"Cantika juga sedang hamil, Sayang. Aku gak bisa ceraikan dia. Apalagi keluargaku juga sudah tahu tentang pernikahanku dan kehamilan Cantika."
Langkah kakiku terhenti paksa. Mendengar keluarga Mas Bima turut andil dalam pengkhianatan suamiku itu, membuat dadaku terasa ditikam sembilu. "Iya, Mbak Raya. Mbak tahu sendiri, kan, kalau ibunya Mas Bima ingin punya cucu laki-laki. Beliau berharap bisa dapat cucu laki-laki. Dan aku terbukti sudah dua kali melahirkan anak laki-laki, sedangkan Mbak Raya cuma bisa kasih cucu perempuan, kan?" Perkataan Cantika seakan mengatakan jika kedua putriku tidak ada artinya untuk Mas Bima dan keluarganya. Padahal kedua putriku sudah menjadi anak dan cucu yang baik selama ini. Aku mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Sekali pun mereka tidak pernah membuat malu keluarga besar kami. Lalu sekarang, tiba-tiba gender mereka dipermasalahkan. Seakan hanya anak laki-laki saja yang berharga. Rasanya kesabaranku sudah diambang batas. Mereka boleh mengatakan apapun tentangku, tetapi tidak dengan kedua putriku. "Maksud kamu apa bicarain tentang anakku?" hardikku hampir tidak terkontrol. Siska memegang lenganku sambil mengusapnya dengan hati-hati. "Sabar, Bu. Ingat ibu sedang mengandung. Jangan kepancing emosinya," bisiknya mengingatkan. Aku akhirnya mengambil napas panjang dan mengatur emosiku. Berhadapan dengan perebut suami orang memang menghabiskan banyak energi. "Baiklah, Mas. Kita tunggu sampai aku dan Cantika melahirkan. Pikirkan baik-baik siapa wanita yang akan kamu pertahankan. Apakah aku dan ketiga anakmu? Atau dia dan juga anaknya? Karena aku, sudah jelas tidak mau dimadu untuk alasan apapun," tantangku. Aku pun kembali membalikkan badan dan berniat meninggalkan mereka. Sebelum tubuhku sepenuhnya menghilang dibalik pintu ruangannya, aku masih sempat mendengar sanggahan Mas Bima yang tidak setuju dengan keputusanku. "Gak bisa gitu, Raya. Kalau terbukti aku mampu adil untuk kedua istriku, kamu gak berhak minta cerai dariku tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat. Sabarlah sedikit, Sayang. Surga milik-" Aku tidak lagi mendengar Mas Bima berbicara apa tentang Surga setelah aku mempercepat langkah kakiku. Hatiku terus merutuki Mas Bima yang bisa-bisanya membicarakan masalah Surga padaku. Suami yang sudah zalim dengan diam-diam menikah lagi setelah ditemani dari nol hingga sukses selama hampir sepuluh tahun lamanya, hendak menawarkan Surga jalur poligami? Sulit dipercaya! Jika memang dipoligami bisa mengantarkanku ke pintu Surga pun, rasanya aku lebih memilih untuk mencari pintu Surga yang lain daripada harus dimadu. "Bu Araya …" Aku tersadar dari lamunan saat mendengar namaku disebut. Ternyata itu adalah suara Susi yang sudah berdiri bersama Saras dan beberapa pegawai yang lain. Rumah makan suamiku punya tujuh pekerja tetap. Hampir semuanya kenal dekat denganku meskipun aku jarang datang ke sini. Ada Cantika sebagai leader. Susi sebagai kasir. Saras dan Siska sebagai pramusaji. Iin bagian cuci piring. Dan masih ada Santi dan Lilis di bagian juru masak. Selama ini mereka semua sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Termasuk Cantika yang ku percaya menjadi leader di sini. Akan tetapi, ternyata dia tega menodai kepercayaanku dengan menjadi musuh dalam selimut. "Bu, tolong maafkan kami yang sudah menutupi pengkhianatan Pak Bima dengan Cantika. Sebenarnya kami ingin cerita sejak awal, tapi kami takut dipecat sama Bapak. Belum lagi kami juga gak tau apakah Ibu