Mobil mewah yang membawa putri tunggal keluarga Hudson berhenti tepat di depan gerbang sebuah vila.
“Akhirnya, aku sudah sampai.” Olivia lekas menutup pintu mobil lalu menggeliat perlahan. Rasa pegal menyerang seluruh anggota badan setelah tiga jam menyetir tanpa istirahat.Kedua mata Olivia tertuju ke plakat yang ditampal di tembok vila. Tidak diizinkan masuk ke Vila kesayangan Nyonya Serena Grant. Sesiapa yang ingkar, akan ditimpa kutukan dan nasibnya apes tidak tertolong.“Kalau benar sayang, kenapa vila ini harus dijual? Ayolah, Nyonya Grant. Kau suka sekali bercanda. Kutukan? Bullshit. Asal kau tahu, sebelum kakiku menyentuh tanah milik keluarga Grant, kesialan sudah lama mengekoriku. Bahkan baru saja ia mengotori wajahku dengan keputusan Lucas yang ingin membatalkan rencana pernikahan kami,” sinis Olivia sebelum mencibir.Suara guntur tiba-tiba terdengar. Olivia lantas menatap langit. ‘Aneh, langit tampak cerah dan tidak ada tanda-tanda mau hujan.’ Olivia membatin, sedikit khawatir. Namun, perasaan itu segera ia usir. Langkah kakinya diatur menuju ke pintu utama vila.Baru saja dia memutar tombol pintu, ponselnya berdering. Nama Darren Busuk tertera di layar ponsel. Tak punya pilihan, dia menerima panggilan itu sambil mendengus kasar.“Apa lagi yang kau mau? Bukankah aku sudah membayar 35 juta untuk vila buruk ini?” sambar Olivia sebelum Darren sempat berkata apa-apa.Di ujung sana, suara Darren sekejap muncul, sekejap hilang.“Apa kamu bilang? Aku tidak bisa mendengar suaramu.” Olivia berujar sebal karena suara Darren terbata-bata. 59 saat berlari mendapatkan satu menit. Akhirnya, suara Darren terputus dan hilang tak bisa dijejaki.“Sebenarnya ada apa dia meneleponku? Mengganggu aja,” gerutunya.Di satu tempat, Darren sedang sekarat menanti ajal setelah dadanya berkali-kali ditusuk oleh adik perempuannya, Emily.“Lihatlah, betapa menyedihkan pengakhiran hidupmu,” cemooh Emily dengan tatapan penuh kebencian.Wanita itu berjongkok di sisi kakak pertamanya. “Darren… Darren… Kenapa kau tega sekali? Demi uang 35 juta dollar, kau bahkan sanggup menjual satu-satunya harta kesayangan mama. Apa kau lupa, mama kehilangan segalanya kecuali vila ini setelah papa membawa pelacurnya tinggal di mansion keluarga Grant?”“Sudah… tentu… aku… masih… ingat.” Darren tampak bersusah payah mengatur bicara.Menyeringai sinis, Emily menyentuh wajah Darren dengan ujung jari. “Kalau begitu, kenapa kau mengkhianati mama?”Sambil memegang dada yang terluka, Darren menyeluk saku celana. Keluarlah satu kalung perak dari sana. Dengan tangan menggeletar dia meletakkan kalung tersebut di atas telapak tangan Emily. “Karena… ini.”Wajah garang Emily berubah panik. “Dari mana kau mendapatkan kalung ini?!” 15 tahun lamanya dia tidak melihat kalung yang sentiasa dipakai neneknya.Mendiang nenek mereka, Nyonya Charlotte Grant mati lemas di laut setelah terjatuh dari kapal pesiar. Sehingga kini, jasadnya masih hilang.Darren tersenyum tipis ketika menyentuh pipi Emily. Seketika itu juga, jantungnya berhenti berdetak. Dia mati dengan mata terbuka memandang wajah sang adik buat kali terakhir.Emily terkesiap. Lantas ia memeriksa leher Darren. Tidak ada denyutan nadi di sana. Belum berputus asa, dia beralih ke hidung pria itu. Tidak ada embusan napas yang keluar. Tiap jemari runcingnya gemetar tak terkendalikan.“Tidak, Darren! Hei, bangun! Jangan membohongiku. Aku yakin kau belum mati.” Berkali-kali Emily menampar wajah Darren, berharap abangnya akan kembali hidup lalu memarahinya seperti yang sering pria itu lakukan. Namun, hampa. Harapan tinggal harapan. Sudah tidak ada lagi jalan pulang buat ruh yang kehilangan jasad.“Tidak… Kau tidak boleh mati!” Air mata Emily berlinang membasahi pipi saat Darren tak menyahut.