Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini.
“Serius?”
“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum.
“Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.
Abi dan ummi saling pandang.
“Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian.
“Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku.
Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?
Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang yang banyak.
“Serius?”
Hafid segera menghubungiku. Dia tampak tidak suka dengan jawabanku.
“Ada apa sih? Bukannya kamu sibuk yah, Hafid?” jelasku.
“Ya, karena abi bilang kalo pesantrennya dekat panti Al-Jannah, aku mau lah. Aku nggak sibuk kok Faizal. Aku bisa selesaikan proyek ini.”
Jika Hafid yang menanggani proyek ini maka dia akan bertemu dengan Bea. Aku tahu bagaimana Hafid. Dia adalah salah satu playboy cap kabel. Aku tidak mau jika Bea bertemu lelaki seperti itu.
“Gimana sih Faizal,” ucapnya kesal.
“Ya udah, kapan-kapan baru kamu yang urus proyek abi, nggak masalah kan?” jelasku kepadanya. Panggilan telepon terputus. Aku bahagia karena Hafid tidak jadi mengambil alih proyek itu. Jadi, dia tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Bea.
Pagi harinya, aku segera ke kampus. Ummi mengatakan kepadaku jika Alina sudah baikan dan wanita itu meminta pertemuan.
“Alina mau kalo kamu dan dia yang cari cincin, nggak masalah kan Faizal?”
“Cari cincin doang,” gerutu Ummi. Saat aku baru saja mau pergi, abi menghentikan langkahku. Dia menatapku dengan sangat lama. Abi tidak mengatakan apapun.
“Gimana Faizal?”
“Nggak masalah kan?”
“Lagi pula, kalian itu harus sering bersama. Beli cincin nggak masalah kan? Kamu bisa ajak seseorang untuk menemanimu, gimana?” tanya abi.
Aku menghela napas panjang.
“Baiklah!” jawabku.
Ummi tersenyum. “Faizal, hari sudah dekat, kamu terlihat masih saja seperti orang biasa untuk Alina. Dia bahkan curhat sama Ummi, kamu terlalu tertutup dengannya.” Ummi menatapku dengan ekspresi sendu. Aku mengaruk kepala yang tidak gatal.
“Iya, insyallah Ummi, Faizal akan menemani Alina nanti.”
Aku berangkat ke kampus. Di kampus, beberapa mahasiswa sudah bersiap untuk menerima tugas hari ini. Aku mengajar mata kuliah instrumentasi. Gadis itu duduk di kursi paling belakang. Dia sama sekali tidak menatapku. Bahkan setiap bertemu, dia seperti tidak mengenalku.
Pelajaran kali ini memakan waktu satu jam lebih. Setelah kelas selesai, aku tidak segera keluar. Aku sengaja merapikan beberapa kertas dan sesekali mencuri pandangan ke arahnya. Dia tidak melihatku. Bahkan dia tetap duduk di ujung sana.
Seluruh mahasiswa sudah keluar.
“Kamu tidak keluar?” aku membuka suara. Dia menongakan wajahnya. Pandangan kami bertemu.
“Bapak kenapa tidak keluar juga?” balasnya.
“Saya menunggumu keluar. Oh yah, hari ini mau pulang?” tanyaku berbasa-basi. Dia menggeleng.
“Saya ada urusan di luar.”
“Pertemuan?” tebakku. Aku berusaha bersikap ramah kepadanya.
“Bukan urusan pak Faizal sih!” jawabnya. Dia dengan cepat mengambil tas miliknya lalu segera berjalan keluar dari kelas. Wanita itu seakan memiliki dua sifat. Terkadang sangat ceria menatapku dan kadang juga dia seperti batu es yang sangat dingin dan tertutup. Aku bahkan tidak bisa menebak dirinya.
Aku mengikutinya dari belakang. Beberapa mahasiswa memandangi kami. Ada yang berbisik tidak jelas namun aku tidak menghiraukannya.
“Faizal!” Abdullah menghentikanku. Aku menoleh menatap Abdullah. Ah kesal sekali, mengapa dia tiba-tiba datang?
“Aku mau bicara,” serunya. Bea terus berjalan hingga keluar dari area gedung fakultas. Aku berdecak kesal.
“Apa sih?” Aku menatap Abdullah dengan ekspresi malas. Rencanaku gagal karena panggilannya. Ah, kesal!
“Ini … masalah pengabdian di desa Sukma. Jadi kan?”
“Ya, jadi Abdullah. Semuanya sudah aku atur jadi kamu tenang saja,” gumamnya.
“Aku sedang sibuk, aku pergi dulu.” Aku dengan cepat melangkah menuju ruangan dosen untuk mengambil tas.
