Share

Bab 5. Permintaan

"Kita gak tunggu Bapak pulang dulu, Bu?" tanya Astuti, putri pertamaku. 

Biasanya, kami memang selalu menunggu kepulangan Mas Bima supaya bisa makan malam bersama-sama. Akan tetapi, kali ini aku tidak ingin menunggu seseorang yang sudah mengubah prioritasnya bukan lagi untuk aku dan anak-anakku saja.

Aku jadi ingat, sudah beberapa waktu belakangan ini Mas Bima memang sering pulang terlambat. Dia pun hanya makan sedikit saat di rumah. Tadinya, kupikir karena Mas Bima terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, sekarang aku baru paham jika penyebabnya bisa jadi karena dia sudah lebih dulu makan malam dengan istri mudanya. 

"Gak usah, Sayang. Bapak pulang telat. Jadi, kita bisa makan duluan aja gak usah nunggu bapak." 

Kedua putriku menurut dan kami sudah siap memulai acara makan malam sederhana, saat tiba-tiba ucapan salam dan pintu yang terbuka dari pintu utama terdengar berderit. 

"Itu Bapak, Bu!" seru Astuti terlihat gembira. 

Aku diam saja dan berusaha tetap mengulas senyum tipis supaya Astuti tidak curiga. Dalam hati mengeluhkan mengapa Mas Bima kali ini justru pulang tepat waktu. 

"Bapak…! Eh, ada Mbak Cantika juga?" celetuk Astuti.

Aku yang duduk membelakangi pintu ruang makan seketika menoleh dan melihat Mas Bima memang datang bersama Cantika di sampingnya. Wanita tidak tahu diri itu dengan santainya menyapa kedua putriku seperti biasa. 

"Halo, Astuti, Andini." 

Dia seperti lupa jika aku sudah tahu tentang hubungannya dengan Mas Bima selama ini. Atau, justru karena aku sudah tahu, makanya dia semakin berani memperlihatkan kedekatannya dengan Mas Bima secara terang-terangan?

"Hai, Mbak Cantika," sahut kedua anakku bersamaan. 

Aku masih membisu saat Mas Bima dan Cantika mendekat ke meja makan. Astuti yang memang sudah kuajari sikap sopan santun, segera mempersilakan keduanya untuk bergabung dan ikut makan bersama kami. 

Selera makanku hilang seketika, sayangnya aku tidak bisa pergi begitu saja atau kedua putriku akan bertanya-tanya karenanya. 

Kami pun mulai makan malam bersama dengan sesekali mendengarkan obrolan Cantika dengan Mas Bima dan kedua putriku. Aku menjadi satu-satunya orang di meja makan yang tidak mengeluarkan suara apapun. Hal itu sampai membuat putri sulungku lekas menegur.

"Ibu kok dari tadi diam saja?" 

Aku tersenyum simpul. "Ya kan lagi makan, Sayang. Gak baik makan sambil banyak bicara," dalihku beralasan. 

Setelah mendengar jawabanku, Mas Bima dan Cantika ikut terdiam dan kami melanjutkan makan dengan keheningan. Aku sudah bersiap untuk membereskan meja makan setelah semua makanan tandas, tetapi Mas Bima menahanku karena katanya ada yang ingin dibicarakan kepadaku juga kedua putriku. 

Sebenarnya aku masih enggan membahas apapun dengannya. Hanya saja, putriku yang ikut mendengar dan sudah penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mas Bima membuatku terpaksa kembali duduk dan mendengarkan apa yang akan dia katakan kepada kami. 

"Astuti, Andini, Bapak mau minta izin buat Mbak Cantika ikut tinggal sama-sama kita di rumah ini. Mbak Cantika ini sedang hamil sama seperti ibu kalian, Sayang. Kasihan kan dia tinggal sendiri di saat sedang hamil seperti sekarang?"

Kepalaku yang tadinya tertunduk segera kuangkat. Kutatap kedua mata Mas Bima dengan tajam. 

Apa maksudnya ini? Mas Bima berniat membawa madunya tinggal bersamaku juga anak-anak di rumah kami?

