“Ah, caramu berbicara cukup tajam seperti belati yang bisa membunuh nurani. Tapi mau bagaimana lagi, kamu adalah putri tunggal dari keluarga konglomerat terpandang. Sudah tentu kamu terbiasa bersikap dingin, ketus dan… menyebalkan,” cemooh Lucas seraya menyeringai.
Otak Olivia sudah terlampau lelah untuk meladeni sindiran sang tunangan. Jujur saja, batinnya memang sedikit terguncang ditambah emosinya yang berantakan setelah mengetahui kenyataan pahit bahwa Lucas ingin membatalkan pernikahan mereka.“Iya, iya. Terima kasih atas pujianmu. Terserah kamu mau menganggap aku sebagai wanita jahat. Aku tidak peduli. Apa yang terpenting saat ini adalah alasan apa yang harus aku berikan pada keluarga kita?” balas Olivia, sengit.“Kalau hal itu… gampang-gampang susah.” Lucas menggigit bibir, ragu-ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya.“Maksudmu? Tak usah mengulur waktu.” Olivia menyahut, dongkol. Alis kirinya terangkat tinggi. Rasa kesal, sebal dan marah bercampur menjadi satu rasa yakni muak.“Oke. Tapi kamu harus bersedia mendengar dan menerima apa saja yang akan aku katakan,” ucap Lucas dengan wajah serius.‘Apa yang telah kau rencanakan di belakangku, Lucas Sullivan?’ Mata Olivia bersinar penuh kebencian.“Bagaimana, kamu setuju?” Lucas bertanya lagi, meminta kepastian. Olivia mengangguk meskipun hatinya merasa enggan. “Baiklah. Telingaku akan mendengar,” jarinya menyentuh kuping telinga, “otakku akan membuat keputusan,” ujung jari telunjuknya mencium kepala, “dan… hatiku yang pada akhirnya memutuskan apa aku akan membencimu seumur hidup atau tidak,” perhentian terakhir jemari runcing Olivia adalah di dadanya.Lucas menelan ludah, terintimidasi dengan kata-kata Olivia yang penuh keyakinan. Berhati-hati, dia menyusun kalimat.“Begini, sejujurnya aku membutuhkan bantuanmu. Aku–”“Bantuan? Kamu serius?” Hampir saja Olivia tertawa.“Wah, sejak kapan anggota keluarga Sullivan rela merendahkan kepala dengan meminta pertolongan dari musuh bebuyutan mereka?” Lagi, seringai mengerikan muncul di bibir seksi Olivia.“Via, aku mengerti kamu kecewa…”“Aku kecewa? Kata siapa? Kamu?” tukas Olivia, pantas. Mulut Lucas terkunci. Dia tahu benar wanita berparas cantik itu mulai berang. Lihat saja mukanya yang tampak memerah menahan tsunami amarah di dada.“Aku–”Olivia mengangkat telapak tangannya, “cukup, Lucas. Aku tidak mau mendengar apa pun dari kamu.”Tinju Lucas langsung mengentak meja. “Tadi kamu juga yang bersetuju untuk mendengar apa rencanaku!” protes Lucas, tak terima. Urat lehernya yang tegang tampak jelas.“Terus, kenapa?” pancing Olivia, sengaja membakar hati sang tunangan. Maaf, mantan tunangan.Dada Lucas naik turun. “Ternyata benar keputusanku untuk membatalkan pernikahan sialan ini. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa hidupku di masa depan jika menikahi perempuan gila yang tak punya urat malu sepertimu,” ucap Lucas, tanpa rasa bersalah. Bahkan dia merasa lega setelah berkata jujur.Deg!Hati Olivia bagai dipalu keras lalu ditusuk jutaan jarum tajam. Rasa sakit yang tidak mengeluarkan darah tetapi sukses membunuh atmanya. Namun, dia cuma bisa menggenggam kedua tangan erat-erat di bawah meja lalu tersenyum pahit. “Perempuan bermuka tebal ini yang kau kejar sejak SMA,” sahutnya, pelan.“Iya tapi itu dulu, Via.” Pantas Lucas membantah. “Sekarang, rasa cinta itu telah hilang. Aku sendiri tak percaya bagaimana aku bisa jatuh cinta padamu. Mungkin saat itu aku merasa kesepian dan membutuhkan seseorang sebagai penghibur.”‘Membutuhkah penghibur? Dasar bajingan! Kalau kau menginginkan penghibur, seharusnya kau mengencani Ariana, bukannya aku. Buang-buang waktuku saja!’ Olivia berteriak di dalam hati.Demi meredam rasa gusar, Olivia mencapai gelas lalu meneguk Iced Americano hingga tandas. Malah, tanpa peduli akan tata krama, dia menggigit es dan menelannya. Sejenak dia menikmati rasa dingin es yang turun ke perut. Alhasil kabut amarahnya lenyap dan hatinya berubah lega.