“Jadi, Bea tinggal di sini?”
Pertanyaan itu selalu terbesit di pikiranku. Aku cukup terkejut mengetahui jika Bea adalah anak yatim piatu. Mengapa aku tidak pernah melihatnya di panti Jannah?
Aku kembali ke rumah pukul empat sore. Setelah sholat Azhar, aku segera ke ruang kerja ummi. Di sana, dia memandangiku dengan sangat lama. Aku bingung harus memulai pembicaran dari mana.
“Ummi kenal ibu Jubaidah?”
Di depan pintu, aku menatap ummi yang sedang merajut. Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama ibu Jubaidah.
“Kamu kenal dimana? Biasanya kalo dari panti, kamu yang paling cepat pulang,” kekehnya. Ummi meninggalkan bahan rajutannya. Dia berjalan mendekatiku.
“Hmm … tadi ketemu … tadi lagi ngantar salah satu mahasiswa yang tinggal di sana,” ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ummi cukup terkejut.
“Benarkah?” tanyanya. Aku menganggukan kepala.
“Namanya Bea, ummi kenal?”
“Nggak tahu tuh, ummi nggak kenal anak-anak di sana. Tapi kebetulan abimu mau ke sana, lagi mau buat pesantren dan ummi lagi kordinasi sama ibu Jubaidah. Gimana kalo anak panti Al-Jannah yang sulit bersekolah dimasukan ke pesantren itu saja, abimu setuju.”
“Mau ikut?””
Aku tanpa berpikir panjang langsung menganggukan kepala.
“Tentu saja ummi, insyallah, hari Ahad yah?”
“Ya, aku mau ke sana,” ucapku dengan cepat. Ummi menyentuh pipiku. Baru kali ini aku bersemangat ke panti. Biasanya aku sangat malas.
“Tapi malam ini, kamu harus bersiap melamar Alina.” Aku hampir lupa jika hari ini aku harus ke rumah Alina. Aku hanya bisa tersenyum saat ummi menyadarkanku.
“Insyallah.”
“Faizal siap-siap dulu ummi.”
Aku segera masuk ke dalam kamarku. Dengan cepat aku menyediakan baju yang akan aku gunakan. Setelah sholat Isya, keluarga besar Abdillah akan ke rumah bibi Ayna untuk melamar Alina, putri semata wayangnya.
Abi sejak tadi pagi sudah sangat sibuk menghubungi beberapa keluarga besar yang akan menemaniku. Bagiku, aku dan abi saja, itu sudah sangat cukup.
Setelah sholat Isya berjamaah, kami sekeluarga segera ke rumah Alina.
“Apa benar kamu suka dengan pilihan ummi?” tanya ummi saat kami berada di dalam mobil.
“Pasti Faizal suka lah, Alina cantik, berpendidikan, bukankah seperti itu wanita yang diinginkan Faizal?” ucap Abi yang sedang sibuk menyetir.
“Pas lah, kalo kata orang dulu, Alina dan Faizal itu dua orang yang sama-sama berbobot dan memiliki ilmu. Sekufu lah,” kekeh bibi Jamilah yang duduk di samping Ummi. Bibi Jamilah adalah adik dari ummi dan rumahnya tidak jauh dari rumah kami.
“Tapi kan, perlu ditanya lagi masalah ini sama Faizal,” sahut Ummi yang dari tadi menatapku. Seakan sedang menunggu jawabanku saat ini.
“Insyallah, Faizal mau sama Alina. Atas restu abi dan ummi. Lagi pula, ini sudah dibahas kan. Jadi Faizal sedang memantapkan hati.”
Semua yang berada di dalam mobil mengucap syukur. Mereka sangat bahagia karena aku sebentar lagi akan berjodoh dengan seorang gadis yang menurut mereka sangat pantas untuk mendampingiku. Seorang calon dokter dan wanita sholeha. Alina berasal dari keluarga terpandang. Memiliki orang tua yang sama-sama seorang pendidik.
Kata Abi, aku sangat mahir memilih calon istri. Itu kata mereka.
“Faizal?” ummi memanggilku. Aku dengan cepat memandanginya.
“Sudah sampai, ayo turun,” kekehnya.
