POV DANU Kepalaku lama-lama pusing memikirkan apa langkah yang akan ku ambil untuk melanjutkan misi ini, mana sekarang sudah hari ke 118 lagi, dan hari ini sama sekali nggak ada kegiatan untuk survei atau apalah. "Argh, gimana ini, apa yang harus ku perbuat?" Memegangi kepala lalu menyapukan tangan ke wajah. "Kok bisa buntu begini, sih langkahku?" Aku merebahkan diri di spring bed sambil memandang langit-langit kamar. Dilangit kamar malah nampak bayangan Zahra menoleh lalu melempar senyum kemudian menunduk dalam bayangan dia mengenakan hijab merah. Ah, cantik sekali, bak adegan sinetron FTV langsung terputar olomatis lagu Band Wali. 🎶Dia gadis berkerudung merah hatiku tergoda tergugah tak cuma parasnya yang indah dia baik dia Sholeha🎶 Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri menatap langit-langit kamar yang ada bayangan Zahra disana, cukup lama aku terlena oleh bayangan semu Zahra yang tercipta dari kekuatan ilusi magic sebuah rasa yaitu "Cinta" hingga akhirnya ku tersadar oleh s
POV DANU kudekati Pak Kasno perlahan lalu kutepuk pundaknya. "Ya, salam!" pekiknya terkejut, ia menoleh sambil menjauhkan ponselnya dari telinga. "Aduh, Aden bikin kaget aja," ucap Pak Kasno mukanya masih terkejut. Aku tersenyum geli melihat ekspresi pak Kasno. "Biasa aja dong, mukanya," ledek ku padanya. "Oh, iya, Pak ... kunci mobil saya dimana, ya?" tanyaku sopan sambil berdiri menyandarkan tasku dipundak. "Ada, Den itu, di lemari di laci sebelah kanan," Pak Kasno menunjuk lemari dapur. "Oke, makasih, ya," ucapku padanya. Lalu kutuju lemari itu dan segera kubuka laci, kemudian mengambil kunci mobilku. Aku segera pergi sebelum mama pulang. "Eh, Aden mau kemana?" tanya Pak Kasno melihatku berlalu. "Oh, iya, tolong bilangin kemama, saya ada kegiatan dulu diluar, mungkin besok baru pulang. Dan malam ini kemungkinan besar saya menginap di acara ini. Jadi, tolong bilangin ke mama atau papa jika nanti mereka tanya. Oke!" Pesanku pada Pak Kasno. Lelaki itu mengangguk, aku segera
POV DANU Mengapa ruangan Simbah ramai sekali? Ada apa ini? Semoga tak terjadi apa-apa pada Simbah. Ku tenteng 2 plastik berisi roti bakar kesukaan Simbah lalu ku segera masuk ruangan Simbah dirawat. "Assalamualaikum," sapaku kepada seisi ruangan. "Wa'alaikum salam," jawab seisi ruangan serempak. Ternyata ramainya ruang perawatan ini karena sudah bertambah pasiennya.Aku masuk sambil menyunggingkan senyum khas Danu Herlambang. Di dalam ruangan ada banyak orang yang belum ku kenal kecuali Pak Rojali, ibu Maemunah, Ani, dan Simbah. Yang lain aku tak mengenalnya. Kuserahkan dua plastik yang ku bawa kepada calon ibu mertuaku sambil mengulurkan tangan untuk salim kepadanya."Apa ini Nak Danu?" Ibu Maemunah menautkan alisnya saat ku sodorkan dua plastik ini, tangannya menyambut uluran tanganku. "Em, ini makanan kesukaan Simbah. Zahra bilang, Simbah suka roti bakar," jawabku sambil tersenyum ramah kepada calon ibu mertua. "Walah, ini banyak sekali. Repot-repot, lho. Nak Danu sudah mau
POV DANU "Siapa yang membereskan semua ini?" Bola mata Bu Maemunah membulat, lalu menatapku seakan tak percaya. "Apa sih, Bu? Aku kok penasaran," ucap istri Haji Junaedi meraih surat yang sedang dibaca Bu Maemunah. "Lha ini 'kan rincian biaya rawat inap," ucap Bu Hajjah Junaedi. "Sudah beres gitu lho, tinggal pulang saja," imbuhnya lagi mengembalikan surat itu kepada Ibu Maemunah. Pak Rojali bangkit dari duduknya lalu mengajakku menjauh dari mereka, mendekat kearah pintu."Nak Danu yang membereskan urusan ini?" tanya Pak Rojali kepadaku. Aku hanya mengangguk saja, tanpa berkata apapun. "Kenapa?" tanya Pak Rojali lagi. Lalu kujelaskan bahwa tadi suster yang meminta untuk segera mengurus administrasi Simbah ketika mereka sedang berdebat. "Saya hanya ingin membantu saja, Pak. Maaf," kata terakhir ku kepada Pak Rojali. "Bapak jadi merepotkan Nak Danu lagi," ucap Pak Rojali penuh sesal, calon mertuaku ini pun menunduk dihadapan ku. "Sudahlah, Pak. Tak usah dipikirkan. Anggap saja
