Share

Chapter 7

“Jadi, Bea tinggal di sini?” 

Pertanyaan itu selalu terbesit di pikiranku. Aku cukup terkejut mengetahui jika Bea adalah anak yatim piatu. Mengapa aku tidak pernah melihatnya di panti Jannah?

Aku kembali ke rumah pukul empat sore. Setelah sholat Azhar, aku segera ke ruang kerja ummi. Di sana, dia memandangiku dengan sangat lama. Aku bingung harus memulai pembicaran dari mana. 

“Ummi kenal ibu Jubaidah?” 

Di depan pintu, aku menatap ummi yang sedang merajut. Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama ibu Jubaidah. 

“Kamu kenal dimana? Biasanya kalo dari panti, kamu yang paling cepat pulang,” kekehnya. Ummi meninggalkan bahan rajutannya. Dia berjalan mendekatiku. 

“Hmm … tadi ketemu … tadi lagi ngantar salah satu mahasiswa yang tinggal di sana,” ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ummi cukup terkejut. 

“Benarkah?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. 

“Namanya Bea, ummi kenal?” 

“Nggak tahu tuh, ummi nggak kenal anak-anak di sana. Tapi kebetulan abimu mau ke sana, lagi mau buat pesantren dan ummi lagi kordinasi sama ibu Jubaidah. Gimana kalo anak panti Al-Jannah yang sulit bersekolah dimasukan ke pesantren itu saja, abimu setuju.”

“Mau ikut?”” 

Aku tanpa berpikir panjang langsung menganggukan kepala. 

“Tentu saja ummi, insyallah, hari Ahad yah?” 

“Ya, aku mau ke sana,” ucapku dengan cepat. Ummi menyentuh pipiku. Baru kali ini aku bersemangat ke panti. Biasanya aku sangat malas. 

“Tapi malam ini, kamu harus bersiap melamar Alina.” Aku hampir lupa jika hari ini aku harus ke rumah Alina. Aku hanya bisa tersenyum saat ummi menyadarkanku. 

“Insyallah.”

“Faizal siap-siap dulu ummi.”

Aku segera masuk ke dalam kamarku. Dengan cepat aku menyediakan baju yang akan aku gunakan. Setelah sholat Isya, keluarga besar Abdillah akan ke rumah bibi Ayna untuk melamar Alina, putri semata wayangnya. 

Abi sejak tadi pagi sudah sangat sibuk menghubungi beberapa keluarga besar yang akan menemaniku. Bagiku, aku dan abi saja, itu sudah sangat cukup. 

Setelah sholat Isya berjamaah, kami sekeluarga segera ke rumah Alina. 

“Apa benar kamu suka dengan pilihan ummi?” tanya ummi saat kami berada di dalam mobil. 

“Pasti Faizal suka lah, Alina cantik, berpendidikan, bukankah seperti itu wanita yang diinginkan Faizal?” ucap Abi yang sedang sibuk menyetir. 

“Pas lah, kalo kata orang dulu, Alina dan Faizal itu dua orang yang sama-sama berbobot dan memiliki ilmu. Sekufu lah,” kekeh bibi Jamilah yang duduk di samping Ummi. Bibi Jamilah adalah adik dari ummi dan rumahnya tidak jauh dari rumah kami. 

“Tapi kan, perlu ditanya lagi masalah ini sama Faizal,” sahut Ummi yang dari tadi menatapku. Seakan sedang menunggu jawabanku saat ini.

“Insyallah, Faizal mau sama Alina. Atas restu abi dan ummi. Lagi pula, ini sudah dibahas kan. Jadi Faizal sedang memantapkan hati.”

Semua yang berada di dalam mobil mengucap syukur. Mereka sangat bahagia karena aku sebentar lagi akan berjodoh dengan seorang gadis yang menurut mereka sangat pantas untuk mendampingiku. Seorang calon dokter dan wanita sholeha. Alina berasal dari keluarga terpandang. Memiliki orang tua yang sama-sama seorang pendidik. 

Kata Abi, aku sangat mahir memilih calon istri. Itu kata mereka. 

“Faizal?” ummi memanggilku. Aku dengan cepat memandanginya. 

“Sudah sampai, ayo turun,” kekehnya. 

Ummi mengengam tanganku dan kami turun bersama. Ummi sangat memanjakanku. Padahal aku masih memiliki adik bernama Aisyah yang sedang bersekolah di Kairo. Kata ummi, karena Aisyah sedang pergi jadi aku adalah anaknya yang sangat dekat dengan mereka. 

Bibi Ayna dan pak Irwan menyambut kami dengan baik. Di dalam sana, ada Alina. Wajahnya merona berseri apalagi saat aku memandanginya. Dia terus menunduk dan senyuman tidak pernah lepas dari wajahnya. 

