" keluh Malik pura-pura."Itu hukuman kecil untukmu, Mas," ucap Madina agak ketus pada sang suami. Kemudian, dia memalingkan wajahnya, menghindari tatapan penuh cinta yang jelas terpancar dari sepasang manik hitam milik Malik."Hei, kamu kenapa, Sayang? Hmm?” bisik Malik lembut seraya memberi kecupan kecil di daun telinga istrinya."Maas!""Iya, Sayang. Lingkarkan tangan indahmu itu di leher Mas," bisik Malik lagi."Hmm," jawab Madina.Andai hatinya sedang tidak dikuasai oleh perasaan cemburu karena melihat prianya menebar senyuman manis pada wanita lain, pasti sekarang dia sudah bermanja dan menyandarkan kepalanya di dada bidang suami tercinta, menghirup aroma khas yang sangat dia sukai dari tubuh calon ayah anaknya.Setelah sampai di dalam kamar, dengan hati-hati Malik membaringkan tubuh berisi sang istri tercinta di atas peraduan milik mereka berdua."Kamu sebaiknya beristirahat saja, Sayang. Tidak usah menyiapkan air untuk Mas mandi karena Mas bisa melakukannya sendiri. Mas enggak mau kalau kamu sampai kelelahan, Sayang. Kamu cukup diam saja di sini, ya, Sayang. Tunggu Mas dan jangan coba-coba bangun dari situ," titah Malik lembut pada Madina. Kemudian Malik tersenyum lembut, lalu mengedipkan sebelah matanya pada sang istri tercinta. Setelahnya, Malik bergegas melangkah ke kamar mandi.Madina menghela napasnya agak kasar. Semarah atau secemburu apa pun dia pada suaminya, Madina tidak akan pernah bisa mengabaikan semua perintah dari imamnya. Madina masih seperti dulu, sosok istri yang baik dan juga sangat taat pada semua titah pria yang sudah menjadi suaminya."Sabar, ya, Sayang. Abi kamu sedang bersih-bersih terlebih dahulu. Ummi tahu, kamu sudah sangat merindukan abimu," ucap Madina lirih seraya mengelus perut buncitnya, mencoba menenangkan sang buah hati yang masih berada di dalam rahimnya.****Tiga puluh menit kemudian, Malik baru selesai dari ritual mandinya. Pria maskulin itu berjalan sambil menggosokkan surai basahnya dengan handuk, terasa lebih segar pagi-pagi mandi dengan air biasa. Malik masih bertelanjang dada, dia hanya mengenakan seluar santai saat keluar dari kamar mandi. Kemudian, Malik melangkah keluar menuju balkon kamarnya untuk menjemur handuk di sana.Malik tersenyum memandangi wanita yang tengah mengandung anaknya. Lelah mungkin yang dirasakan sang istri karena perutnya sudah makin membesar. Tak pernah ada sedikit pun rasa bosan di hati Malik memandangi wajah teduh wanitanya tersebut. Bagi Malik, Madina selalu terlihat cantik dalam keadaan apa pun."Maaf, Sayang. Kamu pasti merasa bosan menunggu Mas keluar dari kamar mandi," ucap Malik penuh kasih. Setelahnya, pria beralis tebal itu pun ikut berbaring di sebelah sang istri, lalu membawanya tidur ke dalam dekapan."Maaf, Mas. Aku ketiduran," lirih Madina. Dia terbangun kala merasakan tubuhnya direngkuh ke dalam dekapan hangat pria tercintanya."Sst! Enggak apa-apa, Sayang. Kamu pasti lelah. Tidurlah lagi, Sayang. Mas enggak mau kamu kecapekan," titah Malik lembut pada istrinya. Pria itu kembali merengkuh tubuh wanitanya, lalu dia mencium surai indah sang istri."Tapi, aku harus turun ke lantai bawah mau menyiapkan makanan untuk kamu, Mas. Kasian, pasti perut Mas belum terisi makanan apa pun setelah