“Pasti Bea udah pergi,” ucapku. Aku menuju parkiran mobil. Gadis itu sudah tidak ada dimana pun. Ya ampun, kemana dia? Pikirku.
Dring!
“Assalamualaikum mas Faizal,” sahut suara itu. Suara Alina terdengar jelas.
“Waalaikumsalam Alina,” jawabku.
“Hari ini jadi kan yah mas?” tanyanya dengan cepat. Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul dua belas siang.
“Mas bisa jemput aku nanti? Di rumah sakit, nggak masalah kan yah mas?” sambung Alina lagi.
“Oke, Mas sholat dhuhur dulu yah,” jawabku.
Setelah berbicara dengan Alina, aku segera melajukan mobil menuju masjid untuk sholat dan segera menemuinya di rumah sakit.
Aku melihat Bea di masjid tapi seketika dia menghilang dengan cepat. Saat aku baru masuk, dia keluar melalui pintu belakang. Apa dia menghindariku? Pikirku kemudian.
Setelah sholat, aku menemui Alina yang sudah menungguku di loby rumah sakit. Dia masih memakai jas putih miliknya dan tampak kecantikannya semakin memancar.
Semua orang memandangi kami dengan perasaan kagum. Alina tersenyum saat aku baru saja turun. Dia memandangiku dengan sangat lama.
“Mas sorry, aku nggak bermaksud menganggu.”
“Hanya saja, nggak enak kalo beli cincin sendiri. Lagi pula, aku mau dekat sama mas, biar aku tahu bagaimana mas Faizal,” jelasnya.
“Ya, nggak apa-apa Alina,” jelasku dengan cepat. Aku membuka pintu mobil untuknya. Senyumnya selalu terpancar di wajahnya yang cantik. Alina adalah wanita yang sempurna. Dia lembut dan memiliki karakter yang baik. Itu yang selalu Ummi katakan kepadaku. Ummi sangat menyanyanginya dan menginginkannya.
Saat ingin melajukan kendaraan keluar dari area rumah sakit, ku pandangi Bea yang sudah berdiri di ujung sana. Aku kaget melihatnya tiba-tiba. Dia baru saja turun dari ojek online. Sepertinya dia terlihat terburuh-buruh. Aku ingin turun namun Alina terus menatapku.
“Mas, kok bengong?” tanya Alina mengagetkanku. Aku melajukan kendaraan keluar dari area rumah sakit.
“Aku senang saat Ummi bilang, aku akan dijodohkan sama mas.”
“Aku bahagia Mas.” Alina menatapku. Aku hanya bisa tersenyum sambil fokus menyetir mobil.
“Kalo aku ada salah dan kamu nggak suka, bilang yah,” pintanya.
“Iya Alina,” jawabku.
Kami tiba di sebuah toko perhiasan. Hanya sebentar saja memilih cincin karena Alina tidak ingin telat untuk ke rumah sakit lagi. Setelah barang yang kami cari sudah dapat, aku dan Alina segera pulang.
“Mas Faizal.”
“Besok, apa aku boleh ke kampus?”
“Mau bawahkan makanan, apa boleh, sekali saja?” Dia menatapku.
“Hmm, sebenarnya besok aku mau ke panti, jadi aku nggak ada di kampus.” Wajah Alina cemberut. Bibirnya manyun ke depan.
“Baiklah,” jawabnya. Aku menemaninya ke rumah sakit. Lalu setelah mengantarnya kembali, aku segera pergi.
“Kemana Bea? Mengapa dia ada di rumah sakit ini?” pikirku.
***
Pernikahan aku dan Alina semakin dekat, aku merasa ummi terlalu berlebihan kepadaku. Saat mengantar Alina ke rumah sakit, Ummi menghubungiku agar segera menghampirinya di rumah. Padahal sejujurnya aku ingin mencari Bea. Mengapa gadis itu di rumah sakit?“Faizal dimana?” sahut Ummi melalui sambungan telepon.“Lagi mau ke panti, Ummi. Katanya abi, Faizal harus survey lokasi. Ada teman abi yang datang untuk meninjau lahannya. Hafid nanti yang gambar desainnya. Tapi Faizal tetap bersamanya di sini,” jelasku kepada Ummi. “Faizal, apa nggak ke rumah dulu?”“Ada yang ummi mau ceritakan kepadamu,” ucapnya. Aku menghela napas panjang. Lokasi tempatku berada sudah sangat dekat dengan panti Al-Jannah. Kalo putar balik, akan sangat sulit. “Ummi, apa yang ummi mau ceritakan?” tanyaku. Ummi terdiam cukup lama. “Ummi?” ulangku. Aku memarkir mobil di pinggir jalan. Aku menunggu jawaban ummi saat ini. “Kamu serius mau menikah dengan Alina?” tanyanya lagi.“Ummi, kenapa sih Ummi tanya begitu terus?
