Aku sama sekali tidak tenang. Entah mengapa, wanita itu menyita perhatianku. Aku segera menghubungi Reza, salah satu mahasiswaku yang ku yakini, dia pasti tahu masalah ini.
“Ya pak?” Dia dengan cepat mengangkat telepon dariku.
“Yang kena jambret siapa?” tanyaku dengan cepat.
“Oh, si Bea pak, kemarin dia yang kena jambret. Luka di pelipis, sempat jatuh, kasihan banget.”
“Dia tuh kasihan banget sih pak. Harus nunggu jemputan dari adiknya baru bisa pulang,” sambung Reza lagi.
Aku menghela napas panjang.
“Oke, saya ke sana.”
Dengan cepat aku mengambil jacket lalu segera keluar dari dalam kamar. Ummi menatapku dengan bingung. “Faizal, mau kemana?”
“Ini udah jam delapan loh, nggak seperti biasanya,” tanya ummi terheran. Aku memang sangat jarang keluar rumah. Aku tidak terlalu suka.
“Besok, kamu dan Alina harus bertemu lagi. Mau bahas sesuatu.” Ummi tersenyum saat menyebut nama Alina. Dia menatapku seakan menunggu jawaban. Ummi sangat menyukai Alina. Bahkan dia sangat bersemangat untuk pertemuan kami yang kedua kalinya.
“Gimana?” tanya ummi lagi.
“Besok yah, iya, Faizal mau, Ummi.”
“Hari ini, Faizal mau keluar dulu, ada mahasiswi yang kena jambret, dia masuk ke rumah sakit. Faizal mau lihat.”
Ummi Sahara menganggukan kepala. “Astagfirullah, kasihan banget nak. Hati-hati yah.” Setelah mencium punggung tangannya. Aku dengan cepat mengambil kunci mobil. Di dalam mobil, aku dengan cepat menghubungi Bea. Reza mengirimkan nomor telepon gadis itu.
[Bea?]
[Assalamualaikum, Siapa nihh?]
[Walaikumsalam. saya Faizal, dosen kamu, kamu kena jambret yah? Saya ke sana sekarang.]
[Nggak usah pak!]
[Saya sudah di jalan!]
Aku mengetik pesan itu dengan cepat. Dia tidak membalas pesanku. Aku terheran.
[Bea?] aku mencoba mengirimkan pesan sekali lagi.
[Kamu marah yah kemarin karena aku menolak kamu? Aku sebenarnya mau …,]
Tidak, tidak, nanti gadis itu malah besar kepala. Malas banget. Dengan cepat aku menghapus pesanku lagi.
[Maaf pak, infus saya tadi lepas.]
[Kamu memangnya lagi ngapain sampai infusnya lepas]” balasku. Aku tersenyum. Ku pikir dia tidak akan membalasnya. Aku menunggu jawabannya, dia sedang mengetik. Syukurlah gadis ini bisa diajak ngobrol.
[Lagi BAB pak.]
[Ya udah BAB dulu, nanti balas chat saya!]
Aku menyimpan ponselku di atas dahsbord mobil lalu melajukan kendaraan itu menuju rumah sakit Medika. Reza mengirimkan alamat rumah sakit tempat Bea di rawat. Mahasiswaku itu memang paling bisa diandalkan.
Sesampai di rumah sakit, aku dengan cepat mencari ruang dimana Bea di rawat. Beberapa mahasiswa yang dirawat tampak sedang berada di depan sana. Aku menghampiri mereka.
“Bea dimana?”
“Di dalam pak.” Saat melihat wajahku, mereka terlihat tegang. Aku masuk ke ruangan itu. Bea menatapku. Dia tersenyum lalu mengalihkan pandangan ke arah seorang perempuan paruh baya.
Wanita itu menatapku lalu segera keluar.
“Makanya, nggak usah sok jago!” ucapnya sebelum meninggalkan Bea. Aku yang berada di depan pintu hanya bisa menatap mereka.
“Pak Faizal, nggak usah datang deh.”
“Aku kan nggak mau dijenguk sama dosen, lebay banget!” keluhnya. Aku berjalan menghampirinya.
“Saya dosen kamu, lagi pula, ini hal yang biasa saja kalo saya jenguk kamu.” Aku segera duduk di sisi tempat tidur. Dia melipat tangannya. Bekas darah di bagian pelipis dan bajunya masih terlihat jelas.
“Kamu ngapain berantem sama jambret di kampus?” tanyaku. Aku mulai menginterogasinya.
“Mereka mau merebut ponselku, ya aku nggak kasih lah. Lagi pula, aku nggak punya ponsel lagi,” keluhnya. Bibirnya manyun namun entah mengapa, wajahnya terlihat tambah cantik. Astagfirullah, tidak, tidak Faizal. Apa yang kamu pikirkan?