Aku jelas tidak terima. Bagaimana mungkin aku bisa tinggal seatap dengan madu paling pahit yang diberikan suamiku. Sedangkan kedua putriku, mereka justru fokus dengan informasi lain yang mungkin lebih menarik untuk mereka bahas. 

"Apa? Jadi Ibu lagi hamil? Aku mau punya adik lagi, Pak?" sorak Astuti terlihat antusias. 

"Iya, Sayang. Sebentar lagi Astuti sama Andini akan punya adik lagi. Dari Ibu, juga dari Mbak Cantika."

"Mas!" hardikku. 

Bisa-bisanya Mas Bima membahas calon anaknya dengan Cantika untuk diakui sebagai adik dari anak-anakku juga. Aku sungguh belum siap menjelaskan masalah pelik dalam hubungan Mas Bima dengan Cantika kepada kedua putriku yang masih kecil. 

Akan tetapi, hardikanku pada Mas Bima tidak diindahkan dan dia tetap saja melanjutkan penjelasannya meskipun kulihat putriku tetap saja tidak mengerti sepenuhnya. 

"Mbak Cantika kan udah kayak keluarga kita sendiri, Sayang. Jadi, anaknya Mbak Cantika, sama aja kayak adiknya Astuti dan Andini juga, kan?" 

Hatiku sakit sekali mendengarnya. Astuti dan Andini hanya saling pandang dengan wajah bingung. Namun, kemudian keduanya mengangguk setuju meskipun mungkin mereka pun tidak sepenuhnya paham dengan apa yang dimaksud oleh Mas Bima. 

"Kamu keterlaluan, Mas!" desisku lirih, kemudian meninggalkan meja makan dengan piring kotor yang tadi sudah aku tumpuk sebelumnya. 

Aku memilih segera menjauh dari kedua putriku daripada mereka melihat perubahan ekspresiku yang sudah sekuat hati kutahan sejak tadi. 

Rasanya aku ingin menjerit sekeras-kerasnya untuk mengumpati kedua pengkhianat yang merusak kebahagiaan rumah tanggaku. Sialnya, dapur dan ruang makan di rumahku bersisian dan hanya berbatas tembok setinggi dada orang dewasa. Sehingga aku tidak mungkin melepaskan emosiku di dapur sambil cuci piring atau kedua anakku akan melihatnya. 

Setidaknya, aku tidak perlu menyembunyikan tetes air mata yang terbendung sejak kedatangan Mas Bima dan Cantika. Aku menangis tanpa suara sambil tanganku yang tetap mengerjakan cucian piring dengan cekatan. 

Suara air keran yang kunyalakan bisa meredam sedikit suara yang sesekali lolos berupa isakan kecil. Aku sungguh tidak ingin menjadi lemah seperti ini. Akan tetapi, rasa sakitnya terlalu nyata dan menyesakkan dada. Apalagi hormon kehamilanku saat ini membuatku makin sensitif.

"Mbak Raya …" 

Aku mendengar Cantika memanggilku pelan dari arah belakang. Aku tidak menoleh juga tidak menjawab apapun. Aku tidak mau dia tahu jika aku habis menangis karena dia. Aku hanya mengecilkan keran air di depanku supaya pendengaranku lebih tajam untuk menyimak apa yang akan dia katakan padaku. 

"Mbak Raya, tolong jangan pengaruhi anak-anak buat benci sama aku ya, Mbak. Suka atau gak suka, cepat atau lambat, mereka harus tahu kalau aku juga akan jadi ibu buat mereka."

Tanganku mencengkeram erat gelas kaca bening di tanganku. Saking kuatnya aku mencengkeram sampai tidak sengaja gelas itu pecah di genggamanku. Aku baru sadar ada darah yang mengalir deras dari luka di telapak tanganku saat Mas Bima datang menegur. 

"Raya, tanganmu luka!" 

Aku tidak bisa merasakan luka di tanganku, karena rasa sakitnya pun terkalahkan dengan rasa sesak di dalam dada. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau raya. dlm situasi ini bukan tangisan dan drana yg dibutuhkan,nyet.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status