'Laura! Pulang kamu sekarang, jangan membangkang. Saya tunggu kamu di rumah!' bentak Mas Alif dengan suara yang menggelegar.Sampai-sampai suaranya terdengar juga oleh Ibu di sebelahku.Telepon dimatikan secara sepihak olehnya. Sepertinya Mas Alif benar-benar marah padaku.Tak ada lagi sifat lembutnya, bahkan dia memanggil namaku, tanpa awalan 'Dek'.Bulir bening membasahi pipiku."Tenang, Nak. Ada Ibu di sini," ucap Ibu sambil mengusap punggungku.Kuseka bulir bening yang mengalir dengan kasar.Dengan rasa yang berkecamuk, kuhidupkan kembali mesin mobil.Dan bergegas untuk sampai ke rumah. Ingin melihat apa yang akan dilakukan Mas Alif padaku.Tanpa sadar, mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi.Hingga suara teriakkan menyadarkanku."Laura! Sadar, di dalam mobil bukan hanya satu nyawa!" bentak Tiara diiringi dengan teriakan yang melengking.Aku lalu mengerem mobil secara mendadak, dan mengucap istighfar berkali-kali."Jangan begini, Lau! Kamu bisa saja mencelakai orang yang berada
Hancur sudah hidupku.Seseorang yang benar-benar begitu berarti, perlahan ingin pergi. Aku menyesal. Aku benar-benar sangat menyesal.Aku tau bahwa di sini akulah yang mempunyai andil paling besar untuk menyakiti. Aku juga tau semuanya terjadi karena aku yang memulai lebih awal. Kupatahkan hatinya berkali-kali tanpa rasa iba sedikit pun.Jujur, tak pernah terpikirkan olehku. Bahwa akhirnya, pernikahan yang sudah terjalin selama lima tahun, sebentar lagi di ambang kehancuran.Tak bisa!Aku tak sanggup, jika harus mengingat hal itu. Ini menyakitkan, aku tak ingin cintaku berakhir dengan sangat memilukan. Aku mencintai dia, Laura begitu pun sebaliknya. Aku tahu pasti Laura juga masih sangat mencintaiku. Bagaimana pun caranya, aku harus bisa mempertahankan pernikahan ini. Apapun itu, aku akan tetap mempertahankannya. Tak peduli konsekuensi apa yang ke depan nanti akan kuterima.Kuusap bulir bening yang berada di pelupuk mata yang ingin terjun bebas. Aku merasakan sesak yang mendalam di
Entah apa yang terjadi, aku sama sekali tak ingat.Rasanya saat itu, Debi memintaku tinggal sebentar. Lalu memberikan minuman sebelum aku pergi. Setelah itu aku tak ingat apapun lagi."Mas, kamu sudah bangun?" Suara Debi mengagetkanku.Aku menatapnya yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.Astaga, apakah aku melakukannya sesuatu padanya tadi malam, pikirku."Deb ... apa kita?" tanyaku menggantung di udara. Tak sanggup rasanya melanjutkan pertanyaan ini padanya."Kenapa, Mas?" Ia bertanya balik padaku. Terlihat kulitnya yang mulus.Debi yang berdiri dengan balutan handuk di tubuhnya, membuatku bergidik ngeri membayangkan apa yang terjadi.Walaupun kami sudah sah, entahlah aku tak berniat sedikitpun menyentuhnya."Kenapa aku bisa berada di kamar ini, apa kita tidur bersama?" tanyaku tak sabaran."Kamu ini bicara apa, Mas. Bukankah tadi malam, kamu sendiri yang meminta untuk menginap di rumahku. Dikarenakan, hari yang mulai malam," ucapnya diiringi kekehan kecil."Apa benar begitu?
