“Luna! Bi Imah! Cepat buka pintunya! Wanita tidak tahu diri itu harus bertanggung jawab!” Suara Reno terdengar tepat di balik pintu yang kini terus digedor-gedor. Bi Imah terus menggeleng sembari menangis. Wanita paruh baya itu merasa sangat iba melihat kondisi Luna yang kini hanya bisa memejamkan mata sembari berulang kali memanjatkan doa.“Bi Imah! Bibi tidak mendengar saya? Cepat buka pintunya!” seru Reno sembari memukul keras pintu kamar di mana Luna berada. Sesekali terdengar juga suara tendangan dari arah luar, sementara Bi Imah terus mendorong meja rias itu untuk menghalangi Reno.Brak!Terdengar suara hantaman yang cukup kencang pada pintu yang tertutup itu. “Keluar! Ikuti mamamu dan tunggu di mobil! Jangan ganggu Luna!” Kali ini suara papa Reno terdengar dari balik pintu. Pria yang biasanya jarang bicara dan terlihat sangat tenang itu tampaknya sudah marah besar.Luna hanya meringis pelan membayangkan apa yang sudah terjadi di luar sana karena papa Reno membela dirinya. Sesua
“Bi Imah, sepertinya Bu Luna kedatangan tamu lain.” Ucapan Dokter Irwan membuat Bi Imah yang sedang duduk di sisi kasur Luna segera beranjak menuju pintu diikuti oleh tatapan penasaran dari Luna. Pasalnya, papa Reno tidak memberitahu siapa yang akan datang untuk membantunya. Mungkinkah papa mertuanya itu mengirimkan seseorang dari media untuk memberikan ancaman pada Reno?Bi Imah segera menutup pintu kamar begitu mengetahui siapa yang berada di depannya. Meskipun Bi Imah baru pertama kali melihatnya ketika terjadi keributan beberapa waktu lalu, tetapi wanita paruh baya itu ingat betul bagaimana pria berkaus hitam di depannya membela Luna.“Papa Reno yang menyuruh saya ke sini. Apa saya bisa bicara dengan Luna?” tanya pria dengan rambut ikal itu sembari menatap pintu kamar yang tertutup.“Bagaimana keadaannya? Apa luka-lukanya sangat parah? Apa saya bisa bertemu secara langsung?” Belum sempat Bi Imah menjawab pertanyaan pertamanya, pria itu sudah menghujaninya dengan rentetan pertanyaa
Luna menatap jari tangan Aldi yang terlihat menyembul dari celah di bawah pintu dengan tatapan nanar. Saat seperti ini, sekadar genggaman tangan atau pelukan kecil tentu membuat Luna merasa jauh lebih baik, tetapi rasa ragu menyelimuti Luna yang teringat akan hubungan keduanya sebagai adik dan kakak ipar.“Ah, maaf, kamu pasti merasa tidak nyaman. Saya hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendiri,” ucap Reno dengan nada canggung. Pria itu juga menggerakkan jemarinya perlahan sebelum tangan Luna menggenggamnya dengan erat.Keheningan segera memenuhi sekitar mereka. Luna menatap tangannya yang terpaut dengan Aldi dengan air mata yang mengalir tanpa henti dan membasahi wajahnya. Luna tidak dapat menampik bahwa genggaman tangan mereka membuat hatinya terasa lebih hangat, tetapi di saat yang bersamaan, itu juga yang membuat Luna merasa bersalah.“Jangan pernah merasa kamu sendirian ya, Luna. Setidaknya kamu harus tahu, saya akan tetap membantu dan menjaga kamu sesuai janji saya sejak awa
Ceklek.Suara kunci yang diputar membuat Luna menoleh dan tersenyum kecil pada Bi Imah yang kini berada di sampingnya. Wanita paruh baya itu kembali memasuki kamarnya setelah kepergian Aldi beberapa menit yang lalu.“Sepertinya Bu Luna sudah jauh lebih baik ya, saya jadi ikut senang,” ucap Bi Imah sembari mengelus pelan rambut Luna. Meskipun posisinya di rumah itu hanya sebagai seorang asisten rumah tangga, tetapi Luna tidak pernah memperlakukan Bi Imah dengan cara yang kurang pantas, bahkan Luna sering mengobrol dan menganggap Bi Imah sebagai ibunya juga.“Terima kasih ya, bi. Bibi sudah mau menjaga saya seperti ini,” balas Luna diiringi dengan senyum manis di wajahnya. Wanita paruh baya yang kini sudah mengenakan sebuah cardigan berwarna hitam itu menggeleng pelan dan meyakinkan Luna untuk tidak berpikir seperti itu.“Lebih baik sekarang Bu Luna istirahat saja, ya. Biar saya bantu ibu untuk bersih-bersih dan ganti pakaian dulu. Malam ini saya akan tidur di sini bersama ibu.” Bi Imah
