Share

PART II

“Ada yang mau gue sampaikan.”

Kalimat yang keluar dari mulut Jace membuatku bersikap waspada. Dengan segala kecanggungan yang selalu aku perlihatkan padanya, harusnya dia tahu bahwa berbicara berdua saja denganku tanpa kehadiran pacarnya di sini merupakan hal yang tidak wajar.

Aku berdeham sambil menenangkan apa pun yang sedang berkecamuk di kepalaku. “Ada apa?”

Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop putih. “Nih, nitip buat wali kelas lo. Surat sakitnya Sheryl.”

Aku menaikan kedua alisku. Menyadari kalau aku sudah terlalu jauh menduga hal-hal yang mustahil terjadi. Dasar bodoh!

Aku kembali menghadap Jace dan mengerjap dengan cepat. “Sakit? Kok, gue enggak tahu?”

Merasa heran mendengar Sheryl sakit. Semalam dia habis dari rumahku untuk mengerjakan tugas. Dan dia tidak terlihat sedang sakit.

Aku tidak mengambil amplop yang menggantung di tangan Jace. Aku sibuk merogoh tas untuk mengambil handphone-ku.

Oh, pantas aku tidak tahu Sheryl sakit. Handphone-ku mati.

Jace tidak bersuara ketika menaruh amplop dari Sheryl di bawah buku pelajaranku. Sudut mataku menangkap kalau dia masih memperhatikanku. Aku memilih mengabaikannya. Beberapa menit kami tidak saling bicara, sampai ahkirnya Jace bangkit dari kursi di sampingku.

Dia pergi meninggalkanku seiring dengan kelas yang mulai ramai. Tidak ada lagi kata-kata darinya. Juga dariku. Begitulah jika kami bertemu. Jarang bicara dan selalu menghindari tatapannya. Jangan tanya mengapa. Pokoknya, aku tetap memilih seperti itu sampai aku sendiri tahu mengapa aku harus seperti itu.

***

Banyak yang aku tidak mengerti tentang perkembangan perasaanku di masa remaja ini. Ada kalanya aku akan bersemangat menjalani hari. Mengerjakan latihan soal matematika dengan suka rela dan menyelesaikan tugas fisika dengan gembira.

Lalu di suatu ketika, hari-hari akan menjadi terasa mendung, murung dan tidak bergairah. Itu yang aku rasakan ketika aku harus melihat Jace dan Sheryl jalan bersama sambil bergandengan tangan. Mood-ku seketika berantakan dan jadi tidak berselera makan. Aku langsung memikirkan kesalahan apa yang mereka lakukan padaku sehingga aku akan menjadi merasa sedih dan kesal dalam waktu yang besamaan.

Aku menduga, aku hanya risi dan iri karena aku belum punya pacar saja. Aku selalu meyakinkan diri bahwa aku harus ikut senang dengan kemesraan Jace dan Sheryl. Dan cara yang paling tepat untuk itu adalah dengan segera memiliki pacar. Sampai akhirnya aku membuka diri pada seorang cowok bernama Zoey—sepupunya Yosef, teman sekelasku.

“Gue kasih nomor lo, ya?” pinta Yosef pada suatu hari.

“Kok bisa sepupu lo pengen kenalan sama gue? Emang dia pernah liat gue sebelumnya?” tanyaku dengan penuh curiga. Aku tidak terlalu dekat dengan Yosef, jadi aneh rasanya ketika dia bilang sepupunya minta nomorku.

“Gue juga enggak tahu, tiba-tiba dia tanya-tanya tentang lo.” Jawaban Yosef tidak memuaskan.

“Anak sekolah mana, sih?” tanya Sheryl yang sama-sama curiga dengan maksud si Yosef ini.

“Anak SMA Budi Bakti.”

“Wih, sekolah elit. Orang kaya, dong,” celetuk Briya yang baru bergabung di mejaku.

“Kalo cuma kaya doang buat apa? Yang paling utama tuh mukanya. Ganteng, enggak?” Sheryl menyeringai dan menaikan satu alisnya sambil menatap ke arahku.