bakalan percaya sama kami atau tidak. Sekali lagi, kami mohon maaf ya, Bu. Kami mengaku salah," ujar Susi menjadi juru bicara dari mereka semua. Aku bisa melihat ketulusan mereka saat menjelaskan dan meminta maaf kepadaku. Aku pun sadar posisi mereka serba salah. Hidup di jaman sekarang yang serba susah mencari pekerjaan pasti membuat mereka takut dipecat Mas Bima. Aku pun tidak berniat menyalahkan mereka sama sekali. "Bukan salah kalian, jadi jangan meminta maaf. Kalian baik-baik di sini, mungkin aku gak akan menginjakkan kakiku di sini lagi setelah ini," kataku berusaha melebarkan senyum meski terasa sangat kaku. "Dan kamu, Siska, kalau nanti Mas Bima sungguhan berani pecat kamu dari sini, kamu bilang aja sama aku. Aku akan bantu carikan pekerjaan lain buat kamu." "Bu, kalau Ibu nanti punya usaha lain, aku justru lebih suka bekerja sama Ibu aja, Bu. Sejak dekat sama Cantika, Pak Bima berubah dan tidak lagi baik sama karyawan rendahan kayak kami, Bu," balas Siska yang diangguki yang lain. "Iya, Bu. Kita bikin rumah makan sendiri aja, yuk, Bu. Tinggalin aja Pak Bima sama Cantika. Dikira mereka bisa handle rumah makan ini berdua aja apa, ya?" sahut Saras ikut menggebu. Aku tertawa kecil mendengar mereka terlihat kesal pada kelakuan Mas Bima dan Cantika. Dukungan mereka sangat berarti bagiku. Aku sedikit terhibur dengan obrolan ini meskipun untuk merealisasikannya, tentu saja tidak semudah itu. Membangun usaha itu butuh modal dan proses panjang. Bahkan untuk mendirikan rumah makan yang saat ini menjadi kebanggaan suamiku saja, butuh waktu hampir sepuluh tahun lamanya. Dari mulai aku membuat nasi bungkus yang kami jual secara keliling dan dititip-titipkan ke warung kecil dan angkringan, hingga sekarang punya rumah makan sendiri dengan tujuh pegawai tetap. Benar-benar bukan proses yang singkat, apalagi mudah. "Kalian tetap kerja yang baik aja di sini. Gak usah ikut terpengaruh sama masalah pribadiku. Ingat orang rumah butuh uang dari kalian. Jika nanti kita berjodoh untuk bekerja sama lagi, Tuhan pasti punya cara-Nya sendiri untuk mempertemukan kita kembali." Satu per satu dari mereka memelukku hingga semua berkumpul menjadikanku pusat untuk dipeluk. Aku merasa semakin terharu saat isak tangis dan sesenggukan sungguhan terdengar di telingaku. Terima kasih sudah mempertemukanku dengan orang-orang baik ini, Ya Allah … Aku pun pulang dengan membawa kepingan hati yang patah. Setelah ini, tentu saja duniaku akan berubah drastis. Aku hanya perlu memastikan, jika perubahan yang ada di masa depan untukku bukanlah sesuatu yang kelam. Akan kupastikan kamu menyesal sudah melakukan hal seperti ini kepadaku, Mas!Aku pulang ke rumah dengan perasaan hancur. Namun, karena sebentar lagi aku harus menjemput putri pertamaku pulang dari sekolahnya, aku harus bersikap seperti biasa supaya anakku tidak tahu tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. "Ternyata hal tersulit untuk melewati ujian ini bukan perkara bagaimana aku sabar dan tetap tenang menghadapi para pengkhianat. Akan tetapi, bagaimana aku akan bersikap di depan kedua putriku yang tidak sepatutnya tahu jika papanya sudah membagi hati untuk keluarga barunya." Aku menata hati dan menenangkan diri secepat mungkin. Ilmu tenang memang mahal, dan aku merasa beruntung karena sampai saat ini, aku masih bisa mengendalikan diri dan tetap tenang meskipun tidak tahu bisa bertahan sampai kapan ketenangan ini bisa aku jaga. Aku kembali membawa kendaraan pribadi untuk menjemput kedua putriku. Mereka bersekolah di satu lingkungan sekolah yang sama, meskipun tingkatannya berbeda. Aku sengaja memilih yayasan yang sama dari jenjang pendidikan anak
