"Kita gak tunggu Bapak pulang dulu, Bu?" tanya Astuti, putri pertamaku.
Biasanya, kami memang selalu menunggu kepulangan Mas Bima supaya bisa makan malam bersama-sama. Akan tetapi, kali ini aku tidak ingin menunggu seseorang yang sudah mengubah prioritasnya bukan lagi untuk aku dan anak-anakku saja. Aku jadi ingat, sudah beberapa waktu belakangan ini Mas Bima memang sering pulang terlambat. Dia pun hanya makan sedikit saat di rumah. Tadinya, kupikir karena Mas Bima terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, sekarang aku baru paham jika penyebabnya bisa jadi karena dia sudah lebih dulu makan malam dengan istri mudanya. "Gak usah, Sayang. Bapak pulang telat. Jadi, kita bisa makan duluan aja gak usah nunggu bapak." Kedua putriku menurut dan kami sudah siap memulai acara makan malam sederhana, saat tiba-tiba ucapan salam dan pintu yang terbuka dari pintu utama terdengar berderit. "Itu Bapak, Bu!" seru Astuti terlihat gembira. Aku diam saja dan berusaha tetap mengulas senyum tipis supaya Astuti tidak curiga. Dalam hati mengeluhkan mengapa Mas Bima kali ini justru pulang tepat waktu. "Bapak…! Eh, ada Mbak Cantika juga?" celetuk Astuti. Aku yang duduk membelakangi pintu ruang makan seketika menoleh dan melihat Mas Bima memang datang bersama Cantika di sampingnya. Wanita tidak tahu diri itu dengan santainya menyapa kedua putriku seperti biasa. "Halo, Astuti, Andini." Dia seperti lupa jika aku sudah tahu tentang hubungannya dengan Mas Bima selama ini. Atau, justru karena aku sudah tahu, makanya dia semakin berani memperlihatkan kedekatannya dengan Mas Bima secara terang-terangan? "Hai, Mbak Cantika," sahut kedua anakku bersamaan. Aku masih membisu saat Mas Bima dan Cantika mendekat ke meja makan. Astuti yang memang sudah kuajari sikap sopan santun, segera mempersilakan keduanya untuk bergabung dan ikut makan bersama kami. Selera makanku hilang seketika, sayangnya aku tidak bisa pergi begitu saja atau kedua putriku akan bertanya-tanya karenanya. Kami pun mulai makan malam bersama dengan sesekali mendengarkan obrolan Cantika dengan Mas Bima dan kedua putriku. Aku menjadi satu-satunya orang di meja makan yang tidak mengeluarkan suara apapun. Hal itu sampai membuat putri sulungku lekas menegur. "Ibu kok dari tadi diam saja?" Aku tersenyum simpul. "Ya kan lagi makan, Sayang. Gak baik makan sambil banyak bicara," dalihku beralasan. Setelah mendengar jawabanku, Mas Bima dan Cantika ikut terdiam dan kami melanjutkan makan dengan keheningan. Aku sudah bersiap untuk membereskan meja makan setelah semua makanan tandas, tetapi Mas Bima menahanku karena katanya ada yang ingin dibicarakan kepadaku juga kedua putriku. Sebenarnya aku masih enggan membahas apapun dengannya. Hanya saja, putriku yang ikut mendengar dan sudah penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mas Bima membuatku terpaksa kembali duduk dan mendengarkan apa yang akan dia katakan kepada kami. "Astuti, Andini, Bapak mau minta izin buat Mbak Cantika ikut tinggal sama-sama kita di rumah ini. Mbak Cantika ini sedang hamil sama seperti ibu kalian, Sayang. Kasihan kan dia tinggal sendiri di saat sedang hamil seperti sekarang?" Kepalaku yang tadinya tertunduk segera kuangkat. Kutatap kedua mata Mas Bima dengan tajam. Apa maksudnya ini? Mas Bima berniat membawa madunya tinggal bersamaku juga anak-anak di rumah kami? Aku jelas tidak terima. Bagaimana mungkin aku bisa tinggal seatap dengan madu paling pahit yang diberikan suamiku. Sedangkan kedua putriku, mereka justru fokus dengan informasi lain yang