Ummi sibuk menyiarkan berita mengenai acara lamaranku di grup keluarga. Semua keluarga sudah setuju dan memuji kehebatan Alina. Seorang dokter. Katanya, aku dan Alina adalah pasangan yang serasi. Kami memiliki kesamaan. Sama-sama berasal dari keluarga berpendidikan. Aku tidak tahu, mengapa mereka mematok hal itu.
“Mas?”
Alina menghubungiku. Aku sudah mengatakan kepadanya untuk tidak menghubungiku dulu selama acara ini belum selesai. Ya, untuk menjaga hatiku dengan hatinya.
“Ya?” Ummi memaksaku untuk mengangkat teleponnya.
“Mas Faizal, besok ada waktu?” tanyanya.
“Kemana?” tanyaku.
“Sebaiknya, jangan dulu deh kita pergi berduaan, nggak enak,” seruku dengan cepat. Wanita itu terdiam beberapa saat.
“Abi dan ummi juga sudah setuju, kalo kita menjaga jarak dulu. Lamaran akan dilaksanakan dua hari lagi dan pernikahan kita sesuai kesepakatan akan dilaksanakan bulan depan. Tanggalnya belum jelas. Aku maunya, kita nggak intens dulu berhubungan, gimana?” Aku harap dia setuju.
“Iya Mas,” serunya kemudian.
Aku tersenyum.
“Makasih yah,” ucapku.
Panggilan telepon terputus. Dia lalu mengirimkan pesan jika adiknya, Caca akan menemani kami. Jadi, aku dan dia tidak akan keluar bersama, berdua.
Aku duduk di ruang tamu, Ummi tiba-tiba berada di sampingku.
“Yang kemarin tuh, benar hanya mahasiswa biasa? Kok ada gosip kalo kamu pacarana sama dia? Ummi nggak pernah izinkan kamu pacaran yah Faizal. Mana umur udah tua,” protes ummi. Aku tertawa melihat wajah ummi yang tampak tegang.
“Astagfirullah ummi, siapa yang pacarana, itu nggak benar!”
“Serius?” Ummi menyipitkan mata memandangiku. Aku menganggukan kepala. “Ya, benar ummi!” jawabku. Aku menutup laptop dan segera ke kamar.
“Besok, kita langsung aja lamar Alina.”
“Pokoknya ummi mau gercap!” ucap Ummi sedikit kesal. Aku memahami perasaanya.
“Ya,” seruku. Ummi tersenyum bahagia.
Aku ke kampus dan gadis lucu itu sudah kembali ke kampus. Benar adanya, dia pulang dengan sendiri. Aku bahkan tidak tahu jika dia semandiri itu.
“Pak Faizal!” Dia sedikit berlari menghampiriku.
“Ada apa?” Wajahku dingin memandanginya.
“Terima kasih.”
“Tapi kamu buat saya malu, hapus status di instagrammu itu!” protesku. Dia mengigit bibir bawahnya kesal. “Kan saya nggak sengaja postnya.”
“Lagi pula, buat apa juga bapak bawah bunga untuk saya?”
“Saya bilang, saya tidak sengaja kasih kamu bunga, itu buat ummi saya!” balasku dengan cepat.
Aku pergi meninggalkannya. Aku menuju ruangan dosen. Dia terus berjalan di belakangku.
“Bapak suka sama saya kan? Jujur saja! Saya tahu, bapak pasti suka sama saya,” ucapnya tiba-tiba. Aku terus berjalan dan tidak menghiraukan ucapannya.
“Kalo bapak tidak suka, tidak mungkin bapak perhatian seperti itu sama saya.”
Aku menghentikan langkah dan spontan menatapnya.
“Jangan geer, lagi pula saya tidak suka wanita sepertimu. Memang pernah saya bilang kalo saya suka?”
“Kamu bukan tipikal saya, Bea. Bagaimana pun kamu berusaha menarik perhatian saya, saya tidak suka sama kamu!”
Dia terdiam.
“Saya sudah tidak ingin berurusan. Sebaiknya selesaikan nilaimu semester ini biar bisa ikut wisuda.”
Gadis itu menghela napas panjang. Aku menatapnya. Dia tidak berani memandangiku. Dengan cepat dia menundukan wajahnya.
“Ya sudah.” Dia menunduk dan segera pergi.
***
Lamaran dilaksanakan dengan cepat. Sesuai keinginan Ummi, lamaran akan dilaksanakan nanti malam. Benar-benar diluar dugaan. Di kampus, Ummi segera menghubungiku.
