Share

Bab 7. Ular Berbisa

"Ini ada apa sih? Kenapa baru pulang kamu udah marah-marah sama Cantika?" tanya Mas Bima yang sudah berdiri di belakangku.

Aku makin kesal karena Mas Bima terlihat tidak senang saat aku membentak istri mudanya. Kedua anakku pun seperti ketakutan saat mendengar aku berbicara dengan nada tinggi. Andini bahkan sampai bersembunyi di balik tubuh kakaknya. 

"Ini lho, Mas. Aku cuma ngajarin anak-anak panggil aku Mama, tapi Mbak Raya langsung marah-marah gak jelas, padahal anak-anak aja gak ada yang protes dan dengan suka rela mau panggil aku dengan sebutan Mama." 

Cantika menjawab dengan wajah seakan di sini dia yang menjadi korbannya, sedangkan aku tokoh antagonisnya. 

"Kamu seharusnya berterima kasih sama Cantika, Araya. Kita jadi gak perlu repot lagi mengenalkan Cantika kepada anak-anak karena dia sudah bisa lebih aktif mendekati anak-anak dan juga sayang sama mereka. Tolonglah, Raya. Kamu jangan mempersulit keadaan yang sebenarnya baik-baik saja hanya karena ego-mu yang tinggi. Kamu harus ingat kalau poligami itu bukan sesuatu yang haram." 

"Terserah," tandasku. 

Aku tidak mau berdebat di depan kedua putriku. Badanku pun sudah sangat penat, bahkan kepalaku terasa nyut-nyutan sejak pulang dari klinik tadi. Aku pun memutuskan untuk pergi ke kamar saja untuk istirahat dan membiarkan apapun yang akan mereka lakukan. 

Aku tidak ingat mulai terlelap di jam berapa karena sakit kepala yang tadi mendera sangat mengganggu konsentrasi. Aku yang tidak berani meminum obat sembarangan di saat mengandung seperti sekarang, memilih langsung tidur setelah berada di kamar. 

Namun, aku terbangun karena tenggorokan yang kering saat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 1 dini hari. Sudah cukup lama aku tertidur, dan aku tidak mendapati Mas Bima di sisi ranjang. 

Aku berusaha tidak peduli maupun menerka dimana suamiku berada saat ini. Karena alam bawah sadar pun sudah tahu jawabannya dengan pasti. 

Aku meneruskan keinginan ke dapur untuk mengambil air minum. Saat melewati kamar tamu yang memang dekat dengan dapur, suara samar dari dalam kamar tersebut membuat kakiku terpaku. 

Suara desah mendayu dan tawa kecil dari pria dan wanita yang kudengar memperjelas apa yang ada di dalam ruangan tersebut. Mas Bima sedang bersama Cantika dan air mataku menetes begitu saja. 

Aku merasa perutku mendadak nyeri. Sepertinya, stres memang sangat cepat mempengaruhi kondisi tubuhku. Aku tidak bisa larut dalam emosi dan kesedihan, atau janin yang ada dalam kandunganku akan turut merasakan kesedihan yang sama. 

"Sabar …, sabar …, setiap pengkhianat akan menemukan karmanya sendiri, cepat atau lambat. Jangan sampai rasa sakit hatiku ini membuatku kehilangan kewarasan. Aku harus tetap tenang dan bertindak dengan logika." 

Aku bermonolog untuk menguatkan diri sendiri. Seumur-umur belajar sabar, tetapi ujian kali ini benar-benar hampir melewati batas kesabaranku. Aku merasa sanggup melalui semua ujian rumah tangga bersama Mas Bima selama ini, tetapi kali ini aku meragu bisa bertahan hingga akhir.  

Satu-satunya alasanku berjuang kali ini adalah demi anak-anak yang butuh sosok ayah untuk tumbuh kembangnya. Namun, melihat sikap Mas Bima yang seperti ini, aku jadi tidak yakin apakah Mas Bima akan tetap baik kepada anak-anak setelah dikuasai Cantika dan anak mereka kelak? 

Aku kembali teringat akan perkataan Cantika yang membandingkan anak-anakku yang berjenis kelamin perempuan, dan anak-anaknya yang berjenis kelamin laki-laki. 

"Jika anak mereka nanti laki-laki, dan anakku kembali perempuan, jelas Mas Bima akan pilih kasih dan …." 

Aku bahkan tidak bisa meneruskan pemikiranku sendiri. Segera ku gelengkan kepalaku mengusir sesuatu yang belum terjadi. 

