“Gimana, udah lihat Alina kan?”
“Cantik? Ummi lupa cerita, kalo wanita itu adalah seorang dokter. Lagi coas sih, sebentar lagi jadi dokter,” gumam ummi sambil memandangiku. Baru saja sampai dan makan malam bersama, Ummi segera bercerita tentang Alina.
“Faizal ketemu tadi, Mi.”
“Di rumah sakit.”
Bola mata ummi melebar. “Gimana? Cantik kan? Aku yakin, kamu pasti suka sama dia. Dia wanita baik,” sahut ummi antusias. Aku tidak bersuara, bingung juga soalnya wanita itu sama sekali tidak aku kenali.
“Ya, sudah, besok Faizal baru cerita lagi sama dia.” Aku beranjak dari meja makan saat semua sudah selesai. Ummi terlihat ragu.
“Tapi kamu suka sama dia kan? Ummi nggak maksa loh kalo kamu nggak suka, Faizal,” sambung ummi dengan cepat. Aku menghela napas panjang dan berbalik menatap ummi.
“Faizal suka kok ummi.”
“Tenang saja.”
Aku tersenyum memandangi bidadariku. Ummi tampak lega dengan jawabanku. Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan menuju kamar. Beberapa pesan masuk.
[Pak Faizal, aku takut.]
[Bapak kok pulang sih?]
[Tega benar, katanya nggak mau pulang. Lihat nih, ulah bapak makanya saya digebukin preman.]
[Ini Bea!]
Pesan dari Bea tertera jelas di layar ponselku.
[Kamu yang suruh saya pulang, kenapa sih?]
Aku membalas pesannya dengan cepat. Dia segera membaca pesanku.
[Habisnya, muka pak Faizal sedikit galak.]
[Memang yah, nggak ada manis-manisnya.]
Dia membalas. “Loh, kalo sedikit galak, buat apa Bea suka sama saya?” Aku membalas pesannya. Dia tidak membalas pesanku lagi.
Aku membersihkan tubuhku dan bersiap untuk beristirahat. Ponselku berdering.
[Saya minta maaf!]
Pesan dari Bea. Aku mencoba menghubungi gadis itu.
[Dompet bapak ketinggalan]
Aku segera mencari dompetku di atas meja. Benar adanya, tidak ada dompetku di sana.
“Ya ampun!” aku meratapi kecerobohanku kali ini.
“Ceroboh lagi!” gumamku.
[Besok bapak ke sini ambil dompetnya.]
Aku tidak membalas pesan gadis itu. Biarkan saja, biar supir yang menjemputnya.
Pagi hari, setelah sholat subuh, aku bersiap untuk ke kampus. Sebelumnya, aku sudah mengatakan kepada ummi untuk bertemu dengan Alina di restoran Jepang pukul satu siang. Restoran itu jaraknya tidak jauh dari rumah sakit dan tentu saja, tidak memberatkan Alina.
Di kampus, para mahasiswa heboh dengan kedatanganku. Mereka menatapku dan ada yang diam-diam tersenyum.
“Hari ini, kita kuis fismat yang kedua!” ucapku. Membuat mereka sontak panik.
Aku mulai membagikan soal yang akan mereka isi. “Pak Faizal, apa benar kalo bapak dan Bea udah jadian?”
Suara Reza terdengar dari belakang. Aku yang menatap layar laptopku memandanginya dengan terheran.
“Siapa yang bilang?”
“Itu loh pak, statusnya di I*******m.”
“Sini, mana saya lihat!” Reza berjalan ke arahku. Dia menunjukan ponselnya.
Sebuah foto tertulis nama Faizal dengan emoticon love. Tidak lupa bunga mawar merah yang terlihat jelas dipeluk oleh gadis itu. Benar-benar aneh! Besar kepala! Rambutnya yang bergerai panjang menambah kecantikannya yang memikat.
“Ada juga yang bilang, bapak sudah jadian sama Bea.”
“Makanya kemarin bapak samperin pacarnya.”
Ya ampun. Aku segera mengambil ponsel Reza dan menghampus gambar itu. “Ini tidak benar, kembali ke kursimu. Jangan bahas Bea lagi di kelas saya!” Mereka semua terdiam. Satu jam berada di ruangan kelas, tidak ada yang berani menyebut nama wanita itu.