Sesampai di rumah, beberapa keluarga jauh sudah berkumpul. Mereka memandangiku dengan ekspresi terheran. Tentu saja karena aku telat pulang. “Baru selesai ngajar yah?” tanya Tazia. Dia menatapku. Tazia adalah putri dari bibi Zulaikha. Dia adalah keponakan ummi. “Iya, baru datang yah?” tanyaku kepada wanita itu. Tazia memiliki umur yang setara dengan Aisyah. Dia adalah lulusan fakultas arsitektur.“Hmm, mas Faizal benaran sudah mau nikah?”“Nggak seperti biasanya, dulu mas Faizal akademisi banget,” kekehnya. Aku masuk ke dalam rumah dan rupanya saudara ummi sudah berkumpul di ruang keluarga. Hanya Tazia yang keluar saat mendengarkan suara mobilku di garasi. Dia memang sangat suka mengodaku.“Hmm, manusia bisa berubah dengan cepat,” ucapku. Gadis itu mengekor di belakangku. Aisyah dan Tazia memiliki karakter yang sama. Mereka suka mengangguku. Tazia sudah aku anggap sebagai adik sendiri. Dia sangat baik dan penyanyang. Di ruang keluarga, bibi Zulaikha malah mengodaku. Dia mengatakan
“Mencintai terlalu berlebihan kepada manusia malah bisa mematikan hati.”“Lima hari lagi?” Aku tidak bisa berpikir apapun saat abi mengatakan hal itu. Keluarga ku pun malah mendukung. Katanya tidak baik menunda. Apalagi Alina dan aku sudah cukup mengenal dengan baik. Aku menanyakan kepada ummi mengenai rencana ini. Apa sebegitu cepatnya? Aku belum siap sepenuhnya. Ummi mengatakan jika ini adalah permintaan bibi Ayna dan putrinya dan ummi setuju. Aku tidak bisa berkata apapun. Aku mencintai ummi dan tentu saja, aku tidak akan membatalkan pernikahan ini. Ummi akan kecewa dan ummi akan malu kepada bibi Ayna. Di dalam kamar, aku terus mengulangi kata lima hari lagi. Ya Allah, secepat ini? Pikirku. Mengetahui pernikahan akan dilaksanakan lima hari lagi, seluruh keluarga datang dan mereka bahagia. Seluruh perlengkapan gedung dipercepat. Undangan disebar dan abi bahkan mengambil cuti untuk terjun langsung mengurus pernikahanku. Aku libur dari kampus selama lima hari untuk mempersiapkan pe
“Bagaimana bisa aku melukaimu? Jika pada hakikatnya, melukai dirimu sama saja dengan melukai diriku sendiri?”“Faizal, sudah siap?” Abi berada di sampingku. Aku menganggukan kepala. “Insyallah, Bi!” “Ijab sudah bisa dimulai?” ucap sang penghulu. Aku menganggukan kepala. Aku menatap Ummi yang tersenyum ke arahku. Aku memegang tangan sang penghulu. “Bismillah.”“Tunggu!” suara itu menghentikan pergerakan kami. Aku menoleh ke belakang dan melihat Aisyah sedang berlari menuju ummi. Abi bingung.“Loh Aisyah, ada apa sih? Kok lari begini?” tegur Abi. Aisyah mengigit bibir bawahnya. Dia terlihat bingung seketika. “Itu Abi …,”“Ada apa sayang?” tanya ummi menghampiri Aisyah. Aku memandangi adikku itu. Ummi dan Aisyah berjalan menuju sebuah ruangan. Mereka sedang berbicara. Aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Terlihat sangat serius. Beberapa saat, abi berjalan menuju ummi. Wajahnya tampak gelisah seketika. Abi dan ummi berlari menuju ruangan Alina. “Permisi, apa bisa
“Sekarang jadi istri pak Faizal,” ucapku mengodanya. Bea tersenyum namun masih saja sama, dia tidak berani memandangiku. Aku mengecup bibirnya dengan sangat lama. “Saya menyukaimu, saat pertama kali saya melihatmu.”“Apa kamu tidak sadar?” Bola mata kami bertemu. Serasa waktu berhenti. Entah mengapa, aku merasa nyaman memandanginya. Aku memeluknya dengan erat. Perasaan ingin melindunginya tumbuh begitu saja. Aku tahu, dia tidak memiliki tempat untuk bersandar. “Pak.”“Jangan panggil Pak, panggil saya Mas. Umur kita kan nggak beda jauh, sayang. Hanya beda 7 tahun saja. Kamu tahu?” Aku meletakkan jemariku di bibirnya. Dia terus memandangiku. “Ini seperti mimpi,” ucapnya. Dengan pelan aku membuka hijab yang menutupi rambutnya. Dia memegang tanganku dengan cepat. Wajahnya terlihat ragu.“Aku suamimu.”“Kita sudah sah sekarang, Bea.” Rambut panjangnya yang terurai begitu saja. Wajahnya semakin cantik. Aku benar-benar takjub. Dia adalah mutiara yang tersembunyi selama ini.Aku mengecup
