Kehidupan Cantika dan Miko berjalan damai. Seperti teman serumah, juga seperti dua orang yang sedang pendekatan. Melakukan kontak fisik sederhana mulai dari pegangan tangan dan merangkul saat duduk bersama maupun keluar rumah. Mereka tampak serasi, seperti pasangan pada umumnya. Yang berbeda hanya perasaannya.
Bukan sekali dua kali Cantika punya pacar. Hal semacam itu sangat biasa buatnya. Kalau sebelumnya dia bahkan menerima ciuman dari para mantan pacar yang tidak disukainya, status Miko lebih dari itu. Mereka pasangan suami istri. Meski kenyataannya, Cantika masih menganggapnya sebagai teman—teman serumah.
Miko tidak seperti para lelaki di kampusnya, pemuda labil egois yang masih dalam masa puber. Dia dewasa dan bersikap sesuai umurnya. Tahu kapan waktunya santai, tahu kapan waktunya serius, tahu kapan waktunya bersikap manis, dan terpenting, tahu kapan waktunya menyentuhnya.
Cantika sampai terpukau dengan sikap Miko. Sekali lagi meyakinkan diri,
Cantika merasa segalanya berjalan lebih baik. Hubungannya dengan Miko, kuliah, dan terutama pencarian tempat magang. Dengan nilai pas-pasan, masih ada kantor yang memanggilnya untuk wawancara setelah mengirim tujuh lamaran. Cantika merasa bersyukur. Dia bahkan mendapat dua panggilan wawancara dan diterima di kantor yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah.Tidak ada waktu untuk patah hati. Cantika hanya perlu fokus pada kuliahnya dan cepat lulus. Membuka awal yang baru untuk masa depannya, juga untuk hubungannya.Cantika berjalan penuh semangat memasuki area kantor yang akan jadi tempat magangnya selama enam bulan ke depan. Bangunannya cukup unik, bentuk trapesium di bagian depan dengan salah satu sudut atap lebih tinggi dan runcing. Desainnya terkesan minimalis dan bersih, warna putih mendominasi bagian luar dipadu-padan sentuhan hijau tanaman rambat di balkon lantai atas dan hamparan rumput pekarangan yang mengelilingi bangunan.Jalan menuju pintu utama kan
“Udah makan?”Cantika yang sedang duduk menonton televisi menoleh ke asal suara. Ke tempat Miko menghempaskan diri di sofa sebelahnya. Ia menatap Miko yang tersenyum. Begitu saja, sampai menyadari ia sudah mendorong diri bersandar pada Miko.“Aku baru pulang, belum mandi.” Bahkan Cantika bisa merasakan senyum pada genangan suara Miko.“Kamu nggak keringatan, kok,” sahutnya masih bersandar.Cantika telah berjanji pada diri sendiri, untuk berperan sebagai istri yang baik. Belajar menyukai Miko mulai sekarang, dan tidak mengecewakan lelaki itu. Keintimanlah, cara tercepat yang dipilihnya untuk mengubah hati. Tapi seberapa dekat pun, sebanyak apa pun berciuman, mereka belum memakai kamar yang sama. Sebatas teman tapi mesra, tapi lebih dari teman. Sehingga sulit mendefinisikan hubungan mereka.Tapi ketika satu pertanyaan yang mengarah pada sejuta maksud dan punya ribuan jawaban tertuju padanya, Cantika membeku.
Sebelumnya.“The, lo lagi ngapain?”Meski hapal betul dengan suara yang memanggilnya, Theo melirik sebentar ke arah pintu, kemudian menyahut, “Ngecekin portfolio lamaran magang.”“Oh, udah ada yang apply ya?” Ben menutup pintu dan berjalan mendekati meja Theo.“Banyak.” Sorot mata, serta jari telunjuknya yang mengusap-usap dagu menunjukkan betapa seriusnya Theo saat ini.“Ada calon pemagang potensial nggak?” tanya Ben, bersandar pada meja Theo, membelakanginya.“Hmm ... ini ada satu orang, transkrip nilainya warna warni, A B C D E. Tapi difoto, orangnya cantik banget,” jelas Theo sambil memberikan cengiran. “Yah, meskipun foto cewek jaman sekarang bisa aja menipu, sih.”“Cuma karena cantik, terus mau lo terima?”“Lihat dulu sini. Portfolionya belakangan oke, gaya interiornya gue lumayan suka. Tug
“Aku lihat mobilnya. BMW biru itu ....” Perempuan itu mengerjap tanpa menatap Miko. Mungkin Cantika tak sadar saat ini dia sedang menggigit bibir bawahnya. “Kamu sama Ben tadi?” tanya Miko dengan nada tenang. Kali ini langsung menyebut nama. Sedan mewah tanzanite blue, dengan seri yang tidak begitu banyak ditemukan di jalan, tidak mungkin hanya suatu kebetulan. Miko pernah melihat mobil itu beberapa kali saat Ben menjemput Cantika dulu. Mobil yang akan membuat orang lain teringat begitu saja karena ciri khas dan keeleganannya. Mobil itu masuk ke area kantor Cantika tepat sebelum Miko meneleponnya. “Aku nggak tau dia kerja di sana, sumpah! Aku ngelamar di sana bukan karena dia. Aku nggak tau ada dia.” Suara serta gestur Cantika panik bergetar. Tangannya saling meremat. “Iya, aku tau kamu ngehindarin dia.” Miko maju beberapa langkah. “Tapi ... kenapa? Kamu ngerasa nggak enak kalau aku tau kamu sekantor sama dia?” Jeda sejenak sampai Cantika mengangguk, kerutan di antara sepasang al
