Share

Part 5 | Sebuah Kutukan

Mobil mewah yang membawa putri tunggal keluarga Hudson berhenti tepat di depan gerbang sebuah vila.

“Akhirnya, aku sudah sampai.” Olivia lekas menutup pintu mobil lalu menggeliat perlahan. Rasa pegal menyerang seluruh anggota badan setelah tiga jam menyetir tanpa istirahat.

Kedua mata Olivia tertuju ke plakat yang ditampal di tembok vila. 

Tidak diizinkan masuk ke Vila kesayangan Nyonya Serena Grant. Sesiapa yang ingkar, akan ditimpa kutukan dan nasibnya apes tidak tertolong.

“Kalau benar sayang, kenapa vila ini harus dijual? Ayolah, Nyonya Grant. Kau suka sekali bercanda. Kutukan? Bullshit. Asal kau tahu, sebelum kakiku menyentuh tanah milik keluarga Grant, kesialan sudah lama mengekoriku. Bahkan baru saja ia mengotori wajahku dengan keputusan Lucas yang ingin membatalkan rencana pernikahan kami,” sinis Olivia sebelum mencibir.

Suara guntur tiba-tiba terdengar. Olivia lantas menatap langit. 

‘Aneh, langit tampak cerah dan tidak ada tanda-tanda mau hujan.’ Olivia membatin, sedikit khawatir. Namun, perasaan itu segera ia usir. Langkah kakinya diatur menuju ke pintu utama vila.

Baru saja dia memutar tombol pintu, ponselnya berdering. Nama Darren Busuk tertera di layar ponsel. Tak punya pilihan, dia menerima panggilan itu sambil mendengus kasar.

“Apa lagi yang kau mau? Bukankah aku sudah membayar 35 juta untuk vila buruk ini?” sambar Olivia sebelum Darren sempat berkata apa-apa.

Di ujung sana, suara Darren sekejap muncul, sekejap hilang.

“Apa kamu bilang? Aku tidak bisa mendengar suaramu.” Olivia berujar sebal karena suara Darren terbata-bata. 59 saat berlari mendapatkan satu menit. Akhirnya, suara Darren terputus dan hilang tak bisa dijejaki.

“Sebenarnya ada apa dia meneleponku? Mengganggu aja,” gerutunya.

Di satu tempat, Darren sedang sekarat menanti ajal setelah dadanya berkali-kali ditusuk oleh adik perempuannya, Emily.

“Lihatlah, betapa menyedihkan pengakhiran hidupmu,” cemooh Emily dengan tatapan penuh kebencian.

Wanita itu berjongkok di sisi kakak pertamanya. 

“Darren… Darren… Kenapa kau tega sekali? Demi uang 35 juta dollar, kau bahkan sanggup menjual satu-satunya harta kesayangan mama. Apa kau lupa, mama kehilangan segalanya kecuali vila ini setelah papa membawa pelacurnya tinggal di mansion keluarga Grant?”

“Sudah… tentu… aku… masih… ingat.” Darren tampak bersusah payah mengatur bicara.

Menyeringai sinis, Emily menyentuh wajah Darren dengan ujung jari. “Kalau begitu, kenapa kau mengkhianati mama?”

Sambil memegang dada yang terluka, Darren menyeluk saku celana. Keluarlah satu kalung perak dari sana. Dengan tangan menggeletar dia meletakkan kalung tersebut di atas telapak tangan Emily. 

“Karena… ini.”

Wajah garang Emily berubah panik. 

“Dari mana kau mendapatkan kalung ini?!” 15 tahun lamanya dia tidak melihat kalung yang sentiasa dipakai neneknya.

Mendiang nenek mereka, Nyonya Charlotte Grant mati lemas di laut setelah terjatuh dari kapal pesiar. Sehingga kini, jasadnya masih hilang.

Darren tersenyum tipis ketika menyentuh pipi Emily. Seketika itu juga, jantungnya berhenti berdetak. Dia mati dengan mata terbuka memandang wajah sang adik buat kali terakhir.

Emily terkesiap. Lantas ia memeriksa leher Darren. Tidak ada denyutan nadi di sana. Belum berputus asa, dia beralih ke hidung pria itu. Tidak ada embusan napas yang keluar. Tiap jemari runcingnya gemetar tak terkendalikan.

“Tidak, Darren! Hei, bangun! Jangan membohongiku. Aku yakin kau belum mati.” Berkali-kali Emily menampar wajah Darren, berharap abangnya akan kembali hidup lalu memarahinya seperti yang sering pria itu lakukan. Namun, hampa. Harapan tinggal harapan. Sudah tidak ada lagi jalan pulang buat ruh yang kehilangan jasad.

“Tidak… Kau tidak boleh mati!” Air mata Emily berlinang membasahi pipi saat Darren tak menyahut.

