“Soal papa?”
Edo mengerutkan keningnya, raut wajahnya berubah serius, ia kemudian menarik sang adik duduk di kursi yang ada di dekat IGD, kursi yang masih kosong tentunya untuk menjaga privasi mereka bicara.
“Iya, soal papa, Kak. Kakak masih bersikeras menolak apa yang sudah menjadi pilihan papa?” tanya Aldo sambil menoleh menatap sang kakak yang duduk di sebelahnya itu.
Sebuah obrolan yang Aldo yakin akan mematik emosi dari sosok kakaknya ini. Namun untuk kali ini saja, Aldo harap Edo bisa mengerti dan mau diajak bicara baik-baik. Edo tampak menghela nafas kasar, ia melirik sang adik dan kemudian memijit keningnya dengan kesal.
“Beri kakak satu alasan kenapa kakak harus menerima apa yang sudah menjadi pilihan
“Bukan! Please jangan negatif thingking dulu, Kak. Tidak seperti itu!” tukas Aldo gemas, orang satu ini bisa nggak sih kalau nggak negative thingking sama orang?“Lantas? Kenapa dia mau meninggalkan papa?” tantang Edo emosi.“Aku yang minta, aku yang suruh dia pergi!” guman Aldo lirih, ia menundukkan wajahnya.“Apa? Tunggu!” Edo membetulkan posisi duduknya lalu menatap Aldo dengan serius, “Kamu yang minta dia pergi, lantas kenapa sekarang kamu bujuk kakak untuk menyetujui hubungan papa dengan dia, Al? Kakak tidak mengerti, Al!” guman Edo sambil memijit pelipisnya.“Awalnya aku juga sependapat dengan kamu, Kak. Aku temui dia beberapa bulan yang lalu, aku bicara baik-baik padanya, meminta dia pergi dari hidup papa,” Aldo menatap lurus ke depan, menatap parkiran yang tampak lenggang itu.“Dia bilang apa?” cecar Edo yang begitu penasaran.“Dia awalnya menol
Adnan tersenyum ketika melihat Redita masih tergolek begitu pulas di balik selimutnya. Siapa suruh kemarin minta nambah? Adnan benar-benar heran, kenapa akhir-akhir ini Redita jadi semakin manja dan semakin menempel dengan dirinya? Adnan sudah begitu rapi dengan celana bahan dan kemeja warna biru itu. Ia kemudian melangkah mendekati Redita yang masih pulas di balik selimut itu.Adnan duduk di tepi ranjang, membelai lembut wajah itu lalu mengecup kening sang isteri. Kenapa Adnan bisa secinta dan sesayang ini kepadanya? Ia masih sangat ‘bocah’ Adnan tahu betul itu, seumuran anaknya bukan? Tapi kenapa Adnan bisa begitu sangat mencintai sosok itu?“Sayang, saya berangkat dulu ya! Baik-baik selama saya kerja.” bisik Adnan yang tidak mau menganggu tidur sang isteri.
Aldo menghela nafas panjang, ia sudah duduk di dalam pesawat, kenapa perasaanya sedikit tidak enak? Apa yang membuat ia sedikit ragu untuk berangkat tugas hari ini? Apakah karena tujuan utamanya datang ke sini belum ia lakukan? Apakah rasa bersalahnya sudah meminta sosok itu pergi yang membuat Aldo jadi tidak enak dan enggan untuk pergi?Pesawat sudah membawanya melintas di atas hamparan laut biru. Ia menatapnya dari jendela tempat ia duduk. Sediki perasaan berdosa menyeruak dari dalam hatinya. Bagaimana kalau kemudian sosok itu terlanjur pergi? Apa yang kemudian akan terjadi pada ayahnya? Hancur untuk yang kedua kali? Anak macam apa dia ini?Aldo memijit ujung hidungnya dengan gemas, kenapa ia bisa sejahat ini pada sang papa? Kenapa ia bisa seegois ini dan menyiksa satu-satunya orang yang bahkan sudah berkorban banyak untuk kehidupannya itu?“Maafkan Aldo, pa!”Aldo kembali menatap hamparan laut, dalam hati ia terus berdoa semua Tuhan m
“Sudah siap untuk besok?” Adnan memeluk dari belakang sosok yang tengah membuat secangkir teh hangat di dapur itu.Redita tertegun, matanya sudah memanas. Ia hanya mengangguk pelan sambil kembali fokus menuangkan gula dan air panas ke dalam cangkit itu. Tentu, pasti yang suaminya itu bahas adalah perihal sumpah dokternya, bukan? Tentu dia sudah siap, termasuk siap untuk pergi setelah itu sesuai dengan pernjanjian yang sudah ia buat dengan Aldo.“Nanti saya akan usahakan kamu agar tetap internship di kota ini, Re. Dulu Edo bisa saya usahakan, dan untukmu juga akan sama, akan saya usahakan juga.” Bisik sosok itu lirih, sebuah bisikan yang mampu membuat hati Redita begitu pedih.Redita merasakan hatinya mencelos, jujur rasanya ia ingin menangis seja
