Aku berusaha tetap tenang saat melihat suamiku dalam pose menjijikkan bersama wanita lain. Saat ini Mas Bima sedang memangku Cantika dengan pakaian atas yang sudah berantakan. Sama halnya dengan riasan wajah yang juga acak-acakan. Benar-benar sukses membuatku muak setengah mati.
"Araya!" seru Mas Bima begitu terkejut dengan kedatanganku. Dia terlihat sangat marah karena kelancanganku yang tiba-tiba masuk ke ruang kerjanya. Ditambah lagi dengan Siska yang ada di belakangku dengan kamera yang sudah dinyalakan fungsinya untuk merekam apa saja yang siap terjadi di ruang kerjanya. "Turunkan kameranya, Siska! Atau kamu aku akan pecat sekarang juga!" ancam Mas Bima pada Siska. Namun, kulihat Siska sama sekali tidak menurut karena aku tahu, dia ada di pihakku saat ini. Aku berjanji dalam hati untuk memastikan dia tidak akan merugi di masa mendatang setelah membantuku hari ini. "Jelaskan apa maksudnya ini semua, Mas?" tandasku dengan suara rendah, tetapi dengan penuh penekanan. Kulihat Cantika sudah turun dari pangkuan Mas Bima. Dia berbalik badan membelakangi kami untuk merapikan pakaian juga dandanannya. Percuma penampilan cantik kalau tidak punya harga diri sebagai wanita. Wanita baik-baik tidak mungkin mau bermesraan dengan suami orang untuk alasan apapun. Jika aku tidak ingat sedang mengandung, mungkin aku sudah mengamuk hingga membabi buta untuk dua manusia laknat di depanku. Namun, karena aku masih waras dan tahu kesehatan janin di dalam perutku jauh lebih berharga dari mereka, maka aku pun memilih untuk tetap bersikap tenang. "I-ini gak seperti yang kamu kira, Sayang. Kamu jangan salah paham dulu, ya?" bujuk Mas Bima mendekatiku. Dia bahkan dengan berani berniat menyentuhku. Mendadak aku merasa jijik melihat tangannya yang sudah menyentuh wanita lain hendak menyentuhku. Aku pun menepis tangan Mas Bima dengan cepat. "Jangan sentuh aku! Tanganmu kotor, Mas!" sarkasku. Cantika yang berdiri di pojokan ruangan terlihat membulatkan kedua bola mata saat mendengar sindiran ku. Menatap nyalang padaku yang juga sedang memperhatikannya. Aku memang sengaja mengatakan kata kotor dengan pandangan ke arahnya. Supaya dia tahu jika kotoran yang aku maksud adalah dirinya. "Araya, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Tolong suruh Siska buat matikan kameranya, Sayang. Jangan seperti ini. Semua masalah ada jalan keluarnya," bujuk Mas Bima lagi. Sepertinya dia tidak nyaman dengan kamera yang dibawa Siska dan selalu mengarah ke arahnya. "Jalan keluarnya cuma satu, Mas. Pecat dan tinggalkan dia selamanya, maka ku anggap kamu hanya sedang khilaf." Hatiku sangat sakit atas pengkhianatan Mas Bima. Akan tetapi, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku harus berusaha mempertahankan ayah dari anak-anakku yang masih membutuhkan sosok orang tua utuh untuk masa tumbuh kembangnya. Aku tidak boleh egois dan hanya memikirkan tentang perasaanku saja. Aku akan menganggap Mas Bima sedang khilaf dan tergoda bujuk rayu wanita tidak tahu diri itu saja. Akan tetapi, jawaban Mas Bima mematahkan harapanku. "Maaf, Araya. Itu gak mungkin. Karena sebenarnya Cantika juga sudah sah menjadi istriku. Kami sudah menikah secara siri hampir dua bulan yang lalu. Dia punya hak yang sama dengan kamu saat ini, Sayang. Tolong kamu mengerti dan mau berbagi dengannya. Aku janji akan berusaha adil dengan kalian berdua." "Kalian sudah menikah tanpa meminta persetujuan dariku?" "Maaf, Araya. Pernikahan kami tetap sah secara agama meskipun tanpa izin darimu." Aku menggelengkan kepala saking tidak percaya dengan apa yang baru kudengar. Bisa-bisanya Mas Bima