"Kita gak tunggu Bapak pulang dulu, Bu?" tanya Astuti, putri pertamaku. Biasanya, kami memang selalu menunggu kepulangan Mas Bima supaya bisa makan malam bersama-sama. Akan tetapi, kali ini aku tidak ingin menunggu seseorang yang sudah mengubah prioritasnya bukan lagi untuk aku dan anak-anakku saja.Aku jadi ingat, sudah beberapa waktu belakangan ini Mas Bima memang sering pulang terlambat. Dia pun hanya makan sedikit saat di rumah. Tadinya, kupikir karena Mas Bima terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, sekarang aku baru paham jika penyebabnya bisa jadi karena dia sudah lebih dulu makan malam dengan istri mudanya. "Gak usah, Sayang. Bapak pulang telat. Jadi, kita bisa makan duluan aja gak usah nunggu bapak." Kedua putriku menurut dan kami sudah siap memulai acara makan malam sederhana, saat tiba-tiba ucapan salam dan pintu yang terbuka dari pintu utama terdengar berderit. "Itu Bapak, Bu!" seru Astuti terlihat gembira. Aku diam saja dan berusaha tetap mengulas senyum tipis supa
"Kok bisa tanganmu sampai luka begini?" tanya Mas Bima terlihat khawatir. Aku diam saja karena sejujurnya aku sendiri masih syok dan tidak menyangka juga jika aku bisa membuat gelas kaca pecah hanya dengan mencengkeramnya. Rasanya seperti mustahil, tetapi darah yang mengalir dari telapak tanganku sudah cukup menjadi bukti. "Mungkin gelasnya tadi sudah retak, tapi Mbak Raya gak teliti, Mas. Jadi bisa sampai pecah dan kena tangan begitu. Biar aku bantu obati, Mas. Kotak P3K dimana, ya?" Cantika ikut menimpali. "Gak perlu. Biar aku obati sendiri," tandasku tidak sudi menerima bantuan dari sumber masalah di hidupku saat ini. "Kamu diam di sini aja, biar aku yang obati," sahut Mas Bima menahanku untuk tidak beranjak demi mengambil kotak P3K. Aku menurut, membasuh tanganku dengan air mengalir. Namun, setiap lukanya sudah bersih dari noda merah, maka tidak lama setelahnya kembali keluar lagi. Saat aku perhatikan, sepertinya luka goresan gelas kaca yang menancap di telapak tanganku cukup
"Ini ada apa sih? Kenapa baru pulang kamu udah marah-marah sama Cantika?" tanya Mas Bima yang sudah berdiri di belakangku.Aku makin kesal karena Mas Bima terlihat tidak senang saat aku membentak istri mudanya. Kedua anakku pun seperti ketakutan saat mendengar aku berbicara dengan nada tinggi. Andini bahkan sampai bersembunyi di balik tubuh kakaknya. "Ini lho, Mas. Aku cuma ngajarin anak-anak panggil aku Mama, tapi Mbak Raya langsung marah-marah gak jelas, padahal anak-anak aja gak ada yang protes dan dengan suka rela mau panggil aku dengan sebutan Mama." Cantika menjawab dengan wajah seakan di sini dia yang menjadi korbannya, sedangkan aku tokoh antagonisnya. "Kamu seharusnya berterima kasih sama Cantika, Araya. Kita jadi gak perlu repot lagi mengenalkan Cantika kepada anak-anak karena dia sudah bisa lebih aktif mendekati anak-anak dan juga sayang sama mereka. Tolonglah, Raya. Kamu jangan mempersulit keadaan yang sebenarnya baik-baik saja hanya karena ego-mu yang tinggi. Kamu haru
