Aldo menghela nafas panjang, ia sudah duduk di dalam pesawat, kenapa perasaanya sedikit tidak enak? Apa yang membuat ia sedikit ragu untuk berangkat tugas hari ini? Apakah karena tujuan utamanya datang ke sini belum ia lakukan? Apakah rasa bersalahnya sudah meminta sosok itu pergi yang membuat Aldo jadi tidak enak dan enggan untuk pergi?
Pesawat sudah membawanya melintas di atas hamparan laut biru. Ia menatapnya dari jendela tempat ia duduk. Sediki perasaan berdosa menyeruak dari dalam hatinya. Bagaimana kalau kemudian sosok itu terlanjur pergi? Apa yang kemudian akan terjadi pada ayahnya? Hancur untuk yang kedua kali? Anak macam apa dia ini?
Aldo memijit ujung hidungnya dengan gemas, kenapa ia bisa sejahat ini pada sang papa? Kenapa ia bisa seegois ini dan menyiksa satu-satunya orang yang bahkan sudah berkorban banyak untuk kehidupannya itu?
“Maafkan Aldo, pa!”
Aldo kembali menatap hamparan laut, dalam hati ia terus berdoa semua Tuhan m
“Sudah siap untuk besok?” Adnan memeluk dari belakang sosok yang tengah membuat secangkir teh hangat di dapur itu.Redita tertegun, matanya sudah memanas. Ia hanya mengangguk pelan sambil kembali fokus menuangkan gula dan air panas ke dalam cangkit itu. Tentu, pasti yang suaminya itu bahas adalah perihal sumpah dokternya, bukan? Tentu dia sudah siap, termasuk siap untuk pergi setelah itu sesuai dengan pernjanjian yang sudah ia buat dengan Aldo.“Nanti saya akan usahakan kamu agar tetap internship di kota ini, Re. Dulu Edo bisa saya usahakan, dan untukmu juga akan sama, akan saya usahakan juga.” Bisik sosok itu lirih, sebuah bisikan yang mampu membuat hati Redita begitu pedih.Redita merasakan hatinya mencelos, jujur rasanya ia ingin menangis seja
Aldo menatap langit yang menghitam itu, rasanya ia ingin pergi, lari guna menyelesaikan masalahnya. iPhone sudah masuk kembali ke dalam kantong, meninggalkan secercah perasaan ragu yang menyeruak luar biasa di dalam hatinya. Kenapa perasaan Aldo tidak enak? Apa yang kemudian akan terjadi? Aldo mencoba mengusir jauh-jauh perasaan tidak enak itu dari dalam hatinya, tidak ada hal buruk yang boleh terjadi. Tidak boleh!Namun hal buruk yang seperti apa Aldo sendiri tidak tahu! Aldo merogoh saku celananya, mengeluarkan bungkus rokok dan korek yang selalu ia bawa kemana-mana. Hanya ketika di sini lah ia berani merokok, di rumah? Mana berani! Punya bapak dan kakak seorang dokter terkadang cukup merepotkan. Aldo menyalakan dan menyesap rokok itu dalam-dalam, ia memejamkan matanya sejenak. Membiarkan nikotin dalam rokok i
Edo mengernyit ketika jarinya selesai dijahit. Memang di anestesi, hanya saja tetap terasa bukan benang itu ditarik-tarik menembus kulitnya? Ia menatap nanar jarinya yang sudah bersih dari darah itu. Pikirannya fokus ke Arra, ia khawatir pada gadisnya itu. Arra baik-baik saja bukan? Arra memang sudah mahir membawa mobil sendiri, hanya saja jujur Edo sebenarnya khawatir jika Arra harus pulang ke Solo dengan menyetir sendiri macam tadi. “Dok, sama dokter Ambar disuruh istirahat saja di sini, tidak usah balik ke dalam,” guman perawat OK tadi sambil memberesi perlangkapannya. “Baik terima kasih banyak, Sus,” Edo tersenyum, ia bergegas melepas gown-nya, lalu mencuci tangannya di wastafel. Untung jarinya sudah dilapisi plester anti air, jadi Edo tetap bisa mencuci tangannya bersih-bersih seperti ini. Ia bergegas meraih snelli-nya yang ada di dalam loker, mengambil iPhone dan terkejut luar biasa ketika mendapati ada puluhan panggilan tidak terjawab. Siapa? Kenapa sa
