“Pergi! Jangan mendekat!” bentak Hilda. Riak gelisah tampak nyata di mukanya. Telapak tangan mulai berkeringat seiring dengan perubahan warna muka yang memucat.
Emily cuma mengorak senyum bengis. Semakin dilarang, semakin tinggi keinginannya untuk menuntaskan dendam. Lagian sudah bertahun-tahun dia memendam rasa amarah terhadap perempuan miskin berhati iblis ini. Dulu sempat dia membenci Tuhan karena membiarkan dirinya dirundung Hilda namun hari ini, dia ingin menarik kembali perasaan itu.“Aku bilang pergi!” teriak Hilda lantang seraya melepaskan stileto lalu melempar sepatu hak tinggi itu kepada Emily. Malangnya, Emily sempat menghindar lalu dengan santai mengambil stileto berwarna merah tersebut.“Wah, ini stileto dari merek eksklusif. Hanya ada tiga di negara ini. Kalau tak salah, harganya 300 ribu dollar,” ujarnya, ringan. “Bagai… bagaimana kamu tahu?” Hilda bertanya, takut-takut berani.Ujung sudut bibir Emily terangkat. Merasa lucu dengan pertanyaan Hilda yang menurutnya sangat bodoh.“Bagaimana aku bisa tahu? Yah, karena aku juga punya satu. Dan… aktris populer, Olivia Hudson juga memiliki stileto eksklusif ini. Tuan Besar Knight yang membeli khusus untuknya,” jelasnya tanpa berselindung.Hilda mengepalkan tangan saat mendengar nama Olivia disebut. ‘Sekarang aku mengerti mengapa pria tua itu memarahi Adam karena membelikan aku stileto ini. Dia tidak suka aku memiliki apa pun yang Olivia mau,’ batinnya menggeram.“Tapi, menurutku bukanlah sesuatu yang aneh kalau aku dan Olivia bisa memiliki sepatu mahal dan eksklusif. Karena apa? Karena kami berdua dari keluarga yang terhormat dan berharta.” Emily diam seketika sebelum kembali menyusun kalimat pedas.“Ah, benar. Aku masih ingat saat SMP, kau sering mengemis sisa makanan dari Billy’s Restaurant. Jelaskan padaku bagaimana perempuan fakir miskin sepertimu bisa mengenakan gaun cantik dan stileto mahal? Apa kau telah menghabiskan seluruh uang tabungan demi sepasang stileto?” Emily bertanya dengan kening berkerut, berpura-pura bodoh. Hilda tak mampu membalas. Memang benar apa yang dikatakan oleh Nona Grant itu. Di masa lalu, dia bertahan hidup atas rasa belas kasih orang lain padanya. Ibunya, Barbara bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah kabaret dan wanita itu sering meninggalkan dirinya di restoran paman Billy. Pria tua berhati mulia itulah yang sering memberinya makanan dan sedikit uang.“Kenapa diam? Oh, aku tahu. Pasti kau mendapatkan segala kemewahan ini setelah melebarkan paha di depan Adam seperti ajaran ibumu,” cemooh Emily seraya terkekeh geli.Hilda menelan ludah. Rasanya pahit sekali. Apa dia sakit hati? Tentu saja. Namun, dia bisa apa sekarang? Mau Marah? Tidak bisa. Mau baku hantam dan jambak-jambakan? Yah, itu sangatlah mustahil karena Emily memiliki senjata api. Dia pasti kalah telak jika coba melawan wanita galak ini dengan tangan kosong.Lebih menyakitkan hati, suami yang dia pikir bisa melindunginya telah kabur demi menyelamatkan putri angkat kesayangan Tuan Besar Knight. Betapa apes dirinya! Yang mampu dia lakukan detik ini hanyalah… Bertekuk lutut.“Maafkan aku, Emily,” lirih Hilda, sayu. Matanya tampak berkaca-kaca menahan tangis.Ya! Hilda Montgomery akhirnya berlutut memohon maaf di depan Emily Grant, perempuan yang sering dia bully selama di bangku SMA.