"Nak, kapan kamu membawah calon menantu untuk Ummi?"
Seperti biasa, Ummi akan bertanya hal seperti itu. Wajahnya terlihat sedih. Dia menatapku dengan pandangan sendu. Kadang juga, dia menangis. Hatiku remuk melihat bidadariku menangis hanya karena perkara jodoh yang tidak kunjung datang di hidupku.
"Sampai kapan Nak Faizal?" lirihnya. Air matanya menetes di pipi. Aku hanya bisa menunduk. Bingung harus menjawab apa.
Namaku Faizal, lelaki dewasa yang sampai saat ini tidak memiliki pasangan. Umurku 30 tahun dan konon, aku sudah sangat pantas untuk menikah, itu yang sering aku dengar dari mereka. Berprofesi sebagai dosen Fisika tidak membuat hidupku mudah mendapatkan jodoh.
Aku terlalu dingin dan penakut, itu yang dikatakan mang Dadang, satpam di kompleks sebelah yang selalu aku ajak minum kopi di kedai mbak Sri.
"Faizal akan berusaha Ummi, kalo memang belum ada yang pas, Faizal pasrah dengan pilihan Ummi," ucapku.
Ummi mengengam tanganku dengan lembut, dia mengelus kepalaku dan mengecupnya. Air matanya menetes lagi dan lagi.
"Yah, masalah jodoh, memang nggak bisa dipaksakan juga. Faizal sudah dewasa, dia bisa menentukan pilihannya sendiri."
Abi keluar dari dalam kamar dan bergabung di ruang tamu bersama kami. Dia menatapku dengan serius. "Itu yang abi katakan lima tahun lalu, saat kamu memilih mengambil studi di Inggris untuk program doktor. Tapi sekarang, sudah sangat berbeda, Faizal," sambung abi sedikit cemas.
"Kami sudah mau meminang cucu," kekehnya sambil tersenyum. Dia berusaha menghibur ummi yang dari tadi menangis sesegukan di sampingnya. Abi sangat romantis kepada ummi. Ummi adalah cinta pertamanya. Bahkan abi rela memperjuangkan ummi dan membawah ummi ke Mesir untuk menemaninya bersekolah.
"Ya, diusahakan lah, Nak. Kalo ada yang kamu suka, langsung gercap aja bawah ke ummi. Kami insyallah setuju dengan wanita pilihanmu, Nak."
Aku menghela napas panjang.
"Insyallah Abi, doakan selalu Faizal, anakmu ini. Doa Abi dan Ummi sangat berarti untuk Faizal. Doa itu lah yang membuat Faizal akan menemukan sang bidadari Faizal," ucapku berlemah lembut.
Ummi menyeka air matanya, dia tersenyum.
"Bagaimana kalo ummi memperkenalkan kamu dengan putri dari sahabat ummi? Insyallah, dia gadis sholeha, namanya Alina. Cantik, menawan dan juga berpendidikan. Dia adalah putri dari ummi Ayna."
Aku mengerutkan kening tidak mengerti.
"Bibi Ayna punya putri?"
Yang aku tahu, sahabat ummi itu tidak memiliki putri. Ummi mengangguk pelan. "Ya, pokoknya lihat dia dulu deh. Masalah jodoh mah, nanti kita pikirkan lagi. Intinya kamu bertemu dia dulu." Aku mengangguk setuju. Demi membahagiakan surgaku, aku akan melakukan hal itu.
Setelah berbicara dengan ummi, aku berpamitan untuk ke kampus. Hari ini, aku akan mengajar beberapa mata kuliah di kampus Tunas Bangsa.
"Dosen tampan!" sahut suara itu. Aku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Siapa yang berani mengodaku? Apa dia tidak punya sopan santun?
Aku menatap seorang gadis cantik tersenyum ke arahku sambil malu-malu memberikan surat.
"Ini surat cinta, Pak." Tangannya bergetar. Dia terus menunduk karena ketakutan. Aku tidak menjawab apapun. Ku pandangai surat yang dibawahnya. Surat itu penuh dengan tanda love dan ada hiasan ciuman di sana.
Apa? Maksudnya dia mengatakan cinta kepada dosennya sendiri? Apa dia tidak tahu ini wilayah kampus. Aku ingin marah tapi melihat wajahnya yang ketakutan, hatiku jadi luluh.
“Saya tidak butuh surat cinta!:”
"Tidak masalah pak, bapak bisa ambil saja dulu."
Aku mengambil surat itu dan dia bergegas berlari. Aku tidak pernah melihatnya di sekitar fakultas. Bahkan, ku yakin dia bukan mahasiswaku. Berani-beraninya dia menyatakan cinta kepadaku?
