Sementara itu. Di dalam kamar. Amin sedang sekarat. Sejak diketahuinya Lastri hamil tanpa suami. Ia jatuh sakit-sakitan. Napasnya selalu sesak. Ia tak selera makan. Kepikiran. Tubuhnya yang semula segar berubah menjadi ringkih. Nyaris tinggal tulang. Berbulan-bulan menyimpan sesak sendiri. Hingga pada puncaknya. Malam di mana Rudi mengakui bahwa ia berdusta demi menyelamatkan Lastri. Kondisi Amin semakin tak keruan. Bukannya tenang. Justru beban berat menghimpit dadanya. "Bapak ndak kuat, Bu. Bapak sudah gagal menjaga anak kita," ujar Amin sambil memegangi dada sebelah kiri. Angin malam berembus pelan. Menerobos masuk lewat celah jendela yang terbuka. Nyeri yang Amin rasa tak kunjung hilang. Ia hanya bisa terdiam di pembaringan. Menikmati kesakitan."Jangan bilang gitu, Pak. Bapak harus kuat demi keluarga kita.""Bapak gagal, Bu. Bapak gagal," ujar Amin putus asa."Ibu juga sudah gagal menjaga Lastri. Yang penting sudah ada yang mau mengakuinya. Rudi sudah membantu kita." "Dia p
"Ayo, Nduk. Bisa! Pasti bisa!" Bu Darmi memberi semangat. Beliau sedang membantu persalinan Lastri. Pagi tadi air ketuban Lastri pecah. Setelah dicek dalam. Rupanya sudah pembukaan penuh. Memegangi ujung kasur. Kedua tangan Lastri mencengkeram hebat. Bayang wajah Bram menari di pelupuk matanya. Ah, ia rindu sekaligus benci. Bagaimana mungkin satu hati menyimpan dua rasa bersamaan. "Ayo, Nduk. Sedikit lagi!" Bu Darmi kembali mendikte. Keringat sebesar biji jagung mengucur deras di kening Lastri. Rasanya ia sudah tak kuat lagi. Semilir angin yang masuk menerobos jendela kamar. Tak sedikit pun mampu menghalau rasa panas dari tibuhnya. "Aaaaaaaaarrrgghhh!" Lastri mengejan hebat. Didorongnya sekuat tenaga bayi dari dalam perut. Ia ngos-ngosan. Tak lama setelah jeritan panjang itu, terdengar suara tangis bayi dari dalam kamar. "Alhamdulillah! Alhamdulillah! Sudah lahiran, Bu," ujar Rudi dari balik dinding kamar penuh semangat. Statusnya memang belum resmi menjadi suami Lastri. Namun, d
Sementara itu, di tempat yang berbeda. Dengan gemerlap lampu yang berwarna-warni. Juga dentuman musik yang menyentak hebat. Seorang pria sedang tergelak bersama teman-temannya. Bram Ari Pratama. Sejak kejadian dipukulnya ia oleh sang Bapak. Semua fasilitas yang selama ini ia nikmati direnggut paksa. Penolakan untuk kuliah di luar negeri, membuat Handoko semakin muntab. Dikurungnya Bram selama lebih dari tiga bulan di dalam kamar. Hanya sesekali pintu kamar pemuda itu dibuka. Untuk sekadar mengantar makan. Tak lebih dari itu. Penjagaan ketat pun dilakukan. Juga meracuni pikiran Bram dengan pikiran buruk tentang Lastri. "Dia hanya menginginkan uangmu!""Jika dia mau kau tiduri. Bisa juga ia sudah pernah ditiduri pria lain sebelummu!""Perempuan macam apa yang mau diajak pria asing ke rumah kalau bukan perempuan gampangan!" "Bagaimana mungkin Bapaknya mengizinkan gadis itu ikut bersamamu. Jelas mereka mengincar harta!" *** Apa yang lebih cepat berubah daripada hati? Kita tak pernah
Kita tinggalkan sisi lain kehidupan Lastri. Ia dan Rudi tengah menjalani hari baru. Usai meninggalkan kampung kelahiran. Sepasang suami istri itu lantas berpindah-pindah tempat mencari keberadaan Bram.Meminta pertanggung jawaban. Juga demi sebuah janji yang mengikat. Ya, hanya untuk janji. *** Kehancuran orang-orang yang zhalim. Tidak luput dari doa orang-orang yang mereka zhalimi. Mereka yang tertindas. Merasa hatinya disakiti. Air mata terurai dengan bibir yang terus berucap fasih. Melangitkan doa berharap keadilan datang dari Rabbnya. Lastri tak sedikit pun melupakan. Doanya terus menyimpan amarah lagi dendam. Setiap terbesit pikiran tentang Bram, hanya kebencian dan kedengkian yang terus menyergap. Ia tak tahan. Sementara itu .... Surabaya, kelabu mulai membungkus kehidupan keluarga Handoko. Berbagai persoalan mencekik mereka. Bukan dari faktor luar, melainkan faktor diri mereka sendiri. Putra yang selalu dibanggakan. Yang dididik dengan penuh
