“Kenapa hanya pura-pura pacaran? Kenapa tidak serius saja?” Karan datang dan langsung membahas tentang semalam.
“Tidak bisa, Karan. Ayolah, mengerti keadaan kita.” Ailyn membelakangi. Hamparan rumput yang luas di padang itu membuatnya merasa nyaman.“Lalu, apa rencanamu?” Karan mendekat, ikut menatap kosong ke arah rerumputan yang letaknya lumayan jauh dari rumah Ailyn.“Aku tak tahu. Aku tak mengira Farel akan lancang datang dan membuat semua kian kacau.” Ailyn menarik napas dalam-dalam.Udara di bawah pohon rindang itu cukup nyaman. Selain meneduhkan, juga memberikan ketenangan.“Kalau hanya mengaku sebagai pacar, tak akan ada yang percaya. Bagaimana kalau kita kencan? Kita kunjungi beberapa tempat, berswafoto layaknya pasangan.”Karan memberi usul yang langsung membuat Ailyn mengernyit. “Haruskah?” tanyanya, tak yakin.“Apa kau punya cara lain?” Karan balik bertanya. Ailyn menggeleng. Seperti yang HadidMalam yang dinantikan telah tiba. Karan menuruni tangga menuju ke lantai bawah, di mana semua orang sudah berkumpul untuk acara ulang tahunnya. “Mama!” Karan melambaikan tangan, sedikit memelankan suara melihat Marina dan Kiran datang. Kiran langsung berlari mendekat sambil menyerahkan kotak hadiah. “Selamat ulang tahun, Kakak,” ujarnya. “Makasih, Sayang.” Karan mencubit pipi Kiran, lalu menyerahkan kotak hadiah itu pada Jovan yang bertugas mengumpulkan hadiah dari tamu. “Sini, Ma.” Karan menarik tangan Marina agar ikut mendekati kue ulang tahun berukuran besar di tengah ruangan. “Tidak, Nak. Mama di sini saja,” jawab Marina, memilih menjaga jarak. Melihat tatapan maut Yunita saja cukup membuatnya tahu diri dan batasan. “Huh! Kenapa wanita itu harus diundang?” Yunita mencibir sambil meremas gaunnya. “Dia berhak datang juga, Ma. Dia Mama Karan.” Kusuma menengahi. Farel yang baru muncul, langsung bergabu
Ailyn meneteskan air mata mendengar apa yang dokter katakan. Luka di kepala Alex memang tak terlalu parah, tapi efeknya bisa jangka panjang. “Kenapa Om Alex menolongku? Kenapa tidak membiarkan aku saja yang ditabrak?” Ailyn menyeka air mata melihat Alex belum sadarkan diri. Kepala dan lengan pria itu dibalut perban. Sorot mata Gandhi yang tajam padanya, membuat Ailyn semakin tersiksa. Baru saja merasa senang, sekarang sudah bersedih lagi. “Sekarang kau sadar? Tuan Alex sangat mencintaimu sampai rela mengorbankan diri,” kata Mohan, duduk di sebelah Ailyn. Ailyn mendongak. Apa hendak dikata, segalanya telah membuatnya merasa bersalah. Ailyn merasa berhutang nyawa pada pria yang kini mulai membuka mata perlahan. “Om Alex!” Ailyn menyeka air mata, berdiri di dekat Alex. Pria itu memegangi kepala, sedikit mengeluh. “Om baik-baik saja?” tanyanya, kembali meneteskan air mata. Kalau saja dia tidak bersikeras menola
Alex tengah disuapi Ailyn. Wanita itu tampak lemah. Kelopak matanya menghitam, terlihat jelas bekas tangisan dan kurang tidur. “Kalau kau terpaksa dengan rencana pernikahan ini, kita batalkan saja,” lirih Alex sembari mengunyah. “A—“ Ailyn sudah pun menganga hendak bicara, tapi Mohan mendahuluinya. “Kenapa harus merasa terpaksa? Ini sudah tanggung jawab Ailyn. Dia harus berterima kasih sebab Tuan mengorbankan diri deminya.” Mohan muncul membawa gaun baru untuk Ailyn. Pria itu menunjukkan gaun yang akan dipakai nanti malam saat acara pernikahan dilangsungkan. “Apa aku harus mengundang para tetangga juga? Mereka pasti senang mendengar pernikahan Ailyn.” Indah dan suaminya memasuki kamar. Keduanya tampak senang. Jelas sekali sebab Ailyn tahu keduanya sudah diberi banyak uang oleh Alex agar membantu persiapan pernikahan. “Itu lebih baik,” kata Alex. “Tidak usah. Kita beri tahu setelah acaranya selesai saja
“Karan,” lirih Ailyn, menangis haru. Ditatapnya mata Karan yang bening. Pria itu menggeleng, kemudian menyeka air matanya. “Semua sudah selesai. Sekarang kau istriku. Tidak akan ada yang bisa mengganggu kita lagi.” Karan memeluk Ailyn dengan erat. Ia pun tak mengira rencana yang dibuat dadakan itu akan berhasil. Dengan bantuan semua anggota keluarga, pernikahan mendadak itu pun terlaksana. “Selamat, Nak. Kalian sudah resmi menjadi suami-istri.” Marina mengelus rambut Ailyn dengan penuh kasih sayang. Ia teringat tadi sore saat Gandhi datang tepat saat dia dan Kiran tengah menyiapkan sesuatu di kamar. “Siapa?” Marina mendekatkan telinga ke pintu. Tangannya bersiap membuka kunci pintu. “Gandhi, Nyonya,” jawab orang di luar. Marina sedikit tersentak, mengira suaminya pulang. Wanita itu hanya sedikit membuka pintu dan berbicara dengan menahan pintu. “Mana Mas Alex?” Hanya kepalanya yang keluar, sement
