Share

Part 2 | Aku Benci Kamu

“Ah, caramu berbicara cukup tajam seperti belati yang bisa membunuh nurani. Tapi mau bagaimana lagi, kamu adalah putri tunggal dari keluarga konglomerat terpandang. Sudah tentu kamu terbiasa bersikap dingin, ketus dan… menyebalkan,” cemooh Lucas seraya menyeringai.

Otak Olivia sudah terlampau lelah untuk meladeni sindiran sang tunangan. Jujur saja, batinnya memang sedikit terguncang ditambah emosinya yang berantakan setelah mengetahui kenyataan pahit bahwa Lucas ingin membatalkan pernikahan mereka.

“Iya, iya. Terima kasih atas pujianmu. Terserah kamu mau menganggap aku sebagai wanita jahat. Aku tidak peduli. Apa yang terpenting saat ini adalah alasan apa yang harus aku berikan pada keluarga kita?” balas Olivia, sengit.

“Kalau hal itu… gampang-gampang susah.” Lucas menggigit bibir, ragu-ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya.

“Maksudmu? Tak usah mengulur waktu.” Olivia menyahut, dongkol. Alis kirinya terangkat tinggi. Rasa kesal, sebal dan marah bercampur menjadi satu rasa yakni muak.

“Oke. Tapi kamu harus bersedia  mendengar dan menerima apa saja yang akan aku katakan,” ucap Lucas dengan wajah serius.

‘Apa yang telah kau rencanakan di belakangku, Lucas Sullivan?’ Mata Olivia bersinar penuh kebencian.

“Bagaimana, kamu setuju?” Lucas bertanya lagi, meminta kepastian. 

Olivia mengangguk meskipun hatinya merasa enggan. 

“Baiklah. Telingaku akan mendengar,” jarinya menyentuh kuping telinga, “otakku akan membuat keputusan,” ujung jari telunjuknya mencium kepala, “dan… hatiku yang pada akhirnya memutuskan apa aku akan membencimu seumur hidup atau tidak,” perhentian terakhir jemari runcing Olivia adalah di dadanya.

Lucas menelan ludah, terintimidasi dengan kata-kata Olivia yang penuh keyakinan. Berhati-hati, dia menyusun kalimat.

“Begini, sejujurnya aku membutuhkan bantuanmu. Aku–”

“Bantuan? Kamu serius?” Hampir saja Olivia tertawa.

“Wah, sejak kapan anggota keluarga Sullivan rela merendahkan kepala dengan meminta pertolongan dari musuh bebuyutan mereka?” Lagi, seringai mengerikan muncul di bibir seksi Olivia.

“Via, aku mengerti kamu kecewa…”

“Aku kecewa? Kata siapa? Kamu?” tukas Olivia, pantas. 

Mulut Lucas terkunci. Dia tahu benar wanita berparas cantik itu mulai berang. Lihat saja mukanya yang tampak memerah menahan tsunami amarah di dada.

“Aku–”

Olivia mengangkat telapak tangannya, “cukup, Lucas. Aku tidak mau mendengar apa pun dari kamu.”

Tinju Lucas langsung mengentak meja. 

“Tadi kamu juga yang bersetuju untuk mendengar apa rencanaku!” protes Lucas, tak terima. Urat lehernya yang tegang tampak jelas.

“Terus, kenapa?” pancing Olivia, sengaja membakar hati sang tunangan. Maaf, mantan tunangan.

Dada Lucas naik turun. “Ternyata benar keputusanku untuk membatalkan pernikahan sialan ini. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa hidupku di masa depan jika menikahi perempuan gila yang tak punya urat malu sepertimu,” ucap Lucas, tanpa rasa bersalah. Bahkan dia merasa lega setelah berkata jujur.

Deg!

Hati Olivia bagai dipalu keras lalu ditusuk jutaan jarum tajam. Rasa sakit yang tidak mengeluarkan darah tetapi sukses membunuh atmanya. Namun, dia cuma bisa menggenggam kedua tangan erat-erat di bawah meja lalu tersenyum pahit. “Perempuan bermuka tebal ini yang kau kejar sejak SMA,” sahutnya, pelan.

“Iya tapi itu dulu, Via.” Pantas Lucas membantah. “Sekarang, rasa cinta itu telah hilang. Aku sendiri tak percaya bagaimana aku bisa jatuh cinta padamu. Mungkin saat itu aku merasa kesepian dan membutuhkan seseorang sebagai penghibur.”

‘Membutuhkah penghibur? Dasar bajingan! Kalau kau menginginkan penghibur, seharusnya kau mengencani Ariana, bukannya aku. Buang-buang waktuku saja!’ Olivia berteriak di dalam hati.

