Desi segera menarik tangan Riana untuk duduk berdampingan dengan Wira, ia tidak mau melewatkan kesempatan sedikit pun untuk membuat mereka semakin dekat.“Nah, kalau ginikan enak,” Desi menatap puas kepada dua orang di depannya.Riana duduk sedikit meminggir karena ia merasa tidak nyaman saat berdekatan dengan Wira, lelaki itupun merasakan hal yang sama dengannya. Beberapa kali Wira berdehem karena tiba-tiba tenggorokan terasa kering, dia merasa salah tingkah sekali sekarang tetapi di satu sisi tidak mau kalau sampai Riana duduk di depan bersama Darmo. “Mana berkas milikmu itu? Bisa Aku lihat sebentar?” tetapi Riana hanya diam tidak merespon membuat Wira memanggil lagi, “Riana ... Riana!”“Eh, ada apa?” Riana terkejut dan langsung menoleh.“Kamu tidak nyaman duduk bersama denganku?” Wira menyembunyikan ekspresi murungnya, ia berusaha memaklumi Riana kalau jawaban yang diberikan kepadanya adalah ‘iya’“Tidak, bukan begitu, hanya sedang terpikirkan sesuatu” Riana menggelengkan kepala p
“Maaf, mungkin Bapak salah orang.” Riana menepis tangan Reynald dengan kasar, lalu bergegas menjauhi lelaki tersebut. “Aku sangat yakin kalau dia adalah Riana, tetapi kenapa dia sangat cantik sekali dalam waktu yang singkat?” Reynald bermonolg seorang diri, lalu segera memilih masuk ke ruangannya. Waktu satu jam telah tiba, semua karyawan berkumpul sesuai dengan perintah yang Wira katakan, Lia dan Kiki menjadi penasaran melihat semua karyawan berkumpul, mereka pun bergegas ikut melihat. “Tumben Riana masih belum datang, biasanya dia tidak pernah selambat ini,” gumam Kiki. “Yaiyalah, kan dia sudah dapat gajihnya kemarin, wajar saja bolos!” ketus Lia. “Kenapa sih Kamu ini seperti sangat tidak suka sekali sama Riana? Emang dia salah apa sama Kamu?” “Ck.” Bukannya menjawab Lia malah berdecak lalu langsung menjauhi Kiki. “Ih, orang aneh!” Kiki kemudian fokus untuk melihat ke depan, dia maish penasaran dengan apa yang akan terjadi. Tidak lama Kiki melihat bos mereka datang dengan wan
“Sudah hampir sebulan Aku menganggur lantaran tidak ada yang mau menerimaku bekerja di perusahaan mereka, bahkan Aku menjadi bahan hinaan orang-orang di sekitarku itu semua karenamu, Wira!” Wulan menggigit bibirnya, dia teringat kedua orang tuanya mengomelinya di rumah setiap hari. Kedua orang tua Wulan merasa sangat malu karena gosip tentang Wulan menyebar sangat pesat bahkan wanita itu tidak bisa lagi bekerja di perusahaan mana pun, membuat mereka murka kepadanya akibat tidak bisa lagi dibangga-banggakan kepada orang lain dan itulah yang membuat Wulan menyalahkan semuanya kepada Wira. Padahal semua itu murni karena kesalahannya sendiri, dia juga yang menanam berarti ia juga yang harus menuai. “Bukankah itu semua karena kesalahanmu sendiri?” Wira bersedekap dada, lelaki itu sangat santai menangani wanita yang berada di depannya. “Bukan, tentu saja semua itu adalah kesalahanmu.” Wulan menunjuk wajah Wira. Riana merasa tidak terima lantaran sang bos disalahkan atas ulah wanita terse
“Tapi Kamu masih istriku, Riana, jadi Kamu harus ikut apa kataku!” “Istri? Tadi Kmu berkata Aku hanyalah orang asing dan sekarang istri, mana yang benar?” Riana bersedekap dada menahan gemuruh dihatinya. “Yah status kita masih suami istri, tapi tetap Kamu adalah orang asing.” Reynald menggaruk kepala yang tidak gatal, sebenarnya dia bingung dengan jawaban yang keluar dari mulutnya sendiri. “Suami-istri itu bukan orang asing, melainkan dua pasang kekasih hati yang hidup bersama seumur hidup, suka-duka mereka hadapi bersama-sama dan memperlakukan pasangan dengan hati. Bukan melakukan kekerasan setiap dia melakukan sedikit kesalahan, istri itu untuk dicintai dan diperlakukan hangat, bukan menjadi samsak yang bisa ditinju terus-menerus!” tekan Riana. Semua orang di sana berbisik-bisik mendengar perkataan Riana, mereka mulai menebak kalau lelaki yang adalah suami wanita tersebut sering melakukan kekerasan. “Ih, lelaki kok beraninya kasar sama wanita sih, pengecut banget!” “Kalau lel
