Share

Chapter 10

Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini. 

“Serius?”

“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. 

“Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.

Abi dan ummi saling pandang. 

“Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian. 

“Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku. 

Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?

Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang yang banyak. 

“Serius?” 

Hafid segera menghubungiku. Dia tampak tidak suka dengan jawabanku.

“Ada apa sih? Bukannya kamu sibuk yah, Hafid?” jelasku. 

“Ya, karena abi bilang kalo pesantrennya dekat panti Al-Jannah, aku mau lah. Aku nggak sibuk kok Faizal. Aku bisa selesaikan proyek ini.”

Jika Hafid yang menanggani proyek ini maka dia akan bertemu dengan Bea. Aku tahu bagaimana Hafid. Dia adalah salah satu playboy cap kabel. Aku tidak mau jika Bea bertemu lelaki seperti itu. 

“Gimana sih Faizal,” ucapnya kesal.

“Ya udah, kapan-kapan baru kamu yang urus proyek abi, nggak masalah kan?” jelasku kepadanya. Panggilan telepon terputus. Aku bahagia karena Hafid tidak jadi mengambil alih proyek itu. Jadi, dia tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Bea. 

Pagi harinya, aku segera ke kampus. Ummi mengatakan kepadaku jika Alina sudah baikan dan wanita itu meminta pertemuan. 

“Alina mau kalo kamu dan dia yang cari cincin, nggak masalah kan Faizal?”

“Cari cincin doang,” gerutu Ummi. Saat aku baru saja mau pergi, abi menghentikan langkahku. Dia menatapku dengan sangat lama. Abi tidak mengatakan apapun. 

“Gimana Faizal?”

“Nggak masalah kan?” 

“Lagi pula, kalian itu harus sering bersama. Beli cincin nggak masalah kan? Kamu bisa ajak seseorang untuk menemanimu, gimana?” tanya abi. 

Aku menghela napas panjang. 

“Baiklah!” jawabku. 

Ummi tersenyum. “Faizal, hari sudah dekat, kamu terlihat masih saja seperti orang biasa untuk Alina. Dia bahkan curhat sama Ummi, kamu terlalu tertutup dengannya.” Ummi menatapku dengan ekspresi sendu. Aku mengaruk kepala yang tidak gatal.

“Iya, insyallah Ummi, Faizal akan menemani Alina nanti.”

Aku berangkat ke kampus. Di kampus, beberapa mahasiswa sudah bersiap untuk menerima tugas hari ini. Aku mengajar mata kuliah instrumentasi. Gadis itu duduk di kursi paling belakang. Dia sama sekali tidak menatapku. Bahkan setiap bertemu, dia seperti tidak mengenalku.

Pelajaran kali ini memakan waktu satu jam lebih. Setelah kelas selesai, aku tidak segera keluar. Aku sengaja merapikan beberapa kertas dan sesekali mencuri pandangan ke arahnya. Dia tidak melihatku. Bahkan dia tetap duduk di ujung sana. 

Seluruh mahasiswa sudah keluar. 

“Kamu tidak keluar?” aku membuka suara. Dia menongakan wajahnya. Pandangan kami bertemu. 

“Bapak kenapa tidak keluar juga?” balasnya. 

“Saya menunggumu keluar. Oh yah, hari ini mau pulang?” tanyaku berbasa-basi. Dia menggeleng. 

“Saya ada urusan di luar.”

“Pertemuan?” tebakku. Aku berusaha bersikap ramah kepadanya. 

“Bukan urusan pak Faizal sih!” jawabnya. Dia dengan cepat mengambil tas miliknya lalu segera berjalan keluar dari kelas. Wanita itu seakan memiliki dua sifat. Terkadang sangat ceria menatapku dan kadang juga dia seperti batu es yang sangat dingin dan tertutup. Aku bahkan tidak bisa menebak dirinya. 

Aku mengikutinya dari belakang. Beberapa mahasiswa memandangi kami. Ada yang berbisik tidak jelas namun aku tidak menghiraukannya.

“Faizal!” Abdullah menghentikanku. Aku menoleh menatap Abdullah. Ah kesal sekali, mengapa dia tiba-tiba datang?

