Kuis kimia baru saja berakhir. Aku mendesah panjang sambil melepas semua kepenatan karena harus belajar berbagai unsur dan reaksi yang menjadi topik kuis hari ini. Rencananya, aku akan segera pulang jika saja temanku tidak menahanku. Dari semenjak masuk kelas, dia selalu mengatakan ada hal yang ingin dia sampaikan padaku.
“Ada apa sih, Sheryl?” tanyaku padanya. Tanganku masih sibuk memasukan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas punggungku.
“Gue enggak tahan harus bilang ini sama lo.” Dia tersenyum lebar sambil menyatukan kedua telapak tangannya di dada.
“Bilang apa?”
Sheryl tidak langsung bicara. Dia menghentikan kegiatanku yang masih sibuk membereskan meja dan memintaku menghandap ke arahnya.
“Katy, gue jadian sama Jace.”
Aku terdiam, lalu mencoba mengkonfirmasi kembali apa yang sudah aku dengar tadi. “Apa? Jadian?”
Sheryl mengangguk dengan sangat bersemangat. Matanya berbinar dengan senyum yang mengembang di wajahnya
Seketika, ada pisau tak kasat mata yang menusuk dadaku. Empat kata yang temanku ucapkan tadi seolah telah mengambil kemampuanku dalam bernapas. Rasanya sakit dan sesak. Sampai aku tidak mampu lagi berbicara.
Aku ingat ketika cowok yang bernama Jace itu memperhatikanku saat malam api unggun. Malam di mana kami dinobatkan sebagai siswa baru di SMA. Tatapannya selalu mengarah ke arahku. Aku bisa pastikan itu.
Malam itu, aku terlalu terganggu dengan tatapannya. Aku merasa cowok itu sedang mempelajari gerak-gerikku. Sampai akhirnya, aku tidak tahan untuk tidak balik mencuri pandang padanya. Dia masih melihat ke arahku. Bahkan dia tersenyum kecil setelahnya.
“Katy, Lo liat cowok yang bawa gitar itu?” tanya Sheryl kala itu. Dia baru saja kembali dari warung dadakan yang digelar warga di sekitar area api unggun.
Aku menoleh ke tempat tangannya mengarah. Sheryl menunjuk Jace. Cowok yang baru saja melemparkan senyuman karena kami tidak sengaja saling beradu pandang sebelum Sheryl duduk di sampingku. Sekarang cowok itu sedang sibuk dengan gitar di pangkuannya.
“Kenapa?” Aku mencoba terlihat tidak acuh.
“Gila, ganteng banget,” puji Sheryl dengan mata yang berbinar-binar.
Aku tidak berkomentar. Aku memilih untuk pura-pura sibuk dengan handphone-ku. Lalu rasa penarasan menelisik masuk ke dalam hatiku. Siapa tahu dia punya informasi tentang cowok yang sedang kami bicarakan ini.
“Lo kenal?” tanyaku dengan nada yang dibuat sewajar mungkin.
“Enggak sih. Tapi nanti pasti gue dapetin nomornya.”
Aku tidak akan besar kepala kalau tidak ada bukti bahwa pandangan Jace memang selalu mengarah padaku. Saat Sheryl pergi ke kamar mandi, atau membeli jajanan ke warung warga, Jace akan selalu menaruh matanya padaku. Itu yang membuatku tidak terlalu menganggap serius ucapan Sheryl saat itu.
Sampai, acara api unggun selesai, tidak ada yang berani untuk menyapa satu sama lain. Dia hanya mengangguk ramah ketika pandangan kami tidak sengaja bertemu. Dia tersenyum ringan lalu menyugar rambut tebalnya dengan gaya paling keren. Seolah dia tahu bahwa dia sedang diperhatikan.
Seharusnya itu tidak menggangguku. Seharusnya aku melupakan cowok yang pasti akan menjadi cowok populer dan berpotensi menjadi playboy. Namun, ternyata tidak bisa. Mata tajamnya terlalu mengusik hari-hariku yang sederhana. Membuatku gelisah jika satu hari saja tidak bisa melihat wajahnya yang sempurna. Kemudian aku menyadari, aku menyukai cowok tampan itu.
Itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Aku dan Jace hanya menjadi dua orang yang tidak pernah saling menyapa. Sampai saat Sheryl bercerita kalau ada cowok yang sedang dia dekati dan ingin menjadi pacarnya. Aku yakin dia tidak akan pernah gagal. Dia pasti akan mendapatkan apa yang dia mau. Namun, aku tidak tahu kalau cowok itu adalah Jace. Cowok yang juga aku sukai.
“Kat? Katy?”
Suara Sheryl menarikku kembali pada masa kini. Aku mengerjap beberapa kali lalu sadar bahwa aku harus menyunggingkan senyuman untuk sahabatku ini.
“Selamat ya, Sheryl.” Aku mendengar kepalsuan pada suaraku.
Sheryl memandangku dengan wajah bingung. “Lo kenapa? Sakit?”
Aku kembali mengerjap. Entah karena aku gugup atau mengedip-kedipkan mata sudah menjadi hobiku sekarang.
“Gue? Enggak apa-apa.” Aku menarik tas punggungku dan bangkit dari kursi dengan tergesa-gesa. “Gue balik duluan ya.”
“Lo enggak tunggu Shafira dan Briya? Gue belum ngasi tahu mereka tentang ini,” bujuknya.
Aku menggigit bibir bawahku. Mencari alasan yang tepat supaya aku bisa segera pulang dan menyendiri. Aku sedang ingin sendirian dan meratapi apa pun yang sedang aku rasakan sekarang. Aku sedang kesakitan sekarang.
“Gue enggak bisa. Gue harus anter nyokap ke Saung Geulis,” kilahku. Itu cukup untuk membuat Sheryl diam. Dia tahu mengantar ibuku ke restoran sunda miliknya adalah adalah rutinitasku setiap hari jumat.
Aku sudah tidak mendengar lagi apa yang Sheryl katakan ketika dua temanku yang lain, Shafira dan Briya datang bergabung. Aku terlalu sibuk menekan air mata agar tidak keluar dari tempatnya. Yang aku pikirkan hanya kenyataan bahwa aku harus segera pulang, mengunci diri di kamar dan meluapkan apapun yang sedang menggelayuti dadaku saat ini.
Seharusnya aku tidak begini. Seharusnya aku ikut berbahagia untuk sahabat masa kecilku ini. Namun, ini terlalu sulit aku terima. Aku butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa Jace tidak akan menyukaiku. Dia memang hanya cocok untuk cewek seperti Sheryl. Cantik, lincah dan selalu ceria. Tidak sepertiku yang hanya memikirkan tugas sekolah setiap harinya.
Hari-hariku selanjutnya menjadi lebih berat. Jace menjadi sering berada di sekitarku. Susah payah aku bersikap wajar, tetapi aku tetap merasa matanya selalu mengikutiku. Bahkan ketika aku membelakanginya, aku merasa matanya seperti sedang melubangi punggungku. Sebut aku aneh. Namun, kalian tidak akan mengerti. Itu yang aku rasakan.
Suatu ketika Sheryl bertanya kenapa aku menjauhinya. Sebelumnya aku tidak sadar kalau aku sedang menjauh. Aku hanya meminimalkan interaksiku dengan Jace. Aku tidak mau sikapku yang canggung menyebabkan kecurigaan di mata teman-temanku.
“Gue enggak menjauh kok, Sher. Restoran nyokap gue lagi rame. Jadi enggak bisa selalu ikut kalian nongkrong,” jawabku saat itu.
“Lo enggak lagi ada masalah, ‘kan?” tanya Sheryl penuh dengan kekhawatiran. “Kalo lo perlu apa-apa bilang sama gue. Uang gue banyak. Gue anak yatim yang kaya raya. Ingat itu.”