Aldo menatap langit yang menghitam itu, rasanya ia ingin pergi, lari guna menyelesaikan masalahnya. iPhone sudah masuk kembali ke dalam kantong, meninggalkan secercah perasaan ragu yang menyeruak luar biasa di dalam hatinya. Kenapa perasaan Aldo tidak enak? Apa yang kemudian akan terjadi? Aldo mencoba mengusir jauh-jauh perasaan tidak enak itu dari dalam hatinya, tidak ada hal buruk yang boleh terjadi. Tidak boleh!Namun hal buruk yang seperti apa Aldo sendiri tidak tahu! Aldo merogoh saku celananya, mengeluarkan bungkus rokok dan korek yang selalu ia bawa kemana-mana. Hanya ketika di sini lah ia berani merokok, di rumah? Mana berani! Punya bapak dan kakak seorang dokter terkadang cukup merepotkan. Aldo menyalakan dan menyesap rokok itu dalam-dalam, ia memejamkan matanya sejenak. Membiarkan nikotin dalam rokok i
Edo mengernyit ketika jarinya selesai dijahit. Memang di anestesi, hanya saja tetap terasa bukan benang itu ditarik-tarik menembus kulitnya? Ia menatap nanar jarinya yang sudah bersih dari darah itu. Pikirannya fokus ke Arra, ia khawatir pada gadisnya itu. Arra baik-baik saja bukan? Arra memang sudah mahir membawa mobil sendiri, hanya saja jujur Edo sebenarnya khawatir jika Arra harus pulang ke Solo dengan menyetir sendiri macam tadi. “Dok, sama dokter Ambar disuruh istirahat saja di sini, tidak usah balik ke dalam,” guman perawat OK tadi sambil memberesi perlangkapannya. “Baik terima kasih banyak, Sus,” Edo tersenyum, ia bergegas melepas gown-nya, lalu mencuci tangannya di wastafel. Untung jarinya sudah dilapisi plester anti air, jadi Edo tetap bisa mencuci tangannya bersih-bersih seperti ini. Ia bergegas meraih snelli-nya yang ada di dalam loker, mengambil iPhone dan terkejut luar biasa ketika mendapati ada puluhan panggilan tidak terjawab. Siapa? Kenapa sa
Redita menatap bayangan dirinya di cermin. Sekarang ia sudah siap, siap untuk diambil sumpah dokternya dan kemudian siap untuk kemudian pergi dari semua ini. Ia menghela nafas panjang, bergegas melangkah keluar dari salon yang merias wajahnya pagi ini guna menemui Adnan yang sudah menantinya di dalam mobil. Adnan tertegun menatap sosok yang masuk ke dalam mobilnya itu. Tidak salah bukan kalau kemudian ia jatuh cinta dengan sosok itu? Adnan tersenyum begitu manis, dibelainya lembut. Redita merasakan hatinya teramat pedih. Apakah Adnan tidak merasa bahwa setelah semua ini selesai maka isterinya ini akan segera pergi dari hidup Adnan? Apakah ia tidak merasa bahwa ini adalah saat-saat terakhir Redita bersama sosok itu? “Kamu cantik sekali, Sayang!” puji Adnan tulus. Redita tersenyum, ia berusaha menekan semua perasaan hancurnya yang sejak beberapa hari ini menyiksanya dengan begitu luar biasa. Kuatkah ia melewati semua ini setelah ia pergi? Apakah hidupnya akan l
“Kira-kira nanti kita ketemu di mana? Kamu ada nomornya, Sayang?” tanya Arra sambil mengunyah sandwich isi tuna yang tadi ia beli di minimarket. Mereka sudah dalam perjalanan menuju Solo, hendak menemui sosok itu guna membatalkan semua perjanjian gila yang sudah Aldo dan sosok itu sepakati. “Nah itu, aku sendiri tidak tahu harus mencari kemana, yang jelas kita sampai Solo nanti acara sumpah dokternya sudah selesai bukan?” Edo tersenyum kecut, ia sama sekali tidak tahu kemana nantinya akan mencari sosok Redita itu, ia tidak punya nomor handphone atau alamatnya. “Lha terus nanti gimana?” Arra melotot, bagaimana bisa ketemu orangnya kalau begini? Ia pikir tunangannya itu sudah tahu setelah ini harus kemana untuk menemui sosok itu, rupanya Edo malah belum tahu? “Sayang,