“Ganteng. Gue jamin. Nih, gue kirim fotonya.” Yosef meyakinkan kami.

Setelah berdiskusi panjang dengan teman-temanku, dan keselamatan Yosef sebagai jaminannya. Akhirnya aku bersedia untuk jadi pacar sepupunya itu.

Menurut teman-temanku, Zoey sudah lolos seleksi tipe pacar ideal untukku karena berwajah lumayan dan juga kaya. Mereka juga mengingatkan Zoey agar tidak lupa membelikanku cokelat saat valentine nanti. Aku hanya tertawa ketika Zoey mengangguk pasrah dan mengucapkan janji di depan teman-temanku agar selalu bersikap baik dan sopan padaku.

Di pertemuan pertamaku dengan Zoey, dia bercerita kalau aku pernah adu cerdas cermat dengannya waktu kami SMP. Itu menjadi nilai tambah untuknya. Artinya, dia juga termasuk anak yang berprestasi.

“Dulu aku kaget ada cewek cantik yang jenius kayak kamu,” ucapnya kala itu. “Semenjak itu, aku selalu penasaran kamu masuk ke SMA mana setelah lulus SMP.”

Aku tersipu mendengarnya. Baru kali ini aku dipuji oleh orang yang baru aku kenal. Biasanya, yang selalu memujiku adalah ayahku.

“Lalu, tahu dari mana aku sekelas sama Yosef?” tanyaku penasaran.

“Fotomu ada di feed Inst’agram-nya Yosef. Saat kalian acara api unggun.” Zoey mengeluarkan handphone-nya dan menunjukan foto yang dimaksud.

Ada dua fotoku yang diunggah Yosef di aplikasi berbagi foto itu. Satu, saat kami melakukan sesi foto kelas di depan api unggun. Lalu yang kedua saat aku dan Sheryl diminta berswafoto bersama Yosef. Entah apa tujuan yosef waktu itu, tetapi kita senang-senang saja berfoto bersama.

***

Aku baru saja selesai membilas piring terakhir ketika handphone­-ku berdering. Nama Sheryl muncul di layar.

“Halo,” sapaku setelah menggeser ikon terima.

Kat ..., Suara Sheryl terdengar bergetar. Dia pasti habis menangis.

Aku mendesah dan memutar bola mataku. “Ada apa lagi, Sher?”

Bukannya aku tidak sopan pada Sheryl yang sepertinya sedang bersedih ini. Aku sudah kenyang mendengar tangisannya. Dalam seminggu, pasti ada hal yang harus dia tangisi. Jadi, aku sudah terbiasa mendengar dia seperti ini.

Sheryl memang agak melankolis. Dia selalu mendramatisir setiap persoalan hidupnya. Walau memang menjadi seorang Sheryl tidak mudah. Dia anak yang dilahirkan tanpa ayah. Hanya ada ibu dan dirinya saja di rumah yang besarnya empat kali lipat dari besar rumahku. Semua tanggung jawab untuk mengurus segala hal dia pikul sejak dia masih remaja. Makanya, dia selalu mencariku. Dia selalu menumpahkan segala kesedihan hidupnya padaku yang dia anggap aku sedikit lebih beruntung darinya.

Gue nginep di rumah lo, ya? Gue mau curhat.” Sheryl masih terisak.

“Besok aja di sekolah. Malam ini gue mau belajar buat kuis besok,” saranku sambil mengeringkan tangan pada handuk kecil yang tergantung di dekat tempat mencuci piring.

Gue udah di depan. Bukain gerbang.”

Sambungan terputus. Aku menggeleng pelan sambil memaki Sheryl dalam hati.

Aku berjalan ke pintu depan. Melewati ibuku yang sedang asik dengan handphone-nya di ruang televisi. Sesekali dia tersenyum sendiri saat membaca pesan yang masuk.

“Ke mana, Kat?” tanya ibuku tanpa mengalihkan pandangannya dari layar handphone.

“Ada Sheryl di depan,” jawabku.

Aku menemukan Sheryl dengan wajah sembap di kursi rotan teras rumahku. Dia langsung masuk tanpa menungguku mempersilakannya. Ia menyapa ibuku di ruang televisi dan menaiki tangga menuju kamarku di lantai dua. Aku mengekor di belakangnya.