“Wah, aku tidak pernah mengira kalau kau sanggup berlutut di depanku,” sinis Emily sembari berjongkok di depan Hilda. Mata kedua perempuan itu bertemu. Tubuh Hilda menggigil ketakutan ketika melihat kilatan kebencian dari tatapan tajam Emily. “11 tahun lamanya aku menunggu. Akhirnya…”“Emily, aku tahu… kau masih marah padaku tapi aku mohon, berilah kemaafan padaku. Aku tidak… pernah berniat untuk merundungmu. Rekan sekelas kita… Merekalah yang memaksaku,” tutur Hilda, terbata-bata. Melempar kesalahan kepada orang lain lalu berpura-pura menjadi korban adalah satu-satunya senjata yang dia punya demi melepaskan diri dari amukan Emily Grant.Emily tertawa keras. Luar biasa sekali akting perempuan murahan ini! Apa dia pikir, aku akan percaya dengan kata-katanya?“Bahkan di saat kau hampir mati, tetap saja mulutmu ringan memfitnah orang lain. Apa katamu barusan? Tak berniat untuk merundungku? Omong kosong!”Pipi kanan dan kiri Hilda digempur lima jari Emily. Lantas, wanita itu mengerang kesakitan. Kedua pipinya terasa perih. Dia yakin, setelah ini wajahnya pasti membengkak.“Oh, Hilda… Maafkan aku. Aku tidak sengaja menamparmu. Hanya saja, aku tak bisa menahan tanganku,” sarkas Emily. Rasa gembira bisa menyakiti Hilda menyelimuti hati.“Aku mohon, lepaskan aku…” Hilda menundukkan kepalanya seraya menggenggam kedua tangan erat-erat. Air mata akhirnya tumpah. Dua tamparan keras dari Emily berhasil membuat mentalnya terguncang dan dia tidak sanggup untuk menerima hukuman selanjutnya.“Kau tahu, Hilda. Melihatmu putus asa begini sangat menyenangkan hatiku.” Tak mengenal arti kasihan, dia menjambak kasar rambut ikal mayang musuhnya.“Arkh!” Dengan mata terpejam, Hilda mengaduh sakit.“Bukankah dulu aku sering memohon padamu agar berhenti menggangguku? Apa kau masih ingat akan jawabanmu saat itu? Kau bilang, anjing gila sepertiku harus diberi pelajaran. Aku harus tahu diri di mana posisiku setelah ibumu menjadi ratu di mansion keluarga Grant,” sindir Emily, tajam nan pedas.“Maafkan aku… Saat itu aku masih muda dan tak berpikir panjang,” rayu Hilda sambil menangis.“Jawaban klise yang amat… memuakkan. Baiklah, aku beri satu kesempatan lagi padamu. Dalam waktu lima menit, kau harus pergi dari tempat ini. Jika kau gagal, nyawamu menjadi milikku.” Emily berbisik lembut lalu melepaskan rambut Hilda.Otak Hilda menjerit lantang, menyuruhnya segera melarikan diri namun tubuhnya tetap bergeming serasa tersihir dengan senyuman manis Emily yang terlihat sangat mengerikan di matanya.“Satu menit telah berlalu, Hilda. Ayolah, buktikan padaku betapa kuatnya semangatmu untuk terus hidup.” Emily berujar dingin sedingin salju kutub selatan.Hilda bangkit berdiri. Lututnya gemetar karena takut. Perlahan dia membuka langkah, menjauh dari Emily lalu mendekati limosin.“1, 2, 3,...” Hilda tak menyadari kalau Emily sedang menghitung langkah kakinya.“20. Baiklah, sudah tiba waktunya untuk aku menghabisimu,” gumam Emily seraya menodongkan revolver ke arah Hilda. Sebelah matanya tertutup kala membidik.DOR!Dia langsung menembak betis kiri Hilda menyebabkan wanita itu jatuh tersungkur. Melihat peluru terbenam di betis wanita itu menerbitkan rasa puas dalam hatinya.