“Aku mau bicara,” serunya. Bea terus berjalan hingga keluar dari area gedung fakultas. Aku berdecak kesal. 

“Apa sih?” Aku menatap Abdullah dengan ekspresi malas. Rencanaku gagal karena panggilannya. Ah, kesal!

“Ini … masalah pengabdian di desa Sukma. Jadi kan?” 

“Ya, jadi Abdullah. Semuanya sudah aku atur jadi kamu tenang saja,” gumamnya. 

“Aku sedang sibuk, aku pergi dulu.” Aku dengan cepat melangkah menuju ruangan dosen untuk mengambil tas. 

“Pasti Bea udah pergi,” ucapku. Aku menuju parkiran mobil. Gadis itu sudah tidak ada dimana pun. Ya ampun, kemana dia? Pikirku. 

Dring!

“Assalamualaikum mas Faizal,” sahut suara itu. Suara Alina terdengar jelas. 

“Waalaikumsalam Alina,” jawabku. 

“Hari ini jadi kan yah mas?” tanyanya dengan cepat. Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul dua belas siang. 

“Mas bisa jemput aku nanti? Di rumah sakit, nggak masalah kan yah mas?” sambung Alina lagi. 

“Oke, Mas sholat dhuhur dulu yah,” jawabku. 

Setelah berbicara dengan Alina, aku segera melajukan mobil menuju masjid untuk sholat dan segera menemuinya di rumah sakit. 

Aku melihat Bea di masjid tapi seketika dia menghilang dengan cepat. Saat aku baru masuk, dia keluar melalui pintu belakang. Apa dia menghindariku? Pikirku kemudian. 

Setelah sholat, aku menemui Alina yang sudah menungguku di loby rumah sakit. Dia masih memakai jas putih miliknya dan tampak kecantikannya semakin memancar. 

Semua orang memandangi kami dengan perasaan kagum. Alina tersenyum saat aku baru saja turun. Dia memandangiku dengan sangat lama. 

“Mas sorry, aku nggak bermaksud menganggu.”

“Hanya saja, nggak enak kalo beli cincin sendiri. Lagi pula, aku mau dekat sama mas, biar aku tahu bagaimana mas Faizal,” jelasnya. 

“Ya, nggak apa-apa Alina,” jelasku dengan cepat. Aku membuka pintu mobil untuknya. Senyumnya selalu terpancar di wajahnya yang cantik. Alina adalah wanita yang sempurna. Dia lembut dan memiliki karakter yang baik. Itu yang selalu Ummi katakan kepadaku. Ummi sangat menyanyanginya dan menginginkannya.

Saat ingin melajukan kendaraan keluar dari area rumah sakit, ku pandangi Bea yang sudah berdiri di ujung sana. Aku kaget melihatnya tiba-tiba. Dia baru saja turun dari ojek online. Sepertinya dia terlihat terburuh-buruh. Aku ingin turun namun Alina terus menatapku. 

“Mas, kok bengong?” tanya Alina mengagetkanku. Aku melajukan kendaraan keluar dari area rumah sakit.

“Aku senang saat Ummi bilang, aku akan dijodohkan sama mas.”

“Aku bahagia Mas.” Alina menatapku. Aku hanya bisa tersenyum sambil fokus menyetir mobil. 

“Kalo aku ada salah dan kamu nggak suka, bilang yah,” pintanya. 

“Iya Alina,” jawabku. 

Kami tiba di sebuah toko perhiasan. Hanya sebentar saja memilih cincin karena Alina tidak ingin telat untuk ke rumah sakit lagi. Setelah barang yang kami cari sudah dapat, aku dan Alina segera pulang.

“Mas Faizal.”

“Besok, apa aku boleh ke kampus?”

“Mau bawahkan makanan, apa boleh, sekali saja?” Dia menatapku. 

“Hmm, sebenarnya besok aku mau ke panti, jadi aku nggak ada di kampus.” Wajah Alina cemberut. Bibirnya manyun ke depan. 

“Baiklah,” jawabnya. Aku menemaninya ke rumah sakit. Lalu setelah mengantarnya kembali, aku segera pergi.

“Kemana Bea? Mengapa dia ada di rumah sakit ini?” pikirku. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status