“Fred!” panggilnya, lantang.Seorang pria bertubuh kekar yang sedang menunggu di tepi mobil segera berlari mendapatkan Emily. Seketika dia dilanda rasa kaget luar biasa saat melihat jasad tanpa nyawa kepunyaan putra sulung keluarga Grant yakni Darren Grant.“Ya...”“Bantu aku bawa Darren ke mobil,” titah Emily, dingin.Selesai membaringkan tubuh Darren di tempat penumpang, Emily menyelimuti tubuh abangnya dengan jas milik Fred.“Apa nona mau ke rumah sakit?” tanya Fred sebaik saja melihat wajah Emily yang memucat karena masih syok dengan kematian abangnya.“Tidak. Antar aku ke vila mama di puncak,” balas Emily seraya mengeluarkan sebilah belati dari tasnya.***Usai makan malam ringkas, Olivia menuju ke halaman belakang vila lalu merebahkan tubuhnya di atas rumput. Dia memandang langit dengan tatapan sebal.“Dasar Lucas sialan. Karena kamu, aku terpaksa membeli vila buruk di puncak ini dengan harga yang sangat mahal. Gara-gara kamu mau membatalkan pernikahan kita, aku tidak bisa pulang ke mansion. Argh, menyebalkan sekali!” pekik Olivia sembari melayangkan kedua tinjunya di udara, membuat isyarat tangan sedang menumbuk muka Lucas.Olivia menghela napas, berputus asa dengan takdir yang tertulis.‘Buat sementara waktu, aku harus bersembunyi di sini sehingga semuanya aman. Aku yakin Lucas sedang bertemu dengan keluarga besarnya untuk membicarakan pernikahan kami yang dibatalkan sepihak. Ya Tuhan, aku mohon. Bantu aku melewati semua ini,’ doanya bersungguh-sungguh di dalam hati.Di saat Olivia hanyut dalam memikirkan nasib malangnya, terdengar bunyi klakson mobil di depan vila. Keningnya berkerut. “Siapa pula yang datang malam-malam begini? Jangan-jangan Lucas?” tebak Olivia, asal-asalan. Dia mendadak bangkit dan berdiri sambil merapikan pakaiannya.“Aku benar-benar berharap bukan dia yang datang. Aku sudah muak mendengar rayuannya.” Olivia mendesis, jengkel.Mengatur langkah besar, wanita itu keluar dan menuju ke gerbang. Tampak di sana, seorang pria sedang berdiri penuh sabar menantikan dirinya.“Fred? Ada apa kamu kemari?” tanya Olivia, bingung sekaligus curiga. Seingatnya, dia tidak memiliki urusan dengan keluarga Grant selain Darren.“Oh itu… Ermmm…” Fred ragu-ragu untuk melanjutkan kalimat.“Aku yang mau bertemu denganmu.” Satu suara muncul bersamaan dengan terbukanya pintu mobil di tempat penumpang bagian depan. “Emily?!” Sepasang mata Olivia membulat kaget ketika melihat begitu banyak darah di pakaian Emily. Wajah wanita itu tampak pucat dan rambutnya kusut.Setapak demi setapak, Emily berusaha mendekati gerbang sebelum akhirnya dia jatuh pingsan.Tanpa merasa curiga apalagi bersangka buruk, tangan Olivia lantas membuka kunci gerbang. Yang memenuhi benak dan hatinya detik itu adalah Emily terluka parah dan dia harus menolongnya. Harus!“Ya Tuhan, apa yang telah terjadi padamu?” Olivia berbisik iba ketika memeriksa tubuh Emily. Tangannya menyentuh dahi adik perempuan Darren. “Dahinya panas. Sebentar lagi pasti dia demam.” Olivia langsung menoleh ke arah Fred. “Fred, kenapa bengong di situ? Ayo, kita bawa Nona Emily ke rumah sakit,” perintahnya dengan wajah serius.Namun, Fred bergeming tanpa mengindahkannya. Dia hanya berdiri di situ seperti menunggu sesuatu dengan wajah datar tak berperasaan. Tetapi… Olivia bisa mengesan ada rasa takut yang bersembunyi di balik netra Fred.‘Aneh! Apa dia tidak khawatir dengan kondisi Emily? Sebenarnya ada apa ini?’ Hati Olivia dipalu rasa curiga.Buk! Rasa sakit menjalar di tiap inci kepala Olivia. Matanya berkunang-kunang sebelum akhirnya dia pingsan setelah dipukul dengan batu berukuran sederhana. Serta-merta serdadu eritrosit mengalir keluar dari luka panjang di kepala menuju wajah mulusnya.Emily berdiri dengan senyum licik tersungging di bibir. Merasa menang bisa memperdaya aktris populer dengan aktingnya. Dia lantas menyerahkan batu yang telah digunakan untuk melukai Olivia kepada Fred.