Kabar mengenai Alina tidak terdengar lagi. Aku tidak tahu alasan Alina kabur di acara pernikahan kami. Apa dia merasa ragu bersamaku? Jika seperti itu, mengapa dia tidak bersikap jujur saja? Mengapa Alina malah memilih mempermalukan ibu dan ayahnya?Ummi tidak membahas mengenai Alina. Ummi malah fokus membantu Bea memasak di dapur. Ummi terlihat menyanyangi Bea. Seluruh peralatan dan keperluan Bea sudah dipindahkan ke rumahku. Saat aku bertanya kepada Bea mengenai masa depan, dia hanya mengatakan ingin menjadi seorang penulis. Aku cukup terkejut. Penulis? Dia menyukai dunia kepenulisan dan aku mendukungnya. Jika dia ingin sekolah lagi, tentu saja aku setuju. Tinggal satu semester dan dia bisa wisuda beberapa bulan lagi. “Kalo dilihat-lihat, Faizal malah sukanya sama Bea yah,” goda Ummi saat aku duduk di meja makan dan memandangi mereka memasak. Entah mengapa, Ummi sangat kompak dengan Bea. “Ummi bisa saja,” kekehku. Jika dilihat dari jauh, Ummi dan Bea tidak ada bedanya. Kedua ma
Kami membersihkan diri lalu sholat magrib dan ikut makan malam bersama abi dan ummi di ruang makan. “Serius nggak mau ke rumah sakit?” tanya Ummi yang sama-sama cemas. Bea menggeleng. “Tidak usah, Ummi. Bea baik-baik saja,” seru istriku dengan lembut. Aku mengengam tangan Bea. Ada rasa cemas yang amat besar di dalam diriku. Apa seperti ini rasanya mencemaskan belahan jiwa yang sangat kita sayangi?Sejak dulu, aku tidak berdekatan dengan wanita manapun. Oh, aku pernah dekat dengan Putri Khadiijah. Gadis yang merupakan teman satu organisasi. Dia adalah seorang desainer interior. Ayahnya adalah seorang arsitektur terkenal bernama Sham. Aku cukup mengenal Khadijah karena Hafid yang memperkenalkan gadis itu kepadaku. Tapi entah dimana Khadijah sekarang berada. Aku sama sekali tidak tahu dimana keberadaan wanita itu. “Mas?” Bea mengagetkanku. “Mas melamun yah?” tanyanya. Makanan yang berada di piringnya sudah habis. Abi dan Ummi menatapku dengan ekspresi bingung. “Nggak seperti biasa
Kami tiba di rumah tepat pukul dua siang. Setelah melaksanakan sholat dhuhur di masjid rumah sakit, aku mengajak Bea makan bakso favoriteku lalu kami kembali pulang. Di depan rumah, Ummi sudah menunggu kami. Wajahnya terlihat cemas. Aku turun dari kabin mobil dan membukakan pintu dengan cepat kepada Bea. “Ada apa Ummi?” tanyaku. “Bibi Ayna jatuh pingsan saat arisan tadi. Ummi cemas banget. Faizal bisa antarin ummi nggak?” Aku menatap Bea. “Nggak apa-apa Mas, aku masuk duluan aja di rumah. Lagi pula, Bea mau siap-siap untuk besok,” jelas Bea yang mengerti dengan pandanganku. “Oke Ummi.” Ummi segera masuk ke dalam mobil. Kami menuju rumah bibi Ayna. Dari cerita Ummi, bibi Ayna mengalami tensi yang tinggi karena memikirkan Alina. Aku bahkan tidak mengerti mengapa Alina sebegitu kerasnya kepada kedua orang tuanya saat ini. Kami tiba di rumah Alina. Ummi segera masuk ke dalam kamar. Ku pandangi bibi Ayna yang terbaring lemah. Dia tersenyum memandangiku. “Faizal,” ucapnya. Aku meras