mungkin lebih menarik untuk mereka bahas. "Apa? Jadi Ibu lagi hamil? Aku mau punya adik lagi, Pak?" sorak Astuti terlihat antusias. "Iya, Sayang. Sebentar lagi Astuti sama Andini akan punya adik lagi. Dari Ibu, juga dari Mbak Cantika." "Mas!" hardikku. Bisa-bisanya Mas Bima membahas calon anaknya dengan Cantika untuk diakui sebagai adik dari anak-anakku juga. Aku sungguh belum siap menjelaskan masalah pelik dalam hubungan Mas Bima dengan Cantika kepada kedua putriku yang masih kecil. Akan tetapi, hardikanku pada Mas Bima tidak diindahkan dan dia tetap saja melanjutkan penjelasannya meskipun kulihat putriku tetap saja tidak mengerti sepenuhnya. "Mbak Cantika kan udah kayak keluarga kita sendiri, Sayang. Jadi, anaknya Mbak Cantika, sama aja kayak adiknya Astuti dan Andini juga, kan?" Hatiku sakit sekali mendengarnya. Astuti dan Andini hanya saling pandang dengan wajah bingung. Namun, kemudian keduanya mengangguk setuju meskipun mungkin mereka pun tidak sepenuhnya paham dengan apa yang dimaksud oleh Mas Bima. "Kamu keterlaluan, Mas!" desisku lirih, kemudian meninggalkan meja makan dengan piring kotor yang tadi sudah aku tumpuk sebelumnya. Aku memilih segera menjauh dari kedua putriku daripada mereka melihat perubahan ekspresiku yang sudah sekuat hati kutahan sejak tadi. Rasanya aku ingin menjerit sekeras-kerasnya untuk mengumpati kedua pengkhianat yang merusak kebahagiaan rumah tanggaku. Sialnya, dapur dan ruang makan di rumahku bersisian dan hanya berbatas tembok setinggi dada orang dewasa. Sehingga aku tidak mungkin melepaskan emosiku di dapur sambil cuci piring atau kedua anakku akan melihatnya. Setidaknya, aku tidak perlu menyembunyikan tetes air mata yang terbendung sejak kedatangan Mas Bima dan Cantika. Aku menangis tanpa suara sambil tanganku yang tetap mengerjakan cucian piring dengan cekatan. Suara air keran yang kunyalakan bisa meredam sedikit suara yang sesekali lolos berupa isakan kecil. Aku sungguh tidak ingin menjadi lemah seperti ini. Akan tetapi, rasa sakitnya terlalu nyata dan menyesakkan dada. Apalagi hormon kehamilanku saat ini membuatku makin sensitif. "Mbak Raya …" Aku mendengar Cantika memanggilku pelan dari arah belakang. Aku tidak menoleh juga tidak menjawab apapun. Aku tidak mau dia tahu jika aku habis menangis karena dia. Aku hanya mengecilkan keran air di depanku supaya pendengaranku lebih tajam untuk menyimak apa yang akan dia katakan padaku. "Mbak Raya, tolong jangan pengaruhi anak-anak buat benci sama aku ya, Mbak. Suka atau gak suka, cepat atau lambat, mereka harus tahu kalau aku juga akan jadi ibu buat mereka." Tanganku mencengkeram erat gelas kaca bening di tanganku. Saking kuatnya aku mencengkeram sampai tidak sengaja gelas itu pecah di genggamanku. Aku baru sadar ada darah yang mengalir deras dari luka di telapak tanganku saat Mas Bima datang menegur. "Raya, tanganmu luka!" Aku tidak bisa merasakan luka di tanganku, karena rasa sakitnya pun terkalahkan dengan rasa sesak di dalam dada."Kok bisa tanganmu sampai luka begini?" tanya Mas Bima terlihat khawatir. Aku diam saja karena sejujurnya aku sendiri masih syok dan tidak menyangka juga jika aku bisa membuat gelas kaca pecah hanya dengan mencengkeramnya. Rasanya seperti mustahil, tetapi darah yang mengalir dari telapak tanganku sudah cukup menjadi bukti. "Mungkin gelasnya tadi sudah retak, tapi Mbak Raya gak teliti, Mas. Jadi bisa sampai pecah dan kena tangan begitu. Biar aku bantu obati, Mas. Kotak P3K dimana, ya?" Cantika ikut menimpali. "Gak perlu. Biar aku obati sendiri," tandasku tidak sudi menerima bantuan dari sumber masalah di hidupku saat ini. "Kamu diam di sini aja, biar aku yang obati," sahut Mas Bima menahanku untuk tidak beranjak demi mengambil kotak P3K. Aku menurut, membasuh tanganku dengan air mengalir. Namun, setiap lukanya sudah bersih dari noda merah, maka tidak lama setelahnya kembali keluar lagi. Saat aku perhatikan, sepertinya luka goresan gelas kaca yang menancap di telapak tanganku cukup
"Ini ada apa sih? Kenapa baru pulang kamu udah marah-marah sama Cantika?" tanya Mas Bima yang sudah berdiri di belakangku.Aku makin kesal karena Mas Bima terlihat tidak senang saat aku membentak istri mudanya. Kedua anakku pun seperti ketakutan saat mendengar aku berbicara dengan nada tinggi. Andini bahkan sampai bersembunyi di balik tubuh kakaknya. "Ini lho, Mas. Aku cuma ngajarin anak-anak panggil aku Mama, tapi Mbak Raya langsung marah-marah gak jelas, padahal anak-anak aja gak ada yang protes dan dengan suka rela mau panggil aku dengan sebutan Mama." Cantika menjawab dengan wajah seakan di sini dia yang menjadi korbannya, sedangkan aku tokoh antagonisnya. "Kamu seharusnya berterima kasih sama Cantika, Araya. Kita jadi gak perlu repot lagi mengenalkan Cantika kepada anak-anak karena dia sudah bisa lebih aktif mendekati anak-anak dan juga sayang sama mereka. Tolonglah, Raya. Kamu jangan mempersulit keadaan yang sebenarnya baik-baik saja hanya karena ego-mu yang tinggi. Kamu haru
"Sini, Bu. Sarapan sama-sama." Aku menurut dan bersandiwara seakan tidak terganggu dengan kehadiran orang baru di rumah kami. Akan ku ikuti cara main madu pahitku. Jika dia bermuka dua di depan Mas Bima dan anak-anak, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kulihat di meja makan sudah ada ayam goreng dengan sayur sop yang lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Aku bersikap seolah senang dengan bantuan Cantika dan memuji masakannya, meskipun sebenarnya terselip sindiran yang membuatku merasa puas. "Kebenaran banget ada kamu, Cantika. Aku sama Mas Bima memang udah pernah kepikiran buat cari asisten rumah tangga buat bantu-bantu aku di rumah. Ternyata kamu cocok juga. Apalagi anak-anak juga udah kenal dekat sama kamu. Jadi gak canggung lagi, kan?" Cantika menatap nyalang kepadaku. Dia pasti sangat marah karena aku istilahkan sebagai asisten rumah tangga. Mas Bima sendiri hanya diam meskipun lirikan matanya terlihat tidak enak hati pada Cantika. Aku abaikan semua tatapan keduanya, dan la
"Menjadi konten kreator dan afiliasi marketplace?" Aku mengulang apa yang diusulkan Endah kepadaku. Katanya, dua profesi ini akan naik daun di era digitalisasi yang sudah nampak hilalnya. "Daripada kamu sibuk kerja di luar rumah terus bingung anak-anak mau dijagain sama siapa, mending cari cuan dari dalam rumah. Kamu bisa atur sendiri waktu kapan kamu bikin konten dan kapan kamu mengurus rumah beserta anak-anak. Kamu juga sudah punya basicnya karena pernah belajar editing video bahkan copywriting, kan?" Aku menggigit bibir bawahku sendiri karena mulai tertarik dengan apa yang dijabarkan Endah. Aku memang pernah mendengar tentang profesi tersebut meskipun saat ini belum begitu menjamur di sekitarku. Namun, kata Endah ini justru saat yang tepat untuk memulai apalagi gadis cantik itu meyakinkanku jika potensinya cukup besar untuk cukup menghidupiku dan anak-anak di masa mendatang. "Kamu
