Aku sudah membereskan barang-barangku ke dalam koper. Kuputuskan untuk pergi saja dari rumah Pak Fikri.Aku berjalan mengendap-endap menuju ke depan rumah saat benda bundar yang menempel di dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Aku yakin kalau Pak Fikri sudah lelap dalam tidurnya."Kamu mau kemana, Al" Tiba-tiba suara bariton mengejutkan jantung. Aku membeliak terkejut dan seketika menunda niatku membuka pintu utama."Pak Fikri!" Aduh bagaimana ini. Mengapa Pak Fikri tiba-tiba ada di situ. Bagaimana kalau dia bisa menebak niatku yang hendak kabur."Kok diam saja, kamu mau kemana?" Dia bertanya lagi padaku dengan melayangkan tatapan nanar penuh selidik."Bawa koper segala. Kamu mau minggat?" Benar saja Pak Fikri bisa menerka niatku."Tidak kok, Pak," bantahku walau sedikit gugup."Lalu mau Kamana?" tanyanya lagi. Aku kembali diam karena bingung harus menjawab apa."Kembali ke kamar kamu sekarang!" Perintahnya dengan tegas. Lagi-lagi aku menurut. Tatapan Pak Fikri yang tajam memb
Lagi-lagi kejadian yang dulu, terulang lagi. Oma Rani dibawa ke rumah sakit karena jantungnya kumat. Aku tidak pernah menginginkan ini terjadi. Beruntung Oma Rani kembali selamat hingga aku bisa bernapas dengan tenang. Meski pun pada akhirnya aku dibuat was-was. Sepulangnya Oma Rani dari rumah sakit semua berkumpul di ruang tengah rumah Pak Fikri. Aku disidang di hadapan semua orang termasuk Oma Rani dan Naysila. Pak Fikri juga mengundang Mama Fira. Sepertinya malam ini harga diriku harus terendahkan oleh aduan dari Oma Rani."Alsava, telah berselingkuh dengan Security baru itu." Oma Rani meluruskan jari telunjuknya ke arah wajah Rangga yang di rumah ini menyamar sebagai Rudi."Tidak, Oma. Itu tidak benar." Aku segera membela diri. Tentu aku tak terima jika disebut selingkuh."Sudahlah, Alsava. Mengaku saja." Naysila menimpali dengan mencibir."Tunggu, apa ada bukti?" Mama Fira rupanya masih menyimpan kepercayaan padaku. Sedikit tenang hati ini."Bukankah di rumah ini ada cctvnya?" t
Aku berusaha melepaskan diri dari genggamannya. Namun kekuatan Pak Fikri terlalu sulit untuk dilawan. Aku tetap memberontak sekuat tenaga."Lepas, Pak. Lepaskan saya," lirihku memohon pada pria yang kini tengah menindihku. Kedua tangan ini dikuncinya. Aku sudah berusaha berteriak, tapi di rumah ini tidak ada siapapun selain kami berdua."Lepaskan, Pak. Sadarlah," lirihku lagi. Aku yakin sesuatu telah membuat Pak Fikri kehilangan akal sehat. Pria itu tetap melanjutkan nafsunya. Dia menikmati tubuhku dengan tergesa-gesa seperti tak mau menunda waktu.Air mataku merembes keluar. Aku tak bisa melawan tubuh kekarnya. Pakaianku bahkan telah dilepaskan seluruhnya. Kini tak ada sehelai benang pun menutupi tubuhku. Hingga akhirnya sesuatu terasa menerobos lubang kecil milikku. Aku kembali berteriak memohon ampunan Pak Fikri. Usahaku tetap saja nihil. Pria itu tak peduli dengan raungan sakit yang keluar dari mulut ini.Aku menangis sejadi-jadinya. Pria itu masih tak perduli. Pak Firki tetap mem
Aku berusaha memasukan beberapa pakaian ke dalam tas ransel milikku, walau Pak Fikri berusaha mencegahku."Al, jangan pergi. Saya mohon," pinta Pak Fikri memohon namun tak kuperdulikan. Aku tetap dengan langkah yang cepat keluar dari ruangan kamarku walau Pak Fikri terus menarik tanganku, namun entah kenapa hari ini tenagaku cukup kuat untuk menepis genggaman suamiku."Al, jangan pergi. Kita selesaikan masalah ini dengan baik-baik," pinta Pak Fikri masih memasang wajah memelas."Lepas, Pak. Jangan pegang tangan saya!" sergahku.Namun ternyata, niatku nyatanya harus tertunda saat kusadari kalau gerbang rumah terkunci rapat."Pak! Buka gerbangnya," titahku pada security yang baru."Jangan, Pak!" Pak Fikri langsung melarang perintahku."Pak, saya mau pergi. Tolong jangan halangi saya," pintaku lagi pada Pak Fikri. Air mataku bahkan turut menetes tatkala perasaan hancur kembali menyeruak."Kita selesaikan bersama, Al. Jangan pergi. Kita bicara baik-baik terlebih dahulu, Al," pinta Pak Fi