Luna membuka matanya perlahan dan mendapati Bi Imah yang tidak berada di sisinya. Ketika dia terbangun di tengah malam tadi, Luna yakin betul bahwa Bi Imah tidur di sampingnya. Luna mencoba menggerakkan tubuhnya yang masih terasa nyeri secara perlahan. Obat-obatan yang diberikan Dokter Irwan kemarin cukup membuat nyerinya sedikit berkurang, sehingga Luna memutuskan untuk berjalan memasuki kamar mandi dan mengambil air wudhu sebelum menunaikan kewajibannya.Suasana kamar yang tadinya gelap kini terlihat lebih terang setelah Luna menyalakan lampu utama di tengah ruangan dan mengenakan mukenanya. Meskipun berada dalam keadaan penuh tekanan seperti ini, Luna tetap tidak mau meninggalkan kewajibannya sebagai seorang hamba. Luna percaya bahwa pertolongan-Nya akan segera datang sehingga dia bisa keluar dari rumah itu.“Hamba mohon berikan hamba kekuatan untuk melalui semua ini,” ucap Luna sembari mengusap pelan air matanya yang langsung mengalir begitu dia mengangkat tangannya dan memohon pa
Luna menatap wajah Bi Imah yang tampak bersalah. Wanita cantik itu menggenggam tangan Bi Imah dan mencoba meyakinkan asisten rumah tangganya untuk menjawab pertanyaannya tanpa perlu merasa bersalah.“Sebenarnya, tadi orang tua Bu Luna menelepon dengan telepon video. Saya jadi tahu karena Pak Gunawan berpesan untuk membiarkan ponsel Bu Luna tetap menyala agar tidak ada yang curiga,” ujar Bi Imah memulai ceritanya.Luna hanya mengangguk pelan. Ingatan tentang kali terakhir dia mematikan ponselnya ketika sedang kabur kembali memenuhi pikirannya. Saat itu, bukannya ketenangan yang didapatnya, Luna justru mendapatkan ancaman dan berbagai berita buruk yang menerornya ketika kembali mengaktifkan ponsel.“Mereka menanyakan kabar Bu Luna karena sejak konferensi pers, ibu sama sekali tidak menghubungi mereka, padahal ibu sudah berjanji untuk segera mengirim pesan,” sambung Bi Imah pelan ketika menyadari raut wajah Luna yang kembali berubah.“Akhirnya, saya mengatakan pada mereka kalau ponsel Bu
“Syarat? Memang apa syarat yang diminta Mas Reno?” tanya Luna dengan ekspresi penasaran. Luna sudah dapat menebak kalau suaminya tidak mungkin mau menyetujui hal semacam itu dengan sangat mudah. Apalagi setelah semua pemberitaan miring yang terjadi karena perbuatan Luna kemarin, dia yakin betul kalau sebenarnya Reno masih belum puas melampiaskan amarahnya.“Syarat pertama, selama berada di dalam kamar ini, Bu Luna sama sekali tidak boleh berhubungan dengan siapapun di luar rumah ini, termasuk kedua orang tua Bu Luna. Supaya orang tua Bu Luna tidak curiga, Pak Reno akan bicara lebih dulu dengan mereka dan mengatakan kalau Bu Luna sedang butuh waktu sendiri,” jawab Bi Imah panjang lebar.Luna hanya mengangguk pelan mendengar jawaban asisten rumah tangganya. Luna sudah merasa tidak terlalu asing dengan syarat pertama yang diajukan oleh Reno, pasalnya sejak hari pertama dia berada di dalam kamar kurungan ini, Reno sudah memberitahunya bahwa dia tidak akan bisa menghubungi siapapun dan tid
"Tolonglah, bi. Saya memang sudah berjanji untuk tidak menemuinya secara langsung, tetapi bukan berarti saya tidak bisa bicara dengan Luna sama sekali ‘kan? Bagaimana kalau saya bicara dengannya di balik pintu?” Reno sedikit meninggikan suaranya karena merasa kesal melihat keteguhan Bi Imah yang hanya mematung di tempatnya. Setelah dua hari berada di rumah kedua orang tuanya, pagi ini papa mengijinkannya untuk kembali ke rumah dengan syarat tidak boleh bertemu secara langsung dengan Luna. Meski begitu, pria yang keras kepala itu sudah berdiri di depan Bi Imah yang tengah menyiapkan sarapan untuk Luna selama lima menit. “Saya tidak berani memberikan ijin, pak. Pak Reno sendiri yang bilang tidak akan menermui Bu Luna,” jawab Bi Imah sembari meletakkan sebuah piring berisi beberapa lembar roti dan sekotak kecil selai kacang. “Bi Imah, saya harus jelasin berapa kali sih kalau saya tidak akan menemuinya? Saya hanya ingin bicara dengan Luna, bukannya bertemu tatap mata seperti ini!” Reno