Share

Chapter 8

Panti Asuhan Al-Jannah adalah panti asuhan yang didirikan oleh ibu Jubaidah. Salah satu sahabat abi waktu sekolah dulu. Maka dari itu lah, abi ingin membuat pesantren khusus. Abi sudah lama membahas hal ini. Abi selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. 

Pukul delapan pagi, Ummi sangat sibuk untuk menyiapkan beberapa makanan dan juga kue yang akan dibawah ke pesantren. 

“Nggak apa-apa toh sehari bersama Ummi di panti?” tanya Ummi, dia menatapku secara serius. 

“Nggak apa-apa Ummi, toh Faizal juga nggak ada kerjaan.”

Ummi tersenyum. Aku membantu Mang Asep untuk membawah beberapa perlengkapan Ummi ke dalam mobil. Abi yang akan menyetir mobil kali ini. 

“Tumben banget Faizal tertarik yah Mi ke panti,” kekeh Abi mulai mengodaku. Aku sangat jarang mengikuti mereka. 

“Hmm, lagi bosan di rumah,” gumamku. 

“Serius?” Ummi memandangiku secara lekat. “Iya Ummi, lagi pula program abi ini sangat baik. Insyallah Faizal akan membantu.” Saat aku mengatakan hal itu, abi cukup terkejut. 

“Nggak ada maksud lain kan yah?” Bola mata abi menyipit menatapku. Aku menggeleng dan tertawa. 

“Abi kayak curiga banget sama Faizal, sampai nanya kayak gitu,” kekehku. 

Perjalanan ke panti memakan waktu 30 menit. Sama seperti saat aku mengantar Bea pulang. Jaraknya tidak lah terlalu jauh. Saat sampai di panti, beberapa anak-anak panti sudah menyambut kami dengan baik. Ibu Jubaidah merasa terhormat karena abi dan aku datang. Biasanya ummi sih yang datang ke tempat ini. 

“Nak Faizal tumben ke sini,” sahut ibu Jubaidah saat aku turun dari mobil. Aku tersenyum ramah. Tidak lupa menyalami beliau. 

“Iya, lagi mau ikut sama abi dan ummi,” seruku. 

Kami masuk ke sebuah ruangan khusus di samping bangunan tua. Bangunan tua itu adalah milik salah satu rentenir dan abi sudah membelinya. Sekarang bangunan tua itu menjadi milik panti Al-Jannah. Sudah dua kali direnovasi dan keadaanya sudah jauh lebih baik. 

Ummi duduk berhadapan dengan ibu Jubaidah. Aku melirik ke kiri dan ke kanan. Berharap menemui gadis itu. Tapi anehnya, dia sama sekali tidak mencul. Bahkan aku tidak melihatnya sedang menyambutku di depan gerbang utama. Aneh sekali! Kemana si Bea Delima itu?

“Nak Faizal cari siapa?”

“Kok kelihatanya nggak tenang gitu,” ucap ibu Jubaidah sedikit mengagetkanku. Rupanya dia tahu gerak-gerikku. Aduh, jadi malu. Apa dia tahu jika aku sedang mencari si Bea Delima, gadis aneh yang akhir-akhir ini menganggu pikiranku. 

“Boleh keluar sebentar nggak? Aku lagi butuh udara segar,” seruku dengan cepat. Spontan abi dan ummi menatapku dengan ekspresi bingung. 

“Loh, kamu sakit toh?”

Aku menggeleng. 

“Nggak Mi, hanya nggak enak badan saja, entahlah mengapa. Sudah beberapa hari rasanya meriang,” jelasku. 

“Kalo sakit, sebaiknya tinggal di rumah saja toh,” jawab abi. 

Aku terdiam. 

“Keluarlah nak kalo mau jalan-jalan.” Ummi mengengam tanganku dengan lembut. Aku menganggukan kepala. 

“Ya Ummi.” Aku segera berdiri dan berjalan keluar. Panti Al-Jannah cukup luas dan fasilitasnya sangat memadai. Ada taman kecil yang tertata rapi. Ada beberapa bangunan yang baru saja abi rampungkan. Khusus untuk pengurus panti.  Aku tertarik berada di taman itu. 

“Pak Faizal ke sini?” Aku spontan menolah dan menatap si Bea Delima yang ku cari sejak tadi. Dia memakai jilbab putih panjang menutup dada. Baru kali ini aku memandanginya memakai jilbab. 

Aku cukup terpana. Tapi, aku tidak ingin dia besar kepala. Tentu saja, malas sekali membuatnya terlalu percaya diri. 

“Iya, lagi antar Abi dan Ummi. Kamu tinggal di sini?”

“Jadi, selama ini kamu tahu aku dong?” gerutunya. Bea menganggukan kepala. 

“Ya, aku tahu pak Faizal.”