Setelah memberikan kuis, aku bersiap ke restoran tempat ummi dan Alina akan bertemu. Di restoran mewah itu, Alina sudah lebih dahulu datang. Saat aku menghampirinya di meja, dengan cepat dia berdiri dan tersenyum hangat.
“Loh, Faizal lama banget sih.”
“Ummi dan Alina sampai kelaparan nih,” kekeh ummi. Dia menatapku dengan sangat bersemangat. Aku duduk di sampingnya. Berhadapan dengan Alina.
Kami mulai membahas jadwal lamaran yang sebenarnya. Apa yang diinginkan Alina dan beberapa pembahasan santai lainnya. Pipi wanita itu sesekali memerah saat aku memandanginya. Sangat cantik, sangat menawan.
“Ya sudah, kalo sepakat bulan depan. Ummi sangat setuju.”
Lamaran akan dilaksanakan bulan depan. Ummi akan memanggil beberapa keluarga untuk mengantarku ke rumah Alina.
“Udah mau pulang toh?” Saat aku mengambil jacket, ummi mengerutkan kening. Sudah pukul jam dua siang dan aku harus ke rumah sakit mengambil dompet lalu kembali ke kampus.
“Iya Mi, mau ke rumah sakit dulu, jenguk mahasiswa yang kemarin.”
“Mas Faizal mau ke sana? Kebetulan saya mau ke sana juga,” jawab Alina dengan cepat. Aku menganggukan kepala.
“Ya, kita bisa bersama.”
Kami berjalan berdua menuju mobil. Ummi semakin bersemangat. Bahkan diam-diam ummi mengambil foto Alina dan menyebarkannya di grup keluarga. Dia sangat memuji kecerdasan wanita itu. Alina adalah standart menantu yang sangat disukainya.
Di dalam mobil, aku menatap Alina dengan sangat lama. Entah mengapa, bersamanya rasanya biasa saja. Atau aku belum terbiasa? Bahkan melihat wajahnya, aku tidak merasakan degub jantung yang berdetak. Semuanya seperti biasa saja.
“Mas Faizal, udah lama ngajar?” tanyanya tiba-tiba.
“Ya,” jawabku sambil fokus menyetir.
“Makasih yah mas sudah mau pilih saya. Ummi Aliyna sangat bersemangat. Beliau sangat menyukai mas Faizal jadi menantunya.” Alina tersenyum. Saat tersenyun, wanita itu menutup mulutnya dengan lembut, manis sekali.
“Ya,” jawabku.
Sesampai di rumah sakit, aku berjalan menuju ruangan Bea. Wanita itu benar-benar membuatnya kesal. Tadi pagi, aku memerintahkan pak Damar untuk mengambil dompetku yang ketinggalan. Katanya, gadis itu tidak mau. Aku harus pergi dan bertemu dengannya agar dompetku kembali.
Alina terus mengikutiku dari belakang.
“Mahasiswinya yang kena pukulan jambret kemarin yah?” tanyanya.
“Iya, dia terluka di pelipis dan kaki.” Aku menjelaskan. Sesampai di ruangan Bea, kami segera masuk. Bea tersenyum hangat menyambutku. Namun saat Alina berdiri di sisiku, bibirnya berkerucut. Lucu sekali. Dia membuang pandangan. Tiba-tiba wajahnya terlihat judes. Dia sangat mahir mengubah ekspresi wajahnya.
“Dompetnya di sini.”
Dia menunjuk meja yang ada di samping tempat tidurnya. Alina terus memperhatikan wajah wanita itu.
“Lain kali, bapak nggak usah kasih bunga.”
“Nggak usah ninggalin dompet juga.”
“Kalo saya tidak lihat, bapak sendiri yang repot kan?” gerutunya. Wajahnya masih saja sama, dia tidak ingin memandangiku namun bibirnya terus mengomel. Aku tahu, dia pasti cemburu saat ini.
“Ya sudah.”
“Saya pulang dulu. Nanti beberapa temanmu akan datang ke sini, biar ada yang temani kamu.”
“Nggak usah, nanti saya pulang kok dari rumah sakit. Nggak usah repot!” suaranya sangat judes. Bahkan menatapku pun, dia tidak mau. Lucu sekali.
Alina memandangiku.
“Dia mahasiswanya?” Alina menunjuk Bea. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum.
“Ya," jawabku.. Alina tidak mengatakan apapun.