Yunita tak berkedip. Situasi di depannya kini harus dibilang menarik atau tragis, ia tak tahu. Yang jelas, masalah Ailyn ternyata tak sesederhana yang Kusuma bicarakan. “Karan?” Ailyn menarik jas bagian samping suaminya. “Mas, a-apa yang kau katakan? Dan lukamu? Bukannya Gandhi bilang kau sibuk untuk beberapa hari ke depan?” Marina mendekat meski Karan mencegah. Mamanya yang belum paham, malah bersimpati pada luka di kepala suaminya. “Aku begini karena menyelamatkan wanita yang kini menjadi menantumu. Ya, aku akui, aku tidak pergi bekerja, tapi untuk menikahinya.” Alex masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kini Ailyn sudah menjadi istri Karan. Apa dan bagaimana semua ini terjadi, Alex ingin segera tahu kebenarannya. “Apa?” Marina membekap mulut, menatap wajah Alex dan Ailyn bergantian. Barulah ia sadar saat ini sang suami memakai tuxedo, jelas-jelas bukan jas biasa, tapi jas pengantin. “Maafkan, Ka
Dua hari sudah Marina terbaring di ranjang kamar rumah sakit. Sejak terkejut di malam pernikahan Karan dan Ailyn, Marina jatuh sakit. Dokter memvonis Marina terkena serangan jantung. “Mama.” Kiran tak henti-hentinya menangis. Alex yang tak tahu mengenai kabar istrinya pun tak lagi bisa dihubungi. “Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi Mama bangun dan sembuh. Nanti kita main bersama, ya,” bujuk Karan. Kiran hanya mengangguk lesu, terus menggenggam tangan Marina yang mulai dingin. “Karan,” lirih Ailyn. Sejak dua hari pula ia berada di sisi Karan. Menjadi penyemangat sekaligus penguat sang suami. Masalah demi masalah tak henti-hentinya menerpa. Baik Karan maupun Ailyn, keduanya dipaksa untuk kuat. “Kau baik-baik saja? Maaf ya, aku malah membuatmu berada di sini setelah kita menikah,” kata Karan, mencoba tersenyum. Dibiarkannya Ailyn mengelus pundak sembari menggeleng. “Aku yang seharusnya meminta maaf. Ini semua kar
Tampak Mohan berlari ke arah Ailyn sambil memeriksa sekeliling bak tengah berada dalam bahaya. Tangannya mendekap tas ke dada. “Ayah? Ayah ke mana saja? Kenapa meninggalkan Ailyn dalam keadaan darurat?” Ailyn merasa takut melihat Mohan yang malah menariknya ke lorong yang gelap. Pria itu terus saja mengawasi sekitar, sampai Ailyn terpaksa memukul lengannya. Barulah Mohan sadar dan menatapnya tanpa kedip. “Ayah sudah membayar sisa hutang pada rentenir beserta bunganya. Ayah juga membayar hutang judi. Ini sisanya 375 juta. Ayo, kau ikut Ayah kabur.” “Apa?” Ailyn masih belum sepenuhnya paham apa yang Mohan bicarakan. “Dasar!” Mohan memukul kepala Ailyn. “Uang yang Karan berikan sudah Ayah gunakan, sisanya 375 juta bisa kita pakai buka usaha di tempat baru,” bisik Mohan. Ia merasa diikuti sejak keluar dari arena judi. Entah benar adanya atau hanya sekadar ketakutan belaka, yang jelas Mohan takut Alex akan membunuhnya sete
"Apa! Kenapa suaramu seperti habis kehilangan seseorang?” Alex menggoyangkan gelas yang terisi setengah bir. Di sela-sela jarinya terdapat puntung rokok. “Aku memang kehilangan seseorang. Mama ... Mama sudah tidak ada,” ujar Karan. “Apa?” Alex bangkit dari duduknya, membuat semua anak buahnya ikut berdiri. Gelas di tangan kini berpindah tempat ke meja. “Papa, pulang, Pa. Mama sudah pergi. Papa.” Kiran menangis. Suara tangisannya bagai anak panah yang menghunjam dada Alex yang kaget bukan main. “Bagaimana bisa?” Alex tak percaya pada apa yang didengarnya. Setahunya, Marina memang kecewa dan pasti marah, tapi tak menyangka akan ada kabar buruk sepagi ini. “Mama terkena serangan jantung dua hari lalu, tepat setelah tahu kebenarannya. Semalam kejang-kejang dan ... meninggal.” Karan tak kuasa menahan air. Meskipun pelukan Ailyn terasa hangat, tapi matanya jauh lebih hangat sampai bulir-bulir deras mengalir. “Ken