Share

Part 8 | Kecelakaan

‘Jadi Adam masih tidak tahu kalau Nona Hudson itu adalah Olivia Hudson, aktris populer di kota ini,’ batin Hilda menimpali.

“Bercanda tidak ada dalam kamus hidupku. Satu hal yang harus kamu tahu, aku sama sekali tidak peduli padanya,” tekan Adam, terdengar sangat meyakinkan.

Namun, Hilda masih belum puas.

“Kalau tidak peduli, mengapa kamu repot-repot mau menyelamatkannya?” Nada suara Hilda dipenuhi rasa cemburu.

Adam baru saja ingin membalas pertanyaan istrinya ketika bunyi klakson truk bergema. Tak lama kemudian, satu cahaya yang sangat terang muncul tepat di depan limosin mereka.

***

Keringat merenik-renik di dahi Olivia meskipun dia sudah menurunkan semua jendela mobil. Entah mengapa angin malam yang seharusnya menyamankan tubuh berubah menjadi pawana yang membakar tiap inci kulitnya. 

Bunyi klakson bertalu-talu dari mobil Emily yang masih mengekor rapat di belakang mobilnya semakin mendera jiwa Olivia.

“Ternyata wanita sinting ini masih belum menyerah selagi tidak berhasil membunuhku,” gumamnya, sebal.

BRAK!

Saat melewati jalan yang sempit dan berbelok-belok, belakang mobil Olivia sengaja ditabrak Emily. Hampir saja mobilnya melanggar pengadang di tepi jalan.

“Dasar wanita gila!” umpat Olivia, gusar. “Sepertinya, dia benar-benar ingin aku mati.” Dia lantas menelan ludah, membasahi kerongkongan yang tetiba terasa kering.

Mau tak mau, Olivia harus menambah kelajuan mobil hingga menyentuh angka maksimum.

“Kau ingin melarikan diri, huh? Jangan mimpi! Aku tidak akan membiarkanmu terlepas.” Emily menginjak pedal gas, mencoba mengejar mobil Olivia yang sudah jauh di depannya.

“Tuhan, aku mohon… Selamatkan aku…” doa Olivia dengan segenap hati. Jemarinya gemetar ketika memutar setir untuk membelok ke kanan, menuju kota Dashville. 

TINNN!!! 

Bunyi klakson dari kendaraan besar di depan mata berhasil memekakkan telinga Olivia. Tak bisa berpikir panjang, dengan pantas dia membanting setir untuk menghindari truk pengangkut barang. 

Namun, nasib malang terus mengejar Olivia. Mobilnya tak sengaja ditabrak sebuah limosin yang berada di belakang truk tersebut. 

“Arghh!” Olivia menjerit cemas saat bunyi benturan terdengar jelas di telinganya.

Mobil Olivia berpusing beberapa kali sebelum jatuh dari tebing bukit, sementara limosin itu menabrak pengadang di tepi jalan. Sopir truk yang diterpa rasa takut lekas melarikan diri dari tempat kecelakaan.

Emily sontak memijak pedal rem. Matanya bergetar tak percaya saat menjadi saksi mobil mewah Olivia jatuh ke jurang.

“Dia pasti… sudah mati,” gumam Emily, sangat yakin. Dia lantas keluar dari perut mobilnya.

Netranya menatap tajam limosin yang berada di pinggir jalan. “Aku harus mengecek mobil itu. Siapa tahu, ada saksi mata yang masih hidup. Tidak bisa dibiarkan.”

Tiba-tiba, seorang pria bertubuh atletis keluar dari limosin itu. Sambil mulutnya mengeluarkan makian, dia berkali-kali menendang ban mobil.

Emily berdecak heran. “Oh ho! Sepertinya kita memang ditakdirkan bersama, Adam Knight.”

Melajukan langkah, dia mendekati Adam dengan senyum manis mengapung di bibir.

“Adam?” panggil Emily, pelan. Jemarinya menyentuh pundak pria yang sedang berusaha menelepon seseorang.

Sebaik saja Adam melihat wajah Emily, kemarahan langsung menghanguskan dadanya. Dia memutar tubuh, berhadapan muka dengan wanita yang menjadi akar segala kejahatan.

PLAK!

Lima jari Adam menampar keras pipi mulus Emily. Saking kerasnya, ujung bibir wanita itu pecah lantas mengeluarkan darah dan telinganya berdenging seketika. 

“Ini semua salahmu! Gara-gara kau ingin melukai Nona Hudson, Papa memerintahkan aku untuk mencegahmu dan menyelamatkan wanita sialan itu. Lihat apa yang terjadi sekarang. Aku dan istriku ditimpa celaka bahkan sopirku pingsan karena terlalu kaget. Limosin milik Papa juga rusak. Dasar bodoh!” bentak Adam sambil menunjal dahi Emily.