Ibuku sempat menanyakan Aiden, adikku yang masih belum pulang. Dia sedikit cemas karena malam semakin larut. Handphone-nya pun tidak bisa dihubungi. Namun, karena ini bukan yang pertama Aiden menghilang seperti ini. Jadi aku tidak terlalu khawatir. Nanti juga anak itu pulang.

“Lo kenapa?” Aku membuka pertanyaan ketika kami sudah duduk dengan nyaman di kasur.

Sheryl mengambil bantal merah muda di sampingnya lalu melanjutkan tangisnya.

“Kenapa Sheryl? Tante lo dateng lagi? Atau om lo minta duit lagi?” tebakku sambil mengusap rambut panjangnya yang tidak pernah kusut.

Sheryl menggeleng kencang. “Ini bukan tentang keluarga gue. Ini tentang Jace.”

Seketika perasaanku tidak enak. Ada hal yang selalu membuatku bersikap berlebihan ketika mendengar nama Jace. Apalagi sekarang dia membuat Sheryl menangis.

“Jace kenapa?” tanyaku ragu.

Sheryl mencoba meredakan isakannya. Lalu dengan suara serak dia bicara. “Jace ikut tawuran.”

“Hah? Tawuran?” tanyaku menegaskan apa yang tadi aku dengar.

Sheryl mengangguk lalu menghapus air matanya.

Seharusnya hal ini tidak membuatku terkejut. Dari awal aku sudah tahu kalau Jace memang bukan murid teladan. Teman-temannya adalah kelompok murid yang paling dicari oleh guru BP, atau biasa kita panggil dengan Guru Kesiswaan. Tidak ada yang setidaknya mau memasukan baju seragam ke dalam sabuk celana. Semuanya urakan dan tidak pernah rapi. Sering membolos dan merokok di warung belakang sekolah. Sungguh perilaku yang tidak bisa dibanggakan.

Semua hal buruk itu seolah bisa dimaklumi hanya karena dia berwajah tampan dan jago basket. Ketika melihat Jace tersenyum dan melakukan atraksi tebar pesona, hilanglah semua sisi negatif yang melekat di dirinya. Sheryl harusnya sudah bisa menduga kalau Jace akan sejauh ini. Bergabung dalam tawuran antar pelajar. Namun, tetap saja, Sheryl adalah fans Jace nomor satu. Senakal apa pun kelakuan pacarnya.

“Lo kata siapa?” tanyaku dengan lembut.

“Banyak yang bilang ke gue. Mereka lihat Jace gabung sama anak-anak kelas XI ke arah timur,” paparnya dengan suara serak. Isakannya mulai berhenti.

Tadi sore aku memang mendengar ada yang tawuran, tetapi lokasinya jauh. Bahkan itu sudah masuk ke daerah perbatasan kota. Tidak mungkin Jace tawuran di wilayah yang bukan daerah kekuasaan dia dan gengnya

“Lo yakin Jace ikut tawuran?”

Sheryl mengangguk. “Gue belum bisa hubungin dia. Gue takut dia kenapa-napa.”

Aku mengerutkan dahi. “Handphone-nya mati?” kekhawatiran tiba-tiba menyelimutiku.

Sheryl mengangguk lemah seiring dengan isakan yang kembali terdengar.

Aku menggigit bibir demi menekan rasa cemas yang mulai merambat naik. “Kita cek di kontak teman-teman sekolah. Barang kali ada info tentang tawuran sore tadi,” usulku.

Tanpa menunggu persetujuan Sheryl, aku segera mengambil Handphone-ku. Segera kubuka aplikasi berbagi pesan dan mencari info pada unggahan-unggahan teman sekolah. Tidak ada yang membahas tawuran.

Lalu jariku berhenti bergulir pada salah satu unggahan seorang kakak kelas. Seketika tubuhku membeku melihat sebuah foto luka bacok di bagian perut dari seseorang yang mengenakan seragam SMA tempatku sekolah

Ya Tuhan, itu tidak mungkin Jace, 'kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status