Aku menatap surat itu lalu menyimpannya ke dalam saku. Gadis itu pergi entah ke mana.
***
"Dapat surat cinta lagi?" Abdulla menepuk pundakku. Aku menoleh dan menatapnya. Aku tersenyum dan mengangguk dengan pelan.
"Ya, mahasiswa di sini tuh suka sama kamu, Faizal."
"Kamu aja terlalu dingin, galaknya minta ampun."
"Siapa sih yang nggak tertarik dengan seorang Faizal, dosen tampan, kaya raya, punya bisnis dan juga ... dia sangat bertanggung jawab dengan pekerjaanya."
Abdullah tertawa terbahak-bahak, dia sepertinya sedang mengejekku, biarlah. Jika seperti ini dia bahagia, aku tidak masalah. Aku sudah lama selalu diisukan dekat dengan seorang mahasiswa. Padahal, mereka yang mendekatiku dan aku tidak pernah meresponnya.
Ada yang gila lagi, seorang mahasiswa mengaku telah mengandung bayiku. Saat itu, ummi sampai di larikan ke rumah sakit karena kaget. Untung saja, mahasiswa itu akhirnya mengaku salah setelah aku mengancamnya.
Namaku hampir saja buruk.
"Sila? Anisa, Aisyah? Atau mau Rahmani?"
Abdullah menyodorkan beberapa foto ke arahku. Aku menoleh dan menatapnya.
"Aku nggak mau dijodoh-jodohkan seperti gini sih."
Abdullah, salah satu sahabatku yang bekerja di kampus ini. Abi yang membuat Abdullah berhasil diterima sebagai dosen. Abdullah sudah menikah satu tahun lalu dengan mahasiswanya sendiri. Kadang, Abdullah sengaja memperlihatkan keromantisannya agar aku segera menikah.
"Mereka tuh bersedia jika kamu mengkhitbahnya."
"Sebenarnya masalahnya bukan di wanitanya, tapi masalahnya di kamu, Faizal. Kamu tuh nggak mau buka hatimu."
Ku perhatikan lima foto yang berada di tangan Abdullah. Semuanya terlihat cantik. Tapi, bukan kecantikan yang menjadi point utama dalam memilih calon istri untukku.
"Annisa, dia lulusan Kairo. Dia anak dari salah satu kyai di kampungku. Aku sudah menjelaskan kepadanya tentang dirimu. Insyallah, kalo kamu bersedia bertemu dengannya, aku akan memberikan fasilitas. Abinya juga setuju, dia ingin bertemu denganmu kalo kamu serius ingin berkenalan dengan putrinya."
LIhat sikap Abdullah kan? Dia bahkan mewawancarai kelima gadis itu untuk dijodohkan denganku. Aku seperti lelaki yang tidak bisa memilih jodohku sendiri dan harus bergantung dengan bantuan orang lain.
"Nggak dulu," jawabku singkat. Joko dan Abdullah saling pandang dalam keheranan. Aku mengeser foto Anisa dan menyuruhnya untuk menyimpannya saja.
"Ummiku akan memperkenalkan kepadaku seorang gadis cantik."
"Aku insyallah nurut sama dia saja," jawabku sambil tersenyum. Kedua lelaki itu sontak mengucap syukur.
"Akhirnya batu karang luluh juga," kekehnya.
Saat memberikan pelajaran di kelas, tidak jarang mahasiswa mencoba untuk mengodaku. Karena statusku yang masih single dan tampak misterius, mereka nekad untuk mencari informasi tentangku. Itu sudah hal biasa, aku seperti artis saja di kampus ini.
"Gimana pak Faizal, surat cintanya diterima nggak?"
Gadis itu belari saat aku baru saja berjalan ke parkiran kampus. Dia tersenyum. Wajahnya sangat manis. Ada gingsulnya yang membuat wajahnya tidak bosan dilihat.
Rambutnya terurai panjang, gadis itu menatapku sambil mengedipkan mata. Manis sekali caranya. Tapi aku tidak suka.
"Kamu siapa?" suaraku dingin.
"Saya Bea, Bea Delina. Bapak belum kenal saya? Saya mahasiswa di sini!" Dia menjulurkan tangannya untuk berpegangan tangan. Aku terus memperhatikannya secara serius.
"Saya sibuk."
"Lain kali, kamu harus tahu untuk sopan kepada orang yang lebih tua. Berapa umurmu?"
