“Sudah. Kamu temanin tante di sini, jangan ke mana-mana.” Pinta Desi sambil menggenggam tangan Riana. Riana yang melihatnya menjadi tidak tega, ia terpaksa menganggukkan kepala tanda setuju sehingga membuat Desi tersenyum senang. Wira yang berada di balik tembok juga merasakan hal yang sama, saking senangnya ia tidak sengaja berteriak membuat kedua wanita tersebut menoleh kepada dirinya. “Halo, iya. Saya akan segera ke sana.” Wira pura-pura tengah menerima panggilan dari seseorang. “Ma, Aku pamit berangkat kerja dulu, ada meeting penting di kantor,” pamit Wira kepada Desi. “Bukannya sekarang Minggu?” Riana menatap heran sang bos, makanya itu tanpa sadar dia bertanya yang membuat Desi dan Wira malu. “Dia memang selalu kerja, Riana, tidak peduli itu hari Minggu. Bahkan kemarin juga Sabtu kan? Nah, dia tetap bekerja, hanya saja karena perusahaan lain memberikan libur Sabtu dan Minggu, ia pun terpaksa melakukannya karena tidak mau membuat karyawan mereka kelelahan,” jelas Desi. Memang
“Memang mau ke mana, Tante?” Riana bertanya dengan raut bingung. “Jalan-jalan saja, tante bosan di rumah,” sahut Desi. Desi tidak ingin mengatakan kalau dia sedang kesal dengan mertua Riana, toh buat apa juga kalau wanita tersebu tahu, tidak ada hubungan apa pun dengannya dan juga nanti Riana malah sakit hati mendengar ceritanya. “Aku ganti pakaian dulu sebentar, ya, Tante,” “Iya, akan tante tunggu di sini,” Riana masuk ke dalam kamar yang ia tempati, membuka tas dan mulai memilih pakaian apa yang layak dipakai untuk pergi bersama Desi. “Pakaian yang mana, ya?” Dia bermonolog seorang diri sambil terus memandangi isi tasnya. Memang Riana tidak ada kepikiran untuk menaruh semua pakaiannya di dalam lemari, ia tidak ada niat untuk terus menumpang di sini. Kalau ada kesempatan akan pergi mencari rumah untuk di tempati, itulah yang dia pikirkan. Riana keluar dengan menggunakan warna merah muda, lengkap dengan hijabnya dan tidak lupa menggunakan tas kecil murah. “Maaf, Tante, Aku belum
“Siapa yang cantik, Wir?” pertanyaan Desi membuat Wira gelagapan, ia tidak sadar kalau berbicara dengan mulutnya bukan di dalam hati. Desi tertawa pelan melihat respon yang diberikan sang putra, ia sebenarnya tahu kalau Wira memuji Riana yang terlihat cantik, tetapi dia hanya ingin bermaksud menggoda lelaki tersebut. “Riana kah? Nah benar kan kata tante, Wira saja berkata kalau kamu cantik,” “Tidak.” Wira menggelengkan kepala pelan, gugup itulah yang dia rasakan. “Jadi memang aneh, ya?” Riana terlihat murung sekarang. Memang sedari tadi dia tidak terlihat nyaman memakai pakaian yang dipilihkan oleh Desi, walau masih menggunakan hijab tetap ia tidak terbiasa menggunakan pakaian masa kini. Lantaran terbiasa menggunakan gamis atau rok panjang, jadi sedikit risih baginya menggunakan pakaian muslimah moderen. “Tidak, cantik kok!” jawab Wira cepat, wajahnya langsung memerah karena malu. “Terima kasih,” Kedua insan itu menjadi terlihat canggung membuat Desi menarik napas kasar, dia me
“Saya beli yang bekas saja, Pak,” tolak Riana.“Tidak apa, pakai saja karena kalau mencari laptop bekas akan memakan waktu, berkas ini harus siap besok pagi karena akan ada meeting siang hari,” jelas Wira. “Baik, kalau begitu Saya akan memakai laptop Bapak dulu, apa boleh Saya mengerjakannya di dalam kamar saja?” Riana meminta izin dengan perasaan ragu, takut kalau bosnya akan tersinggung.“Silahkan,”“Em, kalau Saya memakai laptop, Bapak pakai apa?” Riana berbalik lagi saat berjalan beberapa langkah.“Ini.” Wira menunjuk komputer yang berada di sudut ruangan.Riana yang melihat hal tersebut sudah merasa menjadi lebih baik, padahal dia tadi merasa tidak ena lantaran harus memakai milik Wira. Dia sadar diri sekali untuk tidak terlali merepotkan, sayang keadaan tidak terlalu mendukung selalu saja membuat ia harus mendapat bantuan dari keluarga tersebut.“Sudah lama sekali Aku tidak memainkan benda ini, apakah masih ingat caranya?” gumam Riana seorang diri.Wanita tersebut menyalakan l
