Aku pulang ke rumah dengan perasaan hancur. Namun, karena sebentar lagi aku harus menjemput putri pertamaku pulang dari sekolahnya, aku harus bersikap seperti biasa supaya anakku tidak tahu tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya.
"Ternyata hal tersulit untuk melewati ujian ini bukan perkara bagaimana aku sabar dan tetap tenang menghadapi para pengkhianat. Akan tetapi, bagaimana aku akan bersikap di depan kedua putriku yang tidak sepatutnya tahu jika papanya sudah membagi hati untuk keluarga barunya." Aku menata hati dan menenangkan diri secepat mungkin. Ilmu tenang memang mahal, dan aku merasa beruntung karena sampai saat ini, aku masih bisa mengendalikan diri dan tetap tenang meskipun tidak tahu bisa bertahan sampai kapan ketenangan ini bisa aku jaga. Aku kembali membawa kendaraan pribadi untuk menjemput kedua putriku. Mereka bersekolah di satu lingkungan sekolah yang sama, meskipun tingkatannya berbeda. Aku sengaja memilih yayasan yang sama dari jenjang pendidikan anak usia dini, dan berencana hingga tingkat atas nanti tetap di yayasan yang sama jika tidak ada halangan karena sudah terlanjur cocok dengan kurikulum dan cara mengajar di sekolah tersebut meskipun sekolahnya swasta dan cukup mahal. Aku datang sedikit lebih awal dari jam seharusnya anak-anak pulang. Tanpa sengaja, aku melihat ibu mertuanya Cantika yang sepertinya juga akan menjemput kedua cucunya. Aku ingat, dulu sempat menegur wanita tua itu karena sudah mengambil kedua putra Cantika setelah suaminya meninggal dunia. Aku heran, kenapa keluarga mendiang suaminya Cantika begitu tega mengambil anak-anak tersebut dari ibu kandungnya. Akan tetapi, jawabannya saat itu kembali membuatku terusik hari ini. Nanti Bu Raya akan tahu sendiri kenapa sampai saya dan keluarga saya bersikeras mengambil hak asuh atas anak-anak untuk tidak jatuh ke tangan ibunya. Aku yang merasa perlu memastikan sesuatu akhirnya memilih untuk menyapanya. Walaupun aku cukup ragu apakah akan mendapat sambutan baik atau tidak, mengingat teguranku saat itu pasti cukup membuatnya enggan berhubungan kembali denganku. "Bu Widi? Jemput anak-anak pulang sekolah, ya?" "Eh, iya, Bu Raya," balasnya singkat. "Kayaknya masih 15 menit lagi mereka keluar, Bu," kataku sambil menilik jam di pergelangan tangan. "Kalau nunggu sambil ngeteh di depan situ, mau gak, Bu?" "Boleh, Bu Raya." Lagi-lagi jawabannya sangat singkat, tetapi syukurnya, beliau tetap menyambut dengan ramah atas ajakanku. Aku mengajak Bu Widi untuk membeli teh panas di warung tenda depan sekolahan anak-anak. Aku juga membuka obrolan dengan meminta maaf atas kelancanganku saat itu menegur atas keputusan yang keluarga mereka ambil untuk hak asuh anak-anak Cantika, tanpa tahu alasan dan permasalahan yang ada di keluarga tersebut. Bu Widi pun dengan tulus mau memaafkanku. Aku berterima kasih atas hal itu yang kemudian aku lanjutkan dengan pertanyaan lain yang membuatku penasaran. "Sebelumnya, Maaf Bu Widi. Apakah ibu sudah tahu kalau Cantika sudah menikah lagi setelah masa iddahnya selesai?" tanyaku dengan hati-hati tanpa menyebut nama suamiku sebagai pria yang menikahi mantan menantunya Bu Widi tersebut. Namun, jawaban berupa pertanyaan balik dari beliau membuatku justru terperanjat. "Bu Raya baru tahu, kalau Cantika ada main sama Pak Bima?" "Maksudnya, Bu Widi sudah tahu lama tentang mereka berdua?" "Saya