Redita menatap bayangan dirinya di cermin. Sekarang ia sudah siap, siap untuk diambil sumpah dokternya dan kemudian siap untuk kemudian pergi dari semua ini. Ia menghela nafas panjang, bergegas melangkah keluar dari salon yang merias wajahnya pagi ini guna menemui Adnan yang sudah menantinya di dalam mobil. Adnan tertegun menatap sosok yang masuk ke dalam mobilnya itu. Tidak salah bukan kalau kemudian ia jatuh cinta dengan sosok itu? Adnan tersenyum begitu manis, dibelainya lembut. Redita merasakan hatinya teramat pedih. Apakah Adnan tidak merasa bahwa setelah semua ini selesai maka isterinya ini akan segera pergi dari hidup Adnan? Apakah ia tidak merasa bahwa ini adalah saat-saat terakhir Redita bersama sosok itu? “Kamu cantik sekali, Sayang!” puji Adnan tulus. Redita tersenyum, ia berusaha menekan semua perasaan hancurnya yang sejak beberapa hari ini menyiksanya dengan begitu luar biasa. Kuatkah ia melewati semua ini setelah ia pergi? Apakah hidupnya akan l
“Kira-kira nanti kita ketemu di mana? Kamu ada nomornya, Sayang?” tanya Arra sambil mengunyah sandwich isi tuna yang tadi ia beli di minimarket. Mereka sudah dalam perjalanan menuju Solo, hendak menemui sosok itu guna membatalkan semua perjanjian gila yang sudah Aldo dan sosok itu sepakati. “Nah itu, aku sendiri tidak tahu harus mencari kemana, yang jelas kita sampai Solo nanti acara sumpah dokternya sudah selesai bukan?” Edo tersenyum kecut, ia sama sekali tidak tahu kemana nantinya akan mencari sosok Redita itu, ia tidak punya nomor handphone atau alamatnya. “Lha terus nanti gimana?” Arra melotot, bagaimana bisa ketemu orangnya kalau begini? Ia pikir tunangannya itu sudah tahu setelah ini harus kemana untuk menemui sosok itu, rupanya Edo malah belum tahu? “Sayang,
Edo membelokkan mobilnya masuk ke dalam halaman gedung RSUD tempat sang papa dan calon papa mertuanya dinas. Ia harus segera mungkin menemukan sosok itu, menyelesaikan masalah ini dan hidup tenang tanpa bayang-bayang rasa bersalah yang menghantui dirinya karena sudah bersikap tidak adil pada sang papa.Dengan tergesa Edo bergegas turun dari mobil begitu ia beres parkir. Begitu pula dengan Arra. Satu tempat yang langsung akan mereka tuju adalah poli penyakit dalam, ruang praktek papa Arra, karena tidak mungkin kalau mereka menuju ruang praktek papa Edo, bisa runyam. Mereka terus melangkah menuju poli penyakit dalam, menyusuri lorong rumah sakit sambil sedikit was-was kalau terlihat oleh Adnan.“Sus, Dokter Yudha masih di ruangan? Atau sedang visiting?” tanya Arra pada beberapa perawat yang ada di nurse station beg
“Benerdi sini?” Edo mengerutkan keningnya, mereka sudah berhenti di depan sebuah kost puteri yang ada di belakang perguruan tinggi negeri di kota Solo itu. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Edo sedikit ragu, pasalnya ini kost khusus puteri dan ada tulisan tamu laki-laki dilarang masuk, padahal selama ini papanya tidak pernah pulang kerumah, masa iya sih papanya tidur di sini? Sangat tidak mungkin! Namun tidak ada salahnya mencoba mencari tahu, siapa tahu mereka bisa menemukan sosok itu di sini ataupun data perihal dirinya di rumah kost khusus puteri ini.“Bener Sayang, ini tempatnya.” Arra membaca lagi pesan WhatsApp yang dikirimkan sang papa, memang ini nama rumah kost yang dihuni Redita, calon mama mertuanya.“
Arra dan Edo melangkah keluar dari gedung fakultas kedokteran universitas negeri kota Solo itu dengan langkah lunglai. Pihak kampus hanya punya alamat Redita yang di Semarang, nomor telepon yang dulu ia daftarkan bahkan sudah tidak aktif, begitu pula dengan nomor telepon rumah. Hanya alamat yang ada di Semarang yang Arra dan Edo dapatkan dari gedung fakultas dan bagian kemahasiswaan.“Coba ke Semarang? Mungkin dia langsung pulang ketika selesai di sumpah tadi,” guman Arra ketika mereka sudah kembali dari bagian kemahasiswaan guna mencari data dan alamat rumah Redita.“Boleh deh, ini hari terakhir dan kita nggak boleh sia-siakan kesempatan terakhir ini, Sayang. Tapi kamu nggak apa-apa ikut sampai Semarang? Atau mau aku antar pulang?” tawar Edo yang tahu betul pasti gadisnya ini lelah sejak tadi pagi be