Desi segera menarik tangan Riana untuk duduk berdampingan dengan Wira, ia tidak mau melewatkan kesempatan sedikit pun untuk membuat mereka semakin dekat.“Nah, kalau ginikan enak,” Desi menatap puas kepada dua orang di depannya.Riana duduk sedikit meminggir karena ia merasa tidak nyaman saat berdekatan dengan Wira, lelaki itupun merasakan hal yang sama dengannya. Beberapa kali Wira berdehem karena tiba-tiba tenggorokan terasa kering, dia merasa salah tingkah sekali sekarang tetapi di satu sisi tidak mau kalau sampai Riana duduk di depan bersama Darmo. “Mana berkas milikmu itu? Bisa Aku lihat sebentar?” tetapi Riana hanya diam tidak merespon membuat Wira memanggil lagi, “Riana ... Riana!”“Eh, ada apa?” Riana terkejut dan langsung menoleh.“Kamu tidak nyaman duduk bersama denganku?” Wira menyembunyikan ekspresi murungnya, ia berusaha memaklumi Riana kalau jawaban yang diberikan kepadanya adalah ‘iya’“Tidak, bukan begitu, hanya sedang terpikirkan sesuatu” Riana menggelengkan kepala p
“Maaf, mungkin Bapak salah orang.” Riana menepis tangan Reynald dengan kasar, lalu bergegas menjauhi lelaki tersebut. “Aku sangat yakin kalau dia adalah Riana, tetapi kenapa dia sangat cantik sekali dalam waktu yang singkat?” Reynald bermonolg seorang diri, lalu segera memilih masuk ke ruangannya. Waktu satu jam telah tiba, semua karyawan berkumpul sesuai dengan perintah yang Wira katakan, Lia dan Kiki menjadi penasaran melihat semua karyawan berkumpul, mereka pun bergegas ikut melihat. “Tumben Riana masih belum datang, biasanya dia tidak pernah selambat ini,” gumam Kiki. “Yaiyalah, kan dia sudah dapat gajihnya kemarin, wajar saja bolos!” ketus Lia. “Kenapa sih Kamu ini seperti sangat tidak suka sekali sama Riana? Emang dia salah apa sama Kamu?” “Ck.” Bukannya menjawab Lia malah berdecak lalu langsung menjauhi Kiki. “Ih, orang aneh!” Kiki kemudian fokus untuk melihat ke depan, dia maish penasaran dengan apa yang akan terjadi. Tidak lama Kiki melihat bos mereka datang dengan wan
“Sudah hampir sebulan Aku menganggur lantaran tidak ada yang mau menerimaku bekerja di perusahaan mereka, bahkan Aku menjadi bahan hinaan orang-orang di sekitarku itu semua karenamu, Wira!” Wulan menggigit bibirnya, dia teringat kedua orang tuanya mengomelinya di rumah setiap hari. Kedua orang tua Wulan merasa sangat malu karena gosip tentang Wulan menyebar sangat pesat bahkan wanita itu tidak bisa lagi bekerja di perusahaan mana pun, membuat mereka murka kepadanya akibat tidak bisa lagi dibangga-banggakan kepada orang lain dan itulah yang membuat Wulan menyalahkan semuanya kepada Wira. Padahal semua itu murni karena kesalahannya sendiri, dia juga yang menanam berarti ia juga yang harus menuai. “Bukankah itu semua karena kesalahanmu sendiri?” Wira bersedekap dada, lelaki itu sangat santai menangani wanita yang berada di depannya. “Bukan, tentu saja semua itu adalah kesalahanmu.” Wulan menunjuk wajah Wira. Riana merasa tidak terima lantaran sang bos disalahkan atas ulah wanita terse
“Tapi Kamu masih istriku, Riana, jadi Kamu harus ikut apa kataku!” “Istri? Tadi Kmu berkata Aku hanyalah orang asing dan sekarang istri, mana yang benar?” Riana bersedekap dada menahan gemuruh dihatinya. “Yah status kita masih suami istri, tapi tetap Kamu adalah orang asing.” Reynald menggaruk kepala yang tidak gatal, sebenarnya dia bingung dengan jawaban yang keluar dari mulutnya sendiri. “Suami-istri itu bukan orang asing, melainkan dua pasang kekasih hati yang hidup bersama seumur hidup, suka-duka mereka hadapi bersama-sama dan memperlakukan pasangan dengan hati. Bukan melakukan kekerasan setiap dia melakukan sedikit kesalahan, istri itu untuk dicintai dan diperlakukan hangat, bukan menjadi samsak yang bisa ditinju terus-menerus!” tekan Riana. Semua orang di sana berbisik-bisik mendengar perkataan Riana, mereka mulai menebak kalau lelaki yang adalah suami wanita tersebut sering melakukan kekerasan. “Ih, lelaki kok beraninya kasar sama wanita sih, pengecut banget!” “Kalau lel