"22 tahun pak, sebentar lagi lulus." Setiap dia berbicara, senyuman tidak pernah lepas dari wajahnya.
Aku membuka pintu mobil dan segera masuk.
"Saya tidak tertarik dengan kamu!" ucapku lalu menjalankan mobil dan pergi dari hadapannya. Dari kaca spion, ku lihat wajahnya yang cemberut. Dia berdecak kesal. Aku tersenyum. Dia benar-benar lucu.
***
“Bapak mau menikah sama saya?” Suara itu mengagetkanku saat aku baru saja turun dari mobil dan seorang gadis manis berdiri di ujung sana sambil memperlihatkan spanduk berbentuk love. Aku melangkah mendekatinya. “Pak Faizal, diterima aja!” “Pak Faizal terima!” “Terima!” “Terima!” Sorakan itu membuatku melihat ke sisi kiri tempat parkiran. Para mahasiswa yang tidak ku kenali wajahnya sedang berkumpul mengelilingi mobilku. Wajah perempuan itu memerah, semerah tomat. Dia terus menunduk dan tidak berani menatapku. Ku pandangi wajahnya dengan tatapan tajam agar dia takut dan mengurungkan niatnya melakukan hal konyol seperti ini. “Delima?” Dia menongakan wajahnya dan menatapku. Ku akui, senyumannya sangat manis. Bahkan saat dia tersenyum, ada gigil gingsul yang terlihat jelas di sana. “Iya, pak. Saya Bea Delina, bukan Delima,” serunya mengoreksiku. “Apapun itu, Delina atau Delima.” “Apa kamu tahu perbuatanmu saat ini?” Suaraku mulai meninggi. “Iya pak, melamar bapak.” Wajahnya sa
Matahari memasuki fase senja saat cahayanya berubah menjadi nuansa keemasan yang lembut. Langit dipenuhi oleh warna oranye, merah muda, dan ungu pucat yang memancarkan kehangatan dan keindahan. Awanan terlihat seperti lukisan lembut yang tersusun dengan sempurna, menciptakan latar belakang yang mempesona untuk momen romantis ini. Angin sore berhembus dengan lembut, membelai kulit dengan kelembutan yang menenangkan. Suara desiran angin memperindah suasana, membawa aroma bunga-bunga dan dedaunan yang segar. Mungkin terdengar juga suara daun-daun yang bergoyang dan dahan-dahan yang bergesekan, menciptakan melodi alami yang menenangkan hati. Aku suka senja dan sejak kecil, senja bisa menenangkan hatiku. Di sore ini, sepulang dari kampus sambil menikmati senja, aku malah memikirkan gadis kecil yang duduk termenung di bawah pohon besar di samping fakultas. Taman kecil itu digunakan mahasiswa untuk menunggu jemputan. Hari sudah sore dan mungkin saja dia menunggu seseorang. Ya ampun, apa y
Aku sama sekali tidak tenang. Entah mengapa, wanita itu menyita perhatianku. Aku segera menghubungi Reza, salah satu mahasiswaku yang ku yakini, dia pasti tahu masalah ini. “Ya pak?” Dia dengan cepat mengangkat telepon dariku. “Yang kena jambret siapa?” tanyaku dengan cepat. “Oh, si Bea pak, kemarin dia yang kena jambret. Luka di pelipis, sempat jatuh, kasihan banget.”“Dia tuh kasihan banget sih pak. Harus nunggu jemputan dari adiknya baru bisa pulang,” sambung Reza lagi. Aku menghela napas panjang. “Oke, saya ke sana.”Dengan cepat aku mengambil jacket lalu segera keluar dari dalam kamar. Ummi menatapku dengan bingung. “Faizal, mau kemana?”“Ini udah jam delapan loh, nggak seperti biasanya,” tanya ummi terheran. Aku memang sangat jarang keluar rumah. Aku tidak terlalu suka. “Besok, kamu dan Alina harus bertemu lagi. Mau bahas sesuatu.” Ummi tersenyum saat menyebut nama Alina. Dia menatapku seakan menunggu jawaban. Ummi sangat menyukai Alina. Bahkan dia sangat bersemangat untuk