“Ya sudah, tadi itu siapa?”
“Ibuku!” jawabnya dengan cepat. Wajahnya tampak tidak suka saat dia menyebut nama ibunya.
“Bukannya kamu mahir taekwondo yah?”
“Iya, kalo mereka nggak bawah golok!”
Aku mengusap wajahku. Ada rasa menyesal di dalam hati. Andai saja kemarin aku menawari tumpangan, mungkin gadis ini nggak akan terluka. Kepalanya di perban, bahkan di bagian pipi sedikit memar. Kasihan sekali.
Aku perlahan beranjak dari tempat dudukku.
“Ibumu kemana?”
“Saya mau bertemu,” tanyaku.
“Nggak usah deh pak, mendingan pak Faizal pulang deh!” gerutunya kesal. Dia tidak menatapku. Wajahnya terlihat tidak nyaman.
“Kemarin kamu cuti untuk ke Singapura, ngapain?” Aku mulai menginterogasinya. Dia tidak ingin menatapku.
“Apa ada masalah dengan hidupmu? Ceritakan, awalnya nilaimu sangat bagus. Tapi akhir-akhir ini, kata beberapa dosen, sangat menurun. Apa saya perlu membantu kamu?”
Dia tidak menjawab. Bibirnya semakin maju ke depan namun entah mengapa wajahnya semakin lucu.
“Saya dosen baru, saya tidak kenal kamu dengan baik. Kemarin kamu salah. Saya tidak suka seperti itu,” jawabku lagi. Dia terdiam. Dari banyaknya mahasiswa yang sering mengangguku. Hanya Bea yang begitu terang-terangan.
“Bea?” aku memanggilnya dengan sangat lembut.
“Bapak mendingan pergi dah!” protesnya.
“Ya, saya pergi.”
Aku berjalan keluar dari ruangan itu. Reza sudah sampai. Aku mengatakan kepadanya untuk menyusulku ke rumah sakit.
“Oh, yah pak, apa biaya rumah sakitnya sudah diurus? Bea tuh tinggal di panti. Takutnya pihak panti belum datang. Lagi pula, ibunya sudah pulang.” Reza menjelaskan.
Aku segera berjalan ke bagian administrasi bersamanya.
“Nanti saya yang urus Rez. Kamu ajak teman-temanmu pulang. Hari sudah malam.”
“Biar saya di sini. Saya akan mengawasinya dari jauh.” Reza menganggukan kepala.
“Iya pak.” Dia segera pergi. Aku menyerahkan beberapa kartu identitas di loket pendaftaran. Petugas rumah sakit sedang mendaftarkan nama Bea. Aku menunggunya beberapa menit.
“Mas Faizal?” Aku spontan membalikan badan saat suara itu memanggilku. Aku menoleh. Ada Alina di ujung sana. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Mas Faizal di sini lagi ngapain?” tanyanya. Aku menghela napas panjang.
“Itu loh, ada mahasiswa yang terluka. Lagi jenguk mahasiswinya. Aku sekalian urus administrasinya juga.”
Aku memandangi wajah wanita itu. Alina memakai setelan jas dokter. Apa dia seorang dokter? Ummi bahkan tidak menyebut profesinya. Lagi pula, Alina memperkenalkan diri sebagai mahasiswa yang baru saja lulus. Apa dia lulusan kedokteran?
“Oh gitu.”
“Aku ke sana dulu mas Faizal, nanti aku ke sini lagi.” Aku menganggukan kepala. Ku pandangi dia hingga menghilang di ujung lorong rumah sakit. Aku akan bertanya kepada ummi tentang Alina besok.
Setelah menyelesaikan administrasi Bea, aku kembali ke ruangan gadis itu.
“Bea.” Saat aku memanggilnya, dia sedang makan popmie, bahkan ada dua gelas.
“Kok makan popmie sih?” tanyaku. Aku duduk sambil membersihkan gelas pop mie itu. Tidak ada yang menemani gadis itu saat ini.
“Pak Faizal nggak usah terlalu care.”
“Lagi pula, gara-gara bapak, saya terluka!” protesnya.
“Loh, kok saya yang disalahkan? Kan saya nggak tahu kamu kena jambret.”
“Itu loh pak, gara-gara saya tunggu bapak sampai pulang!” jawabnya lagi. Aku menghela napas panjang. Aku duduk di depannya dan memperhatikan dia menyelesaikan makan malamnya.
“Ibumu nggak ada di sini?” Dia tidak menjawab. Bea asik menghabisi makannnya.
“Saya serius, soalnya saya mau pulang juga.” Dia tidak menjawab. Gadis itu seakan tidak peduli ucapannku. Aku berdiri.
