Share

Bab 3. Keputusan

"Cantika juga sedang hamil, Sayang. Aku gak bisa ceraikan dia. Apalagi keluargaku juga sudah tahu tentang pernikahanku dan kehamilan Cantika." 

Langkah kakiku terhenti paksa. Mendengar keluarga Mas Bima turut andil dalam pengkhianatan suamiku itu, membuat dadaku terasa ditikam sembilu. 

"Iya, Mbak Raya. Mbak tahu sendiri, kan, kalau ibunya Mas Bima ingin punya cucu laki-laki. Beliau berharap bisa dapat cucu laki-laki. Dan aku terbukti sudah dua kali melahirkan anak laki-laki, sedangkan Mbak Raya cuma bisa kasih cucu perempuan, kan?" 

Perkataan Cantika seakan mengatakan jika kedua putriku tidak ada artinya untuk Mas Bima dan keluarganya. Padahal kedua putriku sudah menjadi anak dan cucu yang baik selama ini. Aku mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Sekali pun mereka tidak pernah membuat malu keluarga besar kami. 

Lalu sekarang, tiba-tiba gender mereka dipermasalahkan. Seakan hanya anak laki-laki saja yang berharga. Rasanya kesabaranku sudah diambang batas. Mereka boleh mengatakan apapun tentangku, tetapi tidak dengan kedua putriku. 

"Maksud kamu apa bicarain tentang anakku?" hardikku hampir tidak terkontrol. 

Siska memegang lenganku sambil mengusapnya dengan hati-hati. "Sabar, Bu. Ingat ibu sedang mengandung. Jangan kepancing emosinya," bisiknya mengingatkan. 

Aku akhirnya mengambil napas panjang dan mengatur emosiku. Berhadapan dengan perebut suami orang memang menghabiskan banyak energi. 

"Baiklah, Mas. Kita tunggu sampai aku dan Cantika melahirkan. Pikirkan baik-baik siapa wanita yang akan kamu pertahankan. Apakah aku dan ketiga anakmu? Atau dia dan juga anaknya? Karena aku, sudah jelas tidak mau dimadu untuk alasan apapun," tantangku. 

Aku pun kembali membalikkan badan dan berniat meninggalkan mereka. Sebelum tubuhku sepenuhnya menghilang dibalik pintu ruangannya, aku masih sempat mendengar sanggahan Mas Bima yang tidak setuju dengan keputusanku. 

"Gak bisa gitu, Raya. Kalau terbukti aku mampu adil untuk kedua istriku, kamu gak berhak minta cerai dariku tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat. Sabarlah sedikit, Sayang. Surga milik-" 

Aku tidak lagi mendengar Mas Bima berbicara apa tentang Surga setelah aku mempercepat langkah kakiku. Hatiku terus merutuki Mas Bima yang bisa-bisanya membicarakan masalah Surga padaku. 

Suami yang sudah zalim dengan diam-diam menikah lagi setelah ditemani dari nol hingga sukses selama hampir sepuluh tahun lamanya, hendak menawarkan Surga jalur poligami? Sulit dipercaya! 

Jika memang dipoligami bisa mengantarkanku ke pintu Surga pun, rasanya aku lebih memilih untuk mencari pintu Surga yang lain daripada harus dimadu.

"Bu Araya …" 

Aku tersadar dari lamunan saat mendengar namaku disebut. Ternyata itu adalah suara Susi yang sudah berdiri bersama Saras dan beberapa pegawai yang lain. 

Rumah makan suamiku punya tujuh pekerja tetap. Hampir semuanya kenal dekat denganku meskipun aku jarang datang ke sini. Ada Cantika sebagai leader. Susi sebagai kasir. Saras dan Siska sebagai pramusaji. Iin bagian cuci piring. Dan masih ada Santi dan Lilis di bagian juru masak. 

