Share

Chapter 2

“Bapak mau menikah sama saya?”

Suara itu mengagetkanku saat aku baru saja turun dari mobil dan seorang gadis manis berdiri di ujung sana sambil memperlihatkan spanduk berbentuk love. Aku melangkah mendekatinya.

“Pak Faizal, diterima aja!”

“Pak Faizal terima!”

“Terima!”

“Terima!”

Sorakan itu membuatku melihat ke sisi kiri tempat parkiran. Para mahasiswa yang tidak ku kenali wajahnya sedang berkumpul mengelilingi mobilku. Wajah perempuan itu memerah, semerah tomat. Dia terus menunduk dan tidak berani menatapku. Ku pandangi wajahnya dengan tatapan tajam agar dia takut dan mengurungkan niatnya melakukan hal konyol seperti ini.

“Delima?”

Dia menongakan wajahnya dan menatapku. Ku akui, senyumannya sangat manis. Bahkan saat dia tersenyum, ada gigil gingsul yang terlihat jelas di sana.

“Iya, pak. Saya Bea Delina, bukan Delima,” serunya mengoreksiku.

“Apapun itu, Delina atau Delima.”

“Apa kamu tahu perbuatanmu saat ini?” Suaraku mulai meninggi.

“Iya pak, melamar bapak.” Wajahnya sangat polos memandangiku.

“Bapak mau jadi suami saya?” Dia mengulangi.

“Saya serius mau menikah sama bapak.”

Ya ampun, apa anak ini sedang berhalusinasi? Apa dia tidak diajarkan sopan santun? Bagaimana bisa dia begitu berani melakukan hal ini kepada dosennya sendiri?

“Bea.”

“Saya tidak tertarik dengan kamu.”

“Maaf sekali, kamu bukan tipikal saya.”

“Lagi pula, kamu sangat muda dan fokus lah belajar. Sudah dua kali kamu menghentikan aktivitas saya dengan perbuatanmu yang benar-benar absurd ini?”

“Kamu bukan selera saya.” Dia terus menunduk dan perlahan bola matanya berkabut. Oh Tuhan, apa dia serius ingin menjadi istriku? Aku sengaja mengatakan hal itu agar dia tidak mengulanginya lagi.

“Apa kamu sudah putus urat malunya? Mengapa melakukan ini? Semua temanmu melihatmu berdiri di sini!”

Air mata itu berhasil menetes di pipi. Tangannya mencengkram kertas yang dipegangnya. Dia berjalan mundur dan masih saja tidak berani memandangiku.

“Aduh pak Faizal.”

“Bea nangis tuh.”

“Pak Faizal mah jahat!”

Aku berbalik arah dan segera masuk ke loby fakultas, aku meninggalkannya. Anehnya, wanita itu masih saja berdiri di depan parkiran dan menunduk ke bawah. Aku terus memperhatikannya dari jauh. Seharusnya dia pergi saja dari pada mempermalukan dirinya di sana.

Anak muda zaman sekarang memang kurang sopan santun, bagaimana bisa dia seberani itu mengatakan ingin menjadikan aku suaminya dan disaksikan oleh puluhan mahasiswa?

Aku masuk ke dalam ruangan dengan perasaan kesal. Joko dan Abdullah segera menghampiriku.

“Gimana?”

“Ini udah ke lima kalinya ada yang mengatakan cinta.”

“Tapi gadis yang dibawah tuh, menurut aku dia benar-benar serius.”

“Dia masih aja berdiri di parkiran tuh. Kayaknya lagi nangis deh. Lo jahat banget. Setidaknya kalo nggak suka, nggak usah dimarahi di depan orang banyak,” Joko membuka suara.

Aku berjalan menuju jendela. Ruangan kami terletak di lantai tiga. Ku pandangi dari atas. Gadis itu masih saja di bawah sana dan menunduk. Sepertinya ada yang sedang dipikirkannya. Apa penolakanku terlalu berlebihan dan membuatnya begitu patah hati?

“Faizal,” panggil Abdullah.

“Biarkan saja dia. Gue nggak kenal dia kok.”

Aku berjalan menuju meja kerjaku. Aku berusaha melupakan semua keanehan yang terjadi pagi ini.

***

Saat mengajar materi Fisika Instrumentasi. Seorang gadis mungil duduk di samping jendela. Ini kali pertama aku melihatnya di kelasku.

“Delima?”

Wanita itu spontan berdiri. “Saya Bea pak.”