tahu sesaat sebelum putera saya menutup mata untuk terakhir kalinya, Bu." Kulihat mata Bu Widi berkaca-kaca. Aku ikut menelan ludah dengan kesusahan karena tidak tega melihatnya. Aku seperti bisa merasakan kesedihan mendalam saat Bu Widi menceritakan tentang putranya yang sudah tiada. "Saat itu, anak saya bilang kalau sebelum kecelakaan itu terjadi, dia melihat Cantika dan Pak Bima sedang bermesraan di luar kota. Mereka berdua sudah selingkuh lama di belakang anak saya dan juga Bu Raya." Kaki tanganku terasa lemas mendengarnya. Aku pikir, Mas Bima dan Cantika baru berhubungan setelah suaminya Cantika tiada. Akan tetapi, kenyataan lain yang baru kudengar ternyata membuat hatiku semakin patah. "Anak saya marah besar dan berniat untuk menceritakan hal itu kepada Bu Raya setelah melabrak keduanya. Akan tetapi, karena diliputi amarah dan konsentrasinya buyar, dia mengalami kecelakaan lalu lintas dalam kondisi kecepatan tinggi. Saat itu pun Pak Bima dan Cantika mengejar mobil anak saya, Bu, tapi bukannya membantu anak saya supaya cepat mendapatkan penanganan medis, mereka justru meninggalkan tempat kecelakaan terjadi." "Kenapa Bu Widi gak cerita semua ini sejak awal ibu tahu?" desahku tidak bisa menahan air mata untuk tidak menetes. Tentu saja aku berharap tahu perkara ini lebih awal sehingga tidak perlu tertipu oleh keduanya hingga selama ini. Dan mungkin, jika aku tahu sejak awal, aku tidak perlu mengandung anak ketiga kami dan membuatku semakin berat untuk memutuskan bertahan atau merelakan. "Maaf, Bu Raya. Situasi saat itu tidak mendukung sama sekali. Saya bukan tidak peduli dengan Bu Raya, tapi saat itu kami sekeluarga benar-benar sangat berduka. Kami juga dipusingkan dengan amanat terakhir almarhum untuk memastikan hak asuh jatuh ke tangan keluarga kami. Jadi, kami tidak sempat untuk membicarakan masalah ini dengan Bu Raya." Aku bisa maklum dengan penjelasan yang diterangkan Bu Widi. Aku pun belum tentu sanggup tegar jika ada di posisi Bu Widi saat itu. Ditinggal putera kesayangan untuk selamanya, dengan kenyataan pahit yang didengarnya sebagai ucapan terakhir. "Bu Raya, saya siap membantu kalau Ibu berniat untuk membalas mereka berdua, terutama Cantika. Jujur saja, saya masih belum sepenuhnya rela atas pengkhianatan mereka kepada putera saya hingga akhir hayatnya." Apa benar aku harus membalas dendam kepada mereka?"Kita gak tunggu Bapak pulang dulu, Bu?" tanya Astuti, putri pertamaku. Biasanya, kami memang selalu menunggu kepulangan Mas Bima supaya bisa makan malam bersama-sama. Akan tetapi, kali ini aku tidak ingin menunggu seseorang yang sudah mengubah prioritasnya bukan lagi untuk aku dan anak-anakku saja.Aku jadi ingat, sudah beberapa waktu belakangan ini Mas Bima memang sering pulang terlambat. Dia pun hanya makan sedikit saat di rumah. Tadinya, kupikir karena Mas Bima terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, sekarang aku baru paham jika penyebabnya bisa jadi karena dia sudah lebih dulu makan malam dengan istri mudanya. "Gak usah, Sayang. Bapak pulang telat. Jadi, kita bisa makan duluan aja gak usah nunggu bapak." Kedua putriku menurut dan kami sudah siap memulai acara makan malam sederhana, saat tiba-tiba ucapan salam dan pintu yang terbuka dari pintu utama terdengar berderit. "Itu Bapak, Bu!" seru Astuti terlihat gembira. Aku diam saja dan berusaha tetap mengulas senyum tipis supa
