“Setahu Ayah, ibu mertuamu tak jahat. Hanya saja, setelah Zafran tertembak, dia jadi sedikit berubah,” ucap pak Syahid membuat Atira nampak berpikir. “Ayo, Nak! Kita harus secepatnya ke rumah sakit, bertemu Davin dan Daffa serta kita harus segera ke luar negri untuk pengobatanmu,” ungkap bu Mira sambil meraih tangan Atira. “Ah, iya,” ucap Atira saat ia mengingat nama Davin dan Daffa. “Tunggu! Maaf, kembali ke pertanyaan awal saya tadi. Apa buktinya jika kalian memang orang tua Ati?” tanya Fajar dengan mata menelisik. “Setahu saya, ibunya Atira bernama Asih. Wajahnya juga saya tahu. Bukan anda!” ucap Fajar tegas. Ia pun memasang posisi waspada menghadapi beberapa tamu di hadapannya. “Loh, kok tahu? Kamu dapat kabar darimana, Fajar?” tanya bu Nurul yang baru saja tahu hal itu dari cerita pak Syahid tadi. Fajar terpaksa mengungkapkan apa yang ia ketahui tentang Atira demi menjaga wanita itu dari orang-orang yang berniat jahat. “Fajar! Darimana kau tahu hal itu, Nak?” tanya bu
“Dimana sekarang menantuku?” tanya pak Suwardi dengan mata berkaca-kaca. “Dia ada di sini. Dengan kerendahan hatinya, ia bersedia mengunjungi suaminya. Hanya saja, saya yang tak mau,” ucap pak Syahid dengan tegas. “Tolonglah, Pak!” saya juga ingin bertemu dengan Atira. Saya ingin tahu bagaimana keadaannya, apa dia baik-baik saja?” mohon pak Suwardi dengan suara yang sangat memelas.“Mohon maaf Pak Suwardi, bukannya saya tidak mau membantu Zafran dalam penyembuhannya, tapi Atira juga, sesungguhnya butuh pertolongan, itu yang pertama. Yang kedua, saya nggak mau mentalnya lebih jatuh lagi ketika mendapatkan penolakan dan kebencian dari ibu mertuanya,” ucap pak Syahid beralasan. “Kita bisa pertemukan mereka ketika istri saya nggak ada. Saya janji, saya akan minta istri saya pergi dulu tanpa memberitahunya tentang rencana kita mempertemukan Zafran dan Atira. Mereka saling mencintai Pak, jangan kita pisahkan mereka!” ucap pak Suwardi dengan tegas. Memang jawaban itulah yang diharapk
“Kita tunggu saja, mereka sedang menuju kemari,” ucap pak Syahid sambil duduk di atas sofa berhadapan dengan brankar Zafran. Matanya terus menatap layar monitor holter yang menuliskan garis kusut, pergerakan jantung Zafran. Cekrekk... pintu pun terbuka. Pak Suwardi segera berdiri dan menghampiri pintu tersebut. Namun, saat ia melihat ke arah orang yang datang, ternyata bukan Atira yang sedari tadi ia nantikan kehadirannya. Yang datang adalah Rudi bersama Davin dan Daffa. “Ah, cucu Opa. Sini sayang, sini!” pinta Pak Suwardi sambil memeluk Davin dan Daffa bergantian. Kali ini kedua bocah itu tidak langsung berhambur ke pelukan pak Suwardi. Bahkan, ketika dipeluk pun seolah mereka segan. Mereka berdua masih trauma dengan penolakan yang dilakukan oleh Bu Haliza. Pak Suwardi segera duduk dengan bertumpu pada kedua lututnya. Ia mensejajarkan diri dengan tinggi kedua cucunya itu. “Kenapa? Ada apa?” tanya Pak Suwardi sambil mengelus kedua pucuk kepala cucunya.
“Mama, lihat Davin! Mama...! Mama kenapa enggak lihat Davin? lihat sini! Mama, Davin di sini!” pinta Davin dengan menangis tersedu-sedu. Ia pun menggoyang-goyangkan tangan Atira seperti pacuan kuda.Atira terdiam dalam tangisnya. Sungguh, ia pun ingin melihat anaknya seperti apa, tapi ia tak bisa. Bahkan, untuk mengingat bahwa Davin anaknya pun, ia belum bisa. “