Pengumuman ; Author sudah
"Saudara Aurel dan saudara Andri, mulai saat ini sudah resmi bercerai. Tok tok tok!"
Kalimat itu akhirnya terdengar juga oleh telingaku. Kini, aku sudah resmi menjadi seorang janda. Dan akta cerai akan menyusul di urus oleh pengacara.
Pada persidangan kali ini Mas Andri datang. Dia dapat izin dari lapas. Tapi sepertinya tak ada daya dan upaya lagi untuk mempertahankan aku sebagai istrinya. Kami sudah resmi bercerai. Mas Andri kini sudah meneguk kepahitan sebagi seorang duda di dalam penjara.
Kulihat tatapan dia yang serba salah. Tapi ia tak bisa lagi berkilah, kini, dia bukan siapa-siapaku lagi.
"Nih tisue!" Feri menawarkanku sehelai tisue.
"Apaan? Aku gak nangis," tegurku.
"Kirain bakalan nangis darah."
"Fer, jangan lupa, aku yang putusin semua ini. Kamu jangan sok ngomong aneh-aneh, deh. B
"Makasih loe udah jemput adik gue. Dan gue berterima kasih karena loe udah lindungin adek gue." Itulah kalimat yang diucapkan Arjuna dengan nada lembut sambil terus mengelus mahkota Tania yang terurai sebahu.Liur ini spontan terteguk. "I-iya, sama-sama," jawabku merendahkan kepala. "Maaf kalau lagi-lagi aku bawa masalah. Tadi entah mengapa aku lewat sekolah Tania, dia lagi nunggu taksi dan aku menawarkan diri untuk mengantar adik kamu pulang." Aku bicara dengan hati-hati. Tania masih memeluk erat kakaknya itu."Iya, gue ngerti. Gue juga tahu dari Tania, tadi di telepon Tania sempat jelasin dan kasih tahu kalau kalian ada disini dicegat oleh penjahat." Arjuna bicara lagi dengan nada yang sama. Tak angkuh jumawa menuding seperti apa yang kupikirkan. Karena tadi dia sempat menatapku dengan emosi. Ternyata dia mengerti juga. Mungkin belajar dewasa dari Tania.Tapi kok Arjuna ngo
Tok tok tok!"Masuk!" jawabku pada orang yang mengetuk pintu. Yang datang pasti Irlan, tadi aku memintanya untuk kemari."Ibu panggil saya?" katanya setelah masuk."Iya. Silahkan duduk." Aku mempersilahkan dia untuk duduk. Meskipun badannya atletis dan macho, Irlan kalau bertemu denganku pasti saja menunduk dan seperti grogi. Entah kenapa. Dia seperti takut aku marahi atau apa? Padahal aku ini baik. Hehe."Nanti kita akan bahas rancangan interior baru yang di tawarkan oleh pak Arjuna. Kamu nanti ikut saya meeting di resto. Dia tidak bisa kesini. Dan waktunya nanti pas makan siang. Gak ada meeting lagi 'kan?" ujarku segera menjelaskan."Oh bagitu, Bu? Tidak, tidak ada meeting hari ini. Ibu jadi rancang ulang design interiornya?" tanya Irlan."Gak semua. Cuma ruangan khusus saja. Saya sudah bicara dengan Arjuna, dan arsitekturnya sudah berikan rancangannya pada dia. Na
Kini aku sudah tancap gas menjauh dari resto tanpa Irlan. Entah mengapa tadi perasaanku jadi aneh saat mereka sok kompak. Jelas aku yang saat ini sudah bersatus janda, jadi kaget dan ... ah, kenapa denganku?Dengan keputusanku seperti tadi, bisa-bisa mereka berfikir kalau aku tadi baper dan malu. Ah masa bodo. Tadi aku benar-benar tidak nyaman. Lalu, Irlan juga pasti kaget dengan tingkahku yang menyuruhnya pulang sendiri saja. Padahal sejak awal aku kekeh ajak dia dan tahan mereka supaya tidak pergi. Kini, malah aku yang pergi.Kujeduk-jeduk jidat ini perlahan pada benda yang sedang kupegangi dengan fokus. Ya, stir ini kujadikan pelampiasan karena malu dan baru terpikir, apa yang aku lakukan? Aurel? Kamu kok bisa bertingkah seperti tadi?Coba di fikirkan, bagaimana bila kalian ada di posisiku. Aku yang sudah sah berstatus janda, duduk, makan, minum, lalu tersedak, dan di perhatikan secara kompak oleh tiga pria berparas dan
