Matahari memasuki fase senja saat cahayanya berubah menjadi nuansa keemasan yang lembut. Langit dipenuhi oleh warna oranye, merah muda, dan ungu pucat yang memancarkan kehangatan dan keindahan. Awanan terlihat seperti lukisan lembut yang tersusun dengan sempurna, menciptakan latar belakang yang mempesona untuk momen romantis ini.
Angin sore berhembus dengan lembut, membelai kulit dengan kelembutan yang menenangkan. Suara desiran angin memperindah suasana, membawa aroma bunga-bunga dan dedaunan yang segar. Mungkin terdengar juga suara daun-daun yang bergoyang dan dahan-dahan yang bergesekan, menciptakan melodi alami yang menenangkan hati.
Aku suka senja dan sejak kecil, senja bisa menenangkan hatiku. Di sore ini, sepulang dari kampus sambil menikmati senja, aku malah memikirkan gadis kecil yang duduk termenung di bawah pohon besar di samping fakultas. Taman kecil itu digunakan mahasiswa untuk menunggu jemputan. Hari sudah sore dan mungkin saja dia menunggu seseorang.
Ya ampun, apa yang kamu pikirkan Faizal?”
Gadis aneh itu akan besar kepala kalo kamu memberikan tumpangan kepadanya!
Tapi, bagaimana jika dia berada di sana dalam waktu yang lama? Bukankah aku begitu zolim jika aku meninggalkannya?
Seketika rasa bersalah menghampiri hatiku. Aku ingin memberikan tumpangan kepadanya tapi aku juga tidak ingin dia besar kepala dan gossip pun mulai menyebar kepadaku seperti yang pernah terjadi.
“Lagian juga, masih banyak mahasiswa kok di kampus,” sahutku lagi. Selama di perjalanan, entah mengapa aku malah memikirkan gadis asing yang aneh itu.
“Sudah pulang toh.”
“Sini cepat masuk, Faizal!” sahut ummi. Saat turun dari mobil, ummi segera keluar dari pintu dan menyambutku dengan hangat. Dia mengandeng tanganku masuk ke dalam rumah. Ummi terlihat bersemangat.
Di ruang tamu, seorang gadis cantik tersenyum. Dia menatapku lalu seketika dia menundukan wajahnya ke bawah, malu.
“Ini loh yang ummi cerita kemarin, Alina.”
“Putrinya bibi Ayna,” jelas Ummi. Aku duduk di depan gadis cantik itu. Dia tidak berani memandangiku sedangkan aku terus menatapnya tanpa berkedip sedikit pun. Sungguh dia sangat cantik.
“Loh, kok dilihat terus sih.”
“Nggak baik! Nanti aja kalo udah halal,” kekeh Ummi menyadarkanku. Aku menunduk dan ikut tersenyum. Abi dan bibi Ayna tertawa bersamaan. Wanita itu sesekali memandangiku. Saat pandangan kami bertemu, aku segera tersenyum dan membuat pipinya merona. Manis sekali.
“Gimana nih?”
“Kayaknya Faizal nggak berkedip tuh, Bi.”
“Jadi mau kan yah?” Ummi membuka suara. Aku terdiam.
“Ya, gimana lagi, kalo Faizal nggak bersuara, berarti dia mau,” kekeh Ummi. Bibi Ayna terlihat bersemangat.
“Sepertinya sih gitu, Sarah,” balas bibi Ayna sambil mencolek pungung Alina. Pipi wanita itu sudah semerah tomat.
“Faizal!” Aku menatap Abi.
“Ya Bi?”
“Abi dan ummi sudah setuju jika Alina menjadi calon istrimu, tergantung kamu sekarang, maunya gimana?”
Aku menatap ummi. Ummi mengengam tanganku dan wajahnya penuh dengan keharapan. Alina adalah wanita ketiga yang ummi tunjukan kepadaku.
“Insyallah, Faizal ikut apa yang ummi dan abi katakan.”
“Alhamdulillah!” Ummi mengucap syukur. Dia segera memelukku dan terisak menangis. “Makasih yah Faizal,” bisiknya dengan pelan.
Ummi sudah sangat menginginkan calon menantu. Bahkan saat pulang arisan keluarga, dia selalu menangis karena seluruh saudaranya sudah meminang cucu. Ummi ingin di hari tuanya, dia bisa melihat cucunya sendiri.