“Ya sudah, saya mau pulang. Besok saya datang lagi.”
Aku melangkah pelan. Berharap dia membuka suara dan menghentikanku. “Oh yah, tadi saya beli bunga. Buat kamu, sebenarnya buat ummi saya yang di rumah. Tapi lupa.” Aku meletakkan bunga itu di samping tempat tidurnya.”
Bea tidak menjawab. Dia fokus menghabiskan popmienya. Sepertinya gadis itu sangat lapar.
“Bea, saya pulang yah?”
“Ya, pulang aja!” jawabnya acuh dan tak acuh. Aku berjalan keluar. Sebelum benar-benar pergi, aku melihatnya sekali lagi. Ada perasaan kasihan di dalam dada. Apalagi mengetahui wanita itu rupanya tidak tinggal bersama orang tuanya.
“Sudah, jangan terlalu memikirkan dia, Faizal.”
Aku berjalan menuju parkiran.
“Mas Faizal!” Alina memanggilku, dia berjalan sedikit berlari.
“Kamu dokter yah?” Dia tersenyum, cantik sekali. Pantas ummi sangat menyukainya. Dia adalah pilihan tepat untuk ummi.
Wanita itu mengangguk. “Baru coas Mas,” jawabnya.
“Hebat,” pujiku. Pipinya merona.
“Mas Faizal sudah mau pulang yah? Besok aku dan ummi keluar. Diajak sama ummi Sahra. Mau bahas …,” Dia menghentikan ucapannya. Aku sudah mengerti apa yang Alina ucapkan.
“Ya, besok insyallah.”
“Saya pulang dulu.” Aku masuk ke dalam mobil. Dia terus menatapku sambil tersenyum.
“Hati-hati Mas!” jawabnya sambil melambaikan tangan.
***
“Gimana, udah lihat Alina kan?”“Cantik? Ummi lupa cerita, kalo wanita itu adalah seorang dokter. Lagi coas sih, sebentar lagi jadi dokter,” gumam ummi sambil memandangiku. Baru saja sampai dan makan malam bersama, Ummi segera bercerita tentang Alina.“Faizal ketemu tadi, Mi.”“Di rumah sakit.”Bola mata ummi melebar. “Gimana? Cantik kan? Aku yakin, kamu pasti suka sama dia. Dia wanita baik,” sahut ummi antusias. Aku tidak bersuara, bingung juga soalnya wanita itu sama sekali tidak aku kenali.“Ya, sudah, besok Faizal baru cerita lagi sama dia.” Aku beranjak dari meja makan saat semua sudah selesai. Ummi terlihat ragu.“Tapi kamu suka sama dia kan? Ummi nggak maksa loh kalo kamu nggak suka, Faizal,” sambung ummi dengan cepat. Aku menghela napas panjang dan berbalik menatap ummi.“Faizal suka kok ummi.”“Tenang saja.”Aku tersenyum memandangi bidadariku. Ummi tampak lega dengan jawabanku. Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan menuju kamar. Beberapa pesan masuk.[Pak Faizal, aku taku
Ummi sibuk menyiarkan berita mengenai acara lamaranku di grup keluarga. Semua keluarga sudah setuju dan memuji kehebatan Alina. Seorang dokter. Katanya, aku dan Alina adalah pasangan yang serasi. Kami memiliki kesamaan. Sama-sama berasal dari keluarga berpendidikan. Aku tidak tahu, mengapa mereka mematok hal itu. “Mas?” Alina menghubungiku. Aku sudah mengatakan kepadanya untuk tidak menghubungiku dulu selama acara ini belum selesai. Ya, untuk menjaga hatiku dengan hatinya. “Ya?” Ummi memaksaku untuk mengangkat teleponnya. “Mas Faizal, besok ada waktu?” tanyanya. “Kemana?” tanyaku. “Sebaiknya, jangan dulu deh kita pergi berduaan, nggak enak,” seruku dengan cepat. Wanita itu terdiam beberapa saat. “Abi dan ummi juga sudah setuju, kalo kita menjaga jarak dulu. Lamaran akan dilaksanakan dua hari lagi dan pernikahan kita sesuai kesepakatan akan dilaksanakan bulan depan. Tanggalnya belum jelas. Aku maunya, kita nggak intens dulu berhubungan, gimana?” Aku harap dia setuju. “Iya Mas,”
“Jadi, Bea tinggal di sini?” Pertanyaan itu selalu terbesit di pikiranku. Aku cukup terkejut mengetahui jika Bea adalah anak yatim piatu. Mengapa aku tidak pernah melihatnya di panti Jannah?Aku kembali ke rumah pukul empat sore. Setelah sholat Azhar, aku segera ke ruang kerja ummi. Di sana, dia memandangiku dengan sangat lama. Aku bingung harus memulai pembicaran dari mana. “Ummi kenal ibu Jubaidah?” Di depan pintu, aku menatap ummi yang sedang merajut. Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama ibu Jubaidah. “Kamu kenal dimana? Biasanya kalo dari panti, kamu yang paling cepat pulang,” kekehnya. Ummi meninggalkan bahan rajutannya. Dia berjalan mendekatiku. “Hmm … tadi ketemu … tadi lagi ngantar salah satu mahasiswa yang tinggal di sana,” ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ummi cukup terkejut. “Benarkah?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. “Namanya Bea, ummi kenal?” “Nggak tahu tuh, ummi nggak kenal anak-anak di sana. Tapi kebetulan abimu mau ke sana, lag
