Notifikasi masuk satu per satu membanjiri ponsel Olin ketika baru mengaktifkannya. Pesan dari operator, notifikasi marketplace, media sosial, pesan masuk, serta panggilan tak terjawab dari Cantika. Kenapa lagi anak itu? Pikir Olin. Belakangan ini Olin disibukkan oleh ‘pria gelap’—sebutan dari Olin untuk Dan—kenalan Bayu sehingga sulit bertemu dengan teman-temannya. Belum lagi jatah waktu menemani Bayu masih seperti biasa, tak berkurang. Dalam seminggu dia harus melayani kedua pria itu bergantian, atau bahkan bersamaan. Rasanya tenaganya hampir terkuras habis. Meskipun harus diak ui, Olin menyukai sensasi bercinta dengan Dan, si pria misterius itu, tapi bukan begini caranya. Mungkin dia harus lebih tegas menentukan jadwal untuk mereka. Olin mencari kontak Cantika di ponselnya, lalu menelepon perempuan itu. “Kenapa? Tadi lo nyari gue?” Sebelum orang yang ditelepon menyapa, Olin sudah lebih dulu bicara. “Hmm ...?” Dari suaranya yang serak, Olin menduga gadis itu pasti sedang berada d
“Minggir!” Viona menarik tangan wanita itu. Wanita yang dilihatnya sedang berciuman dengan pria—yang menurutnya sendiri—berstatus calon suaminya. Kedua orang yang sedang berpagutan di depan meja bar kontan menghentikan kemesraan mereka. Ben langsung melirik Viona dengan tajam. “Siapa anak cosplay tadi?” sergah Viona tak sabar. Wanita yang sedang bersama Ben memandang kesal Viona, lalu beralih pada Ben meminta penjelasan. Tetapi karena Ben hanya diam meliriknya sekilas, tampak tak berniat memberikan penjelasan, wanita itu akhirnya menghentak heels runcingnya pergi dari sana. Menabrak bahu Ben jengkel saat meninggalkan mereka berdua. “Bukan urusan kamu.” “Jangan bilang dia mau dikenalin ke mama kamu?” “Bukan urusan kamu, Viona. Selama ini kamu selalu pura-pura diam, bertingkah seolah kamu korban setiap aku jalan sama siapa pun. Sekarang ada apa sama kamu? Udah nggak mau pura-pura jadi innocent woman lagi?” Sosok yang biasanya tampak cantik, ringkih, dan lemah lembut itu kini benar
“Dok,” seorang wanita berseragam perawat membuka pintu setelah mengetuknya sekali. Tersenyum semringah sambil melanjutkan, “Ada pacarnya datang.” “Pacar?” Miko mengangkat kepala dari catatan pasien di mejanya dengan kening berkerut. Siapa pacar yang dimaksud? Pikir Miko. Ekspresi Miko masih menunjukkan kebingungan sebelum sebuah suara melengking terdengar, disusul sosok perempuan yang dikenalnya. “Haiii, Mik!” “Oh, hei.” Sambil tersenyum tipis, Miko bertanya, “Sini, masuk. Ada apa, Can?” Lalu mengangguk pada perawat, tanda bahwa Miko meminta ruang privasi dengan tamunya. Cantika membawa sekantong besar sesuatu yang belum Miko ketahui isinya, melangkah masuk setelah menutup pintu ruangan. Diletakkannya kantong plastik itu di meja Miko sambil menyunggingkan senyum cerah. “Buat kamu, Mik.” “Buat aku?” Sebelah alis Miko terangkat. Cantika mengangguk mantap, senyumnya belum pudar dari wajah. “Ucapan terima kasih karena udah rekomendasiin aku untuk job salon, izinin aku numpang di ap
“Lo santai-santai aja temen lo baru putus?” tanya Miko saat melihat Olin datang ke kliniknya untuk melakukan perawatan wajah. Olin mengangkat tangan, memasang senyum lebar, membuat gestur yang menurut Miko tidak biasa. “Hai Olin, apa kabar? Udah dua bulan baru treatment lagi. Sibuk, ya?” Kemudian menurunkan tangannya bersamaan dengan raut yang berubah datar. “Harusnya lo nanya gitu ke gue! Sekarang gue pasien lo, bukan teman lo. Gimana sih?” protes wanita itu sambil mendecak dua kali. “Gimana keadaan temen lo?” Mengabaikan omongan panjang lebar Olin. “Apa yang gimana?” “Cantika, udah lebih baik?” “Emangnya dia kenapa? Cuma masalah cowok. Lagian gue merasa itu lebih bagus buat dia,” sahut Olin masuk ke ruangan Miko tanpa disuruh. Miko mengikutinya dari belakang. “Bukannya kemarin-kemarin lo ngedukung mereka?" “Siapa yang ngedukung? Gue bilang biar Cantika sendiri yang menilai, supaya dia bisa belajar dari pengalaman.” Wanita berkulit eksotis itu mengendik bahu tak acuh. “Yahh, ka