Ummi mengengam tanganku dan kami turun bersama. Ummi sangat memanjakanku. Padahal aku masih memiliki adik bernama Aisyah yang sedang bersekolah di Kairo. Kata ummi, karena Aisyah sedang pergi jadi aku adalah anaknya yang sangat dekat dengan mereka.
Bibi Ayna dan pak Irwan menyambut kami dengan baik. Di dalam sana, ada Alina. Wajahnya merona berseri apalagi saat aku memandanginya. Dia terus menunduk dan senyuman tidak pernah lepas dari wajahnya.
Dia sangat cantik dan anggun.
“Nggak usah dilihat terus.”
“Takut zina mata,” kekeh Ummi mengoda. Semua yang berada di ruangan itu tertawa. Pipi Alina semakin merona. Menambah kecantikan yang ada di dalam wajahnya.
“Ihh Ummi, malu tahu,” gumamku.
Proses lamaran berjalan dengan lancar. Kedua pihak keluarga besar sepakat akan melangsungkan pernikahan sebulan lagi. Itu adalah rencana awal. Hari ini, mereka membahas tanggal yang tepat. Alina menginginkan pernikahan dilaksanakan tanggal 20. Hari itu adalah hari ulang tahunnya dan semua keluarga setuju.
Aku ikut saja apa yang diinginkan Abi dan Ummi. Setelah acara lamaran selesai, aku dan keluarga besar segera pulang. Alina tampak bahagia. Dia terus menatapku dan kami saling melempar senyuman.
“Aku akan datang seminggu lagi.”
“Iya Mas,” ucapnya dengan lembut sambil menundukkan wajahnya. Manis sekali.
Abi dan ummi mengatakan jika saat ini, aku tidak boleh berhubungan dengan intens demi menjaga hati kami berdua. Aku sejujurnya tidak masalah. Tapi dengan Alina, aku tidak tahu, apakah dia setuju untuk kami tidak begitu berkomunikasi intens untuk beberapa minggu ini. Di dalam mobil, aku mengirimkan pesan kepada gadis aneh bernama Bea.
[Kamu sakit?]
Tidak ada balasan. Hingga sampai di rumah dan beristirahat, pesan itu tidak kunjung berwarna ceklis biru. Aku menyimpan ponselku di atas meja.
***
Acara lamaran menyebar dengan cepat di grup keluarga. Aisyah yang cuek membuka suara. Dia sangat mengagumi calon kakak ipar barunya. Katanya sangat cantik. Semua orang memuji kencantikan Alina.
“Calon dokter, pasti anaknya sangat baik,” kata Aisyah yang segera menghubungiku.
“Kakak beruntung,” kekehnya.
“Pokoknya bulan depan, Aisyah akan datang ke Indonesia. Aisyah nggak mau tahu, pokoknya harus hadir,” ucapnya lagi. Aku ikut tertawa mendengarkan suara lucu dari adikku itu.
“Memangnya, abang Rahmat izinin kamu?”
Aisyah sudah menikah setahun lalu. Dia dilamar oleh seniornya yang juga bersekolah di Kairo. Abi dan Ummi sangat setuju. Dia menginginkan Aisyah memiliki pendamping yang menemaninya bersekolah di luar negeri.
“Insyallah.”
“Abang Rahmat baik, pasti izinin lah,” gumam Aisyah. Dia layar ponsel itu, ada wajah Rahmat yang sedang duduk di samping Aisyah. Rahmat adalah adik tingkatku dulu. Dia terpesona dengan Aisyah saat aku mengajaknya ke rumah.
Rahmat diterima di salah satu kampus di Kairo. Karena ketertarikannya kepada Aisyah dan takut jika pada akhirnya rasa cinta itu melukainya. Dengan keberanian, dia datang ke rumah kami untuk mempersunting Aisyah. Putri kesayangan abi.
Keluarga besar Abdillah tentu saja menerima Rahmat. Pernikahan dilaksanakan satu bulan sebelum mereka berangkat ke Kairo untuk melanjutkan kuliah. Aisyah melanjurkan kuliah di jenjang Magister sedangkan Rahmat menempuh jenjang dokter di sana.
“Insyallah kami doakan dari sini bang Faizal,” ucap Rahmat yang menyapaku.
