Share

Part 9 | Menuntaskan Dendam

“Pergi! Jangan mendekat!” bentak Hilda. Riak gelisah tampak nyata di mukanya. Telapak tangan mulai berkeringat seiring dengan perubahan warna muka yang memucat.

Emily cuma mengorak senyum bengis. Semakin dilarang, semakin tinggi keinginannya untuk menuntaskan dendam. Lagian sudah bertahun-tahun dia memendam rasa amarah terhadap perempuan miskin berhati iblis ini. Dulu sempat dia membenci Tuhan karena membiarkan dirinya dirundung Hilda namun hari ini, dia ingin menarik kembali perasaan itu.

“Aku bilang pergi!” teriak Hilda lantang seraya melepaskan stileto lalu melempar sepatu hak tinggi itu kepada Emily. Malangnya, Emily sempat menghindar lalu dengan santai mengambil stileto berwarna merah tersebut.

“Wah, ini stileto dari merek eksklusif. Hanya ada tiga di negara ini. Kalau tak salah, harganya 300 ribu dollar,” ujarnya, ringan. 

“Bagai… bagaimana kamu tahu?” Hilda bertanya, takut-takut berani.

Ujung sudut bibir Emily terangkat. Merasa lucu dengan pertanyaan Hilda yang menurutnya sangat bodoh.

“Bagaimana aku bisa tahu? Yah, karena aku juga punya satu. Dan… aktris populer, Olivia Hudson juga memiliki stileto eksklusif ini. Tuan Besar Knight yang membeli khusus untuknya,” jelasnya tanpa berselindung.

Hilda mengepalkan tangan saat mendengar nama Olivia disebut. ‘Sekarang aku mengerti mengapa pria tua itu memarahi Adam karena membelikan aku stileto ini. Dia tidak suka aku memiliki apa pun yang Olivia mau,’ batinnya menggeram.

“Tapi, menurutku bukanlah sesuatu yang aneh kalau aku dan Olivia bisa memiliki sepatu mahal dan eksklusif. Karena apa? Karena kami berdua dari keluarga yang terhormat dan berharta.” 

Emily diam seketika sebelum kembali menyusun kalimat pedas.

“Ah, benar. Aku masih ingat saat SMP, kau sering mengemis sisa makanan dari Billy’s Restaurant. Jelaskan padaku bagaimana perempuan fakir miskin sepertimu bisa mengenakan gaun cantik dan stileto mahal? Apa kau telah menghabiskan seluruh uang tabungan demi sepasang stileto?” Emily bertanya dengan kening berkerut, berpura-pura bodoh. 

Hilda tak mampu membalas. Memang benar apa yang dikatakan oleh Nona Grant itu. Di masa lalu, dia bertahan hidup atas rasa belas kasih orang lain padanya. Ibunya, Barbara bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah kabaret dan wanita itu sering meninggalkan dirinya di restoran paman Billy. Pria tua berhati mulia itulah yang sering memberinya makanan dan sedikit uang.

“Kenapa diam? Oh, aku tahu. Pasti kau mendapatkan segala kemewahan ini setelah melebarkan paha di depan Adam seperti ajaran ibumu,” cemooh Emily seraya terkekeh geli.

Hilda menelan ludah. Rasanya pahit sekali. Apa dia sakit hati? Tentu saja. Namun, dia bisa apa sekarang? Mau Marah? Tidak bisa. Mau baku hantam dan jambak-jambakan? Yah, itu sangatlah mustahil karena Emily memiliki senjata api. Dia pasti kalah telak jika coba melawan wanita galak ini dengan tangan kosong.

Lebih menyakitkan hati, suami yang dia pikir bisa melindunginya telah kabur demi menyelamatkan putri angkat kesayangan Tuan Besar Knight. Betapa apes dirinya! 

Yang mampu dia lakukan detik ini hanyalah… Bertekuk lutut.

“Maafkan aku, Emily,” lirih Hilda, sayu. Matanya tampak berkaca-kaca menahan tangis.

Ya! Hilda Montgomery akhirnya berlutut memohon maaf di depan Emily Grant, perempuan yang sering dia bully selama di bangku SMA.

“Wah, aku tidak pernah mengira kalau kau sanggup berlutut di depanku,” sinis Emily sembari berjongkok di depan Hilda. 

Mata kedua perempuan itu bertemu. Tubuh Hilda menggigil ketakutan ketika melihat kilatan kebencian dari tatapan tajam Emily. 

“11 tahun lamanya aku menunggu. Akhirnya…”

“Emily, aku tahu… kau masih marah padaku tapi aku mohon, berilah kemaafan padaku. Aku tidak… pernah berniat untuk merundungmu. Rekan sekelas kita… Merekalah yang memaksaku,” tutur Hilda, terbata-bata. Melempar kesalahan kepada orang lain lalu berpura-pura menjadi korban adalah satu-satunya senjata yang dia punya demi melepaskan diri dari amukan Emily Grant.

Emily tertawa keras. Luar biasa sekali akting perempuan murahan ini! Apa dia pikir, aku akan percaya dengan kata-katanya?