“Nanti malam?” tanyaku sedikit tidak terima.
“Ya, ada apa Faizal? Tidak masalah kan? Lagi pula, ummi Alyna sudah setuju dan Alina juga menginginkan hal itu.
Aku mengacak rambutku frustasi.
“Kamu nggak mau?” Suara ummi tiba-tiba sendu.
“Nggak, bukan begitu, ini terlalu cepat ummi. Lagi pula, bukankah kita harus nunggu beberapa keluarga dari Malang?” tanyaku beralasan.
“Semua tidak masalah Faizal kalo kita melamar Alina malam ini, abi sudah setuju. Kamu jangan banyak alasan.” Kini giliran abi yang berbicara.
Setelah berdiskusi panjang, aku menutup sambungan telepon. Abdullah yang terheran segera menghampiriku.
“Ada apa?” tanya Abdullah.
“Mau lamaran.”
“Loh, bukannya bagus, perjodohan lagi yah?” kekehnya. Aku mengangguk.
“Kali ini, wanitanya berbeda. Dia pilihan ummiku sendiri. Yah, aku nggak bisa menolak.” Aku menatap layar laptopku yang kosong.
“Tapi mukamu kok nggak semangat gitu, aneh aja sih.” Aku tidak menjawab.
“Gadis yang kemarin di rumah sakit, gimana?” tanyanya. Aku mengerutkan kening memandangi Abdullah.
“Yang mana?” tanyaku.
“Itu loh pak Faizal, mahasiswi itu,” kekehnya mengoda.
“Ya ampun, dia hanya gadis biasa. Aku kasihan sama dia.”
Aku merapikan meja kerjaku dan bersiap untuk pulang. Alina membatalkan pertemuan hari ini karena dia sibuk di rumah untuk menyiapkan pesta lamaran yang mendadak.
“Aku mau pulang dulu!”
Aku berjalan keluar dari ruang dosen dan segera menuju parkiran. Dia parkiran, gadis itu sudah berdiri di samping mobil. Saat aku melangkah, dia segera menatapku dan tersenyum.
“Kamu lagi, kamu lagi!”
“Pak, aku boleh nebeng nggak?”
“Nggak sopan!” ucapku. Aku membuka pintu mobil. “Serius nih, takut ada preman!” ucapnya beralasan.
Dia menatapku dengan serius.
“Nggak, pokoknya nggak bisa!” Aku membuka pintu mobil dan segera masuk. Bibirnya berkerucut kesal.
“Ya udah!” sahutnya lirih.
Mobil melaju. Namun melihat pelipisnya yang masih diperban, entah mengapa aku mendadak kasihan kepadanya.
“Rumahmu di mana?” Dengan cepat aku menurunkan kaca spion mobil. Aku memandanginya.
“Di panti Al-Jannah, bapak tahu?” Aku mencoba memikirkan dimana panti itu.
“Aljannah?” ulangku. Namanya tidak asing.
“Oke, masuklah!”
Dia segera masuk. Mobil melaju menuju panti Al-Jannah. Aku pernah sekali ke sini saat ummi memintaku membawah beberapa sumbangan. Rupanya gadis aneh dan ajaib ini tinggal di panti Al-Jannah, kok aku tidak pernah melihatnya yah?
Dua atau tiga kali aku pernah datang ke panti ini. Dan ummi cukup dikenal oleh ibu panti. Di depan gerbang, aku menghentikan laju mobilku.
“Sudah sampai!”
Dia membuka pintu dan tersenyum.
“Makasih Pak!” sahutnya lalu segera masuk ke dalam gerbang. Rambutnya yang terurai panjang tersibak karena angin yang cukup kencang.
“Nak Faizal?” suara itu mengagetkanku.
“Nggak ingat saya Nak?” Aku segera turun saat seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Dia tersenyum dengan sangat ramah. Ummi selalu datang di panti ini dan konon, saat aku ulang tahun, ummi selalu merayakannya di sini.
“Hmm…,” aku mencoba berpikir, siapa wanita itu.
“Saya Nak, ibu Jubaidah!” ucapnya memperkenalkan diri. Aku tersenyum sambil mencium pundak tangannya. Aku mengenal ibu Jubaidah. Lima tahun lalu, aku bertemu di rumah sakit saat aku demam.
“Ibu disini sama siapa?” tanyaku.