Hubungan yang tak pernah diridhoi itu menghasilkan sebuah petaka. Firasat istri pertama selalu benar. Keluarga yang tak baik-baik saja selalu ada gelenjar rasa yang berbeda. Satu hari, Ani menemukan selembar foto pernikahan Handoko bersama Sarah. Perempuan itu muntab, dengan membabi buta ia marah. Namun, kuasa tetap ada di tangan Handoko. Pilihan yang diberikan hanya satu. Tetap menjadi istri pertama atau ditendang dari rumah. Lagi-lagi materi mendominasi. Memilih bertahan dengan rasa sakit. Dari pada terlantar juga tak punya apa-apa. Ani pasrah dengan keadaan dirinya. Tepat di usia pernikahan ke lima Handoko bersama Sarah. Saat istri keduanya itu melahirkan. Sang pemilik mengambil semuanya. Merebut habis Sarah dan juga bayi yang dikandungnya. Duh, balasan menyakiti istri pertama begitu kejam, bukan? Selang beberapa tahun, Arman dan Istrinya mengalami kecelakaan hebat. Tertabrak sebuah kendaraan besar saat mereka menyebrang. Nyawa kedua orang itu pun tak bis
Pagi itu, usai semalaman Bram membujuk. Aku akhirnya kalah, anakku itu ternyata sudah jatuh hati pada gadis yang bernama Inamah."Dia cantik lagi shalihah. Lulusan pondok pesantren. Dia juga mau menerima Bram apa adanya.""Dia bisa menjadi menantu yang baik untuk Ibu." "Dia sebatang kara. Tak punya siapa-siapa." Bram terus saja meyakinkan. Kutatap kedua manik hitam putraku dalam-dalam. Ada binar penuh harap di sana. Ia sudah menemaniku bangkit dari keterpurukan. Dan ia juga ingin bahagia.Kuembus napas pelan. Aku tak boleh egois bukan? Dengan berat hati kuizinkan ia menikahi gadis yang bernama Inamah itu. Walau sejujurnya luka hati yang tersimpan masih cukup dalam. Ya, Inamah. Setiap menyebut namanya. Terbesit sesuatu berlabel pengkhianatan di benakku. Gadis yang keluarganya telah menghancurkan pondasi rumah tanggaku. Merebut kasih dari seorang pria yang kusebut suami. Ah, andai ia bukan dari keluarga perusak itu. Mungkin ... aku tak akan me
Sore hari, tepatnya pukul empat. Bram dan Inamah mendatangi rumahku. Mereka berpamitan. Katanya akan pergi ke suatu tempat. Mungkin liburan, atau honeymoon ke dua. Kusindir menantuku itu. Tepat di hadapan suaminya. "Honeymoon terus. Tapi nggak hamil-hamil. Buat apa?" ketusku. "Bu, sudahlah." Bram membela. "Sudah apanya? Kamu ini cari istri nggak bener. Buat apa coba hanimun hanimun segala! Bisanya ngabisin duit suami mulu!" cecarku. Inamah mengangkat wajah. Aku tahu ia terluka. Biarkan saja! Yang penting aku puas. Sebagai pelampiasan atas kekesalanku pada keluarganya. "Sudah, Dek. Jangan dihiraukan." Bram berdiri. Ia menatapku penuh kecewa. Sejak menikah ia terus saja membela Inamah. Sudah jarang sekali menemuiku. Jika bukan karena ada maunya. "Inamah pamit dulu, Bu." Aku melengos. Malas bicara dengannya. Ia dan Bram lantas berjalan menuju pintu. Meninggalkan rumahku. Tak lama mereka berlalu. Pintu rumah terdengar diketuk dari l
Pov Bram Kutemukan lagi duniaku. Rasa yang pernah hilang, terbenam hingga ke dasar hati. Kutemukan ia dalam penyesalan panjangku. Gadis yang ... entahalah. Aku tak cukup memiliki banyak kosakata untuk mendiskripsikan rasaku untuknya. InamahAwal melihat ia. Kutangkap parasnya dengan dua mataku. Dibalik selembar foto yang diberikan Bapak. Inamah, terbingkai indah di sana.Saat melihatnya, aku bahkan tak yakin jika ia akan mau denganku. Mengingat, aku bukanlah pria yang baik. Tapi, di sisi lain, ia adalah amanah yang Bapak berikan. Meski aku tak pernah tahu. Apakah Inamah mau menikah denganku. Aku ... hanya berusaha datang untuknya. Berusaha menjalankan amanah. Ya ....Hanya itu. Namun, sepertinya aku salah. Karena tanpa sengaja. Hati ini justru bergetar saat berjumpa. Menginginkannya lebih dari apa pun.Aku jatuh cinta. Pada sosoknya yang teduh lagi sederhana. *** "Setiap orang punya masa lalu yang kelam. Hanya tinggal