Pagi hari ini kusambut dengan keceriaan. Setelah statusku berubah, kurasa tak boleh lagi ada kesedihan. Apalagi yang harus jadi alasan? Mau liburan? Tinggal pergi. Mau perawatan? Tinggal go. Mau apapun tinggal telepon, tinggal petikan jari, langsung sekejap ada di hadapan.Langkah kaki dengan santai menuruni anak tangga yang jumlahnya lumayan banyak. Sedikit memutar pula.Terlihat dari kejauhan Bi Atun sudah datang dan berjalan ke arah tangga. Dia belum melihatku karena tatapannya fokus ke lantai sambil jalan. Mungkin takut tersandung. Berbeda denganku kalau berjalan kepala ini melenggak-lenggok dan tak menatap kaki berjalan. Kalau di fikir-fikir, kata si Feri aku benar-benar terkesan angkuh. Tapi itu memang kebiasaanku."Eh, Si Non!" Bi Atun terkejut karena sejak tadi jalan menunduk. Saat kakinya mulai menaiki tangga seperempat bagian, dia hampir menabrakku."Bi, ada apa? Mau kemana? Cucian kotor udah di
PoV Maya***"Apa? Saya keguguran, Dok? Anak saya meninggal?" Dokter mengangguk lemas mendengar pertanyaan dariku. Aku sangat syok. Dan berharap ini hanyalah mimpi saja."Ah enggak, Dok. Kenapa anakku gak bisa di selamatkan? Padahal usianya sudah hampir empat bulan 'kan, Dok?" kecewaku pada diri ini."Iya. Tapi maaf, janin yang ada di kandungan anda tidak bisa di selamatkan karena benturan hebat yang anda alami. Silahkan anda sekarang istirahat. Karena setelah di kuret, anda butuh tenaga banyak untuk memulihkan tubuh anda kembali.""Saya turut berduka cita. Saya permisi dulu." Dokter pun melenggang pergi. Kian lama seluruh tubuhnya makin menjauh dan menghilang.Anakku mati?Tidak ...Bagaimanapun aku ingin sekali menjadi seorang ibu. Tapi ...Lemas sudah seluruh tubuh ini. Kandunganku keguguran hingga membekaskan kesakitan y
PoV Aurel***"Jadi udah piks, ya." Arjuna kembali memastikan. Dan proyek kami sudah berjalan lima belas persen."Iya." Aku mengangguk. Kami berjalan keluar dari ruanganku. Tadi Arjuna mampir dan bahas soal proyek."Rel?" Ia menyapaku dengan nada tanya."Hem?" jawabku masih terus lanjut jalan. Pun dia berjalan di sampingku. Tapi agak belakang. Tak sejajar."Hemmm. Gue mau minta maaf lagi soal gue yang dulu sempat nuduh loe sebagai penyebab papa pergi. Tapi gue udah sadar, gue gak harus bersikap kayak gitu."Langkah ini terhenti tiba-tiba setelah mendengar kalimat barusan yang di olah lalu di ucapkan dengan nada malu-malu oleh seorang Arjuna. Ada gemetar pula.Kutoleh dia. "Hem? Minta maaf la-gi?" Alisku meninggi heran.Ia terdiam. "Iya. Gue minta maaf, Rel. Ini asli dari lubuk hati gue yang paling dal
Mobilku melaju pelan di tinggal oleh mobil Irlan yang sudah sangat menjauh. Dia benar-benar pergi untuk hidup berdua bersama wanita pilihan ibunya. Tapi aku salut dengannya, dia mampu menerima wanita sebelum rasa cinta muncul. Ah atau mungkin Irlan pun memang menyukai wanita itu. Dan dia berikan aku kesedihan ini.Sampai di rumah lamunan ini masih saja menghiasi. Kacau!Kenapa Irlan katakan semua itu kalau hanya akan pergi? Kenapa? Apa dia tidak tahu alasan kenapa aku sering ajak dia keluar? Itu karena aku ingin mencoba dekat dengannya. Aku bukan tipikal wanita yang susah untuk jatuh cinta, dan sifat itu harus segera kurubah. Mulai sekarang, aku tak boleh mengumbar rasa pada siapapun. Karena pada akhirnya akan sesakit ini. Padahal dengan kasus Mas Andri, itu harus kujadikan cerminan. Ya ampun, mungkin aku dulu kurang perhatian dari mama dan papa. Uang oke, tapi, kalau untuk sekedar ngumpul, makan bareng sama mereka, itu sulit sekali. Walau
"Kamu gak usah masuk ya, Jun. Aku mau langsung tidur." Arjuna kembali mengantarku ke rumah setelah jalan-jalan tadi. Ia tak kusuruh masuk karena entah mengapa sejak ia ungkapkan perasaannya tadi, hati ini jadi tak nyaman."Oke. Aku pulang." Ia pun dengan lapang dada menerima. "Maaf ya," ujarku masih di dalam mobil belum turun. "Gak apa-apa. Lain kali aku main lagi." Ia menjawab santai. Alisku saling bertaut. "Hem, oke."Satu persatu kaki ini pun mulai turun dari mobil setelah pintu kubuka.Blug!Kututup pintu mobil Arjuna."Aku balik dulu." Ia pamit lalu pergi setelah melambaikan tangan. Kubalas kembali lambaian tangannya dengan lemas.Si Arjuna yang ngomongnya loe, gue, kini berubah jadi aku dan kamu. Mungkin ia ingin contoh kakaknya kalau bicara sama wanita itu yang sopan."Gak di ajak masuk, Non?" sapa Pak Satpam yang melihatku berjalan sendiri. Memang