Panti Asuhan Al-Jannah adalah panti asuhan yang didirikan oleh ibu Jubaidah. Salah satu sahabat abi waktu sekolah dulu. Maka dari itu lah, abi ingin membuat pesantren khusus. Abi sudah lama membahas hal ini. Abi selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Pukul delapan pagi, Ummi sangat sibuk untuk menyiapkan beberapa makanan dan juga kue yang akan dibawah ke pesantren. “Nggak apa-apa toh sehari bersama Ummi di panti?” tanya Ummi, dia menatapku secara serius. “Nggak apa-apa Ummi, toh Faizal juga nggak ada kerjaan.”Ummi tersenyum. Aku membantu Mang Asep untuk membawah beberapa perlengkapan Ummi ke dalam mobil. Abi yang akan menyetir mobil kali ini. “Tumben banget Faizal tertarik yah Mi ke panti,” kekeh Abi mulai mengodaku. Aku sangat jarang mengikuti mereka. “Hmm, lagi bosan di rumah,” gumamku. “Serius?” Ummi memandangiku secara lekat. “Iya Ummi, lagi pula program abi ini sangat baik. Insyallah Faizal akan membantu.” Saat aku mengatakan hal itu, abi cukup terkejut.
Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. “Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. “Nggak tahu juga nih Sarah.”“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbar
Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini. “Serius?”“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.Abi dan ummi saling pandang. “Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian. “Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku. Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang ya
Pernikahan aku dan Alina semakin dekat, aku merasa ummi terlalu berlebihan kepadaku. Saat mengantar Alina ke rumah sakit, Ummi menghubungiku agar segera menghampirinya di rumah. Padahal sejujurnya aku ingin mencari Bea. Mengapa gadis itu di rumah sakit?“Faizal dimana?” sahut Ummi melalui sambungan telepon.“Lagi mau ke panti, Ummi. Katanya abi, Faizal harus survey lokasi. Ada teman abi yang datang untuk meninjau lahannya. Hafid nanti yang gambar desainnya. Tapi Faizal tetap bersamanya di sini,” jelasku kepada Ummi. “Faizal, apa nggak ke rumah dulu?”“Ada yang ummi mau ceritakan kepadamu,” ucapnya. Aku menghela napas panjang. Lokasi tempatku berada sudah sangat dekat dengan panti Al-Jannah. Kalo putar balik, akan sangat sulit. “Ummi, apa yang ummi mau ceritakan?” tanyaku. Ummi terdiam cukup lama. “Ummi?” ulangku. Aku memarkir mobil di pinggir jalan. Aku menunggu jawaban ummi saat ini. “Kamu serius mau menikah dengan Alina?” tanyanya lagi.“Ummi, kenapa sih Ummi tanya begitu terus?
Sesampai di rumah, beberapa keluarga jauh sudah berkumpul. Mereka memandangiku dengan ekspresi terheran. Tentu saja karena aku telat pulang. “Baru selesai ngajar yah?” tanya Tazia. Dia menatapku. Tazia adalah putri dari bibi Zulaikha. Dia adalah keponakan ummi. “Iya, baru datang yah?” tanyaku kepada wanita itu. Tazia memiliki umur yang setara dengan Aisyah. Dia adalah lulusan fakultas arsitektur.“Hmm, mas Faizal benaran sudah mau nikah?”“Nggak seperti biasanya, dulu mas Faizal akademisi banget,” kekehnya. Aku masuk ke dalam rumah dan rupanya saudara ummi sudah berkumpul di ruang keluarga. Hanya Tazia yang keluar saat mendengarkan suara mobilku di garasi. Dia memang sangat suka mengodaku.“Hmm, manusia bisa berubah dengan cepat,” ucapku. Gadis itu mengekor di belakangku. Aisyah dan Tazia memiliki karakter yang sama. Mereka suka mengangguku. Tazia sudah aku anggap sebagai adik sendiri. Dia sangat baik dan penyanyang. Di ruang keluarga, bibi Zulaikha malah mengodaku. Dia mengatakan