“Fred!” panggilnya, lantang.

Seorang pria bertubuh kekar yang sedang menunggu di tepi mobil segera berlari mendapatkan Emily. Seketika dia dilanda rasa kaget luar biasa saat melihat jasad tanpa nyawa kepunyaan putra sulung keluarga Grant yakni Darren Grant.

“Ya...”

“Bantu aku bawa Darren ke mobil,” titah Emily, dingin.

Selesai membaringkan tubuh Darren di tempat penumpang, Emily menyelimuti tubuh abangnya dengan jas milik Fred.

“Apa nona mau ke rumah sakit?” tanya Fred sebaik saja melihat wajah Emily yang memucat karena masih syok dengan kematian abangnya.

“Tidak. Antar aku ke vila mama di puncak,” balas Emily seraya mengeluarkan sebilah belati dari tasnya.

***

Usai makan malam ringkas, Olivia menuju ke halaman belakang vila lalu merebahkan tubuhnya di atas rumput. Dia memandang langit dengan tatapan sebal.

“Dasar Lucas sialan. Karena kamu, aku terpaksa membeli vila buruk di puncak ini dengan harga yang sangat mahal. Gara-gara kamu mau membatalkan pernikahan kita, aku tidak bisa pulang ke mansion. Argh, menyebalkan sekali!” pekik Olivia sembari melayangkan kedua tinjunya di udara, membuat isyarat tangan sedang menumbuk muka Lucas.

Olivia menghela napas, berputus asa dengan takdir yang tertulis.

‘Buat sementara waktu, aku harus bersembunyi di sini sehingga semuanya aman. Aku yakin Lucas sedang bertemu dengan keluarga besarnya untuk membicarakan pernikahan kami yang dibatalkan sepihak. Ya Tuhan, aku mohon. Bantu aku melewati semua ini,’ doanya bersungguh-sungguh di dalam hati.

Di saat Olivia hanyut dalam memikirkan nasib malangnya, terdengar bunyi klakson mobil di depan vila. Keningnya berkerut. 

“Siapa pula yang datang malam-malam begini? Jangan-jangan Lucas?” tebak Olivia, asal-asalan. Dia mendadak bangkit dan berdiri sambil merapikan pakaiannya.

“Aku benar-benar berharap bukan dia yang datang. Aku sudah muak mendengar rayuannya.” Olivia mendesis, jengkel.

Mengatur langkah besar, wanita itu keluar dan menuju ke gerbang. Tampak di sana, seorang pria sedang berdiri penuh sabar menantikan dirinya.

“Fred? Ada apa kamu kemari?” tanya Olivia, bingung sekaligus curiga. Seingatnya, dia tidak memiliki urusan dengan keluarga Grant selain Darren.

“Oh itu… Ermmm…” Fred ragu-ragu untuk melanjutkan kalimat.

“Aku yang mau bertemu denganmu.” Satu suara muncul bersamaan dengan terbukanya pintu mobil di tempat penumpang bagian depan. 

“Emily?!” Sepasang mata Olivia membulat kaget ketika melihat begitu banyak darah di pakaian Emily. Wajah wanita itu tampak pucat dan rambutnya kusut.

Setapak demi setapak, Emily berusaha mendekati gerbang sebelum akhirnya dia jatuh pingsan.

Tanpa merasa curiga apalagi bersangka buruk, tangan Olivia lantas membuka kunci gerbang. Yang memenuhi benak dan hatinya detik itu adalah Emily terluka parah dan dia harus menolongnya. Harus!

“Ya Tuhan, apa yang telah terjadi padamu?” Olivia berbisik iba ketika memeriksa tubuh Emily. Tangannya menyentuh dahi adik perempuan Darren. “Dahinya panas. Sebentar lagi pasti dia demam.” Olivia langsung menoleh ke arah Fred. “Fred, kenapa bengong di situ? Ayo, kita bawa Nona Emily ke rumah sakit,” perintahnya dengan wajah serius.

Namun, Fred bergeming tanpa mengindahkannya. Dia hanya berdiri di situ seperti menunggu sesuatu dengan wajah datar tak berperasaan. Tetapi… Olivia bisa mengesan ada rasa takut yang bersembunyi di balik netra Fred.

‘Aneh! Apa dia tidak khawatir dengan kondisi Emily? Sebenarnya ada apa ini?’ Hati Olivia dipalu rasa curiga.

Buk! 

Rasa sakit menjalar di tiap inci kepala Olivia. Matanya berkunang-kunang sebelum akhirnya dia pingsan setelah dipukul dengan batu berukuran sederhana. Serta-merta serdadu eritrosit mengalir keluar dari luka panjang di kepala menuju wajah mulusnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status