“Loh, kamu lupa yah, ibu yang punya panti ini,” kekehnya. Aku hampir lupa, ibu Jubaidah pemilik panti ini. Aku pernah bertemu sekali di sini. Ku pikir, dia sedang membawah bantuan. Rupanya dia pemilik panti ini. Jadi, dia pasti mengenal Bea.
“Ibu kenal gadis yang baru saja masuk ke dalam?” tanyaku. Ibu Jubaidah menganggukan kepala dengan cepat.
“Iya, kenal. Namanya Bea Aliqa Ayu.”
“Anaknya baik loh, mahasiswa Nak Faizal yah?” tebak ibu Jubaidah. Aku tersenyum tipis sambil menganggukan kepala.
“Ya,” sahutku. Ibu Jubaidah tersenyum.
“Ibu masuk dulu yah!” ucapnya meninggalkanku.
“Ya bu, hati-hati.”
Ku pandangi ibu Jubaidah hingga menghilang dari balik pintu. Rupanya, gadis itu tinggal di sini. Aneh saja, apa dia benar-benar tidak memiliki orang tua? Apa dia kesulitan membayar uang kuliahan sehingga cuti satu semester?
***
“Jadi, Bea tinggal di sini?” Pertanyaan itu selalu terbesit di pikiranku. Aku cukup terkejut mengetahui jika Bea adalah anak yatim piatu. Mengapa aku tidak pernah melihatnya di panti Jannah?Aku kembali ke rumah pukul empat sore. Setelah sholat Azhar, aku segera ke ruang kerja ummi. Di sana, dia memandangiku dengan sangat lama. Aku bingung harus memulai pembicaran dari mana. “Ummi kenal ibu Jubaidah?” Di depan pintu, aku menatap ummi yang sedang merajut. Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama ibu Jubaidah. “Kamu kenal dimana? Biasanya kalo dari panti, kamu yang paling cepat pulang,” kekehnya. Ummi meninggalkan bahan rajutannya. Dia berjalan mendekatiku. “Hmm … tadi ketemu … tadi lagi ngantar salah satu mahasiswa yang tinggal di sana,” ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ummi cukup terkejut. “Benarkah?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. “Namanya Bea, ummi kenal?” “Nggak tahu tuh, ummi nggak kenal anak-anak di sana. Tapi kebetulan abimu mau ke sana, lag
Panti Asuhan Al-Jannah adalah panti asuhan yang didirikan oleh ibu Jubaidah. Salah satu sahabat abi waktu sekolah dulu. Maka dari itu lah, abi ingin membuat pesantren khusus. Abi sudah lama membahas hal ini. Abi selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Pukul delapan pagi, Ummi sangat sibuk untuk menyiapkan beberapa makanan dan juga kue yang akan dibawah ke pesantren. “Nggak apa-apa toh sehari bersama Ummi di panti?” tanya Ummi, dia menatapku secara serius. “Nggak apa-apa Ummi, toh Faizal juga nggak ada kerjaan.”Ummi tersenyum. Aku membantu Mang Asep untuk membawah beberapa perlengkapan Ummi ke dalam mobil. Abi yang akan menyetir mobil kali ini. “Tumben banget Faizal tertarik yah Mi ke panti,” kekeh Abi mulai mengodaku. Aku sangat jarang mengikuti mereka. “Hmm, lagi bosan di rumah,” gumamku. “Serius?” Ummi memandangiku secara lekat. “Iya Ummi, lagi pula program abi ini sangat baik. Insyallah Faizal akan membantu.” Saat aku mengatakan hal itu, abi cukup terkejut.
Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. “Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. “Nggak tahu juga nih Sarah.”“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbar
Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini. “Serius?”“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.Abi dan ummi saling pandang. “Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian. “Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku. Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang ya
Pernikahan aku dan Alina semakin dekat, aku merasa ummi terlalu berlebihan kepadaku. Saat mengantar Alina ke rumah sakit, Ummi menghubungiku agar segera menghampirinya di rumah. Padahal sejujurnya aku ingin mencari Bea. Mengapa gadis itu di rumah sakit?“Faizal dimana?” sahut Ummi melalui sambungan telepon.“Lagi mau ke panti, Ummi. Katanya abi, Faizal harus survey lokasi. Ada teman abi yang datang untuk meninjau lahannya. Hafid nanti yang gambar desainnya. Tapi Faizal tetap bersamanya di sini,” jelasku kepada Ummi. “Faizal, apa nggak ke rumah dulu?”“Ada yang ummi mau ceritakan kepadamu,” ucapnya. Aku menghela napas panjang. Lokasi tempatku berada sudah sangat dekat dengan panti Al-Jannah. Kalo putar balik, akan sangat sulit. “Ummi, apa yang ummi mau ceritakan?” tanyaku. Ummi terdiam cukup lama. “Ummi?” ulangku. Aku memarkir mobil di pinggir jalan. Aku menunggu jawaban ummi saat ini. “Kamu serius mau menikah dengan Alina?” tanyanya lagi.“Ummi, kenapa sih Ummi tanya begitu terus?