“Pak Faizal aja yang nggak tahu aku,” kekehnya. Saat tersenyum, dia menutup mulutnya dengan pelan dan gigi gingsulnya yang manis masih saja terlihat. Dia cantik, menawan. 

“Astagfirullah Faizal!” hardikku kepada diri sendiri. 

“Mau ke pengajian?” tanyaku. Dia menatap dirinya sendiri. 

“Ini?” Ujung jilbabnya ditunjukan kepadaku. 

“Ya,” seruku. Dia seperti paham apa maksud dari percakapan kami. Dia menunduk. “Kata ibu Jubaidah, aku cantik memakai ini.”

“Aku nggak paham banyak hal masalah agama. Sejak kecil, orang tuaku bercerai. Mereka berpisah dan memilih tinggal dengan kehidupan mereka masing-masing.”

“Cantik nggak?” Dia dengan cepat menongakan wajahnya dan menatapku sambil tersenyum. Dia sangat mahir mengubah ekspresi wajahnya.  

“Cantik nggak?” ulangnya sambil mengangkat kedua alisnya dan memberikan kode. Aku hampir terpesona dengan gayanya yang lucu itu. 

“Nggak!” jawabku. Aku berbalik badan dan berjalan meninggalkannya. 

Aku kembali ke ruangan ibu Jubaidah. Sebelum masuk ke dalam gedung itu, aku menoleh ke belakang. Berharap dia mengejarku dan memaksaku mengatakan dia cantik. Tapi anehnya, dia malah menghilang persekian detik. Sungguh ajaib. 

“Loh, udah kembali?” tanya Ummi terheran. Aku tersenyum dan duduk di sampingnya. 

“Udah agak enakan Mi,” jawabku. Ibu Jubaidah tersenyum memandangiku. 

“Ketemu Bea yah?” sahutnya tanpa basa-basi. Aku tersenyum.

“Ya Bu, ada di taman. Rupanya dia mahasiswaku di kampus,” seruku kemudian. Ibu Jubaidah menghela napas panjang dan dia tidak mengatakan apapun lagi. 

***

Abi dan Ummi secara langsung membagikan beberapa kue untuk anak panti. Aku mencari Bea, ku harap dia muncul di aula ini. Rupanya dia sama sekali tidak terlihat lagi. Dasar anak aneh!

Aku berjalan mendekati Ummi. 

“Ummi kenal Bea tidak?”

“Anak panti yang ada di sini.”

“Bea?” ulang Ummi tidak mengerti. Saat aku berusaha mencari Bea, gadis aneh itu akhirnya muncul. Dia membawah beberapa minuman ke hadapan kami. Aku tersenyum memandanginya apalagi saat pandangan kami bertemu. Anehnya, dia segera menepis pandanganku dan wajahnya terlihat sangat dingin. 

Apa dia marah karena aku nggak bilang dia cantik? 

“Ini adalah Bea Delina, salah satu mahasiswa yang kuliah di Tunas Bangsa. Dia anaknya pintar. Kemarin, dia berhasil mendapatkan penghargaan atas karya tulisnya.”

“Bea sudah lama tinggal di sini, ini loh bu Sahara, gadis ini yang menolong anda saat itu.”

Ummi menatap Bea dengan ekspresi takjub. Sedangkan aku tidak mengerti dengan ucapan ibu Jubaidah. Menolong? Menolong apa?

Ummi segera memeluk Bea. Dia terlihat sayang dengan gadis itu. 

“Dia pernah menolong Ummi?” tanyaku. Ummi mengangguk. Tangannya mengengam tangan Bea dan gadis itu hanya menundukan wajahnya ke bawah dan dia tersipu malu. 

“Ummi pernah dijambret di jalan.”

“Bea menolong ummi, dia menghajar tukang jambret itu. Baik banget dirinya.” Bea tersenyum menatap Ummi. 

“Allah yang menolong ibu,” jawabnya dengan cepat. 

“Allah mengizinkan kamu menolong Ummi. Panggil Ummi saja,” sahut Ummi dengan cepat. Aku tersenyum menatap Bea namun dia terlihat tidak ingin menatapku. 

“Saya pamit izin ke dapur dulu,” ucapnya sopan. Bea berjalan di depanku dan dia sama sekali tidak ingin memandangiku walaupun beberapa detik. Aneh!

Setelah urusan di panti selesai, Abi berpamitan untuk pulang. Proyek pembangunan akan dilaksanakan bulan depan. Aku cukup senang karena abi mengajakku untuk terus mematau perkembangan proyek ini. Ya, setidaknya aku bisa melihat gadis aneh itu. 

Di dalam mobil, aku mengirimkan pesan kepadanya sambil tersenyum.

“Faizal!” ucap Ummi sedikit mengagetkanku. Dia menyentuh pundakku dari belakang. 

“Ke rumah Alina yuk!” bisiknya. Aku baru saja sadar, aku memiliki janji dengan gadis itu sore ini. Ya ampun, aku hampir saja lupa. 

“Ya Ummi.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status