Jangan lupa tebarkan gem untuk Cantika~ Follow otor juga di medsos dan wp yaa @lunetha_lu
‘Mampus gue, mampus! Bisa diamuk Ben kalo tau ceweknya luka gara-gara gue.’Berkali-kali Theo menjerit panik dalam hati. Meski berusaha untuk tidak menunjukkan lewat ekspresinya, tapi sepertinya dia gagal. Karena Cantika kelihatan bingung tadi.Masa bodoh! Pikir Theo. Dia menyambar plester yang ada di bengkel kerja mereka. Berjalan secepat mungkin ke ruang arsitek. Saat itu dia berpapasan dengan Cantika yang telah selesai membasuh lukanya.Tadinya, Theo berniat memakaikan plester tersebut. Tapi kalau Ben melihat dari CCTV koridor, masalah bisa lebih parah lagi. Lelaki itu punya krisis kepercayaan. Kalau Theo membantu Cantika lebih dari ini, Ben yang rasa cemburunya selangit itu bisa mencak-mencak. Kalau tidak beruntung, mungkin malah dapat bogem mentah atau lemparan botol bir saat dia mabuk. Akhirnya, yang bisa Theo lakukan adalah memberikannya plester. Cantika pun mengucapkan terima kasih padanya.Theo mengamati jejak darah yang sudah tak sebanyak sebelumnya. Dia memalingkan wajah, m
“Terus, apa pilihan kamu selanjutnya?” tanya Ben hati-hati. Dia masuk ke ruangannya, menutup pintu di belakangnya, dan berdiri di balik meja, menatap ke luar jendela. Ketika sedang bersama Cantika tadi, Viona menelepon. Memberitahu hasil dari keputusan akhirnya. Tentang hubungannya dengan Romy. Tentang janin yang dikandungnya.“Aku ... nggak bisa pertahanin anak ini.” Viona berhenti sejenak. Samar-samar, Ben bisa mendengar wanita itu menelan isakkan. “Romy nggak akan peduli. Papa-mamaku nggak bakal terima. Meski aku bilang bukan anak kamu, tapi mereka pasti malah desak kamu. Nggak ada pilihan lain, Ben. Nggak ada pilihan lain.” Suara Viona begitu pilu. Wanita yang dibencinya kini membuat Ben iba.Ben memejamkan mata erat. Mencengkeram pinggir mejanya. “Kapan?” tanyanya dengan nada berat. “Kapan kamu mau ....” Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.“Aku udah buat janji besok.”“Besok??” Ben cukup kaget mengetahui Viona mengambil keputusan secepat itu.“Lebih cepat lebih baik,” liri
"Penyesalan terlambat karena tidak mengenal ojek online." – Olin.===‘Bego!Cantika bego!Gara-gara kepikiran Ben terus, pake segala kecentilan godain Miko.Kayak yang haus belaian aja!’Dalam hati Cantika terus mengutuk dirinya sejak pagi. Dia tidak punya muka untuk menatap Miko. Selama perjalanan saat Miko mengantarnya ke kantor, dia bahkan terus melihat ke luar jendela seolah pemandangan kemacetan jalan adalah hal terindah yang pernah dilihatnya.‘Mentel amat sih, Can!’Setelah itu, Cantika jadi menyesal sendiri karena bersikap gampangan di depan Miko. Menawarkan diri untuk disentuh? Yang benar saja! Memangnya dia perempuan penggoda?! Tapi ... mereka suami-istri, bukankah wajar?Tidak. Apanya yang wajar kalau Cantika saja masih kepikiran pria lain? Untungnya ia ketiduran saat menunggu Miko mandi semalam. Kalau Miko benar-benar menerima godaannya dan melakukannya, mau ditaruh mana mukanya?Cantika juga menunggu sambil berdebar setengah mati karena kebodohannya sendiri. Itu sebabnya
“Oh, hai. Kamu juga lembur?”Cantika berhenti melangkah dan menoleh, mendapati Miko ada di belakangnya. Senyum menghias wajah lelah pria itu.“Iya. Udah makan, Mik?”Miko kemudian menyamakan langkah di sebelahnya. Sama-sama menyusuri lorong untuk menuju ke unit apartemen mereka. “Udah tadi, sama mamaku. Kamu?”Dengan senyum cerah, Cantika menjawab, “Aku juga udah. Besok aku aja yang siapin sarapan.” Memeluk lengan Miko dan menyandarkan kepala di sana.Beberapa langkah kemudian, mereka tiba di depan pintu. Cantika masih menempel, sementara Miko menekan kode akses pintu.“Ada angin apa?” canda Miko mengelus puncak kepalanya.Cantika melepaskan lengan Miko untuk meloloskan sepatu dari kakinya dan meletakkan ke rak sepatu. “Kasian kamu. Capek-capek dobel kerja, masa disuruh siapin sarapan juga di rumah. Sekali-sekali aku aja, kan aku istrinya.”Miko juga melakukan hal serupa. Tapi saat ia ingin mengangkat sepatunya, Cantika sudah mengambil alih dan memasukkannya ke rak lebih dulu.“Tau ng