dari perjalanan jauh," ucap Madina khawatir."Sudah, Sayang. Sekarang yang Mas mau, kamu istirahat lagi, Sayang. Mas sudah sarapan di bandara, jadi kamu enggak usah khawatir, Dina. Sekarang, lebih baik kamu tidur lagi," tutur Malik pelan seraya mengelus sayang perut buncit Madina. Tak lama setelah itu, Malik merasakan gerakan kecil di perut seksi sang istri.'Ah, mungkin saja calon anakku rindu ingin disapa abinya,' batin pria tampan itu.Dengan gerakan pelan Malik membalikkan badan sang istri menghadap ke arahnya, lalu dia mengecup lembut kening Madina. Setelahnya, Malik menyejajarkan wajahnya di depan perut bulat sang istri terkasih. "Assalamu’alaikum, anak Abi. Kamu merindukan abimu ini, ya, Sayang? Maafkan Abi, ya, karena sudah meninggalkan kamu da umimu selama seminggu di rumah, Nak. Abi juga sangat merindukanmu, Nak," ungkap Malik haru pada calon anak yang masih di dalam kandungan istrinya.Setelah itu, Malik menciumi perut buncit wanitanya dengan penuh cinta. Malik meminta izin pada Madina untuk menyentuhnya lebih dalam lagi. Dia sudah sangat rindu ingin segera menjenguk calon anaknya."Boleh, kan, Sayang?" tanya Malik lembut pada istrinya.Madina tak kuasa menolak permintaan suaminya, wanita beriris kecokelatan itu tidak ingin kalau sampai dilaknat oleh para malaikat. Madina selalu berharap bisa menggapai rida Allah dan suaminya."Boleh, Mas," jawab Madina pelan seraya menampilkan senyuman teduhnya pada sang suami.Pagi hari yang indah telah menjadi saksi kala sepasang suami istri itu melepas rindu. Malik menyentuh tubuh indah sang istri dengan sangat lembut, lalu membawa sang istri melayang bersamanya menuju nirwana.♡♡♡♡TBCPart 4Usai menyatu raga, Malik membawa tubuh sang istri tidur ke dalam dekapan. Madina pun tidak bisa menolaknya, rasa cemburu yang sempat dia pendam di dalam dada menguap seketika, setelah ritual indah mereka pagi ini. "Tidurlah, Sayang. Kamu butuh istirahat yang cukup. Maafkan suamimu ini, ya, karena sudah membuatmu kelelahan," ucap Malik lembut pada sang istri. Setelah mengucap kata itu, Malik mendaratkan kecupan penuh cinta di kening wanitanya."Hmm," gumam Madina singkat.Tiga puluh menit kemudian, akhirnya mereka berdua terlelap bersama. Tepat pukul satu siang, Malik terjaga dari lelapnya karena mendengar suara nada dering ponsel pintar miliknya yang tergeletak di atas nakas. Gegas Malik meraih benda pipih tersebut, lalu menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan karena Malik tidak ingin waktu jam istirahat wanitanya terganggu.[“Assalamu’alaikum, iya, halo. Kenapa, Jihan?”]“....”[“Insyaallah bisa. Secepatnya saya akan datang ke rumah sakit. Dalam waktu setengah jam, say
Part 5Suara bel rumah terdengar nyaring. Madina yang kebetulan sedang berada di dapur membantu Bibi memasak pun langsung mencuci tangannya terlebih dahulu, sebelum dia beranjak ke sumber suara."Biar aku saja, Bik, yang membukanya," ucap wanita hamil itu lembut pada Bik Nani. Setelahnya, Madina langsung mengayunkan kedua kaki jenjangnya menuju ke ruangan depan untuk membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, Madina mengukir senyuman di bibir mungilnya seraya menatap wajah cemberut sang putra dalam gendongan ayahnya."Assalamu'alaikum, Madina ...." "Wa ‘alaikumus-salam, Mas. Alhamdulillah putra Umi sudah pulang," jawab Madina ramah pada pria masa lalunya. Setelah itu, Akbar turun dari gendongan Farzan, lalu menyambut uluran tangan sang ibu untuk dicium dengan takzim. "Masyaallah, salehnya putra Umi. Abang kenapa, Nak?" tanya Madina seraya mengelus lembut pipi tembam sang putra tercinta. "Dia ketiduran tadi di dalam mobil, Dina. Oleh sebab itu, Mas sengaja menggendong putra kita. Mu