“Namamu siapa tadi?” Aku memberanikan diri menyapanya. Ummi sibuk di dapur bersama bibi Ayna, sahabatnya sejak kuliah. Wanita itu menoleh.
“Alina.”
“Cantik!” godaku. Dia menunduk lagi.
“Kalo jadi istriku nanti, pasti kamu lebih cantik,” sambungku. Dia tersipu malu. Aku yakin, dia menginginkan perjodohan ini.
“Kak Faizal ngajar di Tunas Bangsa?”
Aku mengangguk.
“Kamu kuliah di sana?” Alina menggeleng.
“Udah lulus.”
“Oh yah?” seruku terkejut. Dia tersenyum dan senyumannya berhasil menenangkan hatiku.
“Duh, udah akrab aja nih.” Ummi keluar dari dapur, dia membawah roti isi cokelat. Abi yang sejak tadi di kamar akhirnya keluar.
“Nah, kalo udah akrab kayak gini, enaknya langsung lamaran aja yah,” kekeh ummi sambil menatap bibi Ayna yang menganggukan kepala setuju.
“Aku setuju Sarah.”
“Kalo Abi sih, atur baiknya aja,” jawabnya.
Pertemuan singkat dengan Alina menghasilkan tanggal dimana aku akan datang ke rumahnya dan melamarnya secara resmi. Alina hidup berdua dengan ibunya, bibi Ayna. Sejak kecil, dia tidak memiliki seorang ayah.
Bibi Ayna adalah sahabat ummi dan itu lah sebabnya ummi ingin menjadikan Alina menantunya agar persahabatan mereka tetap awet.
Malam hari setelah pertemuan singkat itu, ummi selalu bertanya mengenai Alina.
“Ummi udah cocok banget sama bibi Ayna.”
“Udah pas lah Alina jadi menantu, gimana Faizal? Ummi mau tahu jawabanmu nih. Siapa tahu kamu terpaksa aja kan?”
“Terserah ummi gimana baiknya.”
“Loh, kan yang nikah kamu Faizal?” balas ummi tidak terima dengan ucapanku.
“Iya, Faizal suka sama Alina, Ummi. Lagi pula keluarga bibi Ayna sudah jelas kan, dan nggak ada alasan bagi Faizal untuk menolaknya juga.”
Ummi kembali terharu. Wattshap keluarga kembali ramai karena ummi menyebar foto Alina di grup keluarga dengan caption calon menantuku. Semua sanak keluarga yang berada di grup itu segera menghubungiku dan bertanya mengenai kebenaran lamaran dadakan itu. Sejujurnya itu bukan lamaran, hanya pertemuan singkat saja dan aku bahkan tidak menyangka.
“Ya, calon istri!” Aku menerima telepon dari Felix, sepupuku yang ada di Mesir. Dia sedang menempuh kuliahnya di bidang fisika quantum. Dia segera menghubungiku untuk memastikan. kebenarannya
“Lo serius, Faizal?”
“Alhamdulillah, es batu udah cari,” kekehnya.
“Cap jomlo abadi udah luntur nih, akhirnya sang kesatria akhirnya takhluk juga dengan gadis manis berjilbab biru.”
“Nggak usah diledek deh!” gerutuku kesal.
“Aku dan istriku, Madina akan pulang ke Indonesia. Lahiran anak kedua,” jelasnya. Aku baru ingat jika Felix sudah dua tahun di Mesir. Aku bahkan lupa. Terakhir kali, aku ingat dia menikah dengan seorang gadis asal Makassar bernama Madinah. Wanita itu ikut mendampingi Felix di Mesir.
“Gue kira, lo akan jadi jomlo abadi. Terakhir kali, wanita yang dipernalkan sama kamu, kabur kan?” Felix malah mengingatkanku kejadian beberapa tahun lalu saat abi memperkenalkan salah satu wanita bernama Manda. Wanita itu cantik, namun dia tampak tidak cocok denganku.
Katanya aku raja gombal. Padahal, aku sedang menyapanya dengan ramah.
“Udah deh, gue mau mandi.”
“Assalamualaikum.” Ku akhiri telepon itu. Dengan cepat, aku menyimpan ponsel pintarku di atas meja kerja. Aku butuh istirahat saat ini.