“Kau curang!” teriak Hilda, terlalu emosi. Dahinya berkerut menahan sakit sambil memegang kakinya yang terluka.Emily hanya bungkam seribu bahasa. Sama sekali tak terusik dengan jeritan protes dari istri Adam Knight.“Bukankah kau telah berjanji akan melepaskanku?!” Hilda langsung melontarkan pertanyaan dengan nada suara tinggi sebaik saja Emily berada di dekatnya.Dengan muka datar tak berperasaan, Emily membalas tenang, “Aku memang ingin melepaskanmu tetapi aku tidak bisa, Hilda. Ibumu telah melukai hati wanita yang sangat aku cinta yakni ibuku. Andai saja ibumu tidak pernah masuk ke dalam keluarga Grant, aku pasti bisa memaafkan dan membiarkan kau pergi tanpa terluka.”“Pembohong! Sedari awal kau tidak pernah berniat untuk melepaskanku. Ngaku aja kalau kau sebenarnya ingin membunuhku, bukan? Dasar wanita gila!” Perut Hilda ditembak tanpa peringatan. Erangan dan rintihan kesakitan meletus dari mulut wanita itu lantas mengudara.“Iya, aku memang wanita gila. Dan orang yang membuat aku menjadi gila adalah KAU!”Sebutir peluru terbang lalu menembusi kepala Hilda, berhasil memisahkan roh dari jasad. Tubuh mungilnya tergeletak tak bernyawa bahkan darahnya bepercikan di mana-mana.“Hilda, aku tidak akan membiarkan kau bertemu Tuhan sendirian. Tunggu saja. Ibumu akan menyusulimu.” Membuang napas panjang, Emily lega karena sukses menuntaskan segenap dendam yang selama ini bersemayam di jiwa. Kelopak matanya terpejam. Seketika itu juga, hujan lebat mengguyur perbukitan. Mengabaikan jasad Hilda yang dicium tetesan hujan, Emily merentangkan kedua belah tangannya ke kanan dan ke kiri lalu menari penuh gemulai sebagai tanda kemenangan.***Adam Knight terus berlari tanpa menoleh ke belakang meskipun telinganya bisa mendengar suara Hilda yang melarangnya pergi.‘Maafkan aku, Hilda. Aku terpaksa meninggalkanmu demi menyelamatkan Nona Hudson. Aku tidak peduli jika Papa ingin menyerahkan seluruh hartanya kepada anak haram itu tetapi aku tidak rela melihat Mama terluka. Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu, Mama akan dipukul sehingga mati.’ Sebaik saja tiba di tepi tebing, Adam terpaku ketika melihat mobil mewah Nona Hudson dalam posisi terbalik di dalam jurang. Tangannya segera merogoh saku jas, mencari ponsel untuk menelepon pengawal pribadinya, Robert.“Sial! Ponselku ketinggalan di mobil bahkan ponsel cadangan juga ada di tangan Emily.” Pria itu mendesah sebal.Dia dalam dilema sekarang. Jika turun ke jurang sendirian, itu namanya sengaja mencari mati. Namun, kalau dia terus berdiam di sini tanpa berbuat apa-apa, nyawa Nona Hudson bisa terancam.Adam mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada rasa hampa
Lucas mengerling ke arah jam yang berdiri teguh di atas nakas. “Sudah jam 2 pagi tapi aku masih tak bisa memejamkan mata.”Irisnya merenung plafon dengan tatapan kosong. Hati langsung merusuh saat si otak memainkan ingatan yang terjadi sewaktu pertemuannya dengan Olivia. Wajah marah bercampur kecewa sang mantan terbayang dalam pandangannya.“Maafkan aku, Via. Tapi aku tidak boleh menikahimu. Hatiku tidak bisa memilih kamu karena…,” Tak ingin menyudahi kalimat, Lucas lantas meraup mukanya.Andai saja dia mempunyai kekuatan untuk jujur pada Olivia tentang hal yang sesungguhnya, pasti… Ah, sudahlah. Lagian, semuanya telah berakhir. Tidak ada gunanya menyesali hal yang telah terjadi.Ponsel pintar Lucas berdering, memusnahkan lamunan yang bermain di kepala. Pria itu mendengkus sebal, merasa terganggu. Segera jarinya menggeser skrin ponsel kala melihat nama sang manajer sekaligus sepupunya, Edward Sullivan.“Ada apa, Ed? Kalau kau ingin mengajakku ke klub, maaf aku tidak mau,” ujar Lucas