“Bahkan di saat kau hampir mati, tetap saja mulutmu ringan memfitnah orang lain. Apa katamu barusan? Tak berniat untuk merundungku? Omong kosong!”

Pipi kanan dan kiri Hilda digempur lima jari Emily. Lantas, wanita itu mengerang kesakitan. Kedua pipinya terasa perih. Dia yakin, setelah ini wajahnya pasti membengkak.

“Oh, Hilda… Maafkan aku. Aku tidak sengaja menamparmu. Hanya saja, aku tak bisa menahan tanganku,” sarkas Emily. Rasa gembira bisa menyakiti Hilda menyelimuti hati.

“Aku mohon, lepaskan aku…” Hilda menundukkan kepalanya seraya menggenggam kedua tangan erat-erat. Air mata akhirnya tumpah. Dua tamparan keras dari Emily berhasil membuat mentalnya terguncang dan dia tidak sanggup untuk menerima hukuman selanjutnya.

“Kau tahu, Hilda. Melihatmu putus asa begini sangat menyenangkan hatiku.” Tak mengenal arti kasihan, dia menjambak kasar rambut ikal mayang musuhnya.

“Arkh!” Dengan mata terpejam, Hilda mengaduh sakit.

“Bukankah dulu aku sering memohon padamu agar berhenti menggangguku? Apa kau masih ingat akan jawabanmu saat itu? Kau bilang, anjing gila sepertiku harus diberi pelajaran. Aku harus tahu diri di mana posisiku setelah ibumu menjadi ratu di mansion keluarga Grant,” sindir Emily, tajam nan pedas.

“Maafkan aku… Saat itu aku masih muda dan tak berpikir panjang,” rayu Hilda sambil menangis.

“Jawaban klise yang amat… memuakkan. Baiklah, aku beri satu kesempatan lagi padamu. Dalam waktu lima menit, kau harus pergi dari tempat ini. Jika kau gagal, nyawamu menjadi milikku.” Emily berbisik lembut lalu melepaskan rambut Hilda.

Otak Hilda menjerit lantang, menyuruhnya segera melarikan diri namun tubuhnya tetap bergeming serasa tersihir dengan senyuman manis Emily yang terlihat sangat mengerikan di matanya.

“Satu menit telah berlalu, Hilda. Ayolah, buktikan padaku betapa kuatnya semangatmu untuk terus hidup.” Emily berujar dingin sedingin salju kutub selatan.

Hilda bangkit berdiri. Lututnya gemetar karena takut. Perlahan dia membuka langkah, menjauh dari Emily lalu mendekati limosin.

“1, 2, 3,...” Hilda tak menyadari kalau Emily sedang menghitung langkah kakinya.

“20. Baiklah, sudah tiba waktunya untuk aku menghabisimu,” gumam Emily seraya menodongkan revolver ke arah Hilda. Sebelah matanya tertutup kala membidik.

DOR!

Dia langsung menembak betis kiri Hilda menyebabkan wanita itu jatuh tersungkur. Melihat peluru terbenam di betis wanita itu menerbitkan rasa puas dalam hatinya.

“Kau curang!” teriak Hilda, terlalu emosi. Dahinya berkerut menahan sakit sambil memegang kakinya yang terluka.

Emily hanya bungkam seribu bahasa. Sama sekali tak terusik dengan jeritan protes dari istri Adam Knight.

“Bukankah kau telah berjanji akan melepaskanku?!” Hilda langsung melontarkan pertanyaan dengan nada suara tinggi sebaik saja Emily berada di dekatnya.

Dengan muka datar tak berperasaan, Emily membalas tenang, “Aku memang ingin melepaskanmu tetapi aku tidak bisa, Hilda. Ibumu telah melukai hati wanita yang sangat aku cinta yakni ibuku. Andai saja ibumu tidak pernah masuk ke dalam keluarga Grant, aku pasti bisa memaafkan dan membiarkan kau pergi tanpa terluka.”

“Pembohong! Sedari awal kau tidak pernah berniat untuk melepaskanku. Ngaku aja kalau kau sebenarnya ingin membunuhku, bukan? Dasar wanita gila!” 

Perut Hilda ditembak tanpa peringatan. Erangan dan rintihan kesakitan meletus dari mulut wanita itu lantas mengudara.

“Iya, aku memang wanita gila. Dan orang yang membuat aku menjadi gila adalah KAU!”

Sebutir peluru terbang lalu menembusi kepala Hilda, berhasil memisahkan roh dari jasad. Tubuh mungilnya tergeletak tak bernyawa bahkan darahnya bepercikan di mana-mana.

“Hilda, aku tidak akan membiarkan kau bertemu Tuhan sendirian. Tunggu saja. Ibumu akan menyusulimu.” 

Membuang napas panjang, Emily lega karena sukses menuntaskan segenap dendam yang selama ini bersemayam di jiwa. Kelopak matanya terpejam. 

Seketika itu juga, hujan lebat mengguyur perbukitan. Mengabaikan jasad Hilda yang dicium tetesan hujan, Emily merentangkan kedua belah tangannya ke kanan dan ke kiri lalu menari penuh gemulai sebagai tanda kemenangan.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
dayang ameerah
bagus ceritanya. Penasaran.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status