"Kok bisa tanganmu sampai luka begini?" tanya Mas Bima terlihat khawatir. Aku diam saja karena sejujurnya aku sendiri masih syok dan tidak menyangka juga jika aku bisa membuat gelas kaca pecah hanya dengan mencengkeramnya. Rasanya seperti mustahil, tetapi darah yang mengalir dari telapak tanganku sudah cukup menjadi bukti. "Mungkin gelasnya tadi sudah retak, tapi Mbak Raya gak teliti, Mas. Jadi bisa sampai pecah dan kena tangan begitu. Biar aku bantu obati, Mas. Kotak P3K dimana, ya?" Cantika ikut menimpali. "Gak perlu. Biar aku obati sendiri," tandasku tidak sudi menerima bantuan dari sumber masalah di hidupku saat ini. "Kamu diam di sini aja, biar aku yang obati," sahut Mas Bima menahanku untuk tidak beranjak demi mengambil kotak P3K. Aku menurut, membasuh tanganku dengan air mengalir. Namun, setiap lukanya sudah bersih dari noda merah, maka tidak lama setelahnya kembali keluar lagi. Saat aku perhatikan, sepertinya luka goresan gelas kaca yang menancap di telapak tanganku cukup
"Ini ada apa sih? Kenapa baru pulang kamu udah marah-marah sama Cantika?" tanya Mas Bima yang sudah berdiri di belakangku.Aku makin kesal karena Mas Bima terlihat tidak senang saat aku membentak istri mudanya. Kedua anakku pun seperti ketakutan saat mendengar aku berbicara dengan nada tinggi. Andini bahkan sampai bersembunyi di balik tubuh kakaknya. "Ini lho, Mas. Aku cuma ngajarin anak-anak panggil aku Mama, tapi Mbak Raya langsung marah-marah gak jelas, padahal anak-anak aja gak ada yang protes dan dengan suka rela mau panggil aku dengan sebutan Mama." Cantika menjawab dengan wajah seakan di sini dia yang menjadi korbannya, sedangkan aku tokoh antagonisnya. "Kamu seharusnya berterima kasih sama Cantika, Araya. Kita jadi gak perlu repot lagi mengenalkan Cantika kepada anak-anak karena dia sudah bisa lebih aktif mendekati anak-anak dan juga sayang sama mereka. Tolonglah, Raya. Kamu jangan mempersulit keadaan yang sebenarnya baik-baik saja hanya karena ego-mu yang tinggi. Kamu haru
"Sini, Bu. Sarapan sama-sama." Aku menurut dan bersandiwara seakan tidak terganggu dengan kehadiran orang baru di rumah kami. Akan ku ikuti cara main madu pahitku. Jika dia bermuka dua di depan Mas Bima dan anak-anak, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kulihat di meja makan sudah ada ayam goreng dengan sayur sop yang lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Aku bersikap seolah senang dengan bantuan Cantika dan memuji masakannya, meskipun sebenarnya terselip sindiran yang membuatku merasa puas. "Kebenaran banget ada kamu, Cantika. Aku sama Mas Bima memang udah pernah kepikiran buat cari asisten rumah tangga buat bantu-bantu aku di rumah. Ternyata kamu cocok juga. Apalagi anak-anak juga udah kenal dekat sama kamu. Jadi gak canggung lagi, kan?" Cantika menatap nyalang kepadaku. Dia pasti sangat marah karena aku istilahkan sebagai asisten rumah tangga. Mas Bima sendiri hanya diam meskipun lirikan matanya terlihat tidak enak hati pada Cantika. Aku abaikan semua tatapan keduanya, dan la