punya pemikiran seperti itu. Sama sekali tidak peduli dengan apa yang aku rasakan karena perbuatannya. "Mbak Raya, Mas Bima hanya ingin menolongku, Mbak. Aku hampir gila karena ditinggal meninggal suamiku. Sedangkan kedua anakku dibawa keluarga mendiang suamiku semua. Aku sangat terpukul saat itu, Mbak. Aku butuh Mas Bima untuk menguatkan ku. Kumohon Mbak Raya untuk mau mengerti dan tidak marah dengan pernikahan kami. Kita bisa menjadi keluarga besar yang akur, Mbak. Buka sedikit saja hati nurani Mbak Raya buat menerima keberadaan ku." Pengakuan panjang lebar dari Cantika sama sekali tidak membuatku berempati padanya. Dulu mungkin aku memang bersimpati dengannya saat tahu suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Aku sampai meminta Mas Bima untuk memberikan santunan yang tidak sedikit. Termasuk memberikan cuti sebanyak yang dia butuhkan dengan gaji yang juga tetap diberikan. Aku merasa kelonggaran tersebut sudah menjadi bukti kepedulianku padanya. Akan tetapi, dia justru membalas kebaikanku dengan sebuah pengkhianatan yang nyata. Dia merebut suamiku tanpa memikirkan perasaanku juga masa depan anak-anakku setelah ini. "Benar, Raya. Niatku menikahi Cantika hanya untuk membantunya. Aku sama sekali gak ada niat buat berkhianat darimu, Sayang. Aku tetap sayang dan cinta sama kamu dan anak-anak. Tidak akan ada yang berubah meskipun aku sudah beristri lagi. Bukankah menolong janda termasuk amalan yang baik? Aku mampu untuk berpoligami, Araya." "Maksudnya, karena kamu sekarang sudah sukses dan punya banyak uang, makanya kamu merasa sudah mampu buat poligami, gitu?" hardikku. Mas Bima menundukkan kepalanya. Seharusnya dia ingat seperti apa kondisi perekonomiannya sebelum sukses seperti sekarang. Jika aku tidak ulet mengatur keuangan dan membantunya berjualan makanan keliling hingga bisa berkembang sebesar ini, maka bisa saja dia masih menjadi kuli bangunan atau kuli panggul di pasar-pasar. "Jika tahu sukses akan membuatmu berkhianat, maka aku akan mengubah doaku untuk kebangkrutanmu, Mas." "Araya …" Mas Bima memanggilku dengan suara rendah. Aku melempar sebuah kotak kecil berbungkus kertas kado dengan pita yang menghiasi. Hadiah yang tadinya ingin ku jadikan sebagai kejutan untuknya menjelang hari jadi akad kami yang kesepuluh. Mas Bima membuka bungkus kado tersebut dan melihat isinya. Sebuah alat tes kehamilan dengan dua garis merah dilihatnya dengan mata berkaca-kaca. Persis seperti sembilan dan lima tahun yang lalu saat tahu aku mengandung anaknya. "K-kamu …, hamil lagi, Sayang?" "Ceraikan dia, Mas! Atau kalian akan mendapatkan masalah besar karena jika kalian lupa, pernikahan siri tanpa sepengetahuan istri sah bisa dijerat pasal pidana," ancamku sambil membalikkan badan, memberi kode kepada Siska untuk menyudahi rekamannya karena sudah lebih dari cukup untuk dijadikan bukti jika memang harus sampai ke meja hijau. "Aku gak bisa, Araya. Itu semua karena Cantika …""Cantika juga sedang hamil, Sayang. Aku gak bisa ceraikan dia. Apalagi keluargaku juga sudah tahu tentang pernikahanku dan kehamilan Cantika." Langkah kakiku terhenti paksa. Mendengar keluarga Mas Bima turut andil dalam pengkhianatan suamiku itu, membuat dadaku terasa ditikam sembilu. "Iya, Mbak Raya. Mbak tahu sendiri, kan, kalau ibunya Mas Bima ingin punya cucu laki-laki. Beliau berharap bisa dapat cucu laki-laki. Dan aku terbukti sudah dua kali melahirkan anak laki-laki, sedangkan Mbak Raya cuma bisa kasih cucu perempuan, kan?" Perkataan Cantika seakan mengatakan jika kedua putriku tidak ada artinya untuk Mas Bima dan keluarganya. Padahal kedua putriku sudah menjadi anak dan cucu yang baik selama ini. Aku mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Sekali pun mereka tidak pernah membuat malu keluarga besar kami. Lalu sekarang, tiba-tiba gender mereka dipermasalahkan. Seakan hanya anak laki-laki saja yang berharga. Rasanya kesabaranku sudah diambang batas. Mereka boleh mengatakan apa