“Gimana, udah lihat Alina kan?”“Cantik? Ummi lupa cerita, kalo wanita itu adalah seorang dokter. Lagi coas sih, sebentar lagi jadi dokter,” gumam ummi sambil memandangiku. Baru saja sampai dan makan malam bersama, Ummi segera bercerita tentang Alina.“Faizal ketemu tadi, Mi.”“Di rumah sakit.”Bola mata ummi melebar. “Gimana? Cantik kan? Aku yakin, kamu pasti suka sama dia. Dia wanita baik,” sahut ummi antusias. Aku tidak bersuara, bingung juga soalnya wanita itu sama sekali tidak aku kenali.“Ya, sudah, besok Faizal baru cerita lagi sama dia.” Aku beranjak dari meja makan saat semua sudah selesai. Ummi terlihat ragu.“Tapi kamu suka sama dia kan? Ummi nggak maksa loh kalo kamu nggak suka, Faizal,” sambung ummi dengan cepat. Aku menghela napas panjang dan berbalik menatap ummi.“Faizal suka kok ummi.”“Tenang saja.”Aku tersenyum memandangi bidadariku. Ummi tampak lega dengan jawabanku. Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan menuju kamar. Beberapa pesan masuk.[Pak Faizal, aku taku
Ummi sibuk menyiarkan berita mengenai acara lamaranku di grup keluarga. Semua keluarga sudah setuju dan memuji kehebatan Alina. Seorang dokter. Katanya, aku dan Alina adalah pasangan yang serasi. Kami memiliki kesamaan. Sama-sama berasal dari keluarga berpendidikan. Aku tidak tahu, mengapa mereka mematok hal itu. “Mas?” Alina menghubungiku. Aku sudah mengatakan kepadanya untuk tidak menghubungiku dulu selama acara ini belum selesai. Ya, untuk menjaga hatiku dengan hatinya. “Ya?” Ummi memaksaku untuk mengangkat teleponnya. “Mas Faizal, besok ada waktu?” tanyanya. “Kemana?” tanyaku. “Sebaiknya, jangan dulu deh kita pergi berduaan, nggak enak,” seruku dengan cepat. Wanita itu terdiam beberapa saat. “Abi dan ummi juga sudah setuju, kalo kita menjaga jarak dulu. Lamaran akan dilaksanakan dua hari lagi dan pernikahan kita sesuai kesepakatan akan dilaksanakan bulan depan. Tanggalnya belum jelas. Aku maunya, kita nggak intens dulu berhubungan, gimana?” Aku harap dia setuju. “Iya Mas,”
“Jadi, Bea tinggal di sini?” Pertanyaan itu selalu terbesit di pikiranku. Aku cukup terkejut mengetahui jika Bea adalah anak yatim piatu. Mengapa aku tidak pernah melihatnya di panti Jannah?Aku kembali ke rumah pukul empat sore. Setelah sholat Azhar, aku segera ke ruang kerja ummi. Di sana, dia memandangiku dengan sangat lama. Aku bingung harus memulai pembicaran dari mana. “Ummi kenal ibu Jubaidah?” Di depan pintu, aku menatap ummi yang sedang merajut. Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama ibu Jubaidah. “Kamu kenal dimana? Biasanya kalo dari panti, kamu yang paling cepat pulang,” kekehnya. Ummi meninggalkan bahan rajutannya. Dia berjalan mendekatiku. “Hmm … tadi ketemu … tadi lagi ngantar salah satu mahasiswa yang tinggal di sana,” ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ummi cukup terkejut. “Benarkah?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. “Namanya Bea, ummi kenal?” “Nggak tahu tuh, ummi nggak kenal anak-anak di sana. Tapi kebetulan abimu mau ke sana, lag
Panti Asuhan Al-Jannah adalah panti asuhan yang didirikan oleh ibu Jubaidah. Salah satu sahabat abi waktu sekolah dulu. Maka dari itu lah, abi ingin membuat pesantren khusus. Abi sudah lama membahas hal ini. Abi selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Pukul delapan pagi, Ummi sangat sibuk untuk menyiapkan beberapa makanan dan juga kue yang akan dibawah ke pesantren. “Nggak apa-apa toh sehari bersama Ummi di panti?” tanya Ummi, dia menatapku secara serius. “Nggak apa-apa Ummi, toh Faizal juga nggak ada kerjaan.”Ummi tersenyum. Aku membantu Mang Asep untuk membawah beberapa perlengkapan Ummi ke dalam mobil. Abi yang akan menyetir mobil kali ini. “Tumben banget Faizal tertarik yah Mi ke panti,” kekeh Abi mulai mengodaku. Aku sangat jarang mengikuti mereka. “Hmm, lagi bosan di rumah,” gumamku. “Serius?” Ummi memandangiku secara lekat. “Iya Ummi, lagi pula program abi ini sangat baik. Insyallah Faizal akan membantu.” Saat aku mengatakan hal itu, abi cukup terkejut.
Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. “Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. “Nggak tahu juga nih Sarah.”“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbar