Share

Bab 6. Kelancangan Cantika

"Kok bisa tanganmu sampai luka begini?" tanya Mas Bima terlihat khawatir. 

Aku diam saja karena sejujurnya aku sendiri masih syok dan tidak menyangka juga jika aku bisa membuat gelas kaca pecah hanya dengan mencengkeramnya. Rasanya seperti mustahil, tetapi darah yang mengalir dari telapak tanganku sudah cukup menjadi bukti. 

"Mungkin gelasnya tadi sudah retak, tapi Mbak Raya gak teliti, Mas. Jadi bisa sampai pecah dan kena tangan begitu. Biar aku bantu obati, Mas. Kotak P3K dimana, ya?" Cantika ikut menimpali. 

"Gak perlu. Biar aku obati sendiri," tandasku tidak sudi menerima bantuan dari sumber masalah di hidupku saat ini. 

"Kamu diam di sini aja, biar aku yang obati," sahut Mas Bima menahanku untuk tidak beranjak demi mengambil kotak P3K. 

Aku menurut, membasuh tanganku dengan air mengalir. Namun, setiap lukanya sudah bersih dari noda merah, maka tidak lama setelahnya kembali keluar lagi. Saat aku perhatikan, sepertinya luka goresan gelas kaca yang menancap di telapak tanganku cukup dalam, sehingga darahnya tidak mudah untuk dihentikan. 

Tidak lama setelahnya, Mas Bima kembali menghampiriku dengan membawa kotak P3K yang tadi diambilnya. Berusaha membalut luka di tanganku dengan kain kasa yang diambilnya dari kotak darurat tersebut. Namun, seperti yang sudah aku pikirkan, darahnya tidak juga berhenti dan terus mengotori kain kasa yang dibalut melingkari lukaku. 

"Lukanya terlalu dalam, Sayang. Kita bawa ke dokter aja, ya? Bahaya ini." 

"Biar aku sendiri aja, Mas. Kamu jaga anak-anak di rumah," balasku kemudian. 

"Biar aku yang jagain anak-anak, Mbak. Mbak Raya biar diantar suami kita." 

Lagi-lagi Cantika dengan lancang menyebut Mas Bima sebagai suami kita di depanku. Rasanya telingaku panas mendengarnya. Aku tidak terima saat dia terang-terangan memperlihatkan status mereka di depanku. Sekalipun aku tahu apa yang dia katakan memang sebuah fakta, tetapi aku masih tidak bisa menerimanya. 

"Iya, tolong ya, Cantika. Aku bawa Raya ke dokter dulu," putus Mas Bima tanpa menunggu persetujuan dariku.

Mas Bima langsung menggandengku keluar dari dapur untuk diajak ke dokter. Astuti dan Andini yang melihat Mas Bima memegang tanganku yang berdarah-darah jadi ikut panik. 

"Pak, itu tangan Ibu kenapa, Pak?" tanya Astuti. 

Sedangkan Andini terlihat sudah siap menangis mengejarku. 

"Ibu gak apa-apa, Nak," kataku menenangkan keduanya. 

"Kalian tunggu di rumah dulu sama Mbak Cantika, ya? Biar Bapak bawa Ibu ke dokter buat dibalut lukanya," perintah Mas Bima pada kedua putri kami. 

Kedua anak kami memang sangat penurut terutama jika orang tuanya yang memerintah. Jadi, meskipun mereka terlihat khawatir dengan keadaanku, tetapi keduanya tetap menurut dengan perkataan Mas Bima dan tidak membantah.

Aku hanya berharap Cantika tidak berbuat atau mengatakan sesuatu yang tidak pantas kepada kedua putriku saat ditinggal bertiga saja. Sejak tahu tujuan Cantika dekat denganku dan anak-anak adalah untuk merebut Mas Bima dari kami bertiga, aku menjadi tidak bisa berpikiran positif terhadapnya. 

Mas Bima membawaku ke dokter dengan Honda Brionya. Aku masih membungkam mulutku karena malas berkomunikasi dengannya. Perasaan berdebar dan bahagia setiap dekat dengannya dulu, entah sudah menghilang kemana. Saat ini, hanya ada rasa sakit dan kecewa yang begitu dalam setiap aku melihat wajah Mas Bima. 

"Lain kali hati-hati ya, Sayang. Apalagi kamu lagi hamil lho," ujar Mas Bima dengan suara yang lembut. 