Sebelum terlelap tidur, aku mencari informasi di grup kampus mengenai jadwal dan apakah ada rapat beberapa hari ke depan.
‘Seorang wanita dijambret di area kampus, wanita berambut panjang.’
Bola mata melebar saat membaca outline berita kali ini. Aku segera mencari informasi melalui link yang disebarnya.
“Tunggu.”
“Tadi kan, si Bea..”
“Jangan-jangan …,”
“Ya ampun, jangan-jangan dia yang dijambret?” Akhir-akhir ini aku mendengarkan kabar jika di area gerbang kampus, beberapa orang asing berkeliaran. Pihak keamanan kampu sedang membahas hal ini.
“Ya Allah, jangan-jangan gadis itu?”
***
Aku sama sekali tidak tenang. Entah mengapa, wanita itu menyita perhatianku. Aku segera menghubungi Reza, salah satu mahasiswaku yang ku yakini, dia pasti tahu masalah ini. “Ya pak?” Dia dengan cepat mengangkat telepon dariku. “Yang kena jambret siapa?” tanyaku dengan cepat. “Oh, si Bea pak, kemarin dia yang kena jambret. Luka di pelipis, sempat jatuh, kasihan banget.”“Dia tuh kasihan banget sih pak. Harus nunggu jemputan dari adiknya baru bisa pulang,” sambung Reza lagi. Aku menghela napas panjang. “Oke, saya ke sana.”Dengan cepat aku mengambil jacket lalu segera keluar dari dalam kamar. Ummi menatapku dengan bingung. “Faizal, mau kemana?”“Ini udah jam delapan loh, nggak seperti biasanya,” tanya ummi terheran. Aku memang sangat jarang keluar rumah. Aku tidak terlalu suka. “Besok, kamu dan Alina harus bertemu lagi. Mau bahas sesuatu.” Ummi tersenyum saat menyebut nama Alina. Dia menatapku seakan menunggu jawaban. Ummi sangat menyukai Alina. Bahkan dia sangat bersemangat untuk
“Gimana, udah lihat Alina kan?”“Cantik? Ummi lupa cerita, kalo wanita itu adalah seorang dokter. Lagi coas sih, sebentar lagi jadi dokter,” gumam ummi sambil memandangiku. Baru saja sampai dan makan malam bersama, Ummi segera bercerita tentang Alina.“Faizal ketemu tadi, Mi.”“Di rumah sakit.”Bola mata ummi melebar. “Gimana? Cantik kan? Aku yakin, kamu pasti suka sama dia. Dia wanita baik,” sahut ummi antusias. Aku tidak bersuara, bingung juga soalnya wanita itu sama sekali tidak aku kenali.“Ya, sudah, besok Faizal baru cerita lagi sama dia.” Aku beranjak dari meja makan saat semua sudah selesai. Ummi terlihat ragu.“Tapi kamu suka sama dia kan? Ummi nggak maksa loh kalo kamu nggak suka, Faizal,” sambung ummi dengan cepat. Aku menghela napas panjang dan berbalik menatap ummi.“Faizal suka kok ummi.”“Tenang saja.”Aku tersenyum memandangi bidadariku. Ummi tampak lega dengan jawabanku. Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan menuju kamar. Beberapa pesan masuk.[Pak Faizal, aku taku
Ummi sibuk menyiarkan berita mengenai acara lamaranku di grup keluarga. Semua keluarga sudah setuju dan memuji kehebatan Alina. Seorang dokter. Katanya, aku dan Alina adalah pasangan yang serasi. Kami memiliki kesamaan. Sama-sama berasal dari keluarga berpendidikan. Aku tidak tahu, mengapa mereka mematok hal itu. “Mas?” Alina menghubungiku. Aku sudah mengatakan kepadanya untuk tidak menghubungiku dulu selama acara ini belum selesai. Ya, untuk menjaga hatiku dengan hatinya. “Ya?” Ummi memaksaku untuk mengangkat teleponnya. “Mas Faizal, besok ada waktu?” tanyanya. “Kemana?” tanyaku. “Sebaiknya, jangan dulu deh kita pergi berduaan, nggak enak,” seruku dengan cepat. Wanita itu terdiam beberapa saat. “Abi dan ummi juga sudah setuju, kalo kita menjaga jarak dulu. Lamaran akan dilaksanakan dua hari lagi dan pernikahan kita sesuai kesepakatan akan dilaksanakan bulan depan. Tanggalnya belum jelas. Aku maunya, kita nggak intens dulu berhubungan, gimana?” Aku harap dia setuju. “Iya Mas,”