“Hah, cinta?! Kau pikir dengan cinta, perutmu bisa kenyang, rasa hausmu bisa hilang?” sindir Tuan Ingomar. Wajahnya menyiratkan keangkuhan yang sama sekali tidak coba ia tutupi.“Aku–” Lucas tak berhasil membela diri sendiri, kalimatnya tergantung tak terselesaikan. Sambil menepuk dada, Tuan Ingomar memangkas perkataan Lucas dengan berujar lantang, “dengarkan kata pria tua ini, cucuku. Sudah banyak garam kesusahan hidup yang telah aku telan sebelum kau lahir ke dunia ini.” Ia memelototi Lucas. Tajam yang bisa menebas nyali siapa pun.“Kalau kau mau hidup tenang dan bahagia, kau harus punya uang! Punya harta tak habis dimakan tujuh turunan. Lihat ibumu. Dia bahkan sanggup menusuk belakang sahabat baiknya demi mendapatkan ayahmu. Dulunya dia tinggal di gubuk reyot tetapi setelah menikah dengan ayahmu, dia menjadi nyonya kedua di Sullivan Manor.”Sengaja pria berusia 85 tahun itu membakar jiwa anak dan cucunya. Seringai puas terpahat di wajah Tuan Ingomar setelah ia melampiaskan amarah
“Ermm… Saya mendengar Tuan Marcus ingin bertemu Tuan Xavier di Rumah Sakit Royal Knight.”‘Pasti Olivia dan Adam dirawat di rumah sakit itu. Bagus! Rencana terakhirku pasti berhasil.’Emily bersorak senang di dalam hati.“Bagaimana dengan wanita jalang itu? Apa dia ikut bersama Papa?” selidiknya lagi.“Tidak, Nona. Barbara sedang tidur di kamarnya,” balas si pelayan, cepat.Di mansion keluarga Grant, semua pelayan memanggil Barbara dengan sebutan nama bukan Nyonya Barbara atas perintah mendiang orang tua Marcus Grant untuk menghormati kedudukan Nyonya Serena sebagai istri sah.“Bagus! Aku ada tugas penting buat kamu. Beri tahu semua pelayan untuk mengunci pintu kamar mereka. Tidak boleh keluar walau apa pun yang terjadi. Siapa yang ingkar, akan dicambuk sehingga mati. Mengerti?” Emily mengeluarkan perintah dengan ekspresi kejam tergambar di wajah cantiknya.“Saya mengerti, Nona.” Sang pelayan tak punya pilihan lain selain mengangguk. Dia lantas melebarkan langkah menuju kamar pekerja
Barbara terkesiap. Benarkah apa yang dikatakan Emily barusan? Di mata Tuan Besar Grant, aku hanyalah boneka seks? “Ah iya, aku membunuh putrimu karena dia merebut calon suamiku, Adam Abraham Knight. Pelacur sialan itu menggoda Adam dengan melebarkan pahanya sama seperti kamu menggoda ayahku,” balasnya, dingin. “Tetap saja, mengambil nyawa orang lain adalah dosa besar! Kamu pasti akan dihukum Tuhan!” tengking Barbara, geram dengan kalimat Emily yang merendahkan putrinya. ‘Dihukum Tuhan? Yang benar saja.’ Rahang Emily mengetat. Urat di lehernya terlihat jelas. “Omong kosong! Kamu pikir Tuhan akan mendengar dan memperkenankan doa wanita kotor sepertimu? Hei, Barbara! Apa yang terjadi pada putrimu adalah sebuah karma. Kamu juga telah menyiksa jiwa aku dan ibuku selama 12 tahun, dan sekarang kamu meminta agar Tuhan memberikan hukuman padaku? Sungguh, kamu benar-benar bermuka tebal!” ejek Emily, sombong. Barbara menangis tersedu-sedu. “Berhenti menangis, sialan!” Jerkah Emily, berang.