Aku tersenyum geli mendengarnya. Jika bukan teman dekatnya, pasti menganggap itu hanya lelucon. Namun, Sheryl memang benar-benar anak yatim yang dilimpahi warisan yang banyak.
“Iya gue tahu lo kaya. Makanya gue betah temenan sama lo,” godaku sambil merangkul bahunya.
“Gue serius, Katy. Kalo ada apa-apa cerita sama gue. Gue pasti bantu. Gue sedih lihat lo jadi murung gini.”
Saat itu perasaan bersalah menyerangku. Sheryl tidak pernah meninggalkanku walau dia sudah bersama Jace. Dia selalu bertanya keberadaanku dan mencariku ketika aku menghilang di waktu istirahat sekolah atau ketika aku pulang tanpa pamit padanya, dan dia mengabari bahwa dia menungguku untuk pulang bersama. Sheryl membuatku bertahan dan membantuku berlapang dada untuk menerima bahwa, Jace tidak tercipta untukku.
Pagi itu di dalam kelas. Baru beberapa orang yang sudah duduk di kelas dengan rapih. Rata-rata mereka adalah orang yang selalu menyerahkan tugas, dan mendapat nilai tinggi di setiap kuis. Aku salah satu dari orang-orang tidak keren itu. Tidak seperti ketiga temanku yang selalu telat dan menyontek saat waktunya mengumpulkan tugas.
Aku mengatur tata letak alat tulisku di meja. Sedikit berkaca untuk memastikan penampilanku tidak ada yang salah. Memakai lipbalm untuk bibirku yang kering dan merapikan rambut ikal sebahuku.
“Ehem.”
Suara orang berdeham mengagetkanku. Aku menoleh ke sampingku dengan pelan. Sosok jangkung itu berdiri di sana. Seragamnya dibiarkan keluar dari sabuk. Seulas tato yang baru aku sadari menyembul dari lengan bagian atas. Tidak begitu jelas itu tato apa.
“Jace?” Aku mengerutkan dahi melihat pagi-pagi dia sudah ada di kelasku. “Sheryl belum dateng.”
“Gue enggak nyari Sheryl. Gue nyari lo,” ujarnya sambil menarik kursi di sampingku dan duduk dengan santai.
Dadaku tiba-tiba berdebar tanpa kendali. Makin lama semakin kencang seiring dengan segala pertanyaan yang keluar dari dalam otakku. Mau apa cowok ini mencariku di saat pacarnya sedang tidak ada?
Aku berdeham demi menutupi gugup yang tiba-tiba menyerangku. “Terus?”
Dia menghadapkan badannya ke padaku. Memandangku dengan matanya yang tajam dan penuh dengan intimidasi. Seolah matanya berkata, gue butuh perhatian penuh sekarang. Jangan abaikan gue!
Jace menarik napas dalam-dalam sebelum mengucapkan kalimatnya. “Ada yang mau gue sampaikan.”
Deg!
“Ada yang mau gue sampaikan.” Kalimat yang keluar dari mulut Jace membuatku bersikap waspada. Dengan segala kecanggungan yang selalu aku perlihatkan padanya, harusnya dia tahu bahwa berbicara berdua saja denganku tanpa kehadiran pacarnya di sini merupakan hal yang tidak wajar. Aku berdeham sambil menenangkan apa pun yang sedang berkecamuk di kepalaku. “Ada apa?” Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop putih. “Nih, nitip buat wali kelas lo. Surat sakitnya Sheryl.” Aku menaikan kedua alisku. Menyadari kalau aku sudah terlalu jauh menduga hal-hal yang mustahil terjadi. Dasar bodoh! Aku kembali menghadap Jace dan mengerjap dengan cepat. “Sakit? Kok, gue enggak tahu?” Merasa heran mendengar Sheryl sakit. Semalam dia habis dari rumahku untuk mengerjakan tugas. Dan dia tidak terlihat sedang sakit. Aku tidak mengambil amplop yang menggantung di tangan Jace. Aku sibuk merogoh tas untuk mengambil handphone-ku.
“Kenapa, Kat?” Suara Sheryl menyadarkanku. Aku menoleh ke arahnya tanpa mampu menjelaskan apa yang baru saja aku lihat. Sheryl seperti sudah menduga bahwa ada hal buruk yang telah aku ketahui. Dia merebut handphone di tanganku dan segera memekik histeris. Beberapa detik kami saling tatap dan tidak berani mengambil kesimpulan atas apa yang sedang kami perkirakan. Bisa saja itu orang lain. Ada puluhan orang yang terlibat dalam tawuran sore tadi. Kemungkinan Jace yang menjadi korbannya adalah sangat kecil. “Katy, ada apa? Sheryl kenapa?” tanya ibuku ketika masuk ke dalam kamar dengan wajah khawatir. Sepertinya dia mendengar suara Sheryl saat tadi histeris. Aku menjawab pertanyaan ibuku dengan memperlihatkan gambar buram korban tawuran yang mengenaskan tadi padanya. “Astaga! Ini siswa dari SMA kamu?” Aku dan Sheryl mengangguk berbarengan. “Anak jaman sekarang semakin brutal. Kalian pintar-pintar jaga diri ya. Jangan sampai
Zoey menyambutku dengan senyuman yang mengembang ketika aku menghampirinya. Aku menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk memastikan cowok ini tidak melihat apa pun yang terjadi antara aku dan Jace tadi. Posisiku memang sedikit terhalang oleh tembok pos jaga di samping gerbang. Itu membuatku bisa bernapas lega karena tidak perlu mencari alasan untuk menjelaskan pada Zoey tentang kejadian aneh yang baru saja aku alami. Bagaimana tidak aneh. Jace berbisik dengan cara yang vulgar di telingaku. Mengucapkan kalimat yang sangat tidak masuk akal. Kalimat yang membuatku mengambil langkah untuk segera pergi meninggalkannya. Bahkan aku masih merinding jika harus mengingat kalimat yang diucapkan oleh pacar sahabatku ini. “Maaf lama,” ucapku ketika masuk ke dalam mobil milik Zoey. Zoey tersenyum sambil menyalakan mesin mobilnya. “Santai aja. Memang habis apa tadi di pos?” “Aku ada urusan dulu sama pacarnya Sheryl,” jawabku mencoba tetap jujur. “Ada apa
Hujan tidak pernah berhenti sampai kami tiba di rumahku. Gigiku gemerutuk, lututku bergetar dan mataku perih. Aku sampai tidak bisa merasakan jari-jari kakiku karena kedinginan.Aku dibimbing Jace menuruni motornya. “T-thanks,” kataku terbata karena terlalu menggigil kedinginan.Aku kemudian buru-buru berlari memasuki pelataran rumah seraya mendekap tubuhku sendiri. Sungguh, rasanya aku ingin segera berganti pakaian dan memeluk selimut yang hangat. Dengan buru-buru, aku pun menggedor pintu rumah dengan kencang agar segera bisa masuk.“Ma!” teriakku.Aku menoleh ke belakang. Jace ikut turun dari motor dan berdiri di teras melihat ke arah langit. Dia menggosok-gosok tangannya yang berkerut. Dia juga pasti sangat kedinginan.“Kat? Hujan-hujanan?” Ibuku keluar dari ambang pintu dengan wajah terkejut.Aku tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam rumah. Namun, aku kembali lagi ke luar dan berseru pada
“Katy!” Aku menoleh ke arah suara orang yang memanggilku berasal. Ada Sheryl yang sedang melambaikan tangannya dan mengejarku dengan langkah cepat. Aku berhenti melangkah demi menunggunya menyusulku. “Tumben enggak telat.” Aku menyambut tangannya yang lebih dahulu melingkari pundak. Sheryl mengerucutkan bibirnya. “Gue enggak pernah telat. Lo aja yang kepagian. Orang normal tuh, dateng ke sekolah saat detik-detik gerbang akan di tutup.” Aku tertawa kecil sambil kembali melangkah menuju ruang kelasku. “Eh, Semalem Zoey jadi jemput lo kan?” tanya Sheryl tiba-tiba. Seketika jantungku berhenti berdetak. Ingatanku kembali pada kejadian malam tadi yang membuatku tidak bisa tidur. Pada tatapan mata Jace yang mengurungku di bawah kendalinya. Pada sentuhannya yang menarik semua oksigen di sekitarku. Lalu pada kalimatnya yang memporak-porandakan keyakinanku bahwa aku sudah bisa melupakan perasaanku pada kekasih sahabatku ini. Aku mengambi
