Mita keluar dari mobil Fahri. Membanting pintunya dengan kasar. Ia marah. Benar-benar marah. Ia berjalan dengan langkah lebar, mencari kedua orang tuanya untuk mengklarifikasi semuanya. "Tunggu aku !" Fahri dengan setengah berlari mengejar Mita. Sayang, permintaannya tidak dikabulkan Mita. Gadis itu terus saja berjalan cepat. "Mamaaaa!!" teriak Mita menahan emosi. "Paaaa!!" Kali ini ia meneriakkan papanya. Tidak ada jawaban yang ia dapat. Fahri yang berlari, akhirnya dapat menyusul Mita. "Pelan-pelan. Jangan seperti ini! Kita bicarakan semuanya dengan baik-baik." Langkah Mita terhenti. Ia membalikkan tubuhnya. "Bicarakan baik-baik kata lu? Kenapa tidak dari awal kalian begini, hah?! Kenapa kalian tidak menanyakan dulu soal ini ke gua? Lu kira gua apa??! Wanita murahan yang gampang diajak nikah lalu cerai?? Begitu menurut lu??!'' Mita menjadi kalap. Perasaannya sedih sekaligus sakit. Orang tuanya sendiri mengabaikan keberadaan dan perasaannya. "Lu semua sama saja! Tidak ada ya
"Jadi menurut lu, gua harus menerima lamaran aneh dia? Eh, maksud gua, bukan lamaran, tapi apa itu namanya, ajakan menikah yang tidak sopan?" Dinda mengedikkan bahunya. "Gimana menurut lu aja, deh. Lu suka, lu terima. Kalau lu nggak suka, ya lu skip aja. Cari yang lain yang mungkin menurut lu lebih tampan, dan lebih bisa membuat lu merasa tersanjung atau bagaimana, gua kagak ngerti." Dinda meninggalkan Mita sendiri sambil membawa gelas panjang berisi jus stroberi. Ia sudah yakin Mita sudah kembali tenang, sehingga ia berani meninggalkan Mita sendiri di ruang makan. Arya melihat Dinda berjalan menuju ke arah mereka. Kedua netra mereka bertemu, dan Dinda mengatakan semuanya dengan bahasa mata yang dipahami Arya. Gadis itu mengambil tempat tepat di samping Arya, atas permintaan Arya yang sudah menepuk tempat kosong di sisi kirinya. "Sudah selesai?" bisik Arya. Dinda mengangguk. "Tunggu aja di sini. Paling juga bentar lagi nyusul kemari." Dinda menyeruput jus yang ia bawa. Wajah Di
Arya langsung menyeret Fahri pergi dari rumah Mita. Waktu sudah sedemikian mepet, tapi kakaknya itu justru tidak juga segera bergerak. "E-E-Eeh! Tunggu! Mau kemana?" seru Dinda menghentikan langkah Fahri dan Arya. "Cari cincin-lah. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?" jawab Arya kesal. "Terus Mita nggak diajak sekalian? Gimana bisa tahu ukurannya kalau Mita justru ditinggal di sini?" Dinda menarik Mita agar mengikuti dirinya menyusul suami dan kakak iparnya. "Tante. Kami permisi dulu." Susan dan Chandra melepas kepergian mereka. Keduanya menerima kedatangan EO yang akan segera menghias rumah mereka. Sedangkan Arya dan rombongan langsung meluncur ke mall, ke tempat ia memesan cincin kawinnya. -0- Rudy sedang tertawa di ruang adminstrasi kampus. Ia sedang memamerkan foto-foto yang ia dapat saat ia dan Hasan menjadi saksi pernikahan Arya dan Dinda. Teriakan iri dan decakan kagum terdengar di ruangan itu. Cerita yang ia sampaikan membuat mereka yang mendengar ikut membayangkan suasan
Tidak biasanya Mega duduk gelisah sepanjang rapat di ruang rapat gedung rektorat. Ia duduk tidak tenang dan lebih sering menatap jam tangannya. Berulang kali mendesah, mencoba mengusir rasa bosan yang kali ini sering datang menggoda. "Masih lama ya, Pak Hasan?" bisik Mega pada Hasan yang berbanding terbalik dengannya. Hasan fokus sekali pada rapat kali ini, karena menyangkut penetapan tim penguji sidang skripsi besok. Usulan beberapa waktu lalu, yang melarang dosen pendamping mendampingi dan ikut menjadi tim penguji, membuat banyak pihak mengajukan protes, tidak terkecuali Hasan dan Arya. "Baru juga setengah jam yang lalu dimulai, Bu Mega. Pembahasan kali ini sangat penting, jadi tidak mungkin berlangsung cepat." Lagi-lagi, Mega menghela napasnya. Hasan hanya menggelengkan kepalanya. Ia kembali fokus pada materi rapat, karena hasil ini akan ia diskusikan lagi dengan Arya mengenai hasilnya. Mega akhirnya meraih ponsel yang semula ia geletakkan di meja. Ia memilih mengirim pesan pad