"Sini, Bu. Sarapan sama-sama." Aku menurut dan bersandiwara seakan tidak terganggu dengan kehadiran orang baru di rumah kami. Akan ku ikuti cara main madu pahitku. Jika dia bermuka dua di depan Mas Bima dan anak-anak, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kulihat di meja makan sudah ada ayam goreng dengan sayur sop yang lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Aku bersikap seolah senang dengan bantuan Cantika dan memuji masakannya, meskipun sebenarnya terselip sindiran yang membuatku merasa puas. "Kebenaran banget ada kamu, Cantika. Aku sama Mas Bima memang udah pernah kepikiran buat cari asisten rumah tangga buat bantu-bantu aku di rumah. Ternyata kamu cocok juga. Apalagi anak-anak juga udah kenal dekat sama kamu. Jadi gak canggung lagi, kan?" Cantika menatap nyalang kepadaku. Dia pasti sangat marah karena aku istilahkan sebagai asisten rumah tangga. Mas Bima sendiri hanya diam meskipun lirikan matanya terlihat tidak enak hati pada Cantika. Aku abaikan semua tatapan keduanya, dan la
"Menjadi konten kreator dan afiliasi marketplace?" Aku mengulang apa yang diusulkan Endah kepadaku. Katanya, dua profesi ini akan naik daun di era digitalisasi yang sudah nampak hilalnya. "Daripada kamu sibuk kerja di luar rumah terus bingung anak-anak mau dijagain sama siapa, mending cari cuan dari dalam rumah. Kamu bisa atur sendiri waktu kapan kamu bikin konten dan kapan kamu mengurus rumah beserta anak-anak. Kamu juga sudah punya basicnya karena pernah belajar editing video bahkan copywriting, kan?" Aku menggigit bibir bawahku sendiri karena mulai tertarik dengan apa yang dijabarkan Endah. Aku memang pernah mendengar tentang profesi tersebut meskipun saat ini belum begitu menjamur di sekitarku. Namun, kata Endah ini justru saat yang tepat untuk memulai apalagi gadis cantik itu meyakinkanku jika potensinya cukup besar untuk cukup menghidupiku dan anak-anak di masa mendatang. "Kamu
Aku keluar kamar setelah selesai bersiap untuk ke sekolah anak-anak. Sebenarnya ini terlalu awal untuk menjemput mereka. Hanya saja, berlama-lama di rumah saat ada ibunya Mas Bima bisa membuat tensi darah cepat naik. Dan ini jelas tidak sehat untuk aku yang sedang hamil. "Masakan apa …, ini? Sayur sop kok hambar, gak ada rasanya." Suara ibunya Mas Bima menggelegar dari dapur. Sepertinya sengaja ingin mengejekku. Tidak tahu saja jika yang sedang dihina adalah masakan menantu yang tadi dibanggakannya. Kalau tadi aku malas menanggapi omongannya, maka sekarang aku semangat sekali membalasnya. Aku pun berjalan santai menuju dapur dan berhenti di ambang pintu masuk yang hanya tertutup tirai bermotif bunga. "Coba Ibu tanya aja sama menantu ibu yang lain, tadi dia gimana masaknya, soalnya aku juga gak ikut nyicipin masakan dia, sih."Aku melihat wajah ibunya Mas Bima terlihat terkejut. Beliau
“Kita mampir ke supermarket dulu, ya? Ibu mau belanja.”“Iya, Bu.”Aku memutuskan untuk menunda menasehati kedua putriku nanti setelah kami hanya bertiga saja dan mungkin setelah sampai di rumah. Aku selalu berusaha untuk tidak menegur anak-anak di keramaian. Takut melukai hati atau membuat mereka menjadi malu. Ini sangat penting untuk kesehatan mental anak-anak. Aku berbelanja dengan cepat. Mengambil barang yang dibutuhkan, ditambah dengan jajanan kedua putriku yang kusuruh untuk memilih sendiri. Mereka sudah hafal dengan jenis makanan dan minuman yang boleh dibeli dengan yang tidak. Aku memang membatasi jajanan tidak sehat kepada mereka, dan mengajarkannya sejak dini. Sehingga mereka menjadi terbiasa, dan tahu mana yang bisa diambil saat ikut berbelanja. “Sudah?” tanyaku saat mereka sudah memasukkan masing-masing jajanan yang dipilih. “Sudah, Bu. Terima kasih.” “Sama-sama, Sayang. Sekarang kita bayar dulu belanjaannya, ya?” “Iya, Bu.” Saat berjalan menuju bagian kasir pembaya