Demi meredam rasa gusar, Olivia mencapai gelas lalu meneguk Iced Americano hingga tandas. Malah, tanpa peduli akan tata krama, dia menggigit es dan menelannya. Sejenak dia menikmati rasa dingin es yang turun ke perut. Alhasil kabut amarahnya lenyap dan hatinya berubah lega.

“Apa rencanamu sekarang?” tanya Olivia, serius.

“Aku mau kamu bertemu nenekku dan mengatakan bahwa kita berdua memilih untuk berpisah secara baik.” Lancar sekali bicara Lucas.

“Pilihan kita? Itu murni pilihanmu, Luke. Bukan pilihanku. Aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Satu hal yang harus kamu ingat sampai mati, tidak ada kalimat ‘happy ending’ dalam kamus perpisahan di muka bumi ini.” 

“Aku–” Lucas gelagapan. 

“Bagaimana kalau nenekmu bersikeras tidak setuju dengan rencana gilamu itu? Apa kamu sanggup ditendang dari keluarga Sullivan?” serang Olivia.

“Ayolah, Via. Kamu juga harus membantuku memikirkan cara membujuk nenek,” ujar Lucas, sebal.

“Aku pikir rencanamu sudah sempurna. Ternyata draft doang.” Olivia memutar bola matanya ke atas. Merasa muak.

“Hei, karena itu aku mau bertemu kamu di sini. Kamu harus bantu aku meyakinkan keluarga kita agar mereka bisa menerima keputusan ini. Titik tidak ada koma,” sahut Lucas tak ingin kalah dan tak mau dibantah.

Olivia berdecak heran dengan sikap sembrono Lucas. Pria gila ini bukan saja gegabah dalam mengambil keputusan, bahkan tega menyeret seluruh anggota keluarga untuk sama-sama jatuh ke jurang kekacauan.

Ibarat seorang makan nangka, habis semua yang kena getahnya. 

“Oh, jadi kamu ingin bertemuku hanya karena membutuhkan saran. Jika tidak, pasti kamu terus menghilang tanpa jejak, bukan?” sindir Olivia, geram.

“Itu tidak penting, Via.” Lucas mendesah, mulai putus asa.

“Itu penting bagiku,” tegas Olivia, garang. Netranya menikam iris biru samudra Lucas.

“Ya sudah. Aku mohon maaf. Kita jangan berdebat lagi. Via, aku sangat berharap kamu sudi berjumpa nenek dan bilang padanya kalau hubungan kita telah berakhir. Memohonlah pada nenek agar dia tak lagi memaksa kita menikah. Apa pun caranya meskipun kamu harus bertekuk lutut,” bujuk Lucas. Tutur katanya berubah lembut demi memperoleh persetujuan dari Olivia.

‘Bertekuk lutut di depan keluarga Sullivan? Mati lalu hidup kembali pun aku tidak akan sudi berlutut di depan mereka!’

Dengusan kasar Olivia terdengar. 

“Luke, aku mengerti kamu sangat mengharapkan pernikahan ini batal. Bahkan kamu rela merendahkan diri dan memohon padaku. Tapi, apa kamu tidak sadar, akulah orang yang paling dirugikan dan bernasib sial jika aku menuruti kehendakmu?” Sengaja Olivia ingin menguji nurani Lucas. Apa masih ada walau sekelumit rasa belas buat dirinya di dalam hati pria itu?

Mata Lucas mengecil. Kedua tangannya terkepal. “Tak bisakah kamu mengorbankan kebahagiaanmu demi aku? Selama 29 tahun kamu hidup, kamu telah mendapatkan segala yang kamu inginkan. Malah, kamu juga memperoleh semua yang aku mau, Via!”

‘Ternyata, sifat dan sikap Lucas telah berubah sepenuhnya. Atau mungkin selama ini dia hanya memainkan sandiwara cinta di depanku. Aku benar-benar bodoh pernah menyukai pria sinting ini!’

“Kamu sebenarnya iri dengan hidupku, bukan?” pancing Olivia.

“Tidak, kamu salah. Aku benci kamu karena Tuhan sering memberi kebahagiaan dan rezeki yang luas buat wanita tak tahu malu sepertimu. Tetapi wanita berhati tulus seperti Ariana sering ditimpa kemalangan sepanjang hidupnya.” Kali ini, Lucas menjawab dengan jujur dari hatinya.

‘Ariana? Berani-beraninya dia memuji wanita sampah itu di depanku!’ 

“Kalau kamu mau protes, jangan padaku tetapi pada Tuhan. Kalau perlu, pergi saja ke gereja dan minta pendeta mendoakan Ariana menjadi wanita kaya-raya dan terhormat. Asal kamu tahu, semua yang ada di dalam genggamanku adalah milik Tuhan dan hanya Dia yang bisa mengambilnya kembali,” ujar Olivia dengan wajah berang.

Olivia lantas melepaskan cincin berlian dari jari manis lalu dengan kasar meletakkannya di atas meja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status