Mega terpaku pada sosok pria dan wanita yang bergandengan tangan demikian mesra di depannya. Ia tidak mungkin salah mengenali rekan kerjanya, yang selama tiga tahun ini sudah berhasil mencuri perhatiannya "Pak Arya?" desisnya pelan. Ia tidak yakin dengan penglihatannya sendiri. Akan tetapi, apa yang ia lihat saat ini adalah sebuah kenyataan, yang tidak bisa ia tolak. Seseorang mencolek bahunya. "Banyak tamu mengantri di belakang." Mega sontak berjalan kembali ke posisinya. Ia menerima tamu dengan seribu satu pertanyaan di benaknya. Siapa wanita yang bergandengan begitu mesra dengan rekan kerjanya? Itu sangat mengganggu konsentrasinya. Sepuluh menit berlalu, Mega kembali melihat Arya, mengantri masuk dan bersalaman dengan penerima tamu pria. Keningnya berkerut. 'Itu siapa ya? Pak Arya? Apakah Pak Arya tadi keluar lagi lalu sekarang mengantri untuk masuk lagi?' Lagi-lagi, bersamaan dengan pria yang mirip Arya itu mulai bersalaman dengan para penerima tamu pria, ada seorang wanita
Mita sibuk mengambil beberapa tusuk sate. Ia meletakkan lima tusuk sate ke piring Fahri baru kemudian ke piringnya. "Lima? Kebanyakan, tiga aja." Fahri hendak mengembalikan dua tusuk sate ke tempatnya, tapi Mita langsung merampasnya. "Nggak sopan. Makanan yang sudah diambil tidak boleh dikembalikan. Nggak baik." Mita meletakkan dua tusuk sate Fahri ke piringnya. Tanpa banyak bicara, Mita langsung melahap ke lima tusuk sate itu. Fahri mengawasi semua tingkah dan sikap Mita. Ada banyak hal yang harus ia pelajari mengenai Mita, dan Mita pun harus belajar mengenal dan memahami semua tentang Fahri, mengingat pertemuan mereka begitu singkat dan pernikahan mereka yang begitu cepat. Kemampuan Mita dalam mengunyah makanan yang begitu cepat, mengundang tatapan dan decakan kagum Fahri. Ia suka gaya Mita yang apa adanya. Mita begitu berbeda dengan gadis kebanyakan yang justru menutupi keadaan dirinya, demi mendapatkan citra baik di mata orang lain. Mita meletakkan piring kotor di meja yang te
Arya mendekat ke arah Mita dan Fahri yang saat itu sedang berbicara dengan seorang wanita yang mirip dengan Mega. Kode yang dikirim Mita untuk Dinda ternyata terbaca oleh Arya, hingga ia yakin jika wanita yang sedang membelakangi dirinya dan Dinda adalah benar adanya. "Selamat Malam, Bu Mega. Apakah Ibu mencari saya?" Langkah Arya dan Dinda semakin mendekat ke tempat Mita dan Fahri berada. Arya memasang wajah datar khas dirinya setiap kali bertemu dengan Mega. Ia tidak pernah bersikap ramah pada Mega kecuali saat dia sedang merasa kesal kepada Dinda, karena tidak kunjung memberi jawaban atas niatnya untuk mengajak Dinda menikah. Wanita yang ia sapa menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, lalu memutar tubuhnya dengan cepat hingga mereka kini saling berhadap-hadapan. Wajah Mega pucat pasi. Ia tampaknya sangat terkejut dengan kehadiran Arya di depannya. Ia menatap ke arah wanita di samping Arya, yang beberapa detik sebelumnya juga mengucap salam padanya. "Selamat Malam, Bu Mega.
Teriakan Mega ternyata terdengar oleh Mona. Mona bergegas menuju kerumunan orang yang tidak jauh dari panggung. Mona menyeruak masuk, mencari Mega. Ia memandangi semua orang yang ada di sana, dan ia dibuat terkejut dengan kehadiran dua pria tampan yang berwajah mirip bak pinang dibelah dua. "Pak Arya ... ? Kenapa bisa ada dua?" Mona menatap Arya dan Fahri secara bergantian. "Mona! Mereka bilang, kalau Pak Arya sudah menikah." Mega tertawa. "Mereka lucu sekali. Candaan yang garing." Mona menatap Mita lalu ke arah Dinda. Ia tidak dapat mengenali Mita maupun Dinda. "Kalian ,,," Mita mengangguk, dan bagi Mona, anggukan Mita adalah sebuah jawaban yang tidak bisa ia tolak kebenarannya. "Terima kasih sudah mengundang kami berdua di acara pertunanganmu. Biarkan kami berdua mengundangmu di acara pesta pernikahan kami besok." Mona terhenyak, mendengar perkataan Mita barusan. Menikah? Mita dan Dinda sudah menikah? Mereka berdua justru sudah menikah lebih dulu daripada dirinya? Mega ter