“Yah, tante tahu kalau itu adalah sebuah takdir, tapi misalkan ada orang lain yang datang mendekatimu dan mengatakan kalau dia ingin menjadi istrimu, apa Kamu menerimanya?” Desi bertanya dengan nada seirus. “Em, haha ... urusan ini saja masih belum kelar, Tante, jadi mana bisa aku menerima seseorang yang datang kepadaku,” Riana tertawa canggung. “Siapa tahukan ada seseorang yang diam-diam menaruh rasa terhadapmu. Kamu kan cantik, Riana,” “Kalau aku adalah orang yang cantik, kenapa suamiku sendiri tidak menyadarinya? Dan bahkan dia bermain api dengan wanita lain, berarti aku bukanlah wanita cantik seperti yang Tante katakan,” gumam Riana lirih. Suaranya tercekat saat mengatakan hal tersebut, ada perasaan sesak di dalam dada seperti ada sebuah beban berat yang menindih sampai membuatnya menjadi sesak. Seketika teringat perkataan Reynald, perkataan yang ingin dia lupakan tetapi kembali teringat lagi, istri hanyalah orang asing! Tes, sebutir bulir bening jatuh dari sudut mata Riana mem
Desi melihat mereka berdua terlihat sangat canggung, membuat dia menghela napas panjang, ia berpikir sepertinya sangat susah sekali kalau berharap mereka akan semakin akrab dalam waktu dekat ini. “Yuk, makan lagi, Mbok!” seru Desi. Yah memang sedari tadi Mbok ikut makan bersama mereka, Desi tidak pernah membeda-bedakan orang lain walau pun itu bawahannya sendiri. Wanita tersebut memang hidup bergelimangan harta tetapi tidak sedikit pun dirinya bertingkah sombong, karena menurutnya semua sama saja hanya berbeda nasib hidup ia hanya sedikit beruntung bisa hidup enak bersama sang suami selama ini. “Mbok sudah kenyang, Bu. Izin ke dapur dulu, ya, ada yang aku lupakan tadi,” pamit Mbok. “Jangan terlalu rajin, Mbok. Ini sudah malam lebh baik istirahat saja,” saran Desi. “Tidak apa, toh hanya sedikit setelah itu akan istirahat.” Mbok beranjak ke dapur meninggalkan tiga orang yang masih menyantap martabak tersebut. Saat Mbok pergi semuanya semakin terasa sunyi, padahal sebenarnya kehadir
“Benar kata Mbok kamu tidak usah membantu, nanti kamu malah kelelahan lagi.” Desi tiba-tiba datang dari belakang dan langsung menghampiri mereka. “Nah, dengar sendiri kata Ibukan, Dek Riana tidak usah bantuin Mbok,” “Em, baiklah, tapi kalau aku membantu menata piring di meja tidak masalah kan?” tanya Riana. “Kalau itu tidak masalah,” Desi tersenyum menatap Riana. Sejauh ini dia mengenal Riana dengan sifat baik, ramah, pintar sekaligus wanita yang polos, tidak seperti yang Mayang katakan kepadanya. Kalau Riana adalah wanita tidak baik, pembangkang dan tentunya kurang ajar, begitulah kalau seseorang tidak menyukai orang lain mereka akan melebih-lebihkan sendiri supaya yang lain juga menjadi ikut-ikutan tidak menyukainya. Teringat itu Desi jadi menggelengkan kepala pelan, dia tidak menyangka telah berteman dengan orang seperti Mayang. “Tante, ayo makan!” suara Riana menyentakkan Desi dari lamunan. “Panggil Wira dulu, biar kita makan bersama!” perintah Desi, karena dia belum melihat
“Lelaki culun?” Riana mengulang perkataan Wira. “Ya, Aku adalah lelaki culun berkacamata dengan wajah penuh dengan jerawat, aku selalu mengikutimu kemana pun kamu pergi dengan membawa buku,” Setelah mendengar pengakuan dari Wira, Riana kali ini menatap lelaki tersebut dengan teliti ia berusaha membandingkan wajah dengan lelaki culun temannya dulu. Apakah Wira adalah lelaki culun tersebut atau hanya mengada-ngada saja? Tetapi ternyata memang ada kemiripan saat Riana memakaikan kacamata yang berada di meja kerja bosnya, yang berbeda hanyalah wajahnya lebih terawat dan tidak mengenakan kacamata lagi. “Ternyata benar kamu adalah Wira temanku dulu, tapi kenapa kamu tidak mengatakannya sedari awal?” Riana bertanya dengan nada kecewa. “Karena aku yakin kamu tidak akan mengingatku,” sahut Wira. “Kenapa aku tidak mengingatmu? Apa karena penampilanmu yang berubah?” Riana terus menatap Wira meminta penjelasan. “Bukan, itu karena aku mengira kamu sudah hidup bahagia dan melupakan temanmu ini