Pov Danu Ku menunggu munculnya Simbah dan semua di muka pintu utama klinik ini sambil memainkan ponselku. Di benak ini entah mengapa bayangan Zahra mengenakan jilbab merah selalu saja melintas. Hmm, serasa ingin segera bisa menghalalkan Zahra, bila seperti ini terus. Rasa cinta dalam hati ini kurasa begitu dalam. Sedetikpun bayangan Zahra selalu saja melintas, ia seperti tak pernah pergi meninggalkan ku. Ah, andai saja kini sudah halal ... pasti aku lebih bahagia dari apapun. Sedang asyik menunggu tiba-tiba Ani berlari ke arahku. "Mas, dipanggil ke dalam sama Simbah," ucapnya terengah-engah saat tiba di depanku. "Ada apa lagi?" Aku heran kenapa aku harus kedalam lagi, bukanya semua administrasi sudah beres. "Itu, itu ... di dalem keluarga Haji Junaedi menahan kepulangan Simbah," imbuh Ani lagi. Wah, nggak bisa dibiarkan ini. Lama-lama bikin rusuh juga keluarga itu. Langsung saja ku melesat kedalam klinik menuju ruangan Simbah. Benar saja saat ku sampai di depan ruangan Simbah,
Degup jantung semakin tak beraturan membuat keringat dingin mengucur deras membasahi wajah seorang Danu Herlambang. Pemuda itu memarkirkan mobilnya tepat dihalaman rumah simbahnya Zahra. "Alhamdulillah, sampai juga," ucap Pak Rojali. "Alhamdulillah," akhirnya kita pulang ya, Mbah," ucap Ani sumringah. Wajah ibu Maemunah tak kalah senang, ia hanya berbisik mengucap syukur. Setelah mobil berhenti, semua orang keluar dari mobil, kecuali Danu. Ia malah termenung sambil mengatur nafasnya yang kian memburu. Beruntung ia tak punya penyakit asma, jika punya bisa-bisa kambuh mendadak. Dada putra Herlambang itu semakin bergemuruh kala melihat Zahra bidadarinya keluar berjalan perlahan menuju mobilnya, bak adegan film yang di perlambat, Zahra berjalan pelan anggun sekali, dibalut rok hitam panjang, baju batik panjang dan berkerudung merah. "Cantiknya, bidadariku," ucap Danu lirih. Ia terbius suasana sore ini, sampai-sampai tak mendengar kala Ani mengedor kaca mobilnya. "Mas, Mas Danu. Mas
Zahra menghilang dibalik pintu kearah ruang tengah, kamar mandi rumah Simbah digabung dengan ruangan dapur. Danu menyapu semua yang ada di depan matanya. "Hmm, seperti ini rumah didesa, mau mandi saja harus bergantian. Tapi seru juga ya, melatih kesabaran, dan bisa dulu-duluan siapa cepat dia dapat," gumam Danu dalam hati. Danu masuk kamar mandi. Ia kikuk memandang sebuah bak mandi besar dengan satu gayung. "Gimana cara mandinya? Nggak ada shower, hanya keran saja," Danu kikuk berhadapan dengan kamar mandi didepannya ini. Maklum, dari kecil ia terbiasa mandi menggunakan shower, baru kali ini dia mandi di tempat lain, selain kamar mandinya. Danu menyiduk air menggunakan gayung, sudah ia duga airnya dingin. "Yah, apa boleh buat, menggigil kedinginan jadilah," ucapnya lirih. Selesai mandi Danu segera mengganti pakaiannya, beruntung semua sudah ia siapkan didalam tas, tak lupa ia memakai deodorant plus parfum. "Mas, cepetan gantian kamar mandinya. Wudhu diluar aja." Suara teriakan
"Apa itu selambu?" tanya Danu heran, ia menghampiri Diki. "Ya ini, lho, Om. Biar nggak digigit nyamuk," terang bocah itu menyerahkan gulungan kain berwarna pink kepada Danu. "Ini diapain?" Danu tak mengerti cara menggunakan kain itu. "Ya di pasang disini Om, nanti kita tidur di dalam selambu. Aku tidur sama Om boleh 'kan?" ungkap Diki sambil membuka gulungan kain itu. "Ya tentu," ucap Danu sambil mengulas senyum. "Asyik!" Diki kegirangan. Danu memasang kelambu tidur berbentuk kotak segi empat bersama Diki. Ini pertama kali dalam hidupnya memasang kelambu. "Ini kaya tenda perkemahan, ya," ucap Danu setelah memasang kelambu tidur. "Iya, Om. Kalo tidur di dalam sini, nggak akan di gigit nyamuk," terang Diki. "Wah, sudah selesai masang kelambunya," puji Bulik Rita. Ia membawa bantal dan selimut untuk Danu. "Ma, aku mau bobo sama Om Danu boleh 'kan?" tanya bocah laki-laki itu. Rita-ibunya hanya mengulas senyum, pertanda mengizinkan. Kilat dan Guntur saling bersahutan, membuat su