Share

Chapter 5

“Gimana, udah lihat Alina kan?”

“Cantik? Ummi lupa cerita, kalo wanita itu adalah seorang dokter. Lagi coas sih, sebentar lagi jadi dokter,” gumam ummi sambil memandangiku. Baru saja sampai dan makan malam bersama, Ummi segera bercerita tentang Alina.

“Faizal ketemu tadi, Mi.”

“Di rumah sakit.”

Bola mata ummi melebar. “Gimana? Cantik kan? Aku yakin, kamu pasti suka sama dia. Dia wanita baik,” sahut ummi antusias. Aku tidak bersuara, bingung juga soalnya wanita itu sama sekali tidak aku kenali.

“Ya, sudah, besok Faizal baru cerita lagi sama dia.” Aku beranjak dari meja makan saat semua sudah selesai. Ummi terlihat ragu.

“Tapi kamu suka sama dia kan? Ummi nggak maksa loh kalo kamu nggak suka, Faizal,” sambung ummi dengan cepat. Aku menghela napas panjang dan berbalik menatap ummi.

“Faizal suka kok ummi.”

“Tenang saja.”

Aku tersenyum memandangi bidadariku. Ummi tampak lega dengan jawabanku. Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan menuju kamar. Beberapa pesan masuk.

[Pak Faizal, aku takut.]

[Bapak kok pulang sih?]

[Tega benar, katanya nggak mau pulang. Lihat nih, ulah bapak makanya saya digebukin preman.]

[Ini Bea!]

Pesan dari Bea tertera jelas di layar ponselku.

[Kamu yang suruh saya pulang, kenapa sih?]

Aku membalas pesannya dengan cepat. Dia segera membaca pesanku.

[Habisnya, muka pak Faizal sedikit galak.]

[Memang yah, nggak ada manis-manisnya.]

Dia membalas. “Loh, kalo sedikit galak, buat apa Bea suka sama saya?” Aku membalas pesannya. Dia tidak membalas pesanku lagi.

Aku membersihkan tubuhku dan bersiap untuk beristirahat. Ponselku berdering.

[Saya minta maaf!]

Pesan dari Bea. Aku mencoba menghubungi gadis itu.

[Dompet bapak ketinggalan]

Aku segera mencari dompetku di atas meja. Benar adanya, tidak ada dompetku di sana.

“Ya ampun!” aku meratapi kecerobohanku kali ini.

“Ceroboh lagi!” gumamku.

[Besok bapak ke sini ambil dompetnya.]

Aku tidak membalas pesan gadis itu. Biarkan saja, biar supir yang menjemputnya.

Pagi hari, setelah sholat subuh, aku bersiap untuk ke kampus. Sebelumnya, aku sudah mengatakan kepada ummi untuk bertemu dengan Alina di restoran Jepang pukul satu siang. Restoran itu jaraknya tidak jauh dari rumah sakit dan tentu saja, tidak memberatkan Alina.

Di kampus, para mahasiswa heboh dengan kedatanganku. Mereka menatapku dan ada yang diam-diam tersenyum.

“Hari ini, kita kuis fismat yang kedua!” ucapku. Membuat mereka sontak panik.

Aku mulai membagikan soal yang akan mereka isi. “Pak Faizal, apa benar kalo bapak dan Bea udah jadian?”

Suara Reza terdengar dari belakang. Aku yang menatap layar laptopku memandanginya dengan terheran.

“Siapa yang bilang?”

“Itu loh pak, statusnya di I*******m.”

“Sini, mana saya lihat!” Reza berjalan ke arahku. Dia menunjukan ponselnya.

Sebuah foto tertulis nama Faizal dengan emoticon love. Tidak lupa bunga mawar merah yang terlihat jelas dipeluk oleh gadis itu. Benar-benar aneh! Besar kepala! Rambutnya yang bergerai panjang menambah kecantikannya yang memikat.

“Ada juga yang bilang, bapak sudah jadian sama Bea.”

“Makanya kemarin bapak samperin pacarnya.”

Ya ampun. Aku segera mengambil ponsel Reza dan menghampus gambar itu. “Ini tidak benar, kembali ke kursimu. Jangan bahas Bea lagi di kelas saya!” Mereka semua terdiam. Satu jam berada di ruangan kelas, tidak ada yang berani menyebut nama wanita itu.

Setelah memberikan kuis, aku bersiap ke restoran tempat ummi dan Alina akan bertemu. Di restoran mewah itu, Alina sudah lebih dahulu datang. Saat aku menghampirinya di meja, dengan cepat dia berdiri dan tersenyum hangat.

“Loh, Faizal lama banget sih.”

“Ummi dan Alina sampai kelaparan nih,” kekeh ummi. Dia menatapku dengan sangat bersemangat. Aku duduk di sampingnya. Berhadapan dengan Alina.

