Share

Part 6 | Wanita Gila

Emily berdiri dengan senyum licik tersungging di bibir. Merasa menang bisa memperdaya aktris populer dengan aktingnya. Dia lantas menyerahkan batu yang telah digunakan untuk melukai Olivia kepada Fred.

“Setelah urusanku di sini selesai, hapus semua bukti dan jangan tinggalkan jejak. Kalau perlu, hubungi Carlos dan Peter,” titah Emily, datar.

Fred meneguk ludah. Rasa takut cepat sekali menyebar ke sekujur badannya setelah mendengar nama Carlos dan Peter disebut. Dia amat mengenali kedua orang itu. 

Mereka adalah adik kakak berotak kejam persis psikopat. Berbicara dengan mereka tidak bisa memakai hati melainkan uang dan emas. Sudah berulang kali Nyonya Serena melarang Emily dari terus berurusan dengan Carlos dan Peter namun wanita itu enggan menuruti nasihat malah terus menulikan telinga.

“Ternyata dia baik juga mau membantuku tapi sayang, dia terlalu lugu. Apa dia pikir, dia akan terlepas dari menerima kutukan setelah berani menginjak kaki di vila kesayangan ibuku?” Wanita bermata galak itu menendang ujung betis Olivia, ingin melampiaskan rasa gusar yang terpendam. “Dasar wanita bodoh,” umpatnya, geram.

“Nona, apa yang ingin anda lakukan pada Nona Olivia?” Nada suara Fred terdengar cemas. Sejujurnya dia merasa resah bercampur takut setelah melihat Emily tega menghabisi abang kandungnya sendiri demi memuaskan monster pembunuh yang bersemayam di dalam jiwa. 

Emily langsung memutar tubuhnya dan bertembung mata dengan sang pengawal. 

“Kenapa? Apa kamu peduli padanya? Atau… Mungkinkah… Kamu sebenarnya takut dan khawatir kalau suatu saat aku akan menusukmu dari belakang?” Usai melemparkan pertanyaan yang tak putus-putus, satu seringai jahat mengambang di bibirnya.

“Saya… tidak…” Bicara Fred tergagap-gagap ketika coba menjawab pertanyaan Emily. Saking gugupnya, dia bahkan bisa merasakan jantungnya berdenyut kencang.

“Tenang Fred, aku tidak akan membunuh orang yang telah setia menjagaku selama 7 tahun,” potong Emily, tak sabar.

Fred coba menenangkan hati yang diselimuti kegugupan dan ketakutan dengan menarik napas dalam-dalam lalu melepaskan karbon dioksida perlahan-lahan.

“Saya tahu dan yakin anda tidak akan mengabaikan para pekerja yang telah melayani keluarga Grant. Namun, saya khawatir keluarga Grant akan ditimpa musibah jika anda menyakiti Nona Olivia. Seperti yang anda tahu, dia adalah putri tunggal keluarga Hudson dan juga cucu kesayangan Nyonya Besar Sullivan. Mengusik dua buah keluarga konglomerat terpandang bisa menjadi bumerang buat keturunan Grant,” jelas Fred, berhati-hati menyusun perkataan.

Sayangnya, semua itu terdengar aneh sekaligus bodoh di telinga Emily yang terasuki amarah dan dendam.

“Pengecut,” cemooh Emily seraya mencebik.

Fred dengan cepat menundukkan muka, tidak punya nyali untuk terus menerima tatapan tajam penuh penghinaan dari bola mata sang majikan. Dia berpendapat lebih baik mengaku kalah demi menjaga nyawa daripada menang dalam adu mulut tetapi kepalanya dipenggal. 

“Mulai detik ini, aku tak ingin mendengar ocehanmu tentang Hudson dan Sullivan. Jika mereka mau melawan Grant, silahkan. Lagian, perseteruan antara tiga keluarga sudah berlangsung selama 30 tahun. Mungkin sudah tiba saatnya Grant menghancurkan Hudson dan Sullivan sekaligus,” ujar Emily, sangat percaya diri.

“Tuan Besar Grant pasti tidak …”

Dengusan kasar Emily memutuskan kalimat Fred.

“Orang tua itu tidak akan tahu tentang rencanaku melainkan kamu yang memberitahunya,” tukas Emily, dingin. “Sudah, tutup mulutmu dan bawa cucu kesayangan Nyonya Besar Sullivan ini ke dalam. Lekas! Sebelum dia mati di sini gara-gara kehilangan banyak darah.” 

Mau tak mau dan suka tak suka, Fred harus mematuhi perintah Emily. Dia mengangkat tubuh Olivia dan membopongnya masuk ke dalam vila.

***

Emily tersenyum jahat saat melihat Olivia terikat di kursi. “Malang sekali nasibmu tapi kau harus mati di tanganku. Di sini. Di vila ini, tubuhmu akan membusuk dan terkubur bersama abangku, Darren,” bisik Emily sambil jemarinya bermain dengan rambut panjang Olivia.