Selama ini mereka semua sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Termasuk Cantika yang ku percaya menjadi leader di sini. Akan tetapi, ternyata dia tega menodai kepercayaanku dengan menjadi musuh dalam selimut. 

"Bu, tolong maafkan kami yang sudah menutupi pengkhianatan Pak Bima dengan Cantika. Sebenarnya kami ingin cerita sejak awal, tapi kami takut dipecat sama Bapak. Belum lagi kami juga gak tau apakah Ibu bakalan percaya sama kami atau tidak. Sekali lagi, kami mohon maaf ya, Bu. Kami mengaku salah," ujar Susi menjadi juru bicara dari mereka semua. 

Aku bisa melihat ketulusan mereka saat menjelaskan dan meminta maaf kepadaku. Aku pun sadar posisi mereka serba salah. Hidup di jaman sekarang yang serba susah mencari pekerjaan pasti membuat mereka takut dipecat Mas Bima. Aku pun tidak berniat menyalahkan mereka sama sekali. 

"Bukan salah kalian, jadi jangan meminta maaf. Kalian baik-baik di sini, mungkin aku gak akan menginjakkan kakiku di sini lagi setelah ini," kataku berusaha melebarkan senyum meski terasa sangat kaku. "Dan kamu, Siska, kalau nanti Mas Bima sungguhan berani pecat kamu dari sini, kamu bilang aja sama aku. Aku akan bantu carikan pekerjaan lain buat kamu."

"Bu, kalau Ibu nanti punya usaha lain, aku justru lebih suka bekerja sama Ibu aja, Bu. Sejak dekat sama Cantika, Pak Bima berubah dan tidak lagi baik sama karyawan rendahan kayak kami, Bu," balas Siska yang diangguki yang lain.

"Iya, Bu. Kita bikin rumah makan sendiri aja, yuk, Bu. Tinggalin aja Pak Bima sama Cantika. Dikira mereka bisa handle rumah makan ini berdua aja apa, ya?" sahut Saras ikut menggebu. 

Aku tertawa kecil mendengar mereka terlihat kesal pada kelakuan Mas Bima dan Cantika. Dukungan mereka sangat berarti bagiku. Aku sedikit terhibur dengan obrolan ini meskipun untuk merealisasikannya, tentu saja tidak semudah itu. 

Membangun usaha itu butuh modal dan proses panjang. Bahkan untuk mendirikan rumah makan yang saat ini menjadi kebanggaan suamiku saja, butuh waktu hampir sepuluh tahun lamanya. 

Dari mulai aku membuat nasi bungkus yang kami jual secara keliling dan dititip-titipkan ke warung kecil dan angkringan, hingga sekarang punya rumah makan sendiri dengan tujuh pegawai tetap. Benar-benar bukan proses yang singkat, apalagi mudah. 

"Kalian tetap kerja yang baik aja di sini. Gak usah ikut terpengaruh sama masalah pribadiku. Ingat orang rumah butuh uang dari kalian. Jika nanti kita berjodoh untuk bekerja sama lagi, Tuhan pasti punya cara-Nya sendiri untuk mempertemukan kita kembali." 

Satu per satu dari mereka memelukku hingga semua berkumpul menjadikanku pusat untuk dipeluk. Aku merasa semakin terharu saat isak tangis dan sesenggukan sungguhan terdengar di telingaku. 

Terima kasih sudah mempertemukanku dengan orang-orang baik ini, Ya Allah … 

Aku pun pulang dengan membawa kepingan hati yang patah. Setelah ini, tentu saja duniaku akan berubah drastis. Aku hanya perlu memastikan, jika perubahan yang ada di masa depan untukku bukanlah sesuatu yang kelam.

Akan kupastikan kamu menyesal sudah melakukan hal seperti ini kepadaku, Mas! 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampus ajalah kau dg dramamu araya. kamu hanya bisa besar mulut. apa di daerah tempat tinggalmu g ada kantor polisi. istri kayak si araya ini memang g punya kemampuan kecuali ngannkang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status