"Menjadi konten kreator dan afiliasi marketplace?" Aku mengulang apa yang diusulkan Endah kepadaku. Katanya, dua profesi ini akan naik daun di era digitalisasi yang sudah nampak hilalnya. "Daripada kamu sibuk kerja di luar rumah terus bingung anak-anak mau dijagain sama siapa, mending cari cuan dari dalam rumah. Kamu bisa atur sendiri waktu kapan kamu bikin konten dan kapan kamu mengurus rumah beserta anak-anak. Kamu juga sudah punya basicnya karena pernah belajar editing video bahkan copywriting, kan?" Aku menggigit bibir bawahku sendiri karena mulai tertarik dengan apa yang dijabarkan Endah. Aku memang pernah mendengar tentang profesi tersebut meskipun saat ini belum begitu menjamur di sekitarku. Namun, kata Endah ini justru saat yang tepat untuk memulai apalagi gadis cantik itu meyakinkanku jika potensinya cukup besar untuk cukup menghidupiku dan anak-anak di masa mendatang. "Kamu
Aku keluar kamar setelah selesai bersiap untuk ke sekolah anak-anak. Sebenarnya ini terlalu awal untuk menjemput mereka. Hanya saja, berlama-lama di rumah saat ada ibunya Mas Bima bisa membuat tensi darah cepat naik. Dan ini jelas tidak sehat untuk aku yang sedang hamil. "Masakan apa …, ini? Sayur sop kok hambar, gak ada rasanya." Suara ibunya Mas Bima menggelegar dari dapur. Sepertinya sengaja ingin mengejekku. Tidak tahu saja jika yang sedang dihina adalah masakan menantu yang tadi dibanggakannya. Kalau tadi aku malas menanggapi omongannya, maka sekarang aku semangat sekali membalasnya. Aku pun berjalan santai menuju dapur dan berhenti di ambang pintu masuk yang hanya tertutup tirai bermotif bunga. "Coba Ibu tanya aja sama menantu ibu yang lain, tadi dia gimana masaknya, soalnya aku juga gak ikut nyicipin masakan dia, sih."Aku melihat wajah ibunya Mas Bima terlihat terkejut. Beliau
“Kita mampir ke supermarket dulu, ya? Ibu mau belanja.”“Iya, Bu.”Aku memutuskan untuk menunda menasehati kedua putriku nanti setelah kami hanya bertiga saja dan mungkin setelah sampai di rumah. Aku selalu berusaha untuk tidak menegur anak-anak di keramaian. Takut melukai hati atau membuat mereka menjadi malu. Ini sangat penting untuk kesehatan mental anak-anak. Aku berbelanja dengan cepat. Mengambil barang yang dibutuhkan, ditambah dengan jajanan kedua putriku yang kusuruh untuk memilih sendiri. Mereka sudah hafal dengan jenis makanan dan minuman yang boleh dibeli dengan yang tidak. Aku memang membatasi jajanan tidak sehat kepada mereka, dan mengajarkannya sejak dini. Sehingga mereka menjadi terbiasa, dan tahu mana yang bisa diambil saat ikut berbelanja. “Sudah?” tanyaku saat mereka sudah memasukkan masing-masing jajanan yang dipilih. “Sudah, Bu. Terima kasih.” “Sama-sama, Sayang. Sekarang kita bayar dulu belanjaannya, ya?” “Iya, Bu.” Saat berjalan menuju bagian kasir pembaya
Aku mengisi tas belanja dari kain dengan susu formula yang tadi aku beli di supermarket, juga dengan beberapa buah-buahan yang masih tersedia di kulkas. Tadinya, aku sudah menyiapkan pakaian bayi milik Andini untuk anaknya Rima. Karena mereka juga punya anak perempuan dan baru berusia sekitar sembilan bulan. Namun, mengingat aku juga sedang hamil dan belum tahu apakah nanti anak yang kukandung perempuan lagi atau tidak, pakaian bekas Andini aku urungkan untuk diberikan ke anaknya Rima. “Nanti aku bagi dua dulu aja deh. Kalau adiknya anak-anak perempuan biar gak perlu belanja pakaian lagi. Aku juga males belanja-belanja perlengkapan bayi. Ribet,” gumamku sambil meletakkan kardus yang tidak jadi kubawa. Dulu, saat anak Bianca lahir, aku memberikan semua pakaian kecil Astuti untuk anaknya. Tidak lama setelah itu, aku hamil Andini dan merasakan repotnya kembali membeli perlengkapan bayi. Bukan masalah uangny