“Bagaimana bisa aku melukaimu? Jika pada hakikatnya, melukai dirimu sama saja dengan melukai diriku sendiri?”“Faizal, sudah siap?” Abi berada di sampingku. Aku menganggukan kepala. “Insyallah, Bi!” “Ijab sudah bisa dimulai?” ucap sang penghulu. Aku menganggukan kepala. Aku menatap Ummi yang tersenyum ke arahku. Aku memegang tangan sang penghulu. “Bismillah.”“Tunggu!” suara itu menghentikan pergerakan kami. Aku menoleh ke belakang dan melihat Aisyah sedang berlari menuju ummi. Abi bingung.“Loh Aisyah, ada apa sih? Kok lari begini?” tegur Abi. Aisyah mengigit bibir bawahnya. Dia terlihat bingung seketika. “Itu Abi …,”“Ada apa sayang?” tanya ummi menghampiri Aisyah. Aku memandangi adikku itu. Ummi dan Aisyah berjalan menuju sebuah ruangan. Mereka sedang berbicara. Aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Terlihat sangat serius. Beberapa saat, abi berjalan menuju ummi. Wajahnya tampak gelisah seketika. Abi dan ummi berlari menuju ruangan Alina. “Permisi, apa bisa
“Sekarang jadi istri pak Faizal,” ucapku mengodanya. Bea tersenyum namun masih saja sama, dia tidak berani memandangiku. Aku mengecup bibirnya dengan sangat lama. “Saya menyukaimu, saat pertama kali saya melihatmu.”“Apa kamu tidak sadar?” Bola mata kami bertemu. Serasa waktu berhenti. Entah mengapa, aku merasa nyaman memandanginya. Aku memeluknya dengan erat. Perasaan ingin melindunginya tumbuh begitu saja. Aku tahu, dia tidak memiliki tempat untuk bersandar. “Pak.”“Jangan panggil Pak, panggil saya Mas. Umur kita kan nggak beda jauh, sayang. Hanya beda 7 tahun saja. Kamu tahu?” Aku meletakkan jemariku di bibirnya. Dia terus memandangiku. “Ini seperti mimpi,” ucapnya. Dengan pelan aku membuka hijab yang menutupi rambutnya. Dia memegang tanganku dengan cepat. Wajahnya terlihat ragu.“Aku suamimu.”“Kita sudah sah sekarang, Bea.” Rambut panjangnya yang terurai begitu saja. Wajahnya semakin cantik. Aku benar-benar takjub. Dia adalah mutiara yang tersembunyi selama ini.Aku mengecup
Kabar mengenai Alina tidak terdengar lagi. Aku tidak tahu alasan Alina kabur di acara pernikahan kami. Apa dia merasa ragu bersamaku? Jika seperti itu, mengapa dia tidak bersikap jujur saja? Mengapa Alina malah memilih mempermalukan ibu dan ayahnya?Ummi tidak membahas mengenai Alina. Ummi malah fokus membantu Bea memasak di dapur. Ummi terlihat menyanyangi Bea. Seluruh peralatan dan keperluan Bea sudah dipindahkan ke rumahku. Saat aku bertanya kepada Bea mengenai masa depan, dia hanya mengatakan ingin menjadi seorang penulis. Aku cukup terkejut. Penulis? Dia menyukai dunia kepenulisan dan aku mendukungnya. Jika dia ingin sekolah lagi, tentu saja aku setuju. Tinggal satu semester dan dia bisa wisuda beberapa bulan lagi. “Kalo dilihat-lihat, Faizal malah sukanya sama Bea yah,” goda Ummi saat aku duduk di meja makan dan memandangi mereka memasak. Entah mengapa, Ummi sangat kompak dengan Bea. “Ummi bisa saja,” kekehku. Jika dilihat dari jauh, Ummi dan Bea tidak ada bedanya. Kedua ma
Kami membersihkan diri lalu sholat magrib dan ikut makan malam bersama abi dan ummi di ruang makan. “Serius nggak mau ke rumah sakit?” tanya Ummi yang sama-sama cemas. Bea menggeleng. “Tidak usah, Ummi. Bea baik-baik saja,” seru istriku dengan lembut. Aku mengengam tangan Bea. Ada rasa cemas yang amat besar di dalam diriku. Apa seperti ini rasanya mencemaskan belahan jiwa yang sangat kita sayangi?Sejak dulu, aku tidak berdekatan dengan wanita manapun. Oh, aku pernah dekat dengan Putri Khadiijah. Gadis yang merupakan teman satu organisasi. Dia adalah seorang desainer interior. Ayahnya adalah seorang arsitektur terkenal bernama Sham. Aku cukup mengenal Khadijah karena Hafid yang memperkenalkan gadis itu kepadaku. Tapi entah dimana Khadijah sekarang berada. Aku sama sekali tidak tahu dimana keberadaan wanita itu. “Mas?” Bea mengagetkanku. “Mas melamun yah?” tanyanya. Makanan yang berada di piringnya sudah habis. Abi dan Ummi menatapku dengan ekspresi bingung. “Nggak seperti biasa
Kami tiba di rumah tepat pukul dua siang. Setelah melaksanakan sholat dhuhur di masjid rumah sakit, aku mengajak Bea makan bakso favoriteku lalu kami kembali pulang. Di depan rumah, Ummi sudah menunggu kami. Wajahnya terlihat cemas. Aku turun dari kabin mobil dan membukakan pintu dengan cepat kepada Bea. “Ada apa Ummi?” tanyaku. “Bibi Ayna jatuh pingsan saat arisan tadi. Ummi cemas banget. Faizal bisa antarin ummi nggak?” Aku menatap Bea. “Nggak apa-apa Mas, aku masuk duluan aja di rumah. Lagi pula, Bea mau siap-siap untuk besok,” jelas Bea yang mengerti dengan pandanganku. “Oke Ummi.” Ummi segera masuk ke dalam mobil. Kami menuju rumah bibi Ayna. Dari cerita Ummi, bibi Ayna mengalami tensi yang tinggi karena memikirkan Alina. Aku bahkan tidak mengerti mengapa Alina sebegitu kerasnya kepada kedua orang tuanya saat ini. Kami tiba di rumah Alina. Ummi segera masuk ke dalam kamar. Ku pandangi bibi Ayna yang terbaring lemah. Dia tersenyum memandangiku. “Faizal,” ucapnya. Aku meras
Semua mengenai Alina, aku berusaha melupakannya. Aku yakin, dia yang menghubungiku beberapa hari yang lalu. Melihat Bea yang bahagia denganku, rasanya kebahagian itu sudah cukup. Aku tidak ingin terlalu banyak ikut campur mengenai Alina dan mengenai apapun tentangnya.Tazia menginap di rumah kami selama dua hari. Sepupuku itu selalu berceritai tentang Hafid. Mereka berdua adalah musuh bebuyutan. Tazia tidak pernah menyukai Hafid karena menurut Tazia, lelaki itu selalu tebar pesona. Sok Ganteng! Maksudnya.“Mas?”Bea datang. Dia mengetuk ruang kerjaku. Meskipun aku mengambil cuti, aku tetap memberikan kuis melalui online dan memeriksa jawaban mereka. Besok subuh, aku dan Bea akan segera berangkat untuk Umroh lalu berlanjut ke Turkey.“Masuk sayang,” seruku dengan pelan. Bea berjalan mendekati ruang kerjaku. Semakin hari, wajahnya semakin cantik saja.“Makasih sayangku.” Aku mengecup tangannya sebelum dia berjalan pergi. Pipinya merona, aku sangat menyukainya.“Mas!” Tazia kemudian data
Aku menemani Bea menikmati senja di depan masjid Hagia Sophia. Dia sangat senang. Senyuman tidak pernah pudar dari wajahnya. Berbeda saat dia berada di Mekkah dan Madinah. Bea tidak henti-hentinya menangis. Membuatku panik bukan main. Katanya, dia lagi terharu. Ya, tapi tangisannya seperti orang yang benar-benar sakit.Di taman indah ini, dia menikmati harinya. Bea tidak hentinya berterima kasih dan mengucapkan syukur. Aku senang melihatnya bahagia.Dring!Hazzim menghubungiku.“Assalamualaikum?”“Mas Faizal, nanti malam mau datang nggak? Lagi ada acara syukuran. Putri sudah tahu kalo mas datang. Katanya mau bertemu juga. Acaranya di restoran Asia. Nanti aku yang jemput mas, gimana?”Ku pandangi Bea.“Gimana sayang? Acara makan malam dengan teman mas di sini,” jelasku. Bea mengangguk.“Nggak buat kamu terganggu kan?” tanyaku. Bea menggeleng.“Nggak mas,” jawabnya.“Oke Hazzim, jemput nanti yah, aku lagi di taman nih, dekat apartemen. Kebetulan sekali istriku mau jalan-jalan sore,” jel
Pov Bea Namaku Bea Delima. Aku dilahirkan oleh keluarga yang harmonis, dulu. Kedua orang tuaku memilih sebuah perpisahan. Mereka tewas dalam satu kecelakaan tunggal. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Bibi Jubaidah yang merawatku memilih merahasiakannya. Apa salahnya jika dia berterus terang saja? Aku rasa, tidak ada salahnya, bukan? Aku hidup di panti asuhan. Merawat adik-adikku yang juga memiliki nasib yang sama. Kami tumbuh dengan kasih sayang dari ibu Jubaidah. Aku membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Layaknya seorang putri yang perlu seseorang untuk melindungi. Kami memiliki keterbatasan di panti. Kekurangan makanan dan kebutuhan, sering kali menghampiri kami. Namun, sosok bak malaikat datang di tengah-tengah kesulitan itu. Namanya, Tuan Abdullah. Umur 8 tahun, aku melihat mereka yang rutin datang ke panti membagikan makanan dan juga mainan. Tuan Abdullah adalah pengusaha kaya raya. Dia memiliki istri yang cantik. Wajahnya sangat anggun dan teduh. Jilbab