Tubuhku terasa lemas dan masih terasa dalam kegelapan malam tanpa cahaya. Perlahan aku membuka kelopak mata. Aku menatap langit-langit kamar dengan pandangan yang masih buram.'Dimana ini?' Dalam hati aku bertanya-tanya. Seperti bukan di kamar pribadiku. Kulihat di samping kanan terdapat botol infusan. Setelah kupastikan, ternyata selangnya berarah ke tanganku.'Kok aku diinfus? Dimana ini?' Isi dada kian bertanya-tanya. Begitu hendak bangun nyatanya tubuh lemasku tak mampu mengangkatnya."Al, kamu sudah bangun?" Seseorang langsung bersuara. Dia meraih tubuhku. Setengah linglung aku menatapnya. Wajahnya tak asing lagi. Sampai akhirnya aku terkejut setelah bisa mengingatnya."Lepaskan, Pak!" Aku menepis genggaman tangannya. Pak Firki bahkan sudah berani menyentuh tubuhku. "Dimana ini?" Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Seperti tengah berada di rumah sakit saja."Kamu pingsan, Al. Kamu tak makan dari semalam kan. Makanya pingsan. Saya segera membawa kamu ke rumah sakit,"
Aku dan Pak Fikri dibuat gugup hari ini. Tapi Ibu sepertinya masih saja menunggu jawabanku."Tidak kok, Bu. Jika Tuhan sudah memberikan kepercayaan, kehamilan pasti akan datang," jawabku akhirnya walaupun berat."Baguslah," balasnya. Kulihat Ibu menyeringai senang. Sementara Pak Firki hanya diam dengan menundukan kepala. Mungkinkah Ibu merasa senang dengan jawabanku? Biarlah, aku tak tega membuat Ibu bersedih hari ini.Setelah kedatangan Ibu, Pak Fikri langsung pamit sebentar untuk pergi ke kantor. Sementara aku ditemani Ibu sampai keadaan benar-benar pulih. Apa-apaan aku ini sampai pingsan gara-gara tidak makan dari kemarin. Jangan sampai hal sepele seperti ini diketahui Ibu.Siang ini aku makan cukup banyak, kebetulan sebelum Pak Fikri pergi, dia sudah menyiapkan banyak makanan di atas meja di ruanganku. Saat sore menjelang Pak Fikri sudah tiba kembali di ruanganku. Aku langsung bersiap-siap karena Dokter sudah mengizinkan pulang."Ibu, mau saya antar ke rumah atau mau menginap?" Pa
Mengapa Ibu tiba-tiba ada di sini lagi. Harusnya kan beliau sudah ke kamar tamu."Kok Ibu balik lagi?" Sengaja aku bertanya sekedar mengalihkan perhatian."Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, Alsava. Mengapa kamu menolak tidur bersama suami kamu?" Nyatanya Ibu malah bertanya lagi membuatku tegang saja. Mana Pak Fikri hanya diam saja."Maksud Aku bukan menolak, Bu. Tapi—""Tidak ada alasan untuk menolak suami, Al. Kecuali kamu sedang berhalangan." Ibu memotong ucapanku."Tetap bersama suami Dalam keadaan apapun." Ibu menekan lagi. Setelah itu Ibu mengalihkan pandangannya pada Pak Fikri."Fikri, kamu pun sebagai suami harus bisa mendidik Alsava. Jika Alsava salah, didik dia. Jangan diam saja. Pertanggung jawaban seorang suami bukan hanya di dunia, di akhirat pun seorang suami akan diminta pertanggung jawabannya," pesan Ibu pada Pak Firki. Pria dewasa di depanku itu mengangguk saat diberitahu oleh Ibu."Iya, Bu. Maafkan saya. Saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Alsava," balas P
Hawa panas masih menyeruak di kamar yang luas ini. Pun dengan Pak Firki, kulihat pria itu tampak membuka bajunya. Tak lama aku berhalusinasi. Entah apa yang terjadi dengan diriku. Malam ini aku menerima permainan panas Pak Fikri di atas ranjang tanpa bisa melawannya.Aku menikmati setiap sentuhannya. Aku mendesah di setiap kecupannya yang menjalari seluruh tubuhku. Kenikmatan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sadari Pak Fikri mulai menerobos lubang kecil milikku tanpa perlawanan. Seperti terhipnotis oleh keadaan aku sampai mendesah merasakan kala benda milik pria itu memompa kencang milikku sampai kami berdua terhanyut dalam permainan panas malam ini.***"Tidak!" Aku berteriak pagi-pagi dengan kedua tangan memegang selimut yang menutupi sebagian tubuhku.Mendengar teriakkan ini, Pak Fikri yang masih tertidur lelap, langsung bangun dan tak kalah terkejutnya denganku.Pria itu melihat tubuhnya di balik selimut tebal, tubuh telanjangnya masih tak ditutupi sehelai benangpun."