Dia sangat cantik dan anggun. 

“Nggak usah dilihat terus.”

“Takut zina mata,” kekeh Ummi mengoda. Semua yang berada di ruangan itu tertawa. Pipi Alina semakin merona. Menambah kecantikan yang ada di dalam wajahnya. 

“Ihh Ummi, malu tahu,” gumamku. 

Proses lamaran berjalan dengan lancar. Kedua pihak keluarga besar sepakat akan melangsungkan pernikahan sebulan lagi. Itu adalah rencana awal. Hari ini, mereka membahas tanggal yang tepat. Alina menginginkan pernikahan dilaksanakan tanggal 20. Hari itu adalah hari ulang tahunnya dan semua keluarga setuju. 

Aku ikut saja apa yang diinginkan Abi dan Ummi. Setelah acara lamaran selesai, aku dan keluarga besar segera pulang. Alina tampak bahagia. Dia terus menatapku dan kami saling melempar senyuman. 

“Aku akan datang seminggu lagi.”

“Iya Mas,” ucapnya dengan lembut sambil menundukkan wajahnya. Manis sekali. 

Abi dan ummi mengatakan jika saat ini, aku tidak boleh berhubungan dengan intens demi menjaga hati kami berdua. Aku sejujurnya tidak masalah. Tapi dengan Alina, aku tidak tahu, apakah dia setuju untuk kami tidak begitu berkomunikasi intens untuk beberapa minggu ini. Di dalam mobil, aku mengirimkan pesan kepada gadis aneh bernama Bea. 

[Kamu sakit?]

Tidak ada balasan. Hingga sampai di rumah dan beristirahat, pesan itu tidak kunjung berwarna ceklis biru. Aku menyimpan ponselku di atas meja. 

***

Acara lamaran menyebar dengan cepat di grup keluarga. Aisyah yang cuek membuka suara. Dia sangat mengagumi calon kakak ipar barunya. Katanya sangat cantik. Semua orang memuji kencantikan Alina.

“Calon dokter, pasti anaknya sangat baik,” kata Aisyah yang segera menghubungiku. 

“Kakak beruntung,” kekehnya.

“Pokoknya bulan depan, Aisyah akan datang ke Indonesia. Aisyah nggak mau tahu, pokoknya harus hadir,” ucapnya lagi. Aku ikut tertawa mendengarkan suara lucu dari adikku itu. 

“Memangnya, abang Rahmat izinin kamu?”

Aisyah sudah menikah setahun lalu. Dia dilamar oleh seniornya yang juga bersekolah di Kairo. Abi dan Ummi sangat setuju. Dia menginginkan Aisyah memiliki pendamping yang menemaninya bersekolah di luar negeri. 

“Insyallah.”

“Abang Rahmat baik, pasti izinin lah,” gumam Aisyah. Dia layar ponsel itu, ada wajah Rahmat yang sedang duduk di samping Aisyah. Rahmat adalah adik tingkatku dulu. Dia terpesona dengan Aisyah saat aku mengajaknya ke rumah. 

Rahmat diterima di salah satu kampus di Kairo. Karena ketertarikannya kepada Aisyah dan takut jika pada akhirnya rasa cinta itu melukainya. Dengan keberanian, dia datang ke rumah kami untuk mempersunting Aisyah. Putri kesayangan abi. 

Keluarga besar Abdillah tentu saja menerima Rahmat. Pernikahan dilaksanakan satu bulan sebelum mereka berangkat ke Kairo untuk melanjutkan kuliah. Aisyah melanjurkan kuliah di jenjang Magister sedangkan Rahmat menempuh jenjang dokter di sana. 

“Insyallah kami doakan dari sini bang Faizal,” ucap Rahmat yang menyapaku. 

“Insyallah, aamin. Jaga Aisyah di sana yah, apalagi dia kadang berubah jadi monster,” kekehku mengoda. Bibir Aisyah manyun, dia tampak cemberut. Namun dengan cepat Rahmat mengelus kepalanya dan membuatnya tersenyum. Kedua adikku itu memang sangat mahir menampilkan keromatisan mereka.

“Ya sudah, aku mau tidur dulu Aisyah,” ucapku. Aku mengakhiri telepon dengan salam. Ummi datang ke kamar. 

“Besok, jadi ikut ummi kan?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. 

“Ajak Alina, nggak masalah kan?” tanya ummi lagi. Dia menunggu persetujuanku. 

“Nggak masalah Ummi,” jawabku kemudian. Besok, aku akan menemui wanita itu, tentu saja aku penasaran dengannya. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status