"Terima kasih, Mas. Kamu sudah mau menerimaku."Aku terdiam mematung, langkahku terhenti tepat di belakang Mas Alif.Duniaku seakan runtuh, harapan yang awalnya muncul sedikit demi sedikit sekarang hancur berkeping-keping. Mungkin tak akan ada.lagi kata kembali di antara kami berdua.Ucapan Debi benar-benar membuatku diam tak berkutik. Tak percaya begitu cepatnya Mas Alif mencintai Debi. Membagi hatinya dengan perempuan lain, rasanya ini seperti mimpiku di siang bolong Secepat itukah Mas Alif melupakanku, hanya dalam waktu sehari Debi berhasil membuat Mas Alif jatuh dalam pelukannya.Mataku mulai berkaca-kaca, kubiarkan bulir bening saling berjatuhan membasahi pipiku."Sudah, ya." Suara Mas Alif berhasil membuyarkan lamunan panjangku.Lagi-lagi pemandangan yang menyakitkan terpatri tepat di depanku. Belaian lembut pada rambut Debi seakan-akan memberitahukan, bahwa inilah saatnya aku mundur. Inilah saatnya aku tak boleh berharap apa-apa lagi pada hubungan rumah tangga kami.Mas Alif l
"Sakit, dia sudah kasar. Ayahmu saja tak pernah memperlakukanmu begini. Cinta boleh, bodoh jangan!" tegas Ibu.yang tak terima putri satu-satunya disakiti.Ia lalu berdiri, dan meninggalkanku yang terpaku mencerna ucapannya."Benar kata Ibu, Lau. Jika hanya kamu yang berjuang, cinta juga tetap akan menghilang." Tiara memegang bahuku. Hanya dia sosok yang selalu ada selama ini. Selama aku didera oleh masalah."Apa aku bodoh, Ra?" tanyaku sambil menatapnya. Aku merasa sangat tak berguna karena sampai sekarang masih tak bisa menghaluskan rasa cintaku pada dirinya "Hampir," ucap Tiara diiringi kekehan kecil."Kamu hanya akan melukai hati Ibu saja. Ayahmu juga akan terluka, jika melihat putri kesayangannya dihancurkan berkeping-keping," ucap Tiara lagi.Tok ... tok ... tok ....Terdengar bunyi pintu yang diketuk dari luar."Biar aku yang buka," ucap Tiara."Kalo Mas Alif, suruh dia pulang saja ya, Ra." Aku menatapnya dengan sayu.Tiara mengangguk, sambil menampilkan senyumnya.Aku mengambi
Seminggu setelah kedatangan Mama mertua ke rumah, aku mulai menjalankan segala rencana yang dari awal sudah kusiapkan.Mulai dari rencana perceraian yang sudah kuurus dengan sedetail mungkin, dibantu oleh Tiara, sahabatku.Dan hari ini, aku berencana untuk melaporkan Mas Alif pada atasannya.Tentang pernikahan yang dilaksanakan olehnya secara diam-diam, yang apabila kusebarkan bukan hanya Mas Alif dan Deby yang hancur. Namun, perusahaan tempatnya bekerja pun akan di-cap buruk. Sebenarnya tak tega, hanya saja dia harus menerima semua yang dia perbuat. Aku tak mungkin membiarkannya bahagia di atas penderitaanku.Enak saja, mereka tertawa sedangkan aku menangis tersiksa.Beberapa hari yang lalu, Mas Alif selalu menghubungiku. Ia bahkan sering mengunjungi rumah yang kutempati, tetapi selalu kuusir. Aku tak ingin lagi bertemu dengannya, hatiku sudah mati rasa.Sampai-sampai aku bosan dengan apa yang dilakukannya, dan berujung memblokir seluruh akses medsosnya. Menurutku ini adalah salah
"Laura ...." Jantungku serasa berhenti berdetak, ketika mendengar suara yang memanggilku.Aku berbalik, lalu menatap pemilik suara yang sangat kukenali, bahkan pernah sangat kurindukan.Tatapan matanya beradu dengan tatapan mata milikku.Terpancar kesedihan di dalam sana, bergegas kupalingkan wajah menghadap ke lain arah."Ayah sudah mengetahui semuanya," lirih ucapan itu terdengar. Namun, aku masih terdiam membisu, enggan mengeluarkan suara.Kutundukkan wajahku, ada sesak yang benar-benar menghantam dalam dada."Mari kita perbaiki lagi, aku berjanji semua akan baik-baik saja seperti awal." Aku langsung menatapnya dengan tajam, semudah itu dia berbicara."Jangan, Laura. Itu hanya akal bulusnya untuk mendapatkan dua wanita sekaligus. Dia memiliki daya tipu yang luar biasa, Ibu tak sudi anak perempuan Ibu satu-satunya kembali disakiti!" sentak Ibu, sebelum aku menjawab apa yang disampaikan Mas Alif."Ibu diam, ini urusan rumah tangga anak kita. Tak baik kita ikut campur di dalamnya, me
Kuambil foto pernikahan di dalam laci meja riasku. Lalu membuangnya ke dalam tempat sampah.Kuanggap semuanya telah selesai, dan hanya kenangan yang tersisa.Percuma istana indah diciptakan, yang ujung-ujungnya hanya menjadi petaka yang menyakitkan.****Selesai makan malam, aku dan kedua orangtuaku berkumpul bersama di ruang keluarga.Hening.Tak ada pembicaraan di sini, kami sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing. Kutatap wajah yang berada di ruangan ini satu persatu. Ingin memulai pembicaraan, tapi tak tau harus darimana.Aku yang bingung, mencoba mencari jawaban dari mata kedua orangtuaku.Nihil, tak juga kudapatkan sedikit saja celahnya, tentang apa yang sedang dipikirkan oleh mereka.Sedangkan Tiara, dia pamit pulang hari ini. Karena pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan begitu saja, aku maklumi, karena kami memang memiliki kesibukan masing-masing. Apalagi dia sekarang sudah bekerja, pastinya tak mungkin ia akan leluasa seperti dahulu lagi."Laura masuk kamar duluan ya," uja