Tidak mugkin.Mustahil.Sekujur tubuh Cantika menjadi kaku saat melihat surat perjanjiannya terpampang di layar komputer Ben. Matanya mendadak terasa panas.“Aku tau, ini tulisan kamu,” kata Ben lagi.Cantika pucat pasi mengutuk kecerobohannya. Dia baru saja menggali kuburannya sendiri dengan menyertakan surat pernjanjiannya dengan Miko ke dalam folder yang dikirimnya pada Ben. Karena foto perjanjiannya itu diambil tepat setelah Cantika pergi dengan Ben ke Depok, dia keliru menyalinnya bersamaan. “Memangnya ... kenapa?” tanya Cantika dengan suara bergetar. “Setelah baca surat itu, terus apa? Itu cuma tulisan tangan biasa. Apa pun yang ada di situ, intinya we’re married.”“Palsu,” dengkus Ben sinis. “Pernikahan kontrak yang bahkan nggak terdaftar? Kalian nggak sah.”“Mungkin sekarang memang begitu. Tapi, kamu baca sampai akhir? Perjanjian bisa berubah.”Bagaimanapun caranya, Cantika tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan Ben. Dia tidak ingin kalah lagi dari pria itu. Hatinya terus
“Kalau gitu, mulai sekarang jangan ganggu aku,” ucap Cantika lirih.Helaan napas Ben menggelitik dagu Cantika. “Kasih tau aku alasannya. Jelasin biar aku ngerti.” Nada pria itu melunak.Namun, Cantika hanya menggeleng dengan air mata yang kembali mengalir.“Kalo kamu cuma butuh suami, aku bisa gantiin dia.”“Nggak bisa gitu, Ben. Nggak bisa gitu.”“Ya terus apa? Apa yang bikin kamu lebih milih cowok jadi-jadian yang nggak jelas orientasi seksualnya itu? Jadi dia homo apa biseks? Oke, itu nggak penting. Gila ya, dari awal aku udah ngerasa curiga sama dia. Tau-tau main serobot pacar orang,” oceh Ben dongkol.Seharusnya Cantika menyingkir sejak tadi. Tapi berada di pangkuan Ben membuatnya nyaman. Plus, lengan kokoh yang mendekap pinggangnya terasa hangat di cuaca sejuk begini. Cantika jadi lupa untuk beranjak.“Pokoknya aku nggak bisa. Tolong jangan ganggu aku untuk sekarang. Ini satu-satunya cara aku bertahan.” Tangan Cantika memegang pinggiran meja kuat-kuat. “Anggap kita selesai.”Man
Cantika buru-buru menjejalkan barang-barangnya ke dalam tas selagi menunggu render desainnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tinggal ia sendiri yang tersisa di ruangan arsitek. Gara-gara perdebatannya dengan Ben, sepanjang siang Cantika tidak bisa konsentrasi. Akibatnya, semua pekerjaan jadi terhambat.Cantika melirik ponselnya dan sekali lagi melihat notifikasi pesan balasan dari Miko yang belum sempat dibacanya. Dia mengambil ponselnya, baru akan membuka pesan itu ketika tiba-tiba mendengar suara gaduh.Kucing bertengkar? Terkanya mengerutkan dahi.Penasaran, Cantika keluar ruangan dan memandang ke lorong. Asal suaranya dari tangga, disusul suara Ubay si penjaga kantor. “Pak, Bapak nggak pa-pa? Weleh, weleehh, jangan tidur di sini, Pak. Nanti masuk angin.” Nadanya terdengar cemas.Tanpa pikir panjang, Cantika segera menuruni anak tangga dan mendapati Ubay sedang menyelipkan tangan di antara kedua lengan bosnya, berusaha mengangkatnya dari belakang.“Ubay, Pak Bos kenapa
“Nggak diangkat?”Miko menoleh dan menggeleng. “HP Cantika mati. Gue cuma mau ngabarin pulang telat, sih. Tadi lupa bilang.” Dia kembali duduk di sebelah Olin.“Emang kalian nggak chat-an?” tanya Olin menelengkan kepala untuk menatap wajah Miko.“Kalo kerja? Jarang. Hari ini chat terakhir dari dia cuma ngasih tau dia bakal lembur.”Olim manggut-manggut. “Mungkin dia lagi sibuk sama kerjaannya. By the way ... jangan bilang Cantika kalo lo nemenin gue ke sini.” Tangannya menggenggam sepotong kertas berisi nomor antrian.“Kenapa? Kita kan belum tau hasilnya, itu baru dugaan gue aja. Lo tetep harus jalanin pemeriksaan.”Olin menggeleng pelan dan bersikeras. “Jangan. Gue nggak mau dia khawatir.”Tidak ada lagi yang diucapkan oleh Miko. Lelaki itu menggenggam ponsel dengan kedua tangan seraya memandanginya. Mereka diam selama beberapa saat. Suara-suara orang yang berseliweran, alarm giliran masuk, serta aroma disinfektan mengisi kekosongan mereka. Sampai Olin kembali bersuara.“Oh iya, lo y