Aku keluar kamar setelah selesai bersiap untuk ke sekolah anak-anak. Sebenarnya ini terlalu awal untuk menjemput mereka. Hanya saja, berlama-lama di rumah saat ada ibunya Mas Bima bisa membuat tensi darah cepat naik. Dan ini jelas tidak sehat untuk aku yang sedang hamil. "Masakan apa …, ini? Sayur sop kok hambar, gak ada rasanya." Suara ibunya Mas Bima menggelegar dari dapur. Sepertinya sengaja ingin mengejekku. Tidak tahu saja jika yang sedang dihina adalah masakan menantu yang tadi dibanggakannya. Kalau tadi aku malas menanggapi omongannya, maka sekarang aku semangat sekali membalasnya. Aku pun berjalan santai menuju dapur dan berhenti di ambang pintu masuk yang hanya tertutup tirai bermotif bunga. "Coba Ibu tanya aja sama menantu ibu yang lain, tadi dia gimana masaknya, soalnya aku juga gak ikut nyicipin masakan dia, sih."Aku melihat wajah ibunya Mas Bima terlihat terkejut. Beliau
“Kita mampir ke supermarket dulu, ya? Ibu mau belanja.”“Iya, Bu.”Aku memutuskan untuk menunda menasehati kedua putriku nanti setelah kami hanya bertiga saja dan mungkin setelah sampai di rumah. Aku selalu berusaha untuk tidak menegur anak-anak di keramaian. Takut melukai hati atau membuat mereka menjadi malu. Ini sangat penting untuk kesehatan mental anak-anak. Aku berbelanja dengan cepat. Mengambil barang yang dibutuhkan, ditambah dengan jajanan kedua putriku yang kusuruh untuk memilih sendiri. Mereka sudah hafal dengan jenis makanan dan minuman yang boleh dibeli dengan yang tidak. Aku memang membatasi jajanan tidak sehat kepada mereka, dan mengajarkannya sejak dini. Sehingga mereka menjadi terbiasa, dan tahu mana yang bisa diambil saat ikut berbelanja. “Sudah?” tanyaku saat mereka sudah memasukkan masing-masing jajanan yang dipilih. “Sudah, Bu. Terima kasih.” “Sama-sama, Sayang. Sekarang kita bayar dulu belanjaannya, ya?” “Iya, Bu.” Saat berjalan menuju bagian kasir pembaya
Aku mengisi tas belanja dari kain dengan susu formula yang tadi aku beli di supermarket, juga dengan beberapa buah-buahan yang masih tersedia di kulkas. Tadinya, aku sudah menyiapkan pakaian bayi milik Andini untuk anaknya Rima. Karena mereka juga punya anak perempuan dan baru berusia sekitar sembilan bulan. Namun, mengingat aku juga sedang hamil dan belum tahu apakah nanti anak yang kukandung perempuan lagi atau tidak, pakaian bekas Andini aku urungkan untuk diberikan ke anaknya Rima. “Nanti aku bagi dua dulu aja deh. Kalau adiknya anak-anak perempuan biar gak perlu belanja pakaian lagi. Aku juga males belanja-belanja perlengkapan bayi. Ribet,” gumamku sambil meletakkan kardus yang tidak jadi kubawa. Dulu, saat anak Bianca lahir, aku memberikan semua pakaian kecil Astuti untuk anaknya. Tidak lama setelah itu, aku hamil Andini dan merasakan repotnya kembali membeli perlengkapan bayi. Bukan masalah uangny
“Mbak Raya tahu dari mana?” tanya Rima terlihat terkejut sekali.”Jadi benar, yang tadi itu kamu?” balasku masih butuh kepastian. Rima mengangguk sambil menunduk. Dia pasti sedih sekaligus malu saat mengakuinya. Aku sendiri rasanya lemas sekali mendengar pengakuan tersebut. Sedih dan tidak tega. “Ya Allah, Rima …, bukannya Mas Bima masih rutin kasih bantuan susu buat Runi, ya?“ Sejak Runi lahir prematur dan asinya Rima tidak bisa keluar, aku memang meminta Mas Bima untuk membantu mereka membelikan susu formula khusus untuk bayi prematur secara rutin. Jadi, saat melihat Rima sampai harus mencuri sekaleng susu untuk anaknya, aku menjadi sangat syok mendengarnya. “Mas Bima udah gak pernah kasih susu lagi, Mbak. Sudah 2 bulan lebih Mas Bima gak pernah datang ke rumah. Uang tabunganku sudah habis buat menyambung hidup terutama buat susunya Runi. Apalagi Mas Budi gak pernah kasih uang sama a