Share

Chapter 6

Ummi sibuk menyiarkan berita mengenai acara lamaranku di grup keluarga. Semua keluarga sudah setuju dan memuji kehebatan Alina. Seorang dokter. Katanya, aku dan Alina adalah pasangan yang serasi. Kami memiliki kesamaan. Sama-sama berasal dari keluarga berpendidikan. Aku tidak tahu, mengapa mereka mematok hal itu. 

“Mas?” 

Alina menghubungiku. Aku sudah mengatakan kepadanya untuk tidak menghubungiku dulu selama acara ini belum selesai. Ya, untuk menjaga hatiku dengan hatinya. 

“Ya?” Ummi memaksaku untuk mengangkat teleponnya. 

“Mas Faizal, besok ada waktu?” tanyanya. 

“Kemana?” tanyaku. 

“Sebaiknya, jangan dulu deh kita pergi berduaan, nggak enak,” seruku dengan cepat. Wanita itu terdiam beberapa saat. 

“Abi dan ummi juga sudah setuju, kalo kita menjaga jarak dulu. Lamaran akan dilaksanakan dua hari lagi dan pernikahan kita sesuai kesepakatan akan dilaksanakan bulan depan. Tanggalnya belum jelas. Aku maunya, kita nggak intens dulu berhubungan, gimana?” Aku harap dia setuju. 

“Iya Mas,” serunya kemudian. 

Aku tersenyum. 

“Makasih yah,” ucapku. 

Panggilan telepon terputus. Dia lalu mengirimkan pesan jika adiknya, Caca akan menemani kami. Jadi, aku dan dia tidak akan keluar bersama, berdua. 

Aku duduk di ruang tamu, Ummi tiba-tiba berada di sampingku.

“Yang kemarin tuh, benar hanya mahasiswa biasa? Kok ada gosip kalo kamu pacarana sama dia? Ummi nggak pernah izinkan kamu pacaran yah Faizal. Mana umur udah tua,” protes ummi. Aku tertawa melihat wajah ummi yang tampak tegang. 

“Astagfirullah ummi, siapa yang pacarana, itu nggak benar!”

“Serius?” Ummi menyipitkan mata memandangiku. Aku menganggukan kepala. “Ya, benar ummi!” jawabku. Aku menutup laptop dan segera ke kamar. 

“Besok, kita langsung aja lamar Alina.”

“Pokoknya ummi mau gercap!” ucap Ummi sedikit kesal. Aku memahami perasaanya. 

“Ya,” seruku. Ummi tersenyum bahagia. 

Aku ke kampus dan gadis lucu itu sudah kembali ke kampus. Benar adanya, dia pulang dengan sendiri. Aku bahkan tidak tahu jika dia semandiri itu. 

“Pak Faizal!” Dia sedikit berlari menghampiriku. 

“Ada apa?” Wajahku dingin memandanginya. 

“Terima kasih.” 

“Tapi kamu buat saya malu, hapus status di instagrammu itu!” protesku. Dia mengigit bibir bawahnya kesal. “Kan saya nggak sengaja postnya.”

“Lagi pula, buat apa juga bapak bawah bunga untuk saya?”

“Saya bilang, saya tidak sengaja kasih kamu bunga, itu buat ummi saya!” balasku dengan cepat. 

Aku pergi meninggalkannya. Aku menuju ruangan dosen. Dia terus berjalan di belakangku. 

“Bapak suka sama saya kan? Jujur saja! Saya tahu, bapak pasti suka sama saya,” ucapnya tiba-tiba. Aku terus berjalan dan tidak menghiraukan ucapannya. 

“Kalo bapak tidak suka, tidak mungkin bapak perhatian seperti itu sama saya.”

Aku menghentikan langkah dan spontan menatapnya. 

“Jangan geer, lagi pula saya tidak suka wanita sepertimu. Memang pernah saya bilang kalo saya suka?” 

“Kamu bukan tipikal saya, Bea. Bagaimana pun kamu berusaha menarik perhatian saya, saya tidak suka sama kamu!”

Dia terdiam. 

“Saya sudah tidak ingin berurusan. Sebaiknya selesaikan nilaimu semester ini biar bisa ikut wisuda.”

Gadis itu menghela napas panjang. Aku menatapnya. Dia tidak berani memandangiku. Dengan cepat dia menundukan wajahnya.

“Ya sudah.” Dia menunduk dan segera pergi. 

***

Lamaran dilaksanakan dengan cepat. Sesuai keinginan Ummi, lamaran akan dilaksanakan nanti malam. Benar-benar diluar dugaan. Di kampus, Ummi segera menghubungiku. 

“Nanti malam?” tanyaku sedikit tidak terima. 

“Ya, ada apa Faizal? Tidak masalah kan? Lagi pula, ummi Alyna sudah setuju dan Alina juga menginginkan hal itu.

Aku mengacak rambutku frustasi. 

“Kamu nggak mau?” Suara ummi tiba-tiba sendu.

“Nggak, bukan begitu, ini terlalu cepat ummi. Lagi pula, bukankah kita harus nunggu beberapa keluarga dari Malang?” tanyaku beralasan. 

