Kalian ingat nggak, apa yang dilupain Cantika?
Ben menatap pesan masuk di ponselnya dengan wajah memberengut. Suasana hatinya sudah tidak baik sejak pagi karena klien rewel yang terus menerus meminta revisi desain. Dia juga harus membantu Barry di kantornya. Ditambah lagi pesan dadakan yang diterimanya sebelum menjelang makan siang.Kiara C: Ben, sorry ...Kiara C: Aku nggak bisa besokKiara C: Aku lupa udah ada janji duluan sama temanMelihat pesan itu, Ben berdecak kesal. Dan mengetik balasan dengan singkat.Ben: Ok“Hey, muka lo kenapa ditekuk aja, Bro?” Seseorang menepuk pundak Ben dari belakang. Dia langsung menoleh mendapati sang kakak berdiri di belakangnya.“Nggak pa-pa, besok ada undangan dari Leovin, partner gue tiba-tiba bilang nggak bisa.”“Bukan Viona, ya?” tanya Barry tepat sasaran.“Bukan. Terpaksa ajak dia.”“Masih aja lo sama dia.” Pria berwajah Asia yang tidak begitu mirip dengan Ben itu berkomentar.Ben tidak menggubrisnya dan mengalihkan, “Gimana kabar Mama Delia?”“She’s good.” (Dia baik-baik aja)Sembari meny
“Dia pacar kamu?” Suara tidak asing dan benturan pelan di punggungnya membuat Cantika menoleh. Dia mendapati Ben berdiri di belakangnya seraya memegang gelas wine.“Bukan,” jawab Cantika tenang. “Dia temanku.”Ben kemudian menaruh gelasnya di meja dan berkata dengan nada tak terbantahkan. “Ikut aku.”Cantika sedikit ragu, takut Miko mencarinya jika tiba-tiba ia menghilang dari ballroom. Namun akhirnya dia mengikuti Ben karena lelaki itu sudah beranjak pergi. Mereka lalu keluar dari ballroom, menjauhi area yang masih terjangkau dari para tamu undangan.Tumit dan belakang pergelangan kaki Cantika mulai terasa perih karena dia harus melangkah cepat mengikuti lelaki itu.“Ben, mau ke mana, sih?” tanya Cantika menahan sakit. Kulit kakinya yang bergesekkan dengan sepatu high heels terasa panas. Pasti kakinya sudah benar-benar lecet sekarang.“Ben,” panggil Cantika.Tetapi lelaki itu masih terus berderap, hingga mereka tiba di dekat dinding kaca hotel yang besar, menampilkan pemandangan geme
Ben menyugar rambutnya kasar. Terus memaki dalam hati. Kakinya menendang udara dengan frustrasi. Entah kenapa dia menjadi kekanakan begini. Marah hanya karena hal sepele. Padahal dirinya sendiri masih terikat oleh Viona. Tetapi dia malah menumpahkan stres dan seluruh emosinya pada Cantika. Perempuan itu pasti akan benar-benar menjauhinya setelah ini. Berkat rasa tidak percaya yang dimilikinya pada diri sendiri, Ben otomatis melemparkan duri pertahanannya sebelum ia lebih dulu disakiti. Dia kesulitan untuk menaruh kepercayaan terhadap orang lain. Amarahnya setelah menyaksikan Cantika dekat pada lelaki lain segera memproteksi diri dengan cara menyerang seperti tadi. Menurut Ben, jika bukan dia yang berselingkuh, akan ada kemungkinan sang wanita yang melakukannya. Ben sudah terlalu banyak melihat kejadian serupa selama hidup. Mulai dari orang terdekat yang menjadi figur teladannya. Sang ayah yang telah menikah sebanyak empat kali dan memiliki entah berapa banyak selir di luar sana, mer
Kiara C: Jovin, aku mau kita putus Setelah satu pesan singkat yang dikirimnya, ponsel Cantika segera berbunyi nyaring tanda panggilan masuk. Rasa tegang juga rasa bersalah kini membanjirinya. “Ra, kamu bercanda ‘kan? Kamu lagi main ‘dare’ ya?” Cecar suara di seberang sana, bahkan sebelum Cantika menggucapkan kata “halo”. “Nggak, aku serius.” Cantika tidak pernah merasa bersalah seperti ini saat memutuskan hubungan. Biasanya dia cenderung mengakhiri dengan santai, dengan berpura-pura. Kali ini hatinya berat, sesuatu yang tak terlihat namun besar, begitu mengganjalnya. “Bohong! Masa tiba-tiba?” Genangan suara Jovino masih terdengar tak percaya, gusar, juga tidak terima. “Kita putus aja Jovin.” “Kenapa, Ra? Kenapa?” Cantika mengeratkan jari-jarinya yang menggenggam ponsel. “Nggak pa-pa. Aku cuma ngerasa kita nggak cocok.” “Kenapa tiba-tiba, Ra? Emang aku kenapa? Aku ada salah sama kamu? Aku kurang perhatian? Aku bikin kamu nggak nyaman? Coba kamu bilang, aku bakal berusaha perbaik
