Share

Chapter 4

Aku sama sekali tidak tenang. Entah mengapa, wanita itu menyita perhatianku. Aku segera menghubungi Reza, salah satu mahasiswaku yang ku yakini, dia pasti tahu masalah ini. 

“Ya pak?” Dia dengan cepat mengangkat telepon dariku. 

“Yang kena jambret siapa?” tanyaku dengan cepat. 

“Oh, si Bea pak, kemarin dia yang kena jambret. Luka di pelipis, sempat jatuh, kasihan banget.”

“Dia tuh kasihan banget sih pak. Harus nunggu jemputan dari adiknya baru bisa pulang,” sambung Reza lagi. 

Aku menghela napas panjang. 

“Oke, saya ke sana.”

Dengan cepat aku mengambil jacket lalu segera keluar dari dalam kamar. Ummi menatapku dengan bingung. “Faizal, mau kemana?”

“Ini udah jam delapan loh, nggak seperti biasanya,” tanya ummi terheran. Aku memang sangat jarang keluar rumah. Aku tidak terlalu suka. 

“Besok, kamu dan Alina harus bertemu lagi. Mau bahas sesuatu.” Ummi tersenyum saat menyebut nama Alina. Dia menatapku seakan menunggu jawaban. Ummi sangat menyukai Alina. Bahkan dia sangat bersemangat untuk pertemuan kami yang kedua kalinya. 

“Gimana?” tanya ummi lagi.

“Besok yah, iya, Faizal mau, Ummi.”

“Hari ini, Faizal mau keluar dulu, ada mahasiswi yang kena jambret, dia masuk ke rumah sakit. Faizal mau lihat.”

Ummi Sahara menganggukan kepala. “Astagfirullah, kasihan banget nak. Hati-hati yah.” Setelah mencium punggung tangannya. Aku dengan cepat mengambil kunci mobil. Di dalam mobil, aku dengan cepat menghubungi Bea. Reza mengirimkan nomor telepon gadis itu. 

[Bea?]

[Assalamualaikum, Siapa nihh?]

[Walaikumsalam. saya Faizal, dosen kamu, kamu kena jambret yah? Saya ke sana sekarang.]

[Nggak usah pak!]

[Saya sudah di jalan!]

Aku mengetik pesan itu dengan cepat. Dia tidak membalas pesanku. Aku terheran. 

[Bea?] aku mencoba mengirimkan pesan sekali lagi. 

[Kamu marah yah kemarin karena aku menolak kamu? Aku sebenarnya mau …,]

Tidak, tidak, nanti gadis itu malah besar kepala. Malas banget. Dengan cepat aku menghapus pesanku lagi. 

[Maaf pak, infus saya tadi lepas.]

[Kamu memangnya lagi ngapain sampai infusnya lepas]” balasku. Aku tersenyum. Ku pikir dia tidak akan membalasnya.  Aku menunggu jawabannya, dia sedang mengetik. Syukurlah gadis ini bisa diajak ngobrol.

[Lagi BAB pak.]

[Ya udah BAB dulu, nanti balas chat saya!]

Aku menyimpan ponselku di atas dahsbord mobil lalu melajukan kendaraan itu menuju rumah sakit Medika. Reza mengirimkan alamat rumah sakit tempat Bea di rawat. Mahasiswaku itu memang paling bisa diandalkan. 

Sesampai di rumah sakit, aku dengan cepat mencari ruang dimana Bea di rawat. Beberapa mahasiswa yang dirawat tampak sedang berada di depan sana. Aku menghampiri mereka. 

“Bea dimana?”

“Di dalam pak.” Saat melihat wajahku, mereka terlihat tegang. Aku masuk ke ruangan itu. Bea menatapku. Dia tersenyum lalu mengalihkan pandangan ke arah seorang perempuan paruh baya. 

Wanita itu menatapku lalu segera keluar. 

“Makanya, nggak usah sok jago!” ucapnya sebelum meninggalkan Bea. Aku yang berada di depan pintu hanya bisa menatap mereka. 

“Pak Faizal, nggak usah datang deh.”

“Aku kan nggak mau dijenguk sama dosen, lebay banget!” keluhnya. Aku berjalan menghampirinya. 

“Saya dosen kamu, lagi pula, ini hal yang biasa saja kalo saya jenguk kamu.” Aku segera duduk di sisi tempat tidur. Dia melipat tangannya. Bekas darah di bagian pelipis dan bajunya masih terlihat jelas. 

“Kamu ngapain berantem sama jambret di kampus?” tanyaku. Aku mulai menginterogasinya. 

“Mereka mau merebut ponselku, ya aku nggak kasih lah. Lagi pula, aku nggak punya ponsel lagi,” keluhnya. Bibirnya manyun namun entah mengapa, wajahnya terlihat tambah cantik. Astagfirullah, tidak, tidak Faizal. Apa yang kamu pikirkan?

“Ya sudah, tadi itu siapa?”

“Ibuku!” jawabnya dengan cepat. Wajahnya tampak tidak suka saat dia menyebut nama ibunya. 

“Bukannya kamu mahir taekwondo yah?”

“Iya, kalo mereka nggak bawah golok!” 

Aku mengusap wajahku. Ada rasa menyesal di dalam hati. Andai saja kemarin aku menawari tumpangan, mungkin gadis ini nggak akan terluka. Kepalanya di perban, bahkan di bagian pipi sedikit memar. Kasihan sekali. 

Aku perlahan beranjak dari tempat dudukku. 

“Ibumu kemana?”

“Saya mau bertemu,” tanyaku. 

“Nggak usah deh pak, mendingan pak Faizal pulang deh!” gerutunya kesal. Dia tidak menatapku. Wajahnya terlihat tidak nyaman. 

“Kemarin kamu cuti untuk ke Singapura, ngapain?” Aku mulai menginterogasinya. Dia tidak ingin menatapku. 

“Apa ada masalah dengan hidupmu? Ceritakan, awalnya nilaimu sangat bagus. Tapi akhir-akhir ini, kata beberapa dosen, sangat menurun. Apa saya perlu membantu kamu?”

Dia tidak menjawab. Bibirnya semakin maju ke depan namun entah mengapa wajahnya semakin lucu. 

“Saya dosen baru, saya tidak kenal kamu dengan baik. Kemarin kamu salah. Saya tidak suka seperti itu,” jawabku lagi. Dia terdiam. Dari banyaknya mahasiswa yang sering mengangguku. Hanya Bea yang begitu terang-terangan. 

“Bea?” aku memanggilnya dengan sangat lembut. 

“Bapak mendingan pergi dah!” protesnya.

“Ya, saya pergi.”

Aku berjalan keluar dari ruangan itu. Reza sudah sampai. Aku mengatakan kepadanya untuk menyusulku ke rumah sakit. 

“Oh, yah pak, apa biaya rumah sakitnya sudah diurus? Bea tuh tinggal di panti. Takutnya pihak panti belum datang. Lagi pula, ibunya sudah pulang.” Reza menjelaskan. 

Aku segera berjalan ke bagian administrasi bersamanya. 

“Nanti saya yang urus Rez. Kamu ajak teman-temanmu pulang. Hari sudah malam.”

“Biar saya di sini. Saya akan mengawasinya dari jauh.” Reza menganggukan kepala. 

“Iya pak.” Dia segera pergi. Aku menyerahkan beberapa kartu identitas di loket pendaftaran. Petugas rumah sakit sedang mendaftarkan nama Bea. Aku menunggunya beberapa menit. 

“Mas Faizal?” Aku spontan membalikan badan saat suara itu memanggilku. Aku menoleh. Ada Alina di ujung sana. Dia menatapku sambil tersenyum. 

“Mas Faizal di sini lagi ngapain?” tanyanya. Aku menghela napas panjang. 

“Itu loh, ada mahasiswa yang terluka. Lagi jenguk mahasiswinya. Aku sekalian urus administrasinya juga.”

Aku memandangi wajah wanita itu. Alina memakai setelan jas dokter. Apa dia seorang dokter? Ummi bahkan tidak menyebut profesinya. Lagi pula, Alina memperkenalkan diri sebagai mahasiswa yang baru saja lulus. Apa dia lulusan kedokteran?

“Oh gitu.”

“Aku ke sana dulu mas Faizal, nanti aku ke sini lagi.” Aku menganggukan kepala. Ku pandangi dia hingga menghilang di ujung lorong rumah sakit. Aku akan bertanya kepada ummi tentang Alina besok. 

Setelah menyelesaikan administrasi Bea, aku kembali ke ruangan gadis itu. 

“Bea.” Saat aku memanggilnya, dia sedang makan popmie, bahkan ada dua gelas. 

“Kok makan popmie sih?” tanyaku. Aku duduk sambil membersihkan gelas pop mie itu. Tidak ada yang menemani gadis itu saat ini. 

“Pak Faizal nggak usah terlalu care.”

“Lagi pula, gara-gara bapak, saya terluka!” protesnya.

“Loh, kok saya yang disalahkan? Kan saya nggak tahu kamu kena jambret.”

“Itu loh pak, gara-gara saya tunggu bapak sampai pulang!” jawabnya lagi. Aku menghela napas panjang. Aku duduk di depannya dan memperhatikan dia menyelesaikan makan malamnya. 

“Ibumu nggak ada di sini?” Dia tidak menjawab. Bea asik menghabisi makannnya. 

“Saya serius, soalnya saya mau pulang juga.” Dia tidak menjawab. Gadis itu seakan tidak peduli ucapannku. Aku berdiri. 

“Ya sudah, saya mau pulang. Besok saya datang lagi.”

Aku melangkah pelan. Berharap dia membuka suara dan menghentikanku. “Oh yah, tadi saya beli bunga. Buat kamu, sebenarnya buat ummi saya yang di rumah. Tapi lupa.” Aku meletakkan bunga itu di samping tempat tidurnya.”

Bea tidak menjawab. Dia fokus menghabiskan popmienya. Sepertinya gadis itu sangat lapar. 

“Bea, saya pulang yah?”

“Ya, pulang aja!” jawabnya acuh dan tak acuh. Aku berjalan keluar. Sebelum benar-benar pergi, aku melihatnya sekali lagi. Ada perasaan kasihan di dalam dada. Apalagi mengetahui wanita itu rupanya tidak tinggal bersama orang tuanya. 

“Sudah, jangan terlalu memikirkan dia, Faizal.”

Aku berjalan menuju parkiran. 

“Mas Faizal!” Alina memanggilku, dia berjalan sedikit berlari. 

“Kamu dokter yah?” Dia tersenyum, cantik sekali. Pantas ummi sangat menyukainya. Dia adalah pilihan tepat untuk ummi. 

Wanita itu mengangguk. “Baru coas Mas,” jawabnya. 

“Hebat,” pujiku. Pipinya merona. 

“Mas Faizal sudah mau pulang yah? Besok aku dan ummi keluar. Diajak sama ummi Sahra. Mau bahas …,” Dia menghentikan ucapannya. Aku sudah mengerti apa yang Alina ucapkan. 

“Ya, besok insyallah.”

“Saya pulang dulu.” Aku masuk ke dalam mobil. Dia terus menatapku sambil tersenyum. 

“Hati-hati Mas!” jawabnya sambil melambaikan tangan. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status