“Ah, pujian anda tidak pantas untuk saya terima. Malah saya yang berutang budi pada keluarga Knight karena sudi memberi beasiswa kepada adik laki-laki saya,” balas sang dokter, merendah diri. “Ah, iya. Jika ada informasi baru, akan saya kabarkan secepat mungkin,” imbuhnya lagi. Usai bicara, segaris senyum licik mengapung di bibirnya. ‘Sepertinya, kau harus mengucapkan selamat tinggal kepada kariermu sebagai aktor, Lucas Sullivan.’ Sang dokter membatin puas. Sementara itu, di kamar rawat inap VVIP. ‘Aduh, kapan Bos mau pulang? Tuhan, kelopak mataku semakin berat.’ Zen berkali-kali mengangakan mulut dengan mengeluarkan napas berat karena terlalu mengantuk. Namun, dia tidak bisa merebahkan kepala apalagi memejamkan mata karena ada sang majikan di sini. Aktor tampan berhidung mancung dan beralis indah itu sedang duduk bersandar di kursi kulit sambil memejamkan mata. ‘Pasti Bos lagi memikirkan Nona Olivia,’ tebak Zen, asal-asalan. Ponsel Lucas bergetar tetiba, berhasil menarik p
Cafe Memories.Di tengah aroma kopi yang harum dan suasana yang tenang, seorang wanita berparas cantik membuka pintu kafe. Sejenak dia berdiri di muka pintu. Matanya berlari ke tiap sudut kafe kesukaan muda mudi itu untuk mencari seseorang. Sebaik saja netranya menangkap sosok sang pria, dia langsung menyusun langkah penuh keanggunan.“Hei, Lily! Coba kamu lihat ke ruang privat VIP sana. Wanita berkacamata hitam itu adalah Olivia Hudson, artis populer kesukaan kamu, kan?” Seorang gadis menepuk lengan temannya berulang kali dengan wajah tak percaya. Matanya membulat dan mulutnya menganga.Teman satu kuliahnya lantas menoleh ke arah wanita yang dimaksudkan. Kedua kening indahnya terangkat tinggi. “Kamu benar. Ya Tuhan! Mimpi apa aku semalam hingga bisa bertemu dengan aktris dan supermodel yang sangat terkenal di kota Dashville. Anna, ingatkan aku untuk meminta autograf dari Kak Olivia setelah urusannya selesai,” jawabnya dengan nada senang.“Sebentar, kenapa Kak Olivia duduk di sana ber
“Ah, caramu berbicara cukup tajam seperti belati yang bisa membunuh nurani. Tapi mau bagaimana lagi, kamu adalah putri tunggal dari keluarga konglomerat terpandang. Sudah tentu kamu terbiasa bersikap dingin, ketus dan… menyebalkan,” cemooh Lucas seraya menyeringai.Otak Olivia sudah terlampau lelah untuk meladeni sindiran sang tunangan. Jujur saja, batinnya memang sedikit terguncang ditambah emosinya yang berantakan setelah mengetahui kenyataan pahit bahwa Lucas ingin membatalkan pernikahan mereka.“Iya, iya. Terima kasih atas pujianmu. Terserah kamu mau menganggap aku sebagai wanita jahat. Aku tidak peduli. Apa yang terpenting saat ini adalah alasan apa yang harus aku berikan pada keluarga kita?” balas Olivia, sengit.“Kalau hal itu… gampang-gampang susah.” Lucas menggigit bibir, ragu-ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya.“Maksudmu? Tak usah mengulur waktu.” Olivia menyahut, dongkol. Alis kirinya terangkat tinggi. Rasa kesal, sebal dan marah bercampur menjadi satu rasa yakni mua