Kami mulai membahas jadwal lamaran yang sebenarnya. Apa yang diinginkan Alina dan beberapa pembahasan santai lainnya. Pipi wanita itu sesekali memerah saat aku memandanginya. Sangat cantik, sangat menawan.

“Ya sudah, kalo sepakat bulan depan. Ummi sangat setuju.”

Lamaran akan dilaksanakan bulan depan. Ummi akan memanggil beberapa keluarga untuk mengantarku ke rumah Alina.

“Udah mau pulang toh?” Saat aku mengambil jacket, ummi mengerutkan kening. Sudah pukul jam dua siang dan aku harus ke rumah sakit mengambil dompet lalu kembali ke kampus.

“Iya Mi, mau ke rumah sakit dulu, jenguk mahasiswa yang kemarin.”

“Mas Faizal mau ke sana? Kebetulan saya mau ke sana juga,” jawab Alina dengan cepat. Aku menganggukan kepala.

“Ya, kita bisa bersama.”

Kami berjalan berdua menuju mobil. Ummi semakin bersemangat. Bahkan diam-diam ummi mengambil foto Alina dan menyebarkannya di grup keluarga. Dia sangat memuji kecerdasan wanita itu. Alina adalah standart menantu yang sangat disukainya.

Di dalam mobil, aku menatap Alina dengan sangat lama. Entah mengapa, bersamanya rasanya biasa saja. Atau aku belum terbiasa? Bahkan melihat wajahnya, aku tidak merasakan degub jantung yang berdetak. Semuanya seperti biasa saja.

“Mas Faizal, udah lama ngajar?” tanyanya tiba-tiba.

“Ya,” jawabku sambil fokus menyetir.

“Makasih yah mas sudah mau pilih saya. Ummi Aliyna sangat bersemangat. Beliau sangat menyukai mas Faizal jadi menantunya.” Alina tersenyum. Saat tersenyun, wanita itu menutup mulutnya dengan lembut, manis sekali.

“Ya,” jawabku.

Sesampai di rumah sakit, aku berjalan menuju ruangan Bea. Wanita itu benar-benar membuatnya kesal. Tadi pagi, aku memerintahkan pak Damar untuk mengambil dompetku yang ketinggalan. Katanya, gadis itu tidak mau. Aku harus pergi dan bertemu dengannya agar dompetku kembali.

Alina terus mengikutiku dari belakang.

“Mahasiswinya yang kena pukulan jambret kemarin yah?” tanyanya.

“Iya, dia terluka di pelipis dan kaki.” Aku menjelaskan. Sesampai di ruangan Bea, kami segera masuk. Bea tersenyum hangat menyambutku. Namun saat Alina berdiri di sisiku, bibirnya berkerucut. Lucu sekali. Dia membuang pandangan. Tiba-tiba wajahnya terlihat judes. Dia sangat mahir mengubah ekspresi wajahnya.

“Dompetnya di sini.”

Dia menunjuk meja yang ada di samping tempat tidurnya. Alina terus memperhatikan wajah wanita itu.

“Lain kali, bapak nggak usah kasih bunga.”

“Nggak usah ninggalin dompet juga.”

“Kalo saya tidak lihat, bapak sendiri yang repot kan?” gerutunya. Wajahnya masih saja sama, dia tidak ingin memandangiku namun bibirnya terus mengomel. Aku tahu, dia pasti cemburu saat ini.

“Ya sudah.”

“Saya pulang dulu. Nanti beberapa temanmu akan datang ke sini, biar ada yang temani kamu.”

“Nggak usah, nanti saya pulang kok dari rumah sakit. Nggak usah repot!” suaranya sangat judes. Bahkan menatapku pun, dia tidak mau. Lucu sekali.

Alina memandangiku.

“Dia mahasiswanya?” Alina menunjuk Bea. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum.

“Ya," jawabku.. Alina tidak mengatakan apapun.

“Mas Faizal, saya pergi dulu.”

Alina dengan cepat pergi dari ruangan itu. Langkah kakinya tampak terburuh-buruh. Saat Alina pergi, gadis itu menatapku. Pandangannya terlihat tajam.

“Pacarnya yah?”

“Serasi!”

“Katanya nggak mau pacaran, anak ustad!”

“Bukan, dia bukan pacar saya?” jawabku sambil mengambil dompet cokelat yang ketinggalan.

“Saya pergi dulu!”

Aku segera pergi meninggalkannya setelah aku mendapatkan dompetku kembali. Saat membuka isinya, ku pikir uangnya tidak akan ada. Aku tidak menuduhnya mencuri, hanya memeriksa saja kartu yang tertera. Rupanya ada sebuah kertas berukuran 3x4 dengan gambar love dan bekas ciuman.

“Pasti ulah gadis itu!” gumamku. Anehnya, aku malah tersenyum. Dia lucu!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status