“Semua tidak masalah Faizal kalo kita melamar Alina malam ini, abi sudah setuju. Kamu jangan banyak alasan.” Kini giliran abi yang berbicara. 

Setelah berdiskusi panjang, aku menutup sambungan telepon. Abdullah yang terheran segera menghampiriku. 

“Ada apa?” tanya Abdullah. 

“Mau lamaran.”

“Loh, bukannya bagus, perjodohan lagi yah?” kekehnya. Aku mengangguk. 

“Kali ini, wanitanya berbeda. Dia pilihan ummiku sendiri. Yah, aku nggak bisa menolak.” Aku menatap layar laptopku yang kosong. 

“Tapi mukamu kok nggak semangat gitu, aneh aja sih.” Aku tidak menjawab. 

“Gadis yang kemarin di rumah sakit, gimana?” tanyanya. Aku mengerutkan kening memandangi Abdullah. 

“Yang mana?” tanyaku. 

“Itu loh pak Faizal, mahasiswi itu,” kekehnya mengoda. 

“Ya ampun, dia hanya gadis biasa. Aku kasihan sama dia.” 

Aku merapikan meja kerjaku dan bersiap untuk pulang. Alina membatalkan pertemuan hari ini karena dia sibuk di rumah untuk menyiapkan pesta lamaran yang mendadak. 

“Aku mau pulang dulu!”

Aku berjalan keluar dari ruang dosen dan segera menuju parkiran. Dia parkiran, gadis itu sudah berdiri di samping mobil. Saat aku melangkah, dia segera menatapku dan tersenyum. 

“Kamu lagi, kamu lagi!”

“Pak, aku boleh nebeng nggak?”

“Nggak sopan!” ucapku. Aku membuka pintu mobil. “Serius nih, takut ada preman!” ucapnya beralasan. 

Dia menatapku dengan serius. 

“Nggak, pokoknya nggak bisa!” Aku membuka pintu mobil dan segera masuk. Bibirnya berkerucut kesal. 

“Ya udah!” sahutnya lirih. 

Mobil melaju. Namun melihat pelipisnya yang masih diperban, entah mengapa aku mendadak kasihan kepadanya. 

“Rumahmu di mana?” Dengan cepat aku menurunkan kaca spion mobil. Aku memandanginya. 

“Di panti Al-Jannah, bapak tahu?” Aku mencoba memikirkan dimana panti itu. 

“Aljannah?” ulangku. Namanya tidak asing. 

“Oke, masuklah!”

Dia segera masuk. Mobil melaju menuju panti Al-Jannah. Aku pernah sekali ke sini saat ummi memintaku membawah beberapa sumbangan. Rupanya gadis aneh dan ajaib ini tinggal di panti Al-Jannah, kok aku tidak pernah melihatnya yah?

Dua atau tiga kali aku pernah datang ke panti ini. Dan ummi cukup dikenal oleh ibu panti. Di depan gerbang, aku menghentikan laju mobilku. 

“Sudah sampai!”

Dia membuka pintu dan tersenyum. 

“Makasih Pak!” sahutnya lalu segera masuk ke dalam gerbang. Rambutnya yang terurai panjang tersibak karena angin yang cukup kencang.

“Nak Faizal?” suara itu mengagetkanku. 

“Nggak ingat saya Nak?” Aku segera turun saat seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Dia tersenyum dengan sangat ramah. Ummi selalu datang di panti ini dan konon, saat aku ulang tahun, ummi selalu merayakannya di sini. 

“Hmm…,” aku mencoba berpikir, siapa wanita itu. 

“Saya Nak, ibu Jubaidah!” ucapnya memperkenalkan diri. Aku tersenyum sambil mencium pundak tangannya. Aku mengenal ibu Jubaidah. Lima tahun lalu, aku bertemu di rumah sakit saat aku demam. 

“Ibu disini sama siapa?” tanyaku. 

“Loh, kamu lupa yah, ibu yang punya panti ini,” kekehnya. Aku hampir lupa, ibu Jubaidah pemilik panti ini. Aku pernah bertemu sekali di sini. Ku pikir, dia sedang membawah bantuan. Rupanya dia pemilik panti ini. Jadi, dia pasti mengenal Bea. 

“Ibu kenal gadis yang baru saja masuk ke dalam?” tanyaku. Ibu Jubaidah menganggukan kepala dengan cepat. 

“Iya, kenal. Namanya Bea Aliqa Ayu.”

“Anaknya baik loh, mahasiswa Nak Faizal yah?” tebak ibu Jubaidah. Aku tersenyum tipis sambil menganggukan kepala. 

“Ya,” sahutku. Ibu Jubaidah tersenyum. 

“Ibu masuk dulu yah!” ucapnya meninggalkanku. 

“Ya bu, hati-hati.”

Ku pandangi ibu Jubaidah hingga menghilang dari balik pintu. Rupanya, gadis itu tinggal di sini. Aneh saja, apa dia benar-benar tidak memiliki orang tua? Apa dia kesulitan membayar uang kuliahan sehingga cuti satu semester? 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status