Share

Chapter 3

Matahari memasuki fase senja saat cahayanya berubah menjadi nuansa keemasan yang lembut. Langit dipenuhi oleh warna oranye, merah muda, dan ungu pucat yang memancarkan kehangatan dan keindahan. Awanan terlihat seperti lukisan lembut yang tersusun dengan sempurna, menciptakan latar belakang yang mempesona untuk momen romantis ini.

Angin sore berhembus dengan lembut, membelai kulit dengan kelembutan yang menenangkan. Suara desiran angin memperindah suasana, membawa aroma bunga-bunga dan dedaunan yang segar. Mungkin terdengar juga suara daun-daun yang bergoyang dan dahan-dahan yang bergesekan, menciptakan melodi alami yang menenangkan hati.

Aku suka senja dan sejak kecil, senja bisa menenangkan hatiku. Di sore ini, sepulang dari kampus sambil menikmati senja, aku malah memikirkan gadis kecil yang duduk termenung di bawah pohon besar di samping fakultas. Taman kecil itu digunakan mahasiswa untuk menunggu jemputan. Hari sudah sore dan mungkin saja dia menunggu seseorang.

Ya ampun, apa yang kamu pikirkan Faizal?”

Gadis aneh itu akan besar kepala kalo kamu memberikan tumpangan kepadanya!

Tapi, bagaimana jika dia berada di sana dalam waktu yang lama? Bukankah aku begitu zolim jika aku meninggalkannya?

Seketika rasa bersalah menghampiri hatiku. Aku ingin memberikan tumpangan kepadanya tapi aku juga tidak ingin dia besar kepala dan gossip pun mulai menyebar kepadaku seperti yang pernah terjadi.

“Lagian juga, masih banyak mahasiswa kok di kampus,” sahutku lagi. Selama di perjalanan, entah mengapa aku malah memikirkan gadis asing yang aneh itu.

“Sudah pulang toh.”

“Sini cepat masuk, Faizal!” sahut ummi. Saat turun dari mobil, ummi segera keluar dari pintu dan menyambutku dengan hangat. Dia mengandeng tanganku masuk ke dalam rumah. Ummi terlihat bersemangat.

Di ruang tamu, seorang gadis cantik tersenyum. Dia menatapku lalu seketika dia menundukan wajahnya ke bawah, malu.

“Ini loh yang ummi cerita kemarin, Alina.”

“Putrinya bibi Ayna,” jelas Ummi. Aku duduk di depan gadis cantik itu. Dia tidak berani memandangiku sedangkan aku terus menatapnya tanpa berkedip sedikit pun. Sungguh dia sangat cantik.

“Loh, kok dilihat terus sih.”

“Nggak baik! Nanti aja kalo udah halal,” kekeh Ummi menyadarkanku. Aku menunduk dan ikut tersenyum. Abi dan bibi Ayna tertawa bersamaan. Wanita itu sesekali memandangiku. Saat pandangan kami bertemu, aku segera tersenyum dan membuat pipinya merona. Manis sekali.

“Gimana nih?”

“Kayaknya Faizal nggak berkedip tuh, Bi.”

“Jadi mau kan yah?” Ummi membuka suara. Aku terdiam.

“Ya, gimana lagi, kalo Faizal nggak bersuara, berarti dia mau,” kekeh Ummi. Bibi Ayna terlihat bersemangat.

“Sepertinya sih gitu, Sarah,” balas bibi Ayna sambil mencolek pungung Alina. Pipi wanita itu sudah semerah tomat.

“Faizal!” Aku menatap Abi.

“Ya Bi?”

“Abi dan ummi sudah setuju jika Alina menjadi calon istrimu, tergantung kamu sekarang, maunya gimana?”

Aku menatap ummi. Ummi mengengam tanganku dan wajahnya penuh dengan keharapan. Alina adalah wanita ketiga yang ummi tunjukan kepadaku.

“Insyallah, Faizal ikut apa yang ummi dan abi katakan.”

“Alhamdulillah!” Ummi mengucap syukur. Dia segera memelukku dan terisak menangis. “Makasih yah Faizal,” bisiknya dengan pelan.

Ummi sudah sangat menginginkan calon menantu. Bahkan saat pulang arisan keluarga, dia selalu menangis karena seluruh saudaranya sudah meminang cucu. Ummi ingin di hari tuanya, dia bisa melihat cucunya sendiri.

“Namamu siapa tadi?” Aku memberanikan diri menyapanya. Ummi sibuk di dapur bersama bibi Ayna, sahabatnya sejak kuliah. Wanita itu menoleh.

“Alina.”

“Cantik!” godaku. Dia menunduk lagi.