“Jadi, Bea tinggal di sini?” Pertanyaan itu selalu terbesit di pikiranku. Aku cukup terkejut mengetahui jika Bea adalah anak yatim piatu. Mengapa aku tidak pernah melihatnya di panti Jannah?Aku kembali ke rumah pukul empat sore. Setelah sholat Azhar, aku segera ke ruang kerja ummi. Di sana, dia memandangiku dengan sangat lama. Aku bingung harus memulai pembicaran dari mana. “Ummi kenal ibu Jubaidah?” Di depan pintu, aku menatap ummi yang sedang merajut. Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama ibu Jubaidah. “Kamu kenal dimana? Biasanya kalo dari panti, kamu yang paling cepat pulang,” kekehnya. Ummi meninggalkan bahan rajutannya. Dia berjalan mendekatiku. “Hmm … tadi ketemu … tadi lagi ngantar salah satu mahasiswa yang tinggal di sana,” ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ummi cukup terkejut. “Benarkah?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. “Namanya Bea, ummi kenal?” “Nggak tahu tuh, ummi nggak kenal anak-anak di sana. Tapi kebetulan abimu mau ke sana, lag
Panti Asuhan Al-Jannah adalah panti asuhan yang didirikan oleh ibu Jubaidah. Salah satu sahabat abi waktu sekolah dulu. Maka dari itu lah, abi ingin membuat pesantren khusus. Abi sudah lama membahas hal ini. Abi selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Pukul delapan pagi, Ummi sangat sibuk untuk menyiapkan beberapa makanan dan juga kue yang akan dibawah ke pesantren. “Nggak apa-apa toh sehari bersama Ummi di panti?” tanya Ummi, dia menatapku secara serius. “Nggak apa-apa Ummi, toh Faizal juga nggak ada kerjaan.”Ummi tersenyum. Aku membantu Mang Asep untuk membawah beberapa perlengkapan Ummi ke dalam mobil. Abi yang akan menyetir mobil kali ini. “Tumben banget Faizal tertarik yah Mi ke panti,” kekeh Abi mulai mengodaku. Aku sangat jarang mengikuti mereka. “Hmm, lagi bosan di rumah,” gumamku. “Serius?” Ummi memandangiku secara lekat. “Iya Ummi, lagi pula program abi ini sangat baik. Insyallah Faizal akan membantu.” Saat aku mengatakan hal itu, abi cukup terkejut.
Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. “Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. “Nggak tahu juga nih Sarah.”“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbar
Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini. “Serius?”“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.Abi dan ummi saling pandang. “Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian. “Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku. Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang ya
Pernikahan aku dan Alina semakin dekat, aku merasa ummi terlalu berlebihan kepadaku. Saat mengantar Alina ke rumah sakit, Ummi menghubungiku agar segera menghampirinya di rumah. Padahal sejujurnya aku ingin mencari Bea. Mengapa gadis itu di rumah sakit?“Faizal dimana?” sahut Ummi melalui sambungan telepon.“Lagi mau ke panti, Ummi. Katanya abi, Faizal harus survey lokasi. Ada teman abi yang datang untuk meninjau lahannya. Hafid nanti yang gambar desainnya. Tapi Faizal tetap bersamanya di sini,” jelasku kepada Ummi. “Faizal, apa nggak ke rumah dulu?”“Ada yang ummi mau ceritakan kepadamu,” ucapnya. Aku menghela napas panjang. Lokasi tempatku berada sudah sangat dekat dengan panti Al-Jannah. Kalo putar balik, akan sangat sulit. “Ummi, apa yang ummi mau ceritakan?” tanyaku. Ummi terdiam cukup lama. “Ummi?” ulangku. Aku memarkir mobil di pinggir jalan. Aku menunggu jawaban ummi saat ini. “Kamu serius mau menikah dengan Alina?” tanyanya lagi.“Ummi, kenapa sih Ummi tanya begitu terus?