Aku memang harus mempersiapkan resiko terburuk yang mungkin akan terjadi dalam rumah tanggaku, tetapi bukan hanya dengan menangisi keadaan. 

Aku harus melakukan sesuatu supaya jika terjadi hal buruk diluar kendaliku, aku dan anak-anakku tidak akan terlunta-lunta tanpa persiapan apapun. 

Aku segera kembali ke kamar setelah mengambil segelas air putih. Aku tidak langsung kembali tidur, karena aku teringat sesuatu sebagai satu langkah pertama untuk bangkit diatas kakiku sendiri. 

Kuhubungi seseorang yang kurasa bisa membantu mencarikan solusi untuk masalahku. Endah adalah sahabatku saat sekolah dulu. Dulu dia paling tahu tentang minat dan bakatku. 

Setahuku, dia sudah sukses dengan menjadi wanita karir meskipun sampai hari ini belum memiliki pendamping hidup saking fokusnya meniti karir. Besar harapanku bisa berguru darinya untuk menjadi wanita karir dan tidak lagi bergantung dengan uang pemberian suamiku. 

Aku mengirim pesan melalui email karena tidak mau mengganggu waktu istirahatnya. Tidak mengapa sekalipun tidak langsung mendapatkan respon darinya, tetapi setidaknya, aku tidak akan lupa jika menunda esok hari untuk mengirim pesan. 

Baru setelah selesai berkirim pesan, aku kembali berbaring meskipun ternyata cukup sulit untuk kembali terlelap, apalagi suara yang kudengar di kamar belakang masih terngiang di ingatan. 

"Hanya sampai anak ini lahir, maka semuanya harus berakhir. Aku tidak sudi dimadu untuk alasan apapun. Lebih baik aku menjadi single parent dan menghidupi anak-anakku sendiri daripada tersiksa batin dengan bertahan sama Mas Bima."

Aku bertekad untuk mengembangkan kemampuanku untuk menghasilkan sesuatu yang bisa dipergunakan sebagai cara bertahan hidup setelah berpisah dari Mas Bima. Aku pun harus mulai membiasakan kedua putriku untuk tidak selalu bergantung dengan Mas Bima. 

Melihat keculasan Cantika saat ada Mas Bima untuk menjelekkanku, aku menjadi yakin jika aku harus bersiap seandainya suatu hari terpaksa melepaskan Mas Bima. Aku tidak mungkin mempertahankan sesuatu yang sudah tidak lagi memilihku.

Keesokan harinya, aku ketiduran lagi setelah salat subuh karena sejak terbangun dini hari, aku tidak bisa kembali tidur sampai tiba waktu subuh. Jam setengah tujuh pagi aku baru terbangun dan sangat syok karena bangun kesiangan. 

Aku bergegas keluar kamar dan mendapati pemandangan yang sangat menyakitkan. Di meja makan yang berada di dekat dapur, sudah ada Mas Bima dengan pakaian kerjanya yang rapi dan kedua putriku yang juga sudah dengan seragam sekolahnya, duduk dengan tenang dihidangkan Cantika makanan masakannya. 

Senyum penuh kemenangan yang diulas Cantika seperti cambuk yang menyadarkan aku jika saat ini sudah ada ular berbisa yang siap meracuni pikiran anggota keluargaku. 

Kuakui, Cantika sangat pandai mengambil hati semua orang. Bahkan aku sendiri, dulu sangat memujinya karena bersikap santun dan ringan tangan. Aku tidak tahu saja jika tujuan kebaikannya selama ini adalah demi menggantikan posisiku. 

"Sini, Mbak. Sarapan sama kami. Aku sudah masak banyak buat sarapan dan bekal Mas Bima juga anak-anak. Untung, kan, ada aku di sini? Jadi waktu Mbak Raya bangun kesiangan, aku bisa bantu masak buat kita semua." 

"Betul itu, Raya. Apalagi masakan Cantika juga enak. Iya, kan?" sahut Mas Bima sambil meminta pendapat anak-anak kami. 

Astuti dan Andini mengangguk membenarkan. Hatiku semakin perih melihat suami dan kedua putriku berada di pihak orang ketiga dalam rumah tanggaku. Apakah aku akan tersingkir dari rumah dan keluargaku sendiri karena kehadiran Cantika? 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si raya aja yg terlalu lemot,lemah dan menye2. harus betul tinggal serumah dg madu ya?? kayak binatang aja yg tinggal dikandang yg sama
goodnovel comment avatar
Ranti Bawanan
nggak seru terlalu di lebih2kan
goodnovel comment avatar
Budi Gerardus
cantika sungguh terlalu egois
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status