Lima bulan kemudian .... Aina dan Hasan sudah kembali ke Jambi melakukan aktivitas seperti biasa, namun Aina sedikit lebih sibuk karena dia telah merenovasi warung baksonya menjadi lebih luas dan lebih apik. Laras sudah bekerja di warung bakso, dia tingga bersama dengan Anisa di kontrakan dekat warung bakso tersebut, warung bakso yang ada dua kamar tetap ditempati Ihsan dan Kamal. Sejak peristiwa tragis yang dialami istrinya di pulau Jawa itu, Hasan menjadi lebih protektif dan posesif terhadap istrinya. Tiap satu jam sekali pasti lelaki itu menelpon memastikan istrinya berada di mana. Walaupun ketika di kampus dia meminta Steven atau Kamal untuk mengawasi istrinya, bukan kenapa-kenapa, Hasan hanya trauma terhadap apa yang dialami Aina dulu. Aina sendiri tidak mengalami kendala apapun, dia tidak mengalami mimpi buruk atau trauma apapun sejauh ini, baginya ketika Hasan mau menerima kondisinya, akan menjadi obat mujarab bagi jiwanya, bisa menguatkan langkah hidup selanjutnya. Sejak La
Setelah beberapa kali mengikuti kajian di kampus, Aina mengutarakan keinginannya pada suaminya, tentu saja Hasan sangat senang menyambutnya."Kau ingin berjilbab, Sayang? Tentu saja Abang sangat mendukung. Abang sangat senang kau punya keinginan seperti ini, aurat itu memang harus ditutupi, selama ini Abang juga berkeinginan seperti itu, cuma melihat kesiapan kamu saja, Sayang ... Kalau perlu kau bercadar.""Semua butuh proses, Abang. Aku gak mau berjilbab atau bercadar hanya bertujuan menutupi aurat, kalau bisa melakukan itu karena diniatkan ibadah, jadi kalau sudah bercadar jangan sampai dibuka lagi, itu yang belum aku bisa, Bang.""Ya, kalau gitu berjilbab saja, tetapi jilbabnya yang lebar.""Iya, biarpun berjilbab lebar tetapi tetap masih bisa modis kok.""Ya, ayo ... Kita belanja di butik muslim."Hari Minggu sore mereka menyempatkan menyambangi butik yang menjual pakaian muslim, Hasan ikut membantu istrinya memilih pakaian yang cocok dipakai kuliah. Cukup banyak yang mereka beli
Kepergian yang mendadak Hasan dan Aina harus tertunda karena tidak mendapat tiket pesawat, apalagi akhir pekan seperti ini, yang tadinya mau berangkat pagi jadi tertunda siang.Pagi-pagi dia sudah mendapat telpon dari Anisa yang mengeluh tentang Laras. Kepala Aina hampir pecah memikirkan saudara tak tahu diri itu. Hasan yang baru pulang joggin di sekitar kompleks mendapati istrinya yang tengah ngomel-ngomel di telepon."Apa sih, Sayang? Pagi-pagi sudah ngomel-ngomel? Belum bikin sarapan?""Mana sempat? Itu Anisa mengeluh tentang Laras. Lama-lama gedek sama Jawir satu itu.""Memangnya masalahnya apa?""Dia sudah kupecat kemarin.""Kok dipecat?""Gimana gak dipecat? Semua pelangganku pada kabur. Dia melayani pelanggan kasar banget, bahkan ada yang dimaki-maki sama dimarah-marahin, kemarin pelanggan pada komplain sama aku. Sekarang dia memaksa Anisa untuk mengantar ke rumah kita, dia memaksa jadi pembantu di sini, tujuannya jelas banget mau deketin Abang."Hasan tersenyum melihat bibir c
Setelah mendapat pesan dari Aina, Steven tidak bisa berpikir lagi. Dia langsung mandi, bergegas berpakaian dan memasukkan beberapa pakaian dengan asal ke tas ransel. Dia segera menuju bandara dengan motor sport-nya. Beruntung dia masih mendapatkan tiket ke Jakarta pada penerbangan jam tujuh malam. Hari masih jam lima sore, masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatan. Steven segera pulang untuk mengembalikan motornya dan kembali lagi ke bandara dengan menggunakan taksi. Satu jam menunggu sebelum pesawat take off membuatnya tidak sabaran, perasaannya sudah tidak karuan. Gelisah tidak menentu, apa yang akan dikatakan pada Melanie jika bertemu nanti? Di dalam pesawat, Steven hanya melamun menyesali diri, dia berkali-kali menghirup napas panjang dan berat. Apa bedanya dia dengan Agung? Sama-sama lelaki brengsek, namun mungkin dia lebih brengsek. Karena jejak kebrengsekannya tertinggal di rahim Melanie. Sementara Aina, ketika di rawat di rumah sakit, dokter langsung mengantisipasi dengan