“Insyallah, aamin. Jaga Aisyah di sana yah, apalagi dia kadang berubah jadi monster,” kekehku mengoda. Bibir Aisyah manyun, dia tampak cemberut. Namun dengan cepat Rahmat mengelus kepalanya dan membuatnya tersenyum. Kedua adikku itu memang sangat mahir menampilkan keromatisan mereka.
“Ya sudah, aku mau tidur dulu Aisyah,” ucapku. Aku mengakhiri telepon dengan salam. Ummi datang ke kamar.
“Besok, jadi ikut ummi kan?” tanyanya. Aku menganggukan kepala.
“Ajak Alina, nggak masalah kan?” tanya ummi lagi. Dia menunggu persetujuanku.
“Nggak masalah Ummi,” jawabku kemudian. Besok, aku akan menemui wanita itu, tentu saja aku penasaran dengannya.
***
Panti Asuhan Al-Jannah adalah panti asuhan yang didirikan oleh ibu Jubaidah. Salah satu sahabat abi waktu sekolah dulu. Maka dari itu lah, abi ingin membuat pesantren khusus. Abi sudah lama membahas hal ini. Abi selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Pukul delapan pagi, Ummi sangat sibuk untuk menyiapkan beberapa makanan dan juga kue yang akan dibawah ke pesantren. “Nggak apa-apa toh sehari bersama Ummi di panti?” tanya Ummi, dia menatapku secara serius. “Nggak apa-apa Ummi, toh Faizal juga nggak ada kerjaan.”Ummi tersenyum. Aku membantu Mang Asep untuk membawah beberapa perlengkapan Ummi ke dalam mobil. Abi yang akan menyetir mobil kali ini. “Tumben banget Faizal tertarik yah Mi ke panti,” kekeh Abi mulai mengodaku. Aku sangat jarang mengikuti mereka. “Hmm, lagi bosan di rumah,” gumamku. “Serius?” Ummi memandangiku secara lekat. “Iya Ummi, lagi pula program abi ini sangat baik. Insyallah Faizal akan membantu.” Saat aku mengatakan hal itu, abi cukup terkejut.
Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. “Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. “Nggak tahu juga nih Sarah.”“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbar
Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini. “Serius?”“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.Abi dan ummi saling pandang. “Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian. “Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku. Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang ya
Pernikahan aku dan Alina semakin dekat, aku merasa ummi terlalu berlebihan kepadaku. Saat mengantar Alina ke rumah sakit, Ummi menghubungiku agar segera menghampirinya di rumah. Padahal sejujurnya aku ingin mencari Bea. Mengapa gadis itu di rumah sakit?“Faizal dimana?” sahut Ummi melalui sambungan telepon.“Lagi mau ke panti, Ummi. Katanya abi, Faizal harus survey lokasi. Ada teman abi yang datang untuk meninjau lahannya. Hafid nanti yang gambar desainnya. Tapi Faizal tetap bersamanya di sini,” jelasku kepada Ummi. “Faizal, apa nggak ke rumah dulu?”“Ada yang ummi mau ceritakan kepadamu,” ucapnya. Aku menghela napas panjang. Lokasi tempatku berada sudah sangat dekat dengan panti Al-Jannah. Kalo putar balik, akan sangat sulit. “Ummi, apa yang ummi mau ceritakan?” tanyaku. Ummi terdiam cukup lama. “Ummi?” ulangku. Aku memarkir mobil di pinggir jalan. Aku menunggu jawaban ummi saat ini. “Kamu serius mau menikah dengan Alina?” tanyanya lagi.“Ummi, kenapa sih Ummi tanya begitu terus?
Sesampai di rumah, beberapa keluarga jauh sudah berkumpul. Mereka memandangiku dengan ekspresi terheran. Tentu saja karena aku telat pulang. “Baru selesai ngajar yah?” tanya Tazia. Dia menatapku. Tazia adalah putri dari bibi Zulaikha. Dia adalah keponakan ummi. “Iya, baru datang yah?” tanyaku kepada wanita itu. Tazia memiliki umur yang setara dengan Aisyah. Dia adalah lulusan fakultas arsitektur.“Hmm, mas Faizal benaran sudah mau nikah?”“Nggak seperti biasanya, dulu mas Faizal akademisi banget,” kekehnya. Aku masuk ke dalam rumah dan rupanya saudara ummi sudah berkumpul di ruang keluarga. Hanya Tazia yang keluar saat mendengarkan suara mobilku di garasi. Dia memang sangat suka mengodaku.“Hmm, manusia bisa berubah dengan cepat,” ucapku. Gadis itu mengekor di belakangku. Aisyah dan Tazia memiliki karakter yang sama. Mereka suka mengangguku. Tazia sudah aku anggap sebagai adik sendiri. Dia sangat baik dan penyanyang. Di ruang keluarga, bibi Zulaikha malah mengodaku. Dia mengatakan
“Mencintai terlalu berlebihan kepada manusia malah bisa mematikan hati.”“Lima hari lagi?” Aku tidak bisa berpikir apapun saat abi mengatakan hal itu. Keluarga ku pun malah mendukung. Katanya tidak baik menunda. Apalagi Alina dan aku sudah cukup mengenal dengan baik. Aku menanyakan kepada ummi mengenai rencana ini. Apa sebegitu cepatnya? Aku belum siap sepenuhnya. Ummi mengatakan jika ini adalah permintaan bibi Ayna dan putrinya dan ummi setuju. Aku tidak bisa berkata apapun. Aku mencintai ummi dan tentu saja, aku tidak akan membatalkan pernikahan ini. Ummi akan kecewa dan ummi akan malu kepada bibi Ayna. Di dalam kamar, aku terus mengulangi kata lima hari lagi. Ya Allah, secepat ini? Pikirku. Mengetahui pernikahan akan dilaksanakan lima hari lagi, seluruh keluarga datang dan mereka bahagia. Seluruh perlengkapan gedung dipercepat. Undangan disebar dan abi bahkan mengambil cuti untuk terjun langsung mengurus pernikahanku. Aku libur dari kampus selama lima hari untuk mempersiapkan pe
“Bagaimana bisa aku melukaimu? Jika pada hakikatnya, melukai dirimu sama saja dengan melukai diriku sendiri?”“Faizal, sudah siap?” Abi berada di sampingku. Aku menganggukan kepala. “Insyallah, Bi!” “Ijab sudah bisa dimulai?” ucap sang penghulu. Aku menganggukan kepala. Aku menatap Ummi yang tersenyum ke arahku. Aku memegang tangan sang penghulu. “Bismillah.”“Tunggu!” suara itu menghentikan pergerakan kami. Aku menoleh ke belakang dan melihat Aisyah sedang berlari menuju ummi. Abi bingung.“Loh Aisyah, ada apa sih? Kok lari begini?” tegur Abi. Aisyah mengigit bibir bawahnya. Dia terlihat bingung seketika. “Itu Abi …,”“Ada apa sayang?” tanya ummi menghampiri Aisyah. Aku memandangi adikku itu. Ummi dan Aisyah berjalan menuju sebuah ruangan. Mereka sedang berbicara. Aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Terlihat sangat serius. Beberapa saat, abi berjalan menuju ummi. Wajahnya tampak gelisah seketika. Abi dan ummi berlari menuju ruangan Alina. “Permisi, apa bisa
“Sekarang jadi istri pak Faizal,” ucapku mengodanya. Bea tersenyum namun masih saja sama, dia tidak berani memandangiku. Aku mengecup bibirnya dengan sangat lama. “Saya menyukaimu, saat pertama kali saya melihatmu.”“Apa kamu tidak sadar?” Bola mata kami bertemu. Serasa waktu berhenti. Entah mengapa, aku merasa nyaman memandanginya. Aku memeluknya dengan erat. Perasaan ingin melindunginya tumbuh begitu saja. Aku tahu, dia tidak memiliki tempat untuk bersandar. “Pak.”“Jangan panggil Pak, panggil saya Mas. Umur kita kan nggak beda jauh, sayang. Hanya beda 7 tahun saja. Kamu tahu?” Aku meletakkan jemariku di bibirnya. Dia terus memandangiku. “Ini seperti mimpi,” ucapnya. Dengan pelan aku membuka hijab yang menutupi rambutnya. Dia memegang tanganku dengan cepat. Wajahnya terlihat ragu.“Aku suamimu.”“Kita sudah sah sekarang, Bea.” Rambut panjangnya yang terurai begitu saja. Wajahnya semakin cantik. Aku benar-benar takjub. Dia adalah mutiara yang tersembunyi selama ini.Aku mengecup