Sejak terakhir pergi ke lokasi konstruksi berdua, kembali ke kantor memperdebatkan soal Cantika yang merahasiakan keberadaan Ben di sekitarnya dari Miko, keadaan mulai berubah esok harinya. Ben tidak lagi mengganggunya. Tidak lagi terus menerus menyuruh Cantika melakukan tugas serabutan. Pria itu jauh lebih tenang. Terlalu tenang malah, sampai-sampai Cantika mengira dia sedang tidak di kantor. Apa jangan-jangan, Ben merencanakan hal lain? “Ish, kok aku mikir jahat melulu sih sama orang? Nggak boleh nethink, Cantika,” gumamnya pada diri sendiri. “Kenapa Ra?” Jovino yang berjalan di depannya menoleh. Cantika merasa salah tingkah karena menyuarakan pikiran ngawurnya. “Eh, nggak pa-pa. Jov, kamu terganggu nggak, diekorin aku terus? Soalnya aku merasa nggak enak sama kamu, sampai kakak-kakak yang lain pada nanya.” Satu tangannya menggosok lengan yang lain. Reaksi Jovino separuhnya tidak sesuai dugaan. Laki-laki itu melirik ke arah lain, bergumam sebentar sebelum menjawab, “Aku nggak ke
Setibanya di rumah, Cantika buru-buru mencuci bajunya yang ketumpahan kopi dan baju baru yang dibelikan Ben. Entah kenapa dia mengendap-endap dan merasa takut seperti ini. Padahal bisa saja menceritakannya pada Miko. Toh, tidak ada hal yang terjadi di antaranya dan Ben. Namun, Cantika merasa berat. Lebih baik tidak membahas tentang Ben saat berdua dengan Miko. Itu akan lebih mudah untuk mereka. Mungkin dia terkesan seperti pengecut. Tapi, sungguh ... Cantika hanya ingin cari aman. Perasaan yang menghantuinya sejak tadi juga menahannya untuk bercerita pada Miko. Cantika tidak bisa memastikan, dia dapat mengatur ekspresinya ketika membicarakan Ben di depan Miko. Saat ini, hanya dengan mengingat nama Ben saja ia merasa berdebar. Selesai membersihkan semuanya, Cantika menyiapkan barang-barang yang akan difotonya di akhir pekan untuk promosi. Cantika tidak punya banyak waktu untuk melakukan kegiatannya di media sosial selama mulai magang. Dia benar-benar sibuk. Oleh sebab itu, Cantika mul
‘Mampus gue, mampus! Bisa diamuk Ben kalo tau ceweknya luka gara-gara gue.’Berkali-kali Theo menjerit panik dalam hati. Meski berusaha untuk tidak menunjukkan lewat ekspresinya, tapi sepertinya dia gagal. Karena Cantika kelihatan bingung tadi.Masa bodoh! Pikir Theo. Dia menyambar plester yang ada di bengkel kerja mereka. Berjalan secepat mungkin ke ruang arsitek. Saat itu dia berpapasan dengan Cantika yang telah selesai membasuh lukanya.Tadinya, Theo berniat memakaikan plester tersebut. Tapi kalau Ben melihat dari CCTV koridor, masalah bisa lebih parah lagi. Lelaki itu punya krisis kepercayaan. Kalau Theo membantu Cantika lebih dari ini, Ben yang rasa cemburunya selangit itu bisa mencak-mencak. Kalau tidak beruntung, mungkin malah dapat bogem mentah atau lemparan botol bir saat dia mabuk. Akhirnya, yang bisa Theo lakukan adalah memberikannya plester. Cantika pun mengucapkan terima kasih padanya.Theo mengamati jejak darah yang sudah tak sebanyak sebelumnya. Dia memalingkan wajah, m
“Terus, apa pilihan kamu selanjutnya?” tanya Ben hati-hati. Dia masuk ke ruangannya, menutup pintu di belakangnya, dan berdiri di balik meja, menatap ke luar jendela. Ketika sedang bersama Cantika tadi, Viona menelepon. Memberitahu hasil dari keputusan akhirnya. Tentang hubungannya dengan Romy. Tentang janin yang dikandungnya.“Aku ... nggak bisa pertahanin anak ini.” Viona berhenti sejenak. Samar-samar, Ben bisa mendengar wanita itu menelan isakkan. “Romy nggak akan peduli. Papa-mamaku nggak bakal terima. Meski aku bilang bukan anak kamu, tapi mereka pasti malah desak kamu. Nggak ada pilihan lain, Ben. Nggak ada pilihan lain.” Suara Viona begitu pilu. Wanita yang dibencinya kini membuat Ben iba.Ben memejamkan mata erat. Mencengkeram pinggir mejanya. “Kapan?” tanyanya dengan nada berat. “Kapan kamu mau ....” Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.“Aku udah buat janji besok.”“Besok??” Ben cukup kaget mengetahui Viona mengambil keputusan secepat itu.“Lebih cepat lebih baik,” liri