“Setelah urusanku di sini selesai, hapus semua bukti dan jangan tinggalkan jejak. Kalau perlu, hubungi Carlos dan Peter,” titah Emily, datar.Fred meneguk ludah. Rasa takut cepat sekali menyebar ke sekujur badannya setelah mendengar nama Carlos dan Peter disebut. Dia amat mengenali kedua orang itu. Mereka adalah adik kakak berotak kejam persis psikopat. Berbicara dengan mereka tidak bisa memakai hati melainkan uang dan emas. Sudah berulang kali Nyonya Serena melarang Emily dari terus berurusan dengan Carlos dan Peter namun wanita itu enggan menuruti nasihat malah terus menulikan telinga.“Ternyata dia baik juga mau membantuku tapi sayang, dia terlalu lugu. Apa dia pikir, dia akan terlepas dari menerima kutukan setelah berani menginjak kaki di vila kesayangan ibuku?” Wanita bermata gala
“Bagaimana aku tahu? Ayolah, gunakan otakmu. Ingat masa lalumu baik-baik,” desis Olivia, sinis. Senang sekali rasanya bisa mengusik jiwa Emily.Sekejap mata, Olivia mengerang kesakitan ketika Emily mendadak mencengkeram lehernya. Terasa nyata betapa tajamnya kuku wanita berotak rusak ini di kulit mulusnya.“Kau ingin mempermainkan aku, Olive? Asal kau tahu, wanita gila sepertiku tak mengenal arti sabar. Katakan sejujurnya atau kau mati di sini!” Netra Emily berubah tajam dan dia semakin mengetatkan cengkaman di leher Olivia.‘Sial! Wanita gila ini benar-benar ingin membunuhku.’ Dengan tangan dan kaki terikat, Olivia tak bisa mempertahankan diri. Urat lehernya menegang. Mukanya memerah kala berusaha menarik napas. Namun semuanya terasa sukar. Tak lama, dadanya seperti terbakar gara-gara kekurangan oksigen. Bibirnya perlahan bertukar warna kebiru-biruan.“Kau cantik sekali. Andai saja kau bisa melihat wajahmu yang sedang sekarat, Olive.” Emily memuji dengan nada sarkastis. Segaris senyu
‘Jadi Adam masih tidak tahu kalau Nona Hudson itu adalah Olivia Hudson, aktris populer di kota ini,’ batin Hilda menimpali.“Bercanda tidak ada dalam kamus hidupku. Satu hal yang harus kamu tahu, aku sama sekali tidak peduli padanya,” tekan Adam, terdengar sangat meyakinkan.Namun, Hilda masih belum puas.“Kalau tidak peduli, mengapa kamu repot-repot mau menyelamatkannya?” Nada suara Hilda dipenuhi rasa cemburu.Adam baru saja ingin membalas pertanyaan istrinya ketika bunyi klakson truk bergema. Tak lama kemudian, satu cahaya yang sangat terang muncul tepat di depan limosin mereka.***Keringat merenik-renik di dahi Olivia meskipun dia sudah menurunkan semua jendela mobil. Entah mengapa angin malam yang seharusnya menyamankan tubuh berubah menjadi pawana yang membakar tiap inci kulitnya. Bunyi klakson bertalu-talu dari mobil Emily yang masih mengekor rapat di belakang mobilnya semakin mendera jiwa Olivia.“Ternyata wanita sinting ini masih belum menyerah selagi tidak berhasil membunu
“Pergi! Jangan mendekat!” bentak Hilda. Riak gelisah tampak nyata di mukanya. Telapak tangan mulai berkeringat seiring dengan perubahan warna muka yang memucat.Emily cuma mengorak senyum bengis. Semakin dilarang, semakin tinggi keinginannya untuk menuntaskan dendam. Lagian sudah bertahun-tahun dia memendam rasa amarah terhadap perempuan miskin berhati iblis ini. Dulu sempat dia membenci Tuhan karena membiarkan dirinya dirundung Hilda namun hari ini, dia ingin menarik kembali perasaan itu.“Aku bilang pergi!” teriak Hilda lantang seraya melepaskan stileto lalu melempar sepatu hak tinggi itu kepada Emily. Malangnya, Emily sempat menghindar lalu dengan santai mengambil stileto berwarna merah tersebut.“Wah, ini stileto dari merek eksklusif. Hanya ada tiga di negara ini. Kalau tak salah, harganya 300 ribu dollar,” ujarnya, ringan. “Bagai… bagaimana kamu tahu?” Hilda bertanya, takut-takut berani.Ujung sudut bibir Emily terangkat. Merasa lucu dengan pertanyaan Hilda yang menurutnya sanga
