Share

Bab 4. Kenyataan Lain

Aku pulang ke rumah dengan perasaan hancur. Namun, karena sebentar lagi aku harus menjemput putri pertamaku pulang dari sekolahnya, aku harus bersikap seperti biasa supaya anakku tidak tahu tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. 

"Ternyata hal tersulit untuk melewati ujian ini bukan perkara bagaimana aku sabar dan tetap tenang menghadapi para pengkhianat. Akan tetapi, bagaimana aku akan bersikap di depan kedua putriku yang tidak sepatutnya tahu jika papanya sudah membagi hati untuk keluarga barunya." 

Aku menata hati dan menenangkan diri secepat mungkin. Ilmu tenang memang mahal, dan aku merasa beruntung karena sampai saat ini, aku masih bisa mengendalikan diri dan tetap tenang meskipun tidak tahu bisa bertahan sampai kapan ketenangan ini bisa aku jaga. 

Aku kembali membawa kendaraan pribadi untuk menjemput kedua putriku. Mereka bersekolah di satu lingkungan sekolah yang sama, meskipun tingkatannya berbeda. 

Aku sengaja memilih yayasan yang sama dari jenjang pendidikan anak usia dini, dan berencana hingga tingkat atas nanti tetap di yayasan yang sama jika tidak ada halangan karena sudah terlanjur cocok dengan kurikulum dan cara mengajar di sekolah tersebut meskipun sekolahnya swasta dan cukup mahal. 

Aku datang sedikit lebih awal dari jam seharusnya anak-anak pulang. Tanpa sengaja, aku melihat ibu mertuanya Cantika yang sepertinya juga akan menjemput kedua cucunya. 

Aku ingat, dulu sempat menegur wanita tua itu karena sudah mengambil kedua putra Cantika setelah suaminya meninggal dunia. Aku heran, kenapa keluarga mendiang suaminya Cantika begitu tega mengambil anak-anak tersebut dari ibu kandungnya. 

Akan tetapi, jawabannya saat itu kembali membuatku terusik hari ini. 

Nanti Bu Raya akan tahu sendiri kenapa sampai saya dan keluarga saya bersikeras mengambil hak asuh atas anak-anak untuk tidak jatuh ke tangan ibunya. 

Aku yang merasa perlu memastikan sesuatu akhirnya memilih untuk menyapanya. Walaupun aku cukup ragu apakah akan mendapat sambutan baik atau tidak, mengingat teguranku saat itu pasti cukup membuatnya enggan berhubungan kembali denganku. 

"Bu Widi? Jemput anak-anak pulang sekolah, ya?" 

"Eh, iya, Bu Raya," balasnya singkat. 

"Kayaknya masih 15 menit lagi mereka keluar, Bu," kataku sambil menilik jam di pergelangan tangan. "Kalau nunggu sambil ngeteh di depan situ, mau gak, Bu?" 

"Boleh, Bu Raya." 

Lagi-lagi jawabannya sangat singkat, tetapi syukurnya, beliau tetap menyambut dengan ramah atas ajakanku. 

Aku mengajak Bu Widi untuk membeli teh panas di warung tenda depan sekolahan anak-anak. Aku juga membuka obrolan dengan meminta maaf atas kelancanganku saat itu menegur atas keputusan yang keluarga mereka ambil untuk hak asuh anak-anak Cantika, tanpa tahu alasan dan permasalahan yang ada di keluarga tersebut. 

Bu Widi pun dengan tulus mau memaafkanku. Aku berterima kasih atas hal itu yang kemudian  aku lanjutkan dengan pertanyaan lain yang membuatku penasaran. 

"Sebelumnya, Maaf Bu Widi. Apakah ibu sudah tahu kalau Cantika sudah menikah lagi setelah masa iddahnya selesai?" tanyaku dengan hati-hati tanpa menyebut nama suamiku sebagai pria yang menikahi mantan menantunya Bu Widi tersebut. 

Namun, jawaban berupa pertanyaan balik dari beliau membuatku justru terperanjat. 

"Bu Raya baru tahu, kalau Cantika ada main sama Pak Bima?" 

"Maksudnya, Bu Widi sudah tahu lama tentang mereka berdua?" 

"Saya tahu sesaat sebelum putera saya menutup mata untuk terakhir kalinya, Bu."

Kulihat mata Bu Widi berkaca-kaca. Aku ikut menelan ludah dengan kesusahan karena tidak tega melihatnya. Aku seperti bisa merasakan kesedihan mendalam saat Bu Widi menceritakan tentang putranya yang sudah tiada. 

"Saat itu, anak saya bilang kalau sebelum kecelakaan itu terjadi, dia melihat Cantika dan Pak Bima sedang bermesraan di luar kota. Mereka berdua sudah selingkuh lama di belakang anak saya dan juga Bu Raya."

Kaki tanganku terasa lemas mendengarnya. Aku pikir, Mas Bima dan Cantika baru berhubungan setelah suaminya Cantika tiada. Akan tetapi, kenyataan lain yang baru kudengar ternyata membuat hatiku semakin patah. 

"Anak saya marah besar dan berniat untuk menceritakan hal itu kepada Bu Raya setelah melabrak keduanya. Akan tetapi, karena diliputi amarah dan konsentrasinya buyar, dia mengalami kecelakaan lalu lintas dalam kondisi kecepatan tinggi. Saat itu pun Pak Bima dan Cantika mengejar mobil anak saya, Bu, tapi bukannya membantu anak saya supaya cepat mendapatkan penanganan medis, mereka justru meninggalkan tempat kecelakaan terjadi." 

"Kenapa Bu Widi gak cerita semua ini sejak awal ibu tahu?" desahku tidak bisa menahan air mata untuk tidak menetes. 

Tentu saja aku berharap tahu perkara ini lebih awal sehingga tidak perlu tertipu oleh keduanya hingga selama ini. Dan mungkin, jika aku tahu sejak awal, aku tidak perlu mengandung anak ketiga kami dan membuatku semakin berat untuk memutuskan bertahan atau merelakan. 

"Maaf, Bu Raya. Situasi saat itu tidak mendukung sama sekali. Saya bukan tidak peduli dengan Bu Raya, tapi saat itu kami sekeluarga benar-benar sangat berduka. Kami juga dipusingkan dengan amanat terakhir almarhum untuk memastikan hak asuh jatuh ke tangan keluarga kami. Jadi, kami tidak sempat untuk membicarakan masalah ini dengan Bu Raya."

Aku bisa maklum dengan penjelasan yang diterangkan Bu Widi. Aku pun belum tentu sanggup tegar jika ada di posisi Bu Widi saat itu. Ditinggal putera kesayangan untuk selamanya, dengan kenyataan pahit yang didengarnya sebagai ucapan terakhir. 

"Bu Raya, saya siap membantu kalau Ibu berniat untuk membalas mereka berdua, terutama Cantika. Jujur saja, saya masih belum sepenuhnya rela atas pengkhianatan mereka kepada putera saya hingga akhir hayatnya." 

Apa benar aku harus membalas dendam kepada mereka?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
klu si raya merasa ikut andil membangun restoran itu tentu dia g akan abai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status