“Mas Faizal, saya pergi dulu.”
Alina dengan cepat pergi dari ruangan itu. Langkah kakinya tampak terburuh-buruh. Saat Alina pergi, gadis itu menatapku. Pandangannya terlihat tajam.
“Pacarnya yah?”
“Serasi!”
“Katanya nggak mau pacaran, anak ustad!”
“Bukan, dia bukan pacar saya?” jawabku sambil mengambil dompet cokelat yang ketinggalan.
“Saya pergi dulu!”
Aku segera pergi meninggalkannya setelah aku mendapatkan dompetku kembali. Saat membuka isinya, ku pikir uangnya tidak akan ada. Aku tidak menuduhnya mencuri, hanya memeriksa saja kartu yang tertera. Rupanya ada sebuah kertas berukuran 3x4 dengan gambar love dan bekas ciuman.
“Pasti ulah gadis itu!” gumamku. Anehnya, aku malah tersenyum. Dia lucu!
***
Ummi sibuk menyiarkan berita mengenai acara lamaranku di grup keluarga. Semua keluarga sudah setuju dan memuji kehebatan Alina. Seorang dokter. Katanya, aku dan Alina adalah pasangan yang serasi. Kami memiliki kesamaan. Sama-sama berasal dari keluarga berpendidikan. Aku tidak tahu, mengapa mereka mematok hal itu. “Mas?” Alina menghubungiku. Aku sudah mengatakan kepadanya untuk tidak menghubungiku dulu selama acara ini belum selesai. Ya, untuk menjaga hatiku dengan hatinya. “Ya?” Ummi memaksaku untuk mengangkat teleponnya. “Mas Faizal, besok ada waktu?” tanyanya. “Kemana?” tanyaku. “Sebaiknya, jangan dulu deh kita pergi berduaan, nggak enak,” seruku dengan cepat. Wanita itu terdiam beberapa saat. “Abi dan ummi juga sudah setuju, kalo kita menjaga jarak dulu. Lamaran akan dilaksanakan dua hari lagi dan pernikahan kita sesuai kesepakatan akan dilaksanakan bulan depan. Tanggalnya belum jelas. Aku maunya, kita nggak intens dulu berhubungan, gimana?” Aku harap dia setuju. “Iya Mas,”
“Jadi, Bea tinggal di sini?” Pertanyaan itu selalu terbesit di pikiranku. Aku cukup terkejut mengetahui jika Bea adalah anak yatim piatu. Mengapa aku tidak pernah melihatnya di panti Jannah?Aku kembali ke rumah pukul empat sore. Setelah sholat Azhar, aku segera ke ruang kerja ummi. Di sana, dia memandangiku dengan sangat lama. Aku bingung harus memulai pembicaran dari mana. “Ummi kenal ibu Jubaidah?” Di depan pintu, aku menatap ummi yang sedang merajut. Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama ibu Jubaidah. “Kamu kenal dimana? Biasanya kalo dari panti, kamu yang paling cepat pulang,” kekehnya. Ummi meninggalkan bahan rajutannya. Dia berjalan mendekatiku. “Hmm … tadi ketemu … tadi lagi ngantar salah satu mahasiswa yang tinggal di sana,” ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ummi cukup terkejut. “Benarkah?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. “Namanya Bea, ummi kenal?” “Nggak tahu tuh, ummi nggak kenal anak-anak di sana. Tapi kebetulan abimu mau ke sana, lag
Panti Asuhan Al-Jannah adalah panti asuhan yang didirikan oleh ibu Jubaidah. Salah satu sahabat abi waktu sekolah dulu. Maka dari itu lah, abi ingin membuat pesantren khusus. Abi sudah lama membahas hal ini. Abi selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Pukul delapan pagi, Ummi sangat sibuk untuk menyiapkan beberapa makanan dan juga kue yang akan dibawah ke pesantren. “Nggak apa-apa toh sehari bersama Ummi di panti?” tanya Ummi, dia menatapku secara serius. “Nggak apa-apa Ummi, toh Faizal juga nggak ada kerjaan.”Ummi tersenyum. Aku membantu Mang Asep untuk membawah beberapa perlengkapan Ummi ke dalam mobil. Abi yang akan menyetir mobil kali ini. “Tumben banget Faizal tertarik yah Mi ke panti,” kekeh Abi mulai mengodaku. Aku sangat jarang mengikuti mereka. “Hmm, lagi bosan di rumah,” gumamku. “Serius?” Ummi memandangiku secara lekat. “Iya Ummi, lagi pula program abi ini sangat baik. Insyallah Faizal akan membantu.” Saat aku mengatakan hal itu, abi cukup terkejut.
Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. “Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. “Nggak tahu juga nih Sarah.”“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbar
Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini. “Serius?”“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.Abi dan ummi saling pandang. “Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian. “Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku. Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang ya
Pernikahan aku dan Alina semakin dekat, aku merasa ummi terlalu berlebihan kepadaku. Saat mengantar Alina ke rumah sakit, Ummi menghubungiku agar segera menghampirinya di rumah. Padahal sejujurnya aku ingin mencari Bea. Mengapa gadis itu di rumah sakit?“Faizal dimana?” sahut Ummi melalui sambungan telepon.“Lagi mau ke panti, Ummi. Katanya abi, Faizal harus survey lokasi. Ada teman abi yang datang untuk meninjau lahannya. Hafid nanti yang gambar desainnya. Tapi Faizal tetap bersamanya di sini,” jelasku kepada Ummi. “Faizal, apa nggak ke rumah dulu?”“Ada yang ummi mau ceritakan kepadamu,” ucapnya. Aku menghela napas panjang. Lokasi tempatku berada sudah sangat dekat dengan panti Al-Jannah. Kalo putar balik, akan sangat sulit. “Ummi, apa yang ummi mau ceritakan?” tanyaku. Ummi terdiam cukup lama. “Ummi?” ulangku. Aku memarkir mobil di pinggir jalan. Aku menunggu jawaban ummi saat ini. “Kamu serius mau menikah dengan Alina?” tanyanya lagi.“Ummi, kenapa sih Ummi tanya begitu terus?
Sesampai di rumah, beberapa keluarga jauh sudah berkumpul. Mereka memandangiku dengan ekspresi terheran. Tentu saja karena aku telat pulang. “Baru selesai ngajar yah?” tanya Tazia. Dia menatapku. Tazia adalah putri dari bibi Zulaikha. Dia adalah keponakan ummi. “Iya, baru datang yah?” tanyaku kepada wanita itu. Tazia memiliki umur yang setara dengan Aisyah. Dia adalah lulusan fakultas arsitektur.“Hmm, mas Faizal benaran sudah mau nikah?”“Nggak seperti biasanya, dulu mas Faizal akademisi banget,” kekehnya. Aku masuk ke dalam rumah dan rupanya saudara ummi sudah berkumpul di ruang keluarga. Hanya Tazia yang keluar saat mendengarkan suara mobilku di garasi. Dia memang sangat suka mengodaku.“Hmm, manusia bisa berubah dengan cepat,” ucapku. Gadis itu mengekor di belakangku. Aisyah dan Tazia memiliki karakter yang sama. Mereka suka mengangguku. Tazia sudah aku anggap sebagai adik sendiri. Dia sangat baik dan penyanyang. Di ruang keluarga, bibi Zulaikha malah mengodaku. Dia mengatakan
“Mencintai terlalu berlebihan kepada manusia malah bisa mematikan hati.”“Lima hari lagi?” Aku tidak bisa berpikir apapun saat abi mengatakan hal itu. Keluarga ku pun malah mendukung. Katanya tidak baik menunda. Apalagi Alina dan aku sudah cukup mengenal dengan baik. Aku menanyakan kepada ummi mengenai rencana ini. Apa sebegitu cepatnya? Aku belum siap sepenuhnya. Ummi mengatakan jika ini adalah permintaan bibi Ayna dan putrinya dan ummi setuju. Aku tidak bisa berkata apapun. Aku mencintai ummi dan tentu saja, aku tidak akan membatalkan pernikahan ini. Ummi akan kecewa dan ummi akan malu kepada bibi Ayna. Di dalam kamar, aku terus mengulangi kata lima hari lagi. Ya Allah, secepat ini? Pikirku. Mengetahui pernikahan akan dilaksanakan lima hari lagi, seluruh keluarga datang dan mereka bahagia. Seluruh perlengkapan gedung dipercepat. Undangan disebar dan abi bahkan mengambil cuti untuk terjun langsung mengurus pernikahanku. Aku libur dari kampus selama lima hari untuk mempersiapkan pe