Aku pulang ke rumah dengan perasaan hancur. Namun, karena sebentar lagi aku harus menjemput putri pertamaku pulang dari sekolahnya, aku harus bersikap seperti biasa supaya anakku tidak tahu tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. "Ternyata hal tersulit untuk melewati ujian ini bukan perkara bagaimana aku sabar dan tetap tenang menghadapi para pengkhianat. Akan tetapi, bagaimana aku akan bersikap di depan kedua putriku yang tidak sepatutnya tahu jika papanya sudah membagi hati untuk keluarga barunya." Aku menata hati dan menenangkan diri secepat mungkin. Ilmu tenang memang mahal, dan aku merasa beruntung karena sampai saat ini, aku masih bisa mengendalikan diri dan tetap tenang meskipun tidak tahu bisa bertahan sampai kapan ketenangan ini bisa aku jaga. Aku kembali membawa kendaraan pribadi untuk menjemput kedua putriku. Mereka bersekolah di satu lingkungan sekolah yang sama, meskipun tingkatannya berbeda. Aku sengaja memilih yayasan yang sama dari jenjang pendidikan anak
"Kita gak tunggu Bapak pulang dulu, Bu?" tanya Astuti, putri pertamaku. Biasanya, kami memang selalu menunggu kepulangan Mas Bima supaya bisa makan malam bersama-sama. Akan tetapi, kali ini aku tidak ingin menunggu seseorang yang sudah mengubah prioritasnya bukan lagi untuk aku dan anak-anakku saja.Aku jadi ingat, sudah beberapa waktu belakangan ini Mas Bima memang sering pulang terlambat. Dia pun hanya makan sedikit saat di rumah. Tadinya, kupikir karena Mas Bima terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, sekarang aku baru paham jika penyebabnya bisa jadi karena dia sudah lebih dulu makan malam dengan istri mudanya. "Gak usah, Sayang. Bapak pulang telat. Jadi, kita bisa makan duluan aja gak usah nunggu bapak." Kedua putriku menurut dan kami sudah siap memulai acara makan malam sederhana, saat tiba-tiba ucapan salam dan pintu yang terbuka dari pintu utama terdengar berderit. "Itu Bapak, Bu!" seru Astuti terlihat gembira. Aku diam saja dan berusaha tetap mengulas senyum tipis supa
"Kok bisa tanganmu sampai luka begini?" tanya Mas Bima terlihat khawatir. Aku diam saja karena sejujurnya aku sendiri masih syok dan tidak menyangka juga jika aku bisa membuat gelas kaca pecah hanya dengan mencengkeramnya. Rasanya seperti mustahil, tetapi darah yang mengalir dari telapak tanganku sudah cukup menjadi bukti. "Mungkin gelasnya tadi sudah retak, tapi Mbak Raya gak teliti, Mas. Jadi bisa sampai pecah dan kena tangan begitu. Biar aku bantu obati, Mas. Kotak P3K dimana, ya?" Cantika ikut menimpali. "Gak perlu. Biar aku obati sendiri," tandasku tidak sudi menerima bantuan dari sumber masalah di hidupku saat ini. "Kamu diam di sini aja, biar aku yang obati," sahut Mas Bima menahanku untuk tidak beranjak demi mengambil kotak P3K. Aku menurut, membasuh tanganku dengan air mengalir. Namun, setiap lukanya sudah bersih dari noda merah, maka tidak lama setelahnya kembali keluar lagi. Saat aku perhatikan, sepertinya luka goresan gelas kaca yang menancap di telapak tanganku cukup