Sesampai di rumah, beberapa keluarga jauh sudah berkumpul. Mereka memandangiku dengan ekspresi terheran. Tentu saja karena aku telat pulang. “Baru selesai ngajar yah?” tanya Tazia. Dia menatapku. Tazia adalah putri dari bibi Zulaikha. Dia adalah keponakan ummi. “Iya, baru datang yah?” tanyaku kepada wanita itu. Tazia memiliki umur yang setara dengan Aisyah. Dia adalah lulusan fakultas arsitektur.“Hmm, mas Faizal benaran sudah mau nikah?”“Nggak seperti biasanya, dulu mas Faizal akademisi banget,” kekehnya. Aku masuk ke dalam rumah dan rupanya saudara ummi sudah berkumpul di ruang keluarga. Hanya Tazia yang keluar saat mendengarkan suara mobilku di garasi. Dia memang sangat suka mengodaku.“Hmm, manusia bisa berubah dengan cepat,” ucapku. Gadis itu mengekor di belakangku. Aisyah dan Tazia memiliki karakter yang sama. Mereka suka mengangguku. Tazia sudah aku anggap sebagai adik sendiri. Dia sangat baik dan penyanyang. Di ruang keluarga, bibi Zulaikha malah mengodaku. Dia mengatakan
“Mencintai terlalu berlebihan kepada manusia malah bisa mematikan hati.”“Lima hari lagi?” Aku tidak bisa berpikir apapun saat abi mengatakan hal itu. Keluarga ku pun malah mendukung. Katanya tidak baik menunda. Apalagi Alina dan aku sudah cukup mengenal dengan baik. Aku menanyakan kepada ummi mengenai rencana ini. Apa sebegitu cepatnya? Aku belum siap sepenuhnya. Ummi mengatakan jika ini adalah permintaan bibi Ayna dan putrinya dan ummi setuju. Aku tidak bisa berkata apapun. Aku mencintai ummi dan tentu saja, aku tidak akan membatalkan pernikahan ini. Ummi akan kecewa dan ummi akan malu kepada bibi Ayna. Di dalam kamar, aku terus mengulangi kata lima hari lagi. Ya Allah, secepat ini? Pikirku. Mengetahui pernikahan akan dilaksanakan lima hari lagi, seluruh keluarga datang dan mereka bahagia. Seluruh perlengkapan gedung dipercepat. Undangan disebar dan abi bahkan mengambil cuti untuk terjun langsung mengurus pernikahanku. Aku libur dari kampus selama lima hari untuk mempersiapkan pe
“Bagaimana bisa aku melukaimu? Jika pada hakikatnya, melukai dirimu sama saja dengan melukai diriku sendiri?”“Faizal, sudah siap?” Abi berada di sampingku. Aku menganggukan kepala. “Insyallah, Bi!” “Ijab sudah bisa dimulai?” ucap sang penghulu. Aku menganggukan kepala. Aku menatap Ummi yang tersenyum ke arahku. Aku memegang tangan sang penghulu. “Bismillah.”“Tunggu!” suara itu menghentikan pergerakan kami. Aku menoleh ke belakang dan melihat Aisyah sedang berlari menuju ummi. Abi bingung.“Loh Aisyah, ada apa sih? Kok lari begini?” tegur Abi. Aisyah mengigit bibir bawahnya. Dia terlihat bingung seketika. “Itu Abi …,”“Ada apa sayang?” tanya ummi menghampiri Aisyah. Aku memandangi adikku itu. Ummi dan Aisyah berjalan menuju sebuah ruangan. Mereka sedang berbicara. Aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Terlihat sangat serius. Beberapa saat, abi berjalan menuju ummi. Wajahnya tampak gelisah seketika. Abi dan ummi berlari menuju ruangan Alina. “Permisi, apa bisa