“Bagaimana bisa kamu masuk di kelas saya?” tanyaku. Bukannya dia mahasiswa di fakultas lain? Sampai saat ini, aku belum pernah melihatnya di jurusan fisika.

“Saya Fisika pak. Ngulang mata kuliah Intrumentasi satu semester,” jawabnya jujur. Ku pandangi Toni, ketua tingkat di semester ini. Toni seakan mengerti tatapanku yang penuh tanda tanya.

“Kak Bea, mahasiswa semester tujuh pak. Dia mengulang satu semester karena nilainya D.”

“Bukannya dia nggak di jurusan ini? Mengapa saya baru lihat?” Ku pandangi Toni dan Bea secara bergantian.

“Bapak yang tidak sadar. Kaka Bea baru masuk kampus setelah cuti dua semester pak,” jelas Toni.

“Bapak belum datang waktu itu,” sambung Toni lagi. Aku mengusap wajahnya dengan pelan. Ya ampun, wanita aneh. Apa dia sengaja mengikutiku hingga ke kelas?

Kelas berakhir dan wanita itu terus menatapku. Saat semua mahasiswa sudah keluar, hanya dia yang duduk di samping jendela dan memandang keluar.

“Maafkan saya.”

“Saya tidak bermaksud mempermalukan kamu.”

“Hanya saja, kamu tidak patut melakukan hal seperti itu tadi.” Perlahan dia memandangiku. Ada perasaan menyesal karena telah membentaknya tadi. Tapi apapun itu, perbuatannya menurutku sangat salah.

“Saya serius pak!”

“Tapi saya sudah punya calon istri, bagaimana?” balasku dengan cepat. Mimik wajahnya berubah. Dia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari dalam kelas.

“Bea, jangan ulangi hal itu lagi.”

“Saya bisa benar-benar marah,” sahutku dengan cepat sebelum dia menghilang dari pandanganku.

Di ruangan dosen, ku cari nama Bea Delima dan rupanya dia mahasiswa lama yang baru aktif kuliah lagi setelah mengambil cuti satu semester.

“Anak ini cerdas sih.”

“Katanya ke Singapura selama 6 bulan ini.”

“Oh yah, ini yang di depan parkiran itu kan?” Joko memperhatikan nama Bea lekat-lekat. Aku mengangguk.

“Ya ampun. Mungkin pas masuk ke kampus, dia kaget ada dosen tampan seperti kamu, Faizal.”

“Ya nggak heran sih, kamu seperti pangeran di sini,” kekeh Joko. Aku menghel napas panjang.

Dring!

Ponsel berbunyi.

“Nak Faiza.” Suara Ummi sedikit menenangkanku.

“Ya Ummi?”

“Pulang jam berapa?

“Sebentar lagi Ummi, ada apa?”

Suara Abi terdengar jelas dari sambungan telepon. Sepertinya mereka sedang berbisik-bisik.

“Ini, Bi Ayna ada.”

“Alina juga ada.”

“Ummi mau memperkenalkan kamu sama Alina. Lagi datang ke Bandung dia. Nggk masalah kan Faizal?” tanya Ummi bersemangat. Aku sudah berjanji untuk menerima siapapun yang diperkenalkan ummi kali ini. Entah dia putri sahabatnya atau tentangga kampungnya bahkan jika dia mahasiswa Ummi di kampus, aku terima saja.

“Iya, Faizal sebentar lagi pulang.”

“Alhamdulillah,” ucap Ummi dan terdengar suara abi juga. Ku akhiri telepon dan bersiap kembali ke rumah. Joko dan Abdullah sudah lebih dahulu pulang.

Saat masuk ke dalam lift, gadis itu rupanya sedang menunggu lift yang sama.

“Bapak sudah mau pulang?”

“Bukan urusanmu.”

“Maaf, saya hanya bertanya."

Bibirnya berkerucut karena kesal tapi wajahnya benar-benar lucu. Aku berusaha menahan tawaku. Berpura-pura bersikap dingin di hadapannya. Sesampai di lantai dasar, aku melangkah ke parkiran mobil sedangkan dia duduk di sebuah taman di samping fakultas MIPA. Sesekali dia melihat ke bawah.

Apa dia menunggu seseorang?

Apa aku kasih tumpangan aja? Kasihan juga sih.

Nggak, nggak, ini bukan urusanmu, Faizal. Berhenti, nanti dia tambah besar kepala lagi.

Aku masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraan keluar dari area fakultas. Dari kaca spion, ku pandangi dirinya lagi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status