"Ini ada apa sih? Kenapa baru pulang kamu udah marah-marah sama Cantika?" tanya Mas Bima yang sudah berdiri di belakangku.Aku makin kesal karena Mas Bima terlihat tidak senang saat aku membentak istri mudanya. Kedua anakku pun seperti ketakutan saat mendengar aku berbicara dengan nada tinggi. Andini bahkan sampai bersembunyi di balik tubuh kakaknya. "Ini lho, Mas. Aku cuma ngajarin anak-anak panggil aku Mama, tapi Mbak Raya langsung marah-marah gak jelas, padahal anak-anak aja gak ada yang protes dan dengan suka rela mau panggil aku dengan sebutan Mama." Cantika menjawab dengan wajah seakan di sini dia yang menjadi korbannya, sedangkan aku tokoh antagonisnya. "Kamu seharusnya berterima kasih sama Cantika, Araya. Kita jadi gak perlu repot lagi mengenalkan Cantika kepada anak-anak karena dia sudah bisa lebih aktif mendekati anak-anak dan juga sayang sama mereka. Tolonglah, Raya. Kamu jangan mempersulit keadaan yang sebenarnya baik-baik saja hanya karena ego-mu yang tinggi. Kamu haru
"Sini, Bu. Sarapan sama-sama." Aku menurut dan bersandiwara seakan tidak terganggu dengan kehadiran orang baru di rumah kami. Akan ku ikuti cara main madu pahitku. Jika dia bermuka dua di depan Mas Bima dan anak-anak, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kulihat di meja makan sudah ada ayam goreng dengan sayur sop yang lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Aku bersikap seolah senang dengan bantuan Cantika dan memuji masakannya, meskipun sebenarnya terselip sindiran yang membuatku merasa puas. "Kebenaran banget ada kamu, Cantika. Aku sama Mas Bima memang udah pernah kepikiran buat cari asisten rumah tangga buat bantu-bantu aku di rumah. Ternyata kamu cocok juga. Apalagi anak-anak juga udah kenal dekat sama kamu. Jadi gak canggung lagi, kan?" Cantika menatap nyalang kepadaku. Dia pasti sangat marah karena aku istilahkan sebagai asisten rumah tangga. Mas Bima sendiri hanya diam meskipun lirikan matanya terlihat tidak enak hati pada Cantika. Aku abaikan semua tatapan keduanya, dan la
"Menjadi konten kreator dan afiliasi marketplace?" Aku mengulang apa yang diusulkan Endah kepadaku. Katanya, dua profesi ini akan naik daun di era digitalisasi yang sudah nampak hilalnya. "Daripada kamu sibuk kerja di luar rumah terus bingung anak-anak mau dijagain sama siapa, mending cari cuan dari dalam rumah. Kamu bisa atur sendiri waktu kapan kamu bikin konten dan kapan kamu mengurus rumah beserta anak-anak. Kamu juga sudah punya basicnya karena pernah belajar editing video bahkan copywriting, kan?" Aku menggigit bibir bawahku sendiri karena mulai tertarik dengan apa yang dijabarkan Endah. Aku memang pernah mendengar tentang profesi tersebut meskipun saat ini belum begitu menjamur di sekitarku. Namun, kata Endah ini justru saat yang tepat untuk memulai apalagi gadis cantik itu meyakinkanku jika potensinya cukup besar untuk cukup menghidupiku dan anak-anak di masa mendatang. "Kamu
Aku keluar kamar setelah selesai bersiap untuk ke sekolah anak-anak. Sebenarnya ini terlalu awal untuk menjemput mereka. Hanya saja, berlama-lama di rumah saat ada ibunya Mas Bima bisa membuat tensi darah cepat naik. Dan ini jelas tidak sehat untuk aku yang sedang hamil. "Masakan apa …, ini? Sayur sop kok hambar, gak ada rasanya." Suara ibunya Mas Bima menggelegar dari dapur. Sepertinya sengaja ingin mengejekku. Tidak tahu saja jika yang sedang dihina adalah masakan menantu yang tadi dibanggakannya. Kalau tadi aku malas menanggapi omongannya, maka sekarang aku semangat sekali membalasnya. Aku pun berjalan santai menuju dapur dan berhenti di ambang pintu masuk yang hanya tertutup tirai bermotif bunga. "Coba Ibu tanya aja sama menantu ibu yang lain, tadi dia gimana masaknya, soalnya aku juga gak ikut nyicipin masakan dia, sih."Aku melihat wajah ibunya Mas Bima terlihat terkejut. Beliau