“Apa rencanamu sekarang?” tanya Olivia, serius.“Aku mau kamu bertemu nenekku dan mengatakan bahwa kita berdua memilih untuk berpisah secara baik.” Lancar sekali bicara Lucas.“Pilihan kita? Itu murni pilihanmu, Luke. Bukan pilihanku. Aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Satu hal yang harus kamu ingat sampai mati, tidak ada kalimat ‘happy ending’ dalam kamus perpisahan di muka bumi ini.” “Aku–” Lucas gelagapan. “Bagaimana kalau nenekmu bersikeras tidak setuju dengan rencana gilamu itu? Apa kamu sanggup ditendang dari keluarga Sullivan?” serang Olivia.“Ayolah, Via. Kamu juga harus membantuku memikirkan cara membujuk nenek,” ujar Lucas, sebal.“Aku pikir rencanamu sudah sempurna. Ternyata draft doang.” Olivia memutar bola matanya ke atas. Merasa muak.“Hei, karena itu aku mau bertemu kamu di sini. Kamu harus bantu aku meyakinkan keluarga kita agar mereka bisa menerima keputusan ini. Titik tidak ada koma,” sahut Lucas tak ingin kalah dan tak mau dibantah.Olivia berdecak heran dengan sikap sembrono Lucas. Pria gila ini bukan saja gegabah dalam mengambil keputusan, bahkan tega menyeret seluruh anggota keluarga untuk sama-sama jatuh ke jurang kekacauan.Ibarat seorang makan nangka, habis semua yang kena getahnya. “Oh, jadi kamu ingin bertemuku hanya karena membutuhkan saran. Jika tidak, pasti kamu terus menghilang tanpa jejak, bukan?” sindir Olivia, geram.“Itu tidak penting, Via.” Lucas mendesah, mulai putus asa.“Itu penting bagiku,” tegas Olivia, garang. Netranya menikam iris biru samudra Lucas.“Ya sudah. Aku mohon maaf. Kita jangan berdebat lagi. Via, aku sangat berharap kamu sudi berjumpa nenek dan bilang padanya kalau hubungan kita telah berakhir. Memohonlah pada nenek agar dia tak lagi memaksa kita menikah. Apa pun caranya meskipun kamu harus bertekuk lutut,” bujuk Lucas. Tutur katanya berubah lembut demi memperoleh persetujuan dari Olivia.‘Bertekuk lutut di depan keluarga Sullivan? Mati lalu hidup kembali pun aku tidak akan sudi berlutut di depan mereka!’Dengusan kasar Olivia terdengar. “Luke, aku mengerti kamu sangat mengharapkan pernikahan ini batal. Bahkan kamu rela merendahkan diri dan memohon padaku. Tapi, apa kamu tidak sadar, akulah orang yang paling dirugikan dan bernasib sial jika aku menuruti kehendakmu?” Sengaja Olivia ingin menguji nurani Lucas. Apa masih ada walau sekelumit rasa belas buat dirinya di dalam hati pria itu?Mata Lucas mengecil. Kedua tangannya terkepal. “Tak bisakah kamu mengorbankan kebahagiaanmu demi aku? Selama 29 tahun kamu hidup, kamu telah mendapatkan segala yang kamu inginkan. Malah, kamu juga memperoleh semua yang aku mau, Via!”‘Ternyata, sifat dan sikap Lucas telah berubah sepenuhnya. Atau mungkin selama ini dia hanya memainkan sandiwara cinta di depanku. Aku benar-benar bodoh pernah menyukai pria sinting ini!’“Kamu sebenarnya iri dengan hidupku, bukan?” pancing Olivia.“Tidak, kamu salah. Aku benci kamu karena Tuhan sering memberi kebahagiaan dan rezeki yang luas buat wanita tak tahu malu sepertimu. Tetapi wanita berhati tulus seperti Ariana sering ditimpa kemalangan sepanjang hidupnya.” Kali ini, Lucas menjawab dengan jujur dari hatinya.‘Ariana? Berani-beraninya dia memuji wanita sampah itu di depanku!’ “Kalau kamu mau protes, jangan padaku tetapi pada Tuhan. Kalau perlu, pergi saja ke gereja dan minta pendeta mendoakan Ariana menjadi wanita kaya-raya dan terhormat. Asal kamu tahu, semua yang ada di dalam genggamanku adalah milik Tuhan dan hanya Dia yang bisa mengambilnya kembali,” ujar Olivia dengan wajah berang.Olivia lantas melepaskan cincin berlian dari jari manis lalu dengan kasar meletakkannya di atas meja.