Cantika nyaris putar balik pulang ke rumah kalau saja dia tidak punya tugas menjemput adik-adik sepupunya. Sedan yang sudah ia ketahui siapa pemiliknya ada di depan rumah tante Grace. Setelah sebulan memutus kontak, Cantika tidak pernah menyangka adanya kemungkinan untuk bertemu di rumah tante Grace. “Thank you, Ben. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot datang ke sini. By phone aja juga nggak apa-apa. Kamu pasti sibuk.” Terdengar suara tante Grace saat sedikit lagi Cantika mencapai anak tangga teratas menuju lantai dua. “Nggak apa-apa, Bu. Lebih jelas kalau ketemu, lagi pula kita tetangga, cuma butuh berapa langkah ke sini.” “Padahal saya yang perlu, tapi malah kamu yang berkunjung.” “Sekalian biar saya bisa cek kamarnya.” Grace yang yang sedang mengobrol kemudian menyadari kedatangan Cantika. Bersamaan dengan Grace, Ben pun menoleh dengan raut sedikit kaget. Tapi secepat kilat menetralkan ekspresi wajahnya. “Tante,” sapa Cantika pelan, menganggukkan kepala. Dia melirik Ben seki
Sepeninggal Ben, kaki Cantika mendadak lemas. Tubuhnya merosot jatuh terduduk di lantai. Dia sudah tidak lagi memikirikan apa yang akan dilakukan Ben padanya jika dia datang ke rumah itu lagi. Satu-satunya yang dikhawatirkan Cantika hanyalah privasi yang ia simpan dari para keluarganya. Kalau Ben bicara mengenai hubugan mereka, tamat sudah riwayatnya. Mama selalu menyuruhnya menjaga sikap di depan saudara-saudaranya, di depan orang lain, demi mempertahankan kepingan harga diri mereka yang tersisa. Jika keluarganya mendengar kenakalan Cantika, harus bagaimana lagi dia akan bertahan menghadapi celaan. Cantika menyesal sudah berurusan dengan pria dewasa. Ben selalu berada beberapa langkah di depannya. Miko benar, lelaki itu akan sulit dihadapi. Terbukti, Ben bisa menekannya semudah ini. *** Ben tidak menyangka reaksinya akan sekalut itu. Awalnya Ben hanya bermaksud negosiasi agar Cantika mau bicara dengannya. Apalagi saat melihat wajah cantiknya, membuat Ben kembali menginginkan gadis
“Gimana aku bisa percaya kamu?” Ben sedikitnya sudah menduga, Cantika meragukan ceritanya. Ia mengambil ponselnya, memijat layar sentuh itu sejenak sebelum menyalakan mode pengeras suara. Cantika menatapnya bingung. Tetapi Ben mengangkat satu jari telunjuknya ke depan bibir, mengisyaratkan agar gadis itu tidak bersuara. Pada nada sambung ketiga, panggilan itu diangkat. “Ada angin apa kamu nelepon aku?” ucap suara di seberang sana. Suara seorang wanita, sedikit melengking dan bernada sinis. “Aku peringatkan kamu, jangan pernah ikut campur urusanku. Jangan pernah, sekali pun, menampakkan muka kamu di depan Mama Ana lagi.” Alis Cantika terangkat sebelah ketika mendengar panggilannya merujuk pada ‘Mama Ana’. Kenapa Ben membubuhkan nama pada sebutan ibunya? Bukan mengatakan kata kepunyaan seperti ‘mamaku’. Apakah wanita bernama Viona sudah menyebut ibunya Ben dengan ‘mama’? “Are you drunk?” dengkus wanita itu. “Nelepon aku tiba-tiba cuma buat omong kosong?” “Ini bukan omong kosong. R
Olin mencengkeram sprei erat-erat, bersamaan dengan entakan kuat dari tubuh di atasnya. Napasnya memburu, tubuhnya berkeringat. Sudah beberapa kali ia melalui aktivitas malam bersama pria misterius itu. Meski pria itu bukan yang pertama dan entah yang ke berapa, tetapi ada sesuatu yang berbeda dirasakannya, seolah pria itu pria pertamanya. Jantung Olin berdebar kencang oleh hal-hal yang menurutnya biasa. Seperti setiap kali ia menunggu kehadiran lelaki itu di apartemennya, ketika ia berdiri di depan apartemen pria itu menunggu pintu dibuka, atau di saat seperti ini—ketika mereka melakukan penyatuan. “The last, kan?” tanya Olin padanya. Olin dapat merasakan pria itu mengangguk di ceruk lehernya sebelum beranjak pindah ke sisi sebelahnya, merengkuhnya erat dalam tubuh polos mereka di bawah selimut. Semua itu membuat perasaannya seperti musim semi, cerah dan hangat. Olin tak tahu kata apa yang benar-benar tepat untuk menggambarkan keseluruhan perasaannya. Tapi, anehnya dia benar-benar