Tak berapa lama pintu ruang ICU terbuka, muncullah sesosok lelaki berusia empat puluh tahun yang penampilannya masih seperti usia tiga puluh tahunan. "Abang, lelaki itu mirip banget sama Abang, kayak kakak adik kalian," bisik Aina di telinga suaminya. "Om Andi?" Hasan langsung menghampiri lelaki yang tengah berdiri mematung di tengah pintu, lelaki itu juga melangkah menghampiri Hasan, kedua tangannya terentang, menyambut pekikan keponakannya itu. "Hasan ... Kau sudah sebesar ini? Dulu terakhir ketemu kau masih kecil." "Kejadian itu sudah delapan belas tahun yang lalu, Om. Om Andi juga tidak berubah, masih muda dan gagah, selama ini Om kemana saja? Kenapa tidak pernah mengunjungi aku lagi sejak ibu meninggal?" Andika tersenyum penuh misteri, matanya menyiratkan kesedihan, hanya Andini saudara yang Andika punya setelah ibunya meninggal, namun saudaranya itu juga pergi dengan kasus yang sama seperti ibunya, harusnya Andika pergi mengunjungi keponakannya, masih ada Hasan dan Haris s
Setelah seharian mengelilingi daerah Ubud Bali, dengan membawa foto Melanie, Steven kembali lagi ke hotel. Usaha hari ini sungguh tidak membuahkan hasil, yang ada rasa lelah yang tak terkira. Entah kemana wanita itu pergi, lagipula Ubud kan daerahnya luas, haruskah Steven menyusuri setiap jengkal tanah di daerah ini? "Mel ... Di mana kau kini? Sekarang kurasakan rindu yang sangat dalam kepadamu Mel, maafkan aku ...." Steven hanya bisa mengeluh sambil mengamati langit-langit kamar. Terbayang malam pertama mereka ketika di Australia dulu, teriakan dan desahan Melanie sungguh membuatnya terhanyut dan kecanduan, hingga ketika wanita itu menghilang, dia seperti orang gila mencarinya ke mana-mana. Sekarang ketika mereka dipertemukan lagi, justru dia yang meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil pula, bukan karena kesalaha yang wanita itu lakukan, tetapi kesalahannya yang terlalu egois. Steven berpikir keras, dia tidak mungkin menemukan Melanie ditempat keramaian seperti tempat pencaria
Ketika Melanie baru sampai di klinik, dia segera memasuki ruangannya, klinik ini didirikan oleh teman kuliahnya di kedokteran dulu, sekarang temanya itu tengah mengambil spesialis di UGM, jadi ketika Melanie menghubunginya karena mau pindah ke Bali, temannya itu langsung meminta Melanie menjalankan kliniknya tersebut. Seorang perawat yang bertugas membantunya tergopoh-gopoh mendatanginya. "Ada apa, Sus?" tanya Melanie. "Ada korban kecelakaan, Dok. Sudah berada di ruang UGD." Klinik tersebut memang sudah dilengkapi ruang UGD, ada tiga dokter yang bertugas di sini, Melanie bertugas pagi sampai jam sebelas siang, sedang rekannya yang lain bertugas siang dan malam, karena paginya mereka bertugas di puskesmas masing-masing karena mereka dokter PNS. "Mari, Dok. Kita ke UGD," ujar perawat tersebut. Melanie yang tengah hamil besar tidak bisa berjalan cepat, dia menuju ke ruang UGD dengan santai. Sampai di ruang UGD, ada dua orang perawat satu pria dan satu wanita yang tengah menangani
Melanie yang melihat tatapan kedua bawahannya menjadi lemah, dia seorang paramedis, tentu tidak boleh mengabaikan keselamatan manusia karena masalah pribadi, harus bisa profesional, memisahkan masalah pribadi dan pekerjaan. "Baiklah, Steven ... Ayo, bangun." "Berjanjilah kau akan memberikan kesempatan kedua untukku, jika kau tidak mau memberikan kesempatan itu, aku lebih baik tidak perlu dirawat, biar saja aku kehilangan kakiku, atau sekalian kehilangan nyawaku." "Steven! Get up! What you say? Jangan menyulitkan hidupku lagi!" teriak Melanie marah, mata wanita itu memerah. "Apa kau ingin anak dalam kandunganku ini memiliki ayah yang cacat? Atau menjadi yatim sebelum lahir, ha?" Mendengar itu, Steven tersenyum tertahan, gelayar halus menyelimuti hatinya, merasaka kehangatan yang sulit diutarakan. Melanie memang wanita yang lembut hati pada dasarnya, jika dia sudah mencintai seseorang dia akan totalitas mencintainya, contohnya saja ketika dia jatuh cinta pada Hasan, dia memberikan