“Kalo jadi istriku nanti, pasti kamu lebih cantik,” sambungku. Dia tersipu malu. Aku yakin, dia menginginkan perjodohan ini.

“Kak Faizal ngajar di Tunas Bangsa?”

Aku mengangguk.

“Kamu kuliah di sana?” Alina menggeleng.

“Udah lulus.”

“Oh yah?” seruku terkejut. Dia tersenyum dan senyumannya berhasil menenangkan hatiku.

“Duh, udah akrab aja nih.” Ummi keluar dari dapur, dia membawah roti isi cokelat. Abi yang sejak tadi di kamar akhirnya keluar.

“Nah, kalo udah akrab kayak gini, enaknya langsung lamaran aja yah,” kekeh ummi sambil menatap bibi Ayna yang menganggukan kepala setuju.

“Aku setuju Sarah.”

“Kalo Abi sih, atur baiknya aja,” jawabnya.

Pertemuan singkat dengan Alina menghasilkan tanggal dimana aku akan datang ke rumahnya dan melamarnya secara resmi. Alina hidup berdua dengan ibunya, bibi Ayna. Sejak kecil, dia tidak memiliki seorang ayah.

Bibi Ayna adalah sahabat ummi dan itu lah sebabnya ummi ingin menjadikan Alina menantunya agar persahabatan mereka tetap awet.

Malam hari setelah pertemuan singkat itu, ummi selalu bertanya mengenai Alina.

“Ummi udah cocok banget sama bibi Ayna.”

“Udah pas lah Alina jadi menantu, gimana Faizal? Ummi mau tahu jawabanmu nih. Siapa tahu kamu terpaksa aja kan?”

“Terserah ummi gimana baiknya.”

“Loh, kan yang nikah kamu Faizal?” balas ummi tidak terima dengan ucapanku.

“Iya, Faizal suka sama Alina, Ummi. Lagi pula keluarga bibi Ayna sudah jelas kan, dan nggak ada alasan bagi Faizal untuk menolaknya juga.”

Ummi kembali terharu. Wattshap keluarga kembali ramai karena ummi menyebar foto Alina di grup keluarga dengan caption calon menantuku. Semua sanak keluarga yang berada di grup itu segera menghubungiku dan bertanya mengenai kebenaran lamaran dadakan itu. Sejujurnya itu bukan lamaran, hanya pertemuan singkat saja dan aku bahkan tidak menyangka.

“Ya, calon istri!” Aku menerima telepon dari Felix, sepupuku yang ada di Mesir. Dia sedang menempuh kuliahnya di bidang fisika quantum. Dia segera menghubungiku untuk memastikan. kebenarannya

“Lo serius, Faizal?”

“Alhamdulillah, es batu udah cari,” kekehnya.

“Cap jomlo abadi udah luntur nih, akhirnya sang kesatria akhirnya takhluk juga dengan gadis manis berjilbab biru.”

“Nggak usah diledek deh!” gerutuku kesal.

“Aku dan istriku, Madina akan pulang ke Indonesia. Lahiran anak kedua,” jelasnya. Aku baru ingat jika Felix sudah dua tahun di Mesir. Aku bahkan lupa. Terakhir kali, aku ingat dia menikah dengan seorang gadis asal Makassar bernama Madinah. Wanita itu ikut mendampingi Felix di Mesir.

“Gue kira, lo akan jadi jomlo abadi. Terakhir kali, wanita yang dipernalkan sama kamu, kabur kan?” Felix malah mengingatkanku kejadian beberapa tahun lalu saat abi memperkenalkan salah satu wanita bernama Manda. Wanita itu cantik, namun dia tampak tidak cocok denganku.

Katanya aku raja gombal. Padahal, aku sedang menyapanya dengan ramah.

“Udah deh, gue mau mandi.”

“Assalamualaikum.” Ku akhiri telepon itu. Dengan cepat, aku menyimpan ponsel pintarku di atas meja kerja. Aku butuh istirahat saat ini.

Sebelum terlelap tidur, aku mencari informasi di grup kampus mengenai jadwal dan apakah ada rapat beberapa hari ke depan.

‘Seorang wanita dijambret di area kampus, wanita berambut panjang.’

Bola mata melebar saat membaca outline berita kali ini. Aku segera mencari informasi melalui link yang disebarnya.

“Tunggu.”

“Tadi kan, si Bea..”

“Jangan-jangan …,”

“Ya ampun, jangan-jangan dia yang dijambret?” Akhir-akhir ini aku mendengarkan kabar jika di area gerbang kampus, beberapa orang asing berkeliaran. Pihak keamanan kampu sedang membahas hal ini.

“Ya Allah, jangan-jangan gadis itu?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status