Dua kotak besar berondong jagung dan lima gelas lemon tea sudah siap. Tiket menonton yang dipesan secara online oleh Ben sudah dicetak di mesin. Hanya tinggal menunggu pintu studio dibuka. Selagi empat orang lainnya mengobrol, Cantika memberi jarak, memilih berselancar dengan ponselnya ketimbang ikut mengobrol. Iya, akhirnya Cantika terpaksa ikut ke mal bersama tiga sepupunya dan Ben, menonton di bioskop. Sejak datang menjemput hingga sekarang, dua orang dewasa itu tidak mengobrol sama sekali. Seperti tak saling kenal. Ada, namun saling mengabaikan. “Pintunya udah dibuka!” ujar Byana girang. “Byan mau masuk.” “Iya, yuk.” Adik-adiknya masuk ke studio lebih dulu, disusul Ben, terakhir Cantika. Byana, Bianca, dan Brian kemudian menempati bangku di baris yang sama dengan nomor berurutan. Ketika Cantika hendak masuk ke barisan mereka, langkahnya terhenti karena merasakan tarikan pada pergelangan tangannya. “Bukan di situ.” Cantika segera menoleh bingung. Apa karena Ben dendam, Cantik
Film anak yang seharusnya penuh haru, menghibur, dan menyenangkan, sama sekali tidak dapat fokus ditonton oleh Cantika. Selama lebih dari satu setengah jam, dia hanya sibuk bertahan, menjaga jarak dari Ben, berontak, dan sebagainya. Sepanjang film diputar, mereka sibuk sendiri, bertengkar, mengelak, perang napas, dan adu mulut. Maksudnya adu mulut dalam konteks benar-benar beradu mulut ala Ben. Ketika lampu studio mulai menyala lagi, keadaan Cantika terlihat berantakan. Dia juga kekurangan oksigen. Bagaimana tidak kekurangan oksigen kalau ia jarang sekali diberikan kesempatan untuk sekadar bernapas oleh pria yang kini memandanginya aneh? Entah apa maksud dari tatapannya, Cantika tidak peduli. Yang jelas, dia sangat lega karena satu setengah jam telah berlalu dan akhirnya dia bisa terlepas dari jerat siksaan yang sejak tadi diterimanya. Cantika mengeluarkan ponsel dan sisir dari dalam tas untuk memeriksa penampilannya, dia cukup kaget. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya merah, sudah pas
“Kak, besok lari pagi?” Tiba-tiba Brian melongokan kepala dari luar pintu kamar adik-adiknya. “Kenapa Bri? Kamu mau ikut?” tanya Cantika merasa langka dengan pertanyaan Brian. “Enggak, sih. Nanya aja.” Remaja laki-laki itu tampak berpikir sejenak sebelum lanjut bertanya, “Kak Can besok kuliah, ya?” Tangannya masih memegang kenop pintu. Posisinya juga masih mengintip dari luar kamar. “Iya, kuliah. Ada apa Bri? Besok Kak Can tetap bisa jemput les, kok. Kamu mau pergi sama teman?” “Enggak ...,” jawab Brian pelan. Karena Brian tidak berkata apa-apa lagi, Cantika mengira Brian sudah selesai. Cantika lanjut mengerjakan tugas kuliahnya, dengan Bianca dan Byana yang ikut menggambar di kertas masing-masing. Sesekali mereka membantu Cantika mengambilkan penghapus atau pulpen. Namun sesaat kemudian, panggilan Brian terdengar lagi. “Kak Can,” “Hm? Apa Bri?” “Jadinya besok Kak Can jogging, enggak?” Anak laki-laki itu kini memegangi ponselnya. Jarang sekali Brian banyak tanya begini. Semenj
“Maaf,” ucap Ben. “Maaf buat apa?” Perasaan Cantika berkecamuk, mendadak meleleh oleh satu kata magis yang diucapkan Ben, tapi sebagian dirinya tidak terima bila langsung memaafkan pria ini begitu saja. “Buat semuanya,” jawab Ben seraya bersandar di pantry. “Kata-kata aku waktu itu, tingkah childish aku, semuanya.” Dia memberi jeda sesaat. “Aku betul-betul kesal sejak hari sebelumnya. Mood aku nggak bagus, kerjaan di kantor dan hal lain yang bikin aku stres, belum lagi baca chat kamu yang batalin janji. “Waktu di pesta lihat kamu batalin janji karena jalan bareng cowok lain semakin menyulut aku. Akhirnya aku malah limpahin semua emosi aku ke kamu.” Tidak ada niat untuk Cantika menimpali kata-kata Ben karena sepertinya laki-laki itu belum selesai bicara. Dia masih berdiri berseberangan dengan Ben, menunggu lelaki itu melanjutkan kalimatnya. “Sorry, I was being a jerk,” sesal Ben. “Tapi ... kamu beneran nggak ada hubungan apa-apa sama cowok itu?” Baru saja Cantika merasa tersentuh,