“Baiklah, aku setuju membatalkan pernikahan gila ini. Asal kamu tahu, kisah cinta kita tidak pernah berakhir karena tidak pernah ada permulaan. Lagian, aku dan kamu hanya dijodohkan, bukannya saling cinta. Urusan nenek, itu urusanmu. Apa pun alasan yang akan kamu berikan pada keluarga kita, aku sama sekali tidak peduli. Selamat tinggal. Aku berharap kita tidak akan berurusan lagi baik di dunia maupun di akhirat,” putus Olivia, tegas dan tidak berbelit-belit.Dengan cepat aktris kelas A itu bangun lalu meninggalkan Lucas yang masih duduk termangu seperti orang kehilangan akal.“Sial, bukan ini yang aku harapkan,” gumam Lucas, lemah. Dengan jiwa yang dibelenggu rasa putus asa, dia memejamkan mata lalu membuang napas berat.***Olivia melangkah separuh berlari menuju ke area parkir sambil menahan tangis.‘Tidak, Via. Jangan menangis. Di sini bukan tempatnya,’ bujuknya pada diri sendiri. Kacamata hitam segera dipakai demi melindungi netra yang mendadak sensitif dengan cahaya mentari.“Kak
‘Dasar wanita ular. Penyihir jahat. Bagaimana bisa Nyonya Serena Grant melahirkan putri berhati jahat seperti ini? Beliau sangat cantik, berhati baik, taat dengan perintah agama, sering ke gereja bahkan suka membantu orang yang memerlukan tetapi anaknya keras kepala, gilakan harta dan gemar mempermainkan perasaan pria. Ya Tuhan, Engkau selamatkanlah kedua putra Tuan Besar Knight yang pernah membantu melunasi hutangku dari si ular betina ini.’ Sekretaris White membatin kesal. Tak lupa, dia mendoakan kebaikan buat pemimpin keluarga Knight yang pernah berbuat baik padanya.Seorang pengawal pribadi berlari mendekati Emily dan Sekretaris White. “Nona Emily, Tuan Muda Knight akan tiba lima menit lagi.”“Sebentar. Aku harus tampak cantik di depannya.” Emily memeriksa riasannya buat kali terakhir. “Ayo, kita pergi menjemput calon suamiku.”***Berkali-kali Emily memeriksa jam tangan yang melingkari pergelangan tangan. Wajahnya memancarkan kekhawatiran ditambah rasa pegal di kaki karena sudah
Mobil mewah yang membawa putri tunggal keluarga Hudson berhenti tepat di depan gerbang sebuah vila.“Akhirnya, aku sudah sampai.” Olivia lekas menutup pintu mobil lalu menggeliat perlahan. Rasa pegal menyerang seluruh anggota badan setelah tiga jam menyetir tanpa istirahat.Kedua mata Olivia tertuju ke plakat yang ditampal di tembok vila. Tidak diizinkan masuk ke Vila kesayangan Nyonya Serena Grant. Sesiapa yang ingkar, akan ditimpa kutukan dan nasibnya apes tidak tertolong.“Kalau benar sayang, kenapa vila ini harus dijual? Ayolah, Nyonya Grant. Kau suka sekali bercanda. Kutukan? Bullshit. Asal kau tahu, sebelum kakiku menyentuh tanah milik keluarga Grant, kesialan sudah lama mengekoriku. Bahkan baru saja ia mengotori wajahku dengan keputusan Lucas yang ingin membatalkan rencana pernikahan kami,” sinis Olivia sebelum mencibir.Suara guntur tiba-tiba terdengar. Olivia lantas menatap langit. ‘Aneh, langit tampak cerah dan tidak ada tanda-tanda mau hujan.’ Olivia membatin, sedikit kha
Emily berdiri dengan senyum licik tersungging di bibir. Merasa menang bisa memperdaya aktris populer dengan aktingnya. Dia lantas menyerahkan batu yang telah digunakan untuk melukai Olivia kepada Fred.“Setelah urusanku di sini selesai, hapus semua bukti dan jangan tinggalkan jejak. Kalau perlu, hubungi Carlos dan Peter,” titah Emily, datar.Fred meneguk ludah. Rasa takut cepat sekali menyebar ke sekujur badannya setelah mendengar nama Carlos dan Peter disebut. Dia amat mengenali kedua orang itu. Mereka adalah adik kakak berotak kejam persis psikopat. Berbicara dengan mereka tidak bisa memakai hati melainkan uang dan emas. Sudah berulang kali Nyonya Serena melarang Emily dari terus berurusan dengan Carlos dan Peter namun wanita itu enggan menuruti nasihat malah terus menulikan telinga.“Ternyata dia baik juga mau membantuku tapi sayang, dia terlalu lugu. Apa dia pikir, dia akan terlepas dari menerima kutukan setelah berani menginjak kaki di vila kesayangan ibuku?” Wanita bermata gala