Dia benar-benar terlihat khawatir dan peduli padaku. Akan tetapi, itu saja tidak cukup untuk membuatku melupakan kesalahan terbesarnya selama kami menikah hampir sepuluh tahun. Bukan aku mau melupakan semua kebaikannya selama ini dengan sebuah kesalahannya yang baru kuketahui.

Namun, kesalahan yang sudah Mas Bima perbuat kali ini benar-benar sulit dimaafkan. Mas Bima sudah membagi cintanya untuk wanita lain. Dan hatiku terasa seperti ditikam berulang kali setiap mengingat pengkhianatannya dengan Cantika. 

Setelah tiba di klinik, tanganku dijahit untuk meredakan pendarahan. Aku juga diresepkan beberapa obat dan vitamin setelahnya. Kemudian, aku juga dilarang melakukan aktivitas yang melibatkan gerak tangan berlebihan untuk sementara waktu, supaya bisa mempercepat proses pemulihan. 

"Aku gak mau terima bantahan apapun. Mulai malam ini, Cantika akan tinggal bersama kita. Apalagi selama tangan kamu masih sakit seperti ini. Cantika yang akan membantu kamu melakukan pekerjaan rumah untuk sementara waktu," tukas Mas Bima tidak mau dibantah. 

"Aku gak mau tinggal serumah sama dia, Mas! Kamu ngertiin perasaan aku dong! Terima dia sebagai istri kedua kamu aja aku masih susah. Ini kamu malah minta kami tinggal seatap. Kamu gimana, sih, Mas?" 

"Ini darurat, Araya. Kamu butuh Cantika buat bantu-bantu kamu karena tanganmu masih sakit. Lagipula, aku juga putuskan ini demi kamu, lho." 

Aku tidak tersanjung sama sekali, karena aku tahu yang paling utama menjadi alasan adalah supaya mereka bisa semakin dekat dan bermesraan sewaktu-waktu dengan lebih bebas. 

Aku masih tidak terima, tetapi aku pun lelah untuk berdebat. Darah yang tadi keluar cukup banyak, ternyata mampu membuatku merasa lemas dan ingin lekas istirahat. 

Apalagi dengan kondisiku yang tengah hamil muda dan sudah terlalu banyak berpikir seharian ini. Aku benar-benar ingin segera pulang dan istirahat. Aku pun tidak lagi menimpali keputusan sepihak Mas Bima. Dan keterdiamanku diartikan sebuah persetujuan oleh suamiku itu. 

"Sayang, tolong mulai biasakan menerima keberadaan Cantika di keluarga kita, ya? Aku janji keluarga kita akan tetap bahagia seperti dulu, bahkan akan semakin sempurna karena kamu punya Cantika teman untuk berbagi banyak hal," katanya setelah kami sudah sampai di depan rumah. 

"Maksudnya kamu minta aku berbagi suami dengannya, gitu? Ternyata kamu benar-benar udah gak waras, Mas!" 

"Araya!" 

Aku langsung pergi begitu saja dan masuk ke rumah dengan meninggalkan Mas Bima yang harus memarkirkan mobilnya dengan benar terlebih dahulu, baru kemudian mengunci pagar. 

Biasanya, kami akan bekerja sama dengan aku yang mengunci pagar dan Mas Bima memarkirkan mobilnya. Namun, aku malam ini sama sekali tidak berniat membantunya. Aku justru muak berlama-lama dengan Mas Bima yang makin keterlaluan. 

Sepertinya Mas Bima sudah lupa caranya menjaga perasaanku. Dia hanya memikirkan bagaimana cara membuat Cantika bisa masuk ke dalam keluarga kami, tanpa mau tahu apakah hatiku bisa menerimanya ataukah tidak. 

Aku berjalan cepat dan berhenti di depan kamar anak-anak yang ramai karena ada Cantika di dalamnya. Kedua putriku memang punya kamar sendiri dan ditempati berdua. 

Tadinya aku berniat abai dengan situasi itu karena aku sudah sangat lelah dan ingin istirahat. Namun, saat aku mendengar salah satu putriku memanggil Cantika dengan sebutan Mama, hatiku langsung meradang dan tentunya tidak terima sama sekali. 

"Apa yang kamu ajarkan pada anak-anakku, Cantika? Jangan lancang kamu!" 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tegaslah kau jadi istri njing. pake otak yg ada pd mu utk mempertahankan hak2mu. kantor polisi belum ditutup. g ada dlm kehidupan normal orang waras istri siri fibawa tinggal bersama. kecuali dlm pikiran penulis sampah krn g punya kemampuan buat bikin cerita yg sedikit dramatis.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status