Part 6Sepanjang malam, sepasang netra teduhnya enggan terpejam. Madina masih terus memikirkan sang suami di sana. Pria tercintanya belum kunjung pulang ke rumah. Hati Madina masih terasa sesak kala mengingat sang suami terdengar begitu mengkhawatirkan wanita lain selain dirinya. Akan tetapi, Madina mencoba untuk tidak berprasangka buruk pada Malik.Mungkin saja wanita itu adalah salah satu pasien yang sedang suaminya tangani. Semalam hanya sepintas dia mendengarnya karena setelah itu sang suami langsung memutuskan sambungan telepon darinya secara sepihak. Madina sudah berusaha kembali menghubungi nomor ponsel Malik, tetapi hasilnya nihil dan sudah tidak aktif. "Sayang, kamu adalah buah cinta Umi dan juga Abi. Sekarang, waktunya Umi salat dulu, kita doakan abi kamu, ya, Nak. Semoga abi kamu selalu dalam lindungan Allah, selalu ingat kita yang ada di rumah terus menunggu kepulangannya," ucap Madina pada sang buah hati yang masih di dalam kandungnya. Madina membelai lembut perutnya se
Part 7"Sayang, Mas berangkat kerja dulu. Jaga diri kamu baik-baik di rumah. Nanti, kalau ada apa-apa dengan kandunganmu, langsung hubungi nomor ponsel Mas, ya, Sayang," ucap Malik pada istrinya."Iya, Mas. Jangan lupa nanti roti paratanya langsung dimakan kalau Mas sudah sampai di rumah sakit.""Siaap, Sayang ...."Sebelum pergi, Malik mencium kening istrinya dengan lembut. "Assalamu'alaikum, Sayang ....""Wa 'alaikumus-salam. Hati-hati, Mas ...."Perlahan Pajero hitam itu meluncur meninggalkan pelataran rumah Madina. Malik mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia merasa sangat bersalah pada sang istri karena ini adalah pertama kalinya dia berdusta pada teman hidupnya tersebut.Pria itu tampak menghela napasnya pelan. "Maafkan Mas, Madina. Percayalah, rasa cinta yang Mas miliki di dalam hati hanyalah untukmu seorang, Madina."Setibanya di halaman rumah sakit, dokter spesialis bedah itu memarkirkan kendaraan roda empatnya di tempat parkir khusus untuk para dokter yang bekerja
Part 8Tolong, tolong ... tolong!" teriak wanita itu lemah. Dia terlihat sudah tidak berdaya. Keadaan wanita itu terlihat mengenaskan dengan baju atasan yang sudah terkoyak karena ulah dari tiga pria berbadan besar yang masih berusaha menodainya."Lepaskan wanita itu!" ucap Malik tajam pada tiga pria di depannya."Ada jagoan rupanya. Jangan coba-coba mengganggu kesenangan kami! Hei, anak muda! Lebih baik, pergi saja dari hadapan kami!" peringat pria berkepala plontos itu tajam pada Malik. Pria tersebut adalah salah satu gerombolan dari tiga pria berbadan besar yang masih berusaha menguasai tubuh indah wanita itu.Malik sendiri, selain sosok pria yang ramah dan baik, ia juga pandai dalam ilmu bela diri. Malik tak memiliki perasaan takut pada sesama manusia. Baginya yang pantas ditakuti hanyalah Allah Sang Maha Segalanya. Dalam waktu dua puluh menit, Malik sudah berhasil menumbangkan ketiga pria tadi. Para berandal itu sudah tidak berdaya di hadapannya. Ada dua pengendara ojek online m