“Bagaimana aku tahu? Ayolah, gunakan otakmu. Ingat masa lalumu baik-baik,” desis Olivia, sinis. Senang sekali rasanya bisa mengusik jiwa Emily.Sekejap mata, Olivia mengerang kesakitan ketika Emily mendadak mencengkeram lehernya. Terasa nyata betapa tajamnya kuku wanita berotak rusak ini di kulit mulusnya.“Kau ingin mempermainkan aku, Olive? Asal kau tahu, wanita gila sepertiku tak mengenal arti sabar. Katakan sejujurnya atau kau mati di sini!” Netra Emily berubah tajam dan dia semakin mengetatkan cengkaman di leher Olivia.‘Sial! Wanita gila ini benar-benar ingin membunuhku.’ Dengan tangan dan kaki terikat, Olivia tak bisa mempertahankan diri. Urat lehernya menegang. Mukanya memerah kala berusaha menarik napas. Namun semuanya terasa sukar. Tak lama, dadanya seperti terbakar gara-gara kekurangan oksigen. Bibirnya perlahan bertukar warna kebiru-biruan.“Kau cantik sekali. Andai saja kau bisa melihat wajahmu yang sedang sekarat, Olive.” Emily memuji dengan nada sarkastis. Segaris senyu
‘Jadi Adam masih tidak tahu kalau Nona Hudson itu adalah Olivia Hudson, aktris populer di kota ini,’ batin Hilda menimpali.“Bercanda tidak ada dalam kamus hidupku. Satu hal yang harus kamu tahu, aku sama sekali tidak peduli padanya,” tekan Adam, terdengar sangat meyakinkan.Namun, Hilda masih belum puas.“Kalau tidak peduli, mengapa kamu repot-repot mau menyelamatkannya?” Nada suara Hilda dipenuhi rasa cemburu.Adam baru saja ingin membalas pertanyaan istrinya ketika bunyi klakson truk bergema. Tak lama kemudian, satu cahaya yang sangat terang muncul tepat di depan limosin mereka.***Keringat merenik-renik di dahi Olivia meskipun dia sudah menurunkan semua jendela mobil. Entah mengapa angin malam yang seharusnya menyamankan tubuh berubah menjadi pawana yang membakar tiap inci kulitnya. Bunyi klakson bertalu-talu dari mobil Emily yang masih mengekor rapat di belakang mobilnya semakin mendera jiwa Olivia.“Ternyata wanita sinting ini masih belum menyerah selagi tidak berhasil membunu
“Pergi! Jangan mendekat!” bentak Hilda. Riak gelisah tampak nyata di mukanya. Telapak tangan mulai berkeringat seiring dengan perubahan warna muka yang memucat.Emily cuma mengorak senyum bengis. Semakin dilarang, semakin tinggi keinginannya untuk menuntaskan dendam. Lagian sudah bertahun-tahun dia memendam rasa amarah terhadap perempuan miskin berhati iblis ini. Dulu sempat dia membenci Tuhan karena membiarkan dirinya dirundung Hilda namun hari ini, dia ingin menarik kembali perasaan itu.“Aku bilang pergi!” teriak Hilda lantang seraya melepaskan stileto lalu melempar sepatu hak tinggi itu kepada Emily. Malangnya, Emily sempat menghindar lalu dengan santai mengambil stileto berwarna merah tersebut.“Wah, ini stileto dari merek eksklusif. Hanya ada tiga di negara ini. Kalau tak salah, harganya 300 ribu dollar,” ujarnya, ringan. “Bagai… bagaimana kamu tahu?” Hilda bertanya, takut-takut berani.Ujung sudut bibir Emily terangkat. Merasa lucu dengan pertanyaan Hilda yang menurutnya sanga
Adam Knight terus berlari tanpa menoleh ke belakang meskipun telinganya bisa mendengar suara Hilda yang melarangnya pergi.‘Maafkan aku, Hilda. Aku terpaksa meninggalkanmu demi menyelamatkan Nona Hudson. Aku tidak peduli jika Papa ingin menyerahkan seluruh hartanya kepada anak haram itu tetapi aku tidak rela melihat Mama terluka. Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu, Mama akan dipukul sehingga mati.’ Sebaik saja tiba di tepi tebing, Adam terpaku ketika melihat mobil mewah Nona Hudson dalam posisi terbalik di dalam jurang. Tangannya segera merogoh saku jas, mencari ponsel untuk menelepon pengawal pribadinya, Robert.“Sial! Ponselku ketinggalan di mobil bahkan ponsel cadangan juga ada di tangan Emily.” Pria itu mendesah sebal.Dia dalam dilema sekarang. Jika turun ke jurang sendirian, itu namanya sengaja mencari mati. Namun, kalau dia terus berdiam di sini tanpa berbuat apa-apa, nyawa Nona Hudson bisa terancam.Adam mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada rasa hampa