Melihat Fred menghampirinya dengan membawa satu baskom berisi air, sekonyong-konyong dia tertawa. ‘Permainan seru akan dimulai, Olive.’

“Lempar airnya, Fred!” titahnya, bengis.

Uhuk! 

Uhuk! 

Uhuk! 

Olivia terbatuk-batuk sebaik saja tersadar dari pingsan setelah Fred mencurahkan air dari baskom ke wajahnya atas instruksi Emily. 

Fred mengerutkan alis tatkala melihat air yang bercampur darah jatuh menitik dari kepala Olivia sebelum mencium lantai. ‘Kepalanya masih berdarah.’ Netra Fred memancarkan cahaya iba. Malangnya, dia tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu wanita itu.

“Kau boleh pergi, Fred.”

“Baik, nona. Saya akan menunggu di luar.” Fred berujar pelan sebelum meninggalkan kamar tersebut.

“Hai, Via. Maaf karena mengganggu tidurmu,” sinis Emily sambil melambaikan tangan, sengaja memancing amarah Olivia.

“Via? Memanggilku dengan nama Via bukanlah kebiasaanmu, Emily. Kau lebih suka memanggilku Olive,” sahut Olivia, mengoreksi dengan tenang. Dia tahu betul sikap Emily yang suka melakukan provokasi untuk memicu pertengkaran.

“Ohh. Maafkan aku, Olive.” Emily membalas cepat sembari mengedipkan matanya berkali-kali.

“Buka talinya.” Mata Olivia bersinar garang. Dia sudah muak dengan kelakuan genit Emily. 

Wajah putri dari keluarga Grant itu langsung menggelap. “Aku tidak sudi mendengarkan cakap enggang.”

Olivia tertawa getir. 

“Itu bukanlah permintaan atau bujukan tetapi PERINTAH,” tegas Olivia, menunjukkan wajah dingin.

Emily mendekatkan kepalanya di telinga sang aktris. “Mungkin kau tidak sadar, Olive. Posisimu sekarang adalah di bawah tapak kakiku. Jadi, kau tidak berhak memohon apalagi memberi perintah padaku.”

Olivia berdecih. “Aku? Di bawah kakimu? Bullshit. Dasar wanita gila!” 

Kalimat ‘wanita gila’ berhasil meluluhlantakkan ketenangan Emily. Terhina. Itulah yang dia rasakan. 

“Auhhh!” Olivia berteriak saat Emily merenggut kasar rambut panjangnya. Semakin banyak tentara darah merah yang keluar dari luka di kepalanya.

“Apa katamu? Aku wanita gila?” beo Emily seakan-akan menantang Olivia mengulangi perkataannya.

Sambil menahan rasa sakit, Olivia bersuara mengejek, “Apa kau lupa? Kau adalah mantan pasien rumah sakit jiwa. Dan kau jadi gila gara-gara dirundung perempuan miskin bernama Hilda.”

PLAK! 

Lima jari Emily mendarat di pipi kiri Olivia, berhasil memecahkan kulit bibir sang aktris.

“Jangan sebut namanya!” Emily memekik, berang. Suaranya bergema hingga ke luar kamar.

“Nona!” Pintu kamar terbuka luas. Fred berdiri di sana dengan wajah bimbang. Namun, Emily tak memberikan respons. Pandangan matanya masih melekat pada wajah Olivia.

Selagi kau tidak melepaskanku, aku akan membuatmu semakin gila, Emily! Bukannya merasa takut, Olivia semakin ganas mengusik trauma masa lalu Emily.

“Dulu, aku sempat merasa aneh. Bagaimana bisa seorang putri dari keluarga konglomerat dirundung teman sekelasnya yang hanya gadis miskin dan tak punya kuasa apa pun? Akhirnya aku mengerti sesuatu. Hilda berhasil merundungmu setelah dia tahu ayahmu membawa pulang seorang wanita jalang ke mansion keluarga Grant. Dan wanita jalang itu adalah ibunya.” Senyum menghina merekah di bibir Olivia usai menghabiskan bicara.

Berbeda dengan Fred, pria itu tampak kaget melihat keberanian Olivia melawan Emily. ‘Luar biasa. Memang benar kata orang, wanita dari keluarga kaya dan terpandang itu tidak punya rasa takut akan apa pun. Bahkan mereka memegang kartu as yang dapat memojokkan lawan pada waktu yang tepat.’

“Bagaimana…” Pupil Emily bergetar ketakutan. Selama ini, tidak ada walau satu orang pun yang tahu alasan sebenar Hilda merundungnya kecuali dokter yang merawatnya di RSJ. Mereka hanya menganggap Hilda membencinya karena iri hati dengan kekayaan keluarga Grant.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status