Jihan menatap Bella yang nampak heran melihat sang ayah terkejut sampai membeku. Terburu Jihan langsung mengambil buku sketsa dan mengembalikannya pada Bella lagi. Kali ini, Bella tak menghindar. Malah mendekat dan memintanya duduk di ranjang juga. Kemudian Bella menyenggol sang ayah, membuat Darren tersadar."Ah ya, wajahmu harus segera diobati."Jihan menyentuh sekitar wajahnya yang terluka. "Ini cuma dicakar saja, besok juga pasti akan langsung sembuh.""Sembuh? Yang ada wajahmu jadi tidak cantik karena ada bekas luka," sahut Darren nampak tak setuju dengannya.Saat ini mata Jihan fokus pada Bella yang menatap padanya dengan ragu. Kemudian Bella mendekat dan memeluk tubuhnya. Jihan mengelus kepala sang anak."Kau sudah tidak takut sama mama?" tanyanya pelan."Bella takut pada kakak tirimu, bukan padamu," sahut Darren sambil menutul lukanya dengan kapas yang ditetesi pembersih luka.Jihan meringis dan menjauhkan tangan Darren. "Pelan-pelan. Lagi pula harusnya bilang dulu kan, sudah
"Pak. Bagaimana bisa kau menggigit bibirku?" protesnya.Darren meliriknya. "Itu hukuman untuk bibirmu yang telah memarahi aku.""Meski begitu, kenapa harus menggigit? Bisa kan menampar mulutku saja.""Kau bilang apa? Menampar mulut? Aku bukan pria yang main tangan pada wanita, apalagi kau sudah jadi istriku. Sudahlah, cepat masuk dan tidur," titah Darren ditemani helaan napas.Darren berjalan lebih dulu dan membuka pintu balkon. Ketika Jihan membawa selimut serta cangkir teh, mulai mendekat. Pintunya yang tertutup justru terkunci. Darren berdiri tepat di depan pintu dengan tangan berkacak pinggang."Pak! Kenapa kau mengunci pintunya?""Sengaja, aku ingin menghukum kamu Jihan. Tidurlah di luar dan nikmati angin dingin di sana." Darren berbalik dan bersiap pergi.Tapi, Jihan yang bersin membuat Darren berhenti melangkah. Perlahan kepala menoleh dan mata melotot. Sebab Darren melihat Jihan yang mendekati balkon, dan nampak melongok ke bawah. Darren yang pernah ditinggalkan sekali karena
Jihan tersenyum dan menatap wajah Darren. "Tersenyum sedikit saja, kau pasti sangat tampan suamiku."Jihan saat ini mendekat dan mengecup bibir Darren. "Aku juga suka bibir ini, wajah ini. Aku suka semuanya."Jihan terus saja mengecup bibir Darren. Hingga membuat batas kesabaran Darren habis, tangan pria ini merambat di lehernya, sementara bibir menyesapnya. Jihan tersenyum, kemudian menjauh dan berbaring sembari menarik selimut."Kenapa dalam mimpiku kau muncul, menyebalkan," gumam Jihan membuat Darren membeku dengan mulut masih terbuka.Darren mendengkus melihat Jihan yang benar-benar sudah tertidur. Bahkan tak terusik ketika Darren mengguncang tubuhnya. Napas Jihan terdengar teratur. Darren menatap Jihan serius."Kenapa? Kau memperlakukan aku seperti itu dalam mimpimu, apa karena kau mulai suka padaku?"***Sore harinya. Jihan menggeliat dan mulai membuka mata. Rasanya baru tadi pagi ia memejamkan mata. Langit sudah terlihat senja. Senja! Jihan yang tersadar langsung masuk ke kama
"50 juta ya? Ibu ini sudah tidak bekerja menantu, Yuna tiap bulan mengirim uang dan gajinya habis untuk membeli kebutuhannya juga. Jadi ... bagaimana kalau dikurangi lagi?" Ibu tirinya menego.Darren nampak berpikir. "Ya sudah. Karena Kak Yuna, kakak iparku. Maka aku akan mengubahnya menjadi 49.980.000 bagaimana?"Jelas ibu dan kakak tirinya saling pandang begitu mendengar angka yang sama saja seperti tak ada perubahan. Jihan menatap suaminya yang nampak baik di depan ibu tirinya, nyatanya hanya pria brengsek. Darren membalas tatapannya dan tersenyum manis."Lepaskan tanganmu," bisik Jihan sangat pelan.Namun, Darren tidak menggubrisnya. "Bagaimana kalau Ibu dan Kak Yuna pulang dulu? Soalnya Jihan sedang sakit dan harus banyak istirahat."Ibu tirinya terlihat cemas. "Jihan, kau sakit apa Nak? Perlu ibu menginap di sini dan merawatmu?"Jihan menggeleng. "Tidak usah Bu, aku sudah sembuh juga.""Yakin sudah sembuh? Ibu tidak tega meninggalkanmu di rumah ini," tutur ibu tirinya sangat ber
Jihan yang baru saja hendak mendekati ranjang. Menoleh terkejut pada pintu yang tiba-tiba saja terbuka. Apalagi yang masuk ternyata Darren. Kali ini, Darren mendekat dan membantunya merebahkan diri di ranjang."Panas sekali," gumam Darren dengan tangan menyentuh dahinya.Jihan memeluk selimut erat. "Kenapa kau ke sini Pak?"Mendengar ucapannya, Darren menyipitkan mata. "Kamar ini milikku. Jangan bilang hanya karena demam kau jadi lupa ingatan."Jihan membisu. Melihat Darren yang mengeluarkan termometer, kemudian mengukur suhu tubuhnya melalui ketiak. Masalahnya adalah Darren begitu santai melepas kancing bajunya! Dan Jihan hanya bisa diam, menyebalkan sekali.Selagi menunggu termometer berbunyi. Darren menarik kursi rias dan duduk di sebelahnya. Jihan sendiri hanya terdiam dan makin erat mencengkram selimut. Ia harus tanyakan alasan Darren dingin padanya tiba-tiba.Namun, ketika matanya bertemu dengan Darren yang saat ini meliriknya tajam. Tiba-tiba saja membuat nyali Jihan langsung m
Mata Jihan dan Darren bertemu. Kemudian Darren mendekat, hanya untuk mengukur suhu tubuhnya dengan meletakkan tangan pada dahinya. Jihan sedikit memejamkan mata, hal itu membuat Darren mengerutkan dahi."Kenapa? Kau mengira aku akan memukulmu, jadi kau takut, begitu?" sindir Darren sangat tepat sasaran."Bukan begitu Pak. Aku hanya ....""Sudah, tutup mulutmu," titah Darren.Jihan menatap Darren yang menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Jihan begitu menatap lekat, sampai membuat Darren menepuk dahinya pelan. Tapi, tetap membuat Jihan "Kenapa menatapku begitu? Kau suka padaku?" Lagi, ucapan Darren sangat tepat.Tapi, Jihan menghela napas. "Pak, tolong jangan terlalu percaya diri.""Ah, jadi kau tidak suka denganku ternyata."Jihan menatap Darren serius. "Jadi, kenapa Bapak begitu berubah dan dingin padaku?""Masih penasaran?" tanya Darren dengan mata menatap perawat yang sudah selesai dan pamit pergi."Tentu saja!"Darren meliriknya dan menyeringai. Jihan jadi membeku karena ekspres
"Jantungmu berdetak cukup kencang ya," sindir Darren membuat Jihan terkejut."Mana ada? Ini sih suara cairan infus yang jatuh," elak Jihan.Mendengar ucapannya, Darren menyeringai. "Suara cairan infus tidak seperti itu. Malah terdengar dari jantungmu.""Itu karena aku masih hidup Pak!"Darren sedikit tersenyum karena berhasil menindas Jihan. Tentunya sekarang Jihan langsung menundukkan kepalanya dan memejamkan mata. Jihan ingin berbalik dan membelakangi suaminya, tapi ia merasa tidak mungkin. Sebab tangannya masih diinfus dan selangnya akan menjadi tegang kemudian akan tersenggol oleh badan Darren."Tidurlah," tutur Darren sembari menepuk pundaknya pelan, hal itu membuat Jihan sedikit terkejut.Jihan berusaha menenangkan jantungnya yang semakin berdetak kencang karena perbuatan Darren, yang padahal hanya sekecil ini saja. Namun, tepukan itu perlahan menjadi elusan kecil hingga tak bisa Jihan rasakan lagi. Ketika matanya menatap, rupanya Darren sudah memejamkan mata.Jihan tersenyum. "
Abian menatap pada Darren. "Kenapa Bapak tidak ingin menceraikan Jihan? Padahal Bapak kan tidak suka dengan Jihan."Darren mengerutkan dahi. "Kata siapa aku tidak suka pada Jihan?"Jihan terkejut saat Darren mendekat. Tangan berada di punggung dan permukaan kursi. Kemudian Darren begitu cepat mengecup bibirnya, hanya kecupan tapi berubah menjadi sesapan. Bahkan tangan Darren meraih lehernya dan semakin memperdalam ciuman.Hanya akting, ya Darren sedang berakting. Itulah yang Jihan pikirkan, sebab jantungnya saat ini berdetak kencang. Mata Darren menatap, ketika Jihan membalas kecupan. Mereka berdua mengabaikan Abian yang memilih melengos dengan tangan mengepal erat."Apa kau mau lihat kita bersetubuh? Sekalian kau menilai apakah ada cinta tidak di antara aku dan Jihan," celetuk Darren.Abian memang menatap Darren kesal setengah mati. Tapi, berhubung Darren adalah direktur. Pastinya kalau menyentuh secuil tubuh Darren pun, maka karir Abian tamat sudah. Abian menghela napas dan mata men