Adam Knight terus berlari tanpa menoleh ke belakang meskipun telinganya bisa mendengar suara Hilda yang melarangnya pergi.‘Maafkan aku, Hilda. Aku terpaksa meninggalkanmu demi menyelamatkan Nona Hudson. Aku tidak peduli jika Papa ingin menyerahkan seluruh hartanya kepada anak haram itu tetapi aku tidak rela melihat Mama terluka. Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu, Mama akan dipukul sehingga mati.’ Sebaik saja tiba di tepi tebing, Adam terpaku ketika melihat mobil mewah Nona Hudson dalam posisi terbalik di dalam jurang. Tangannya segera merogoh saku jas, mencari ponsel untuk menelepon pengawal pribadinya, Robert.“Sial! Ponselku ketinggalan di mobil bahkan ponsel cadangan juga ada di tangan Emily.” Pria itu mendesah sebal.Dia dalam dilema sekarang. Jika turun ke jurang sendirian, itu namanya sengaja mencari mati. Namun, kalau dia terus berdiam di sini tanpa berbuat apa-apa, nyawa Nona Hudson bisa terancam.Adam mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada rasa hampa
Lucas mengerling ke arah jam yang berdiri teguh di atas nakas. “Sudah jam 2 pagi tapi aku masih tak bisa memejamkan mata.”Irisnya merenung plafon dengan tatapan kosong. Hati langsung merusuh saat si otak memainkan ingatan yang terjadi sewaktu pertemuannya dengan Olivia. Wajah marah bercampur kecewa sang mantan terbayang dalam pandangannya.“Maafkan aku, Via. Tapi aku tidak boleh menikahimu. Hatiku tidak bisa memilih kamu karena…,” Tak ingin menyudahi kalimat, Lucas lantas meraup mukanya.Andai saja dia mempunyai kekuatan untuk jujur pada Olivia tentang hal yang sesungguhnya, pasti… Ah, sudahlah. Lagian, semuanya telah berakhir. Tidak ada gunanya menyesali hal yang telah terjadi.Ponsel pintar Lucas berdering, memusnahkan lamunan yang bermain di kepala. Pria itu mendengkus sebal, merasa terganggu. Segera jarinya menggeser skrin ponsel kala melihat nama sang manajer sekaligus sepupunya, Edward Sullivan.“Ada apa, Ed? Kalau kau ingin mengajakku ke klub, maaf aku tidak mau,” ujar Lucas
“Hah, cinta?! Kau pikir dengan cinta, perutmu bisa kenyang, rasa hausmu bisa hilang?” sindir Tuan Ingomar. Wajahnya menyiratkan keangkuhan yang sama sekali tidak coba ia tutupi.“Aku–” Lucas tak berhasil membela diri sendiri, kalimatnya tergantung tak terselesaikan. Sambil menepuk dada, Tuan Ingomar memangkas perkataan Lucas dengan berujar lantang, “dengarkan kata pria tua ini, cucuku. Sudah banyak garam kesusahan hidup yang telah aku telan sebelum kau lahir ke dunia ini.” Ia memelototi Lucas. Tajam yang bisa menebas nyali siapa pun.“Kalau kau mau hidup tenang dan bahagia, kau harus punya uang! Punya harta tak habis dimakan tujuh turunan. Lihat ibumu. Dia bahkan sanggup menusuk belakang sahabat baiknya demi mendapatkan ayahmu. Dulunya dia tinggal di gubuk reyot tetapi setelah menikah dengan ayahmu, dia menjadi nyonya kedua di Sullivan Manor.”Sengaja pria berusia 85 tahun itu membakar jiwa anak dan cucunya. Seringai puas terpahat di wajah Tuan Ingomar setelah ia melampiaskan amarah
“Ermm… Saya mendengar Tuan Marcus ingin bertemu Tuan Xavier di Rumah Sakit Royal Knight.”‘Pasti Olivia dan Adam dirawat di rumah sakit itu. Bagus! Rencana terakhirku pasti berhasil.’Emily bersorak senang di dalam hati.“Bagaimana dengan wanita jalang itu? Apa dia ikut bersama Papa?” selidiknya lagi.“Tidak, Nona. Barbara sedang tidur di kamarnya,” balas si pelayan, cepat.Di mansion keluarga Grant, semua pelayan memanggil Barbara dengan sebutan nama bukan Nyonya Barbara atas perintah mendiang orang tua Marcus Grant untuk menghormati kedudukan Nyonya Serena sebagai istri sah.“Bagus! Aku ada tugas penting buat kamu. Beri tahu semua pelayan untuk mengunci pintu kamar mereka. Tidak boleh keluar walau apa pun yang terjadi. Siapa yang ingkar, akan dicambuk sehingga mati. Mengerti?” Emily mengeluarkan perintah dengan ekspresi kejam tergambar di wajah cantiknya.“Saya mengerti, Nona.” Sang pelayan tak punya pilihan lain selain mengangguk. Dia lantas melebarkan langkah menuju kamar pekerja