Part 9"Mbok, saya pamit pulang dulu. Nanti kalau ada apa-apa dengan Jihan, Mbok Yati bisa langsung menghubungi nomor telepon saya.""Enggih, Den Malik. Terima kasih karena Den Malik sudah menolong dan masih peduli dengan Non Jihan.""Sama-sama, Mbok. Assalamu’alaikum," ucap Malik santun pada wanita paruh baya di hadapannya."Wa ‘alaikumus-salam."Mobil Malik langsung meluncur membelah jalanan ibu kota yang tampak sepi menuju rumahnya. Dalam waktu setengah jam, dia sudah sampai di rumahnya. Setelah memastikan semuanya aman, dengan gerakan pelan Malik membuka pintu rumah menggunakan kunci cadangan yang selalu dibawanya ke mana pun pergi.Sebelum naik ke lantai atas, Malik mencuci tangannya terlebih dahulu. Setelah itu, dia langsung menapakkan kedua kaki panjangnya menaiki undakan anak tangga menuju ke lantai atas. Setibanya di lantai atas, lalu Malik membelokkan langkahnya menuju ke kamar utama. Setelah menutup pintu kamarnya dengan perlahan, Malik mengedarkan pandangan, mencari kebera
Part 10"Bu Madina kritis, Dok," jawab Dokter Fani penuh sesal dan sangat iba. "Saya ikut bersedih dan juga turut berduka atas apa yang telah terjadi pada Bu Madina. Anda yang sabar, ya, Dok. Kita doakan agar Bu Madina bisa secepatnya melewati masa kritisnya." "Maafkan Mas, Sayang. Semuanya salah Mas," ucap Malik seraya terisak. Pria itu terlihat sangat hancur."Kami akan memindahkan Bu Madina ke ruangan perawatan. Silakan kalau Dokter Malik ingin melihat dan menggendong putra Dokter terlebih dahulu. Bayi itu sangat tampan seperti Anda, Dok, tapi Allah lebih menyayangi putra Anda, Dok.""Iya, Dok. Terima kasih, Dokter Fani.""Satu lagi, Dok. Akibat benturan kuat saat Bu Madina terjatuh, rahim istri Anda mengalami luka dan kemungkinan akan membutuhkan waktu agak sedikit lama untuk memulihkannya. Jika Bu Madina ingin hamil kembali, minimal harus menunggu waktu selama satu tahunan setelah pasca pemulihan. Karena risiko keguguran di kehamilan Bu Madina berikutnya akan lebih besar dari ke
Part 11Sebelum pergi ke rumah Malik, Jihan memutuskan singgah terlebih dahulu di pemakaman di mana putra dari pria yang sangat dicintainya dikebumikan."Kamu yang tenang di sana, ya, Baby. Tante janji sama kamu, Baby Yazid, setelah ini hanya akan ada senyum bahagia menghiasi wajah tampan ayahmu. Itu janji Tante sama kamu, Baby," ucap Jihan seraya menaburkan kelopak bunga mawar di atas pusara almarhum Muhammad Yazid Ilmany, sesekali dia menghapus cairan bening di sudut matanya. "Tante pergi dulu, ya, Baby. Kapan-kapan Tante akan datang ke sini lagi." Dua puluh menit kemudian, Jihan sudah tiba di rumah Madina. Rumah yang tampak asri, dengan halaman cukup luas dan dilengkapi sebuah taman yang dihiasi berbagai jenis bunga-bunga indah. "Maaf, Ibu sedang cari siapa di sini?" tanya ramah satpam yang berjaga di depan gerbang rumah Madina."Ini benar rumahnya Dokter Malik, kan, Pak?" tanya balik wanita yang pagi ini mengenakan abaya hitam senada dengan pasmina yang menutupi kepalanya."Bena