‘Luar biasa sekali. Kau benar-benar mencintai Hilda sampai tidak menyadari wanita yang kau cari telah mati di jurang. Kalau begitu, aku tahu hukuman apa yang pantas kau dapatkan, Adam,’ Emily membatin, penuh dendam.

Bukannya mengeluarkan amarah karena ditampar, Emily malah tertawa besar. Merasa lucu dengan semua kata-kata yang terlempar dari mulut Adam.

“Sudah puas memaki dan menghinaku, Tuan Adam Knight yang terhormat?” sindir Emily seraya menyeka darah di ujung bibir.

“Kau–” Bicara Adam terhenti sebaik saja Emily mengeluarkan revolver yang sejak awal dia sembunyikan di belakang pinggangnya.

“Kau terlalu banyak bicara dan tamparanmu… sangat menyakitkan. Sekali lagi kau menyentuhku, aku tidak akan berpikir dua kali untuk membunuhmu.”

DOR! 

Sengaja Emily menembak ke atas sebagai peringatan. 

Di dalam limosin, Hilda lantas memeluk tubuhnya sembari memejamkan mata. “Tuhan, jangan biarkan wanita jahat itu menyakiti suamiku,” doanya sepenuh jiwa.

“Izinkan aku menasihatimu. Daripada kau membuang waktu memarahiku, lebih baik kau pergi ke sana. Aku yakin kau pasti melihat satu mobil mewah jatuh ke jurang setelah sopirmu menabraknya,” ujar Emily dengan suara mengejek.

“Bukan urusanku! Kalau kau khawatir akan nyawa pengemudi itu, kau saja yang menelepon rumah sakit untuk menghantar ambulans kemari. Aku tidak mau terlibat dalam kasus ini,” sahut Adam, sengit. Tiada walau sekelumit perasaan kemanusiaan dalam hatinya.

Emily tertawa besar hingga matanya berair.

“Kenapa kau tertawa, hah? Apanya yang lucu?” tanya Adam, geram sambil mengepalkan tinju.

“Aku tertawa karena baru hari ini aku sadar hatimu terbuat dari batu,” cemooh Emily. Sejujurnya dia menyesal pernah menyukai pria berdarah dingin seperti Adam.

“Aku sama sekali tak peduli dengan hinaanmu. Lekas katakan, di mana kau mengurung Nona Hudson?” desak Adam.

“Berikan aku ponselmu,” titah Emily tanpa menjawab pertanyaan Adam. “Sekarang!” tengkingnya sambil mengacukan revolver ke arah pria itu.

Suka tak suka, Adam terpaksa menyerahkan ponselnya kepada Emily. 

“Ah, ini ponsel keduamu, kan?” seloroh Emily ketika jarinya sibuk mencari nomor ponsel Tuan Besar Knight.

Adam cuma menjeling, sebal.

“Tuan Besar Knight, ini aku, Emily Grant. Maaf karena mengganggu tidurmu tapi aku harus memberitahumu satu berita penting. Perempuan yang sudah kau anggap sebagai putri kandungmu yaitu Nona Olivia Hudson…” Sengaja dia berjeda untuk memberikan sensasi kegelisahan kepada Adam. Dia tertawa jahat sebelum kembali menyambung bicaranya, “telah mati gara-gara mobilnya ditabrak limosin Tuan Adam Knight, putramu sendiri.” Usai memberi kabar buruk, Emily langsung saja mematikan ponsel.

Adam tertegun. Otaknya terasa kosong. Lidahnya kelu tak bisa berkata apa pun. 

“Bukankah sejak awal aku sudah menasihatimu?” Emily mengedipkan mata.

“Pergilah ke jurang sana sebelum mobilnya meledak. Jika hal itu terjadi, kau pasti akan dipenggal oleh ayahmu dan Aaron akan menjadi penerus yang menguasai semua kekayaan keluarga Knight,” ujar Emily sebelum menyeringai jahat.

“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!” balas Adam, garang.

“Oh, benarkah?” Emily sengaja membulatkan mata lalu menutup mulut dengan jemari lancipnya.

Malas bertengkar, Adam Knight segera meninggalkan Emily lalu berlari menuju jurang. 

‘Ternyata mudah sekali membohongimu. Dasar pria bodoh. Gara-gara terlampau takut ditembak, kau terlupa satu perkara penting. Mana berani aku menelepon ayahmu yang terkenal bengis itu apalagi mengabarkan kematian Olivia kepadanya. Salah bicara, lidahku yang akan dipotongnya.’ Emily hanya bisa berkata dalam hati.

“Sayang, kamu mau ke mana?! Adam, jangan tinggalkan aku di sini. Di sini ada wanita gila. Dia akan membunuhku!” teriak Hilda dari pintu mobil ketika melihat Adam berlari ke jurang.

Emily berdecak jengkel.

“Ah iya. Hampir saja aku melupakan wanita sialan ini.” Dia menghampiri Hilda setapak demi setapak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status