Aku melenguh pelan. Rasa sakit yang tidak tertahankan segera menyerang kepalaku. Rasanya seperti habis dibenturkan dengan kencang. Aku mengerang dan mencoba untuk membuka mataku perlahan. Beberapa detik kemudian akhinya aku bisa menangkap beberapa cahaya yang menulusup masuk lewat bulu-bulu mataku. “Argh.” Suaraku terdengar serak. Mataku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka dengan sempurna. Tunggu, aku tidak kenal ruangan ini. Mataku menyapu sekeliling ruangan tanpa jendela yang berukuran empat kali tiga meter ini. Dua buah lemari buku usang. Beberapa vas bunga retak. Bahkan ada yang hancur sama sekali. Lalu ada sebuah grand piano penuh debu. Lengkap dengan tumpukan partitur yang sudah menguning. Aku terbatuk beberapa kali. Rasanya, tenggorokanku kering dan sakit. Aku juga merasa nyeri di pergelangan kakiku. Aku raba dan melihat di tempat sakit itu berasal. Ada lebam dan guratan bekas tali yang mengikat kakiku. Jelas sekali kakiku
“Bisa ceritakan kembali apa yang anda lihat di sana?” sudah ke sekian kalinya polisi di depanku ini bertanya padaku. Aku ingin ceritakan semua. Namun, lidahku tiba-tiba terasa kelu. Tanganku masih gemetar dan fokusku masih belum kembali. Aku masih bingung harus memulai cerita mengerikan tadi malam itu dari mana. Seorang perawat mendekatiku dan berbisik dengan ramah. “Tarik napas dalam-dalam dan keluarkan perlahan. Ceritakan saja apa yang kamu ingat. Selebihnya bisa menyusul nanti.” Aku melirik ibuku yang duduk di sampingku. Dia menggenggam tanganku erat dan mengangguk pelan. “Enggak apa-apa. Pelan-pelan aja ceritanya. Yang penting kamu bikin laporan dulu. Supaya kasus ini bisa cepat diproses.” Ibu memelukku sedikit lebih erat. Ternyata, hanya pelukannya lah yang aku butuhkan. Pelukan yang bisa meredakan ketakutanku saat ini. “Temanku gimana, Sus?” tanyaku dengan suara parau. “Kondisinya sudah stabil. Sudah masuk ruang rawat. Tinggal me
“Kalian pernah pulang bersama saat malam?” Sheryl mengulangi pertanyaan yang sempat aku alihkan tadi. Dia memicingkan matanya padaku dan Jace secara bergantian. Membuatku tidak mampu berkilah atau membuat alasan yang bagus dalam waktu singkat. “Jace?” panggil Sheryl, karena si tersangka utama ini malah terlihat tidak peduli. “Itu udah lama. Enggak perlu dibahas lagi,” jawabnya santai. Lalu memejamkan mata seolah keadaan ini tidak terlalu penting untuk dibahas. Seiring dengan itu, Zoey masuk ke dalam ruangan. Memotong ketegangan yang sedang berlangsung di ruangan ini. “Sher, lama banget cuma bawa handphone doang,” celetuk Zoey sebelum menyadari ada yang tidak beres dari ekspresi kami bertiga. “Ada apa nih?” Sheryl membuang wajahnya ke arah Zoey. “Lo tahu mereka pernah pulang bersama malam-malam?” Wajah Zoey seketika berubah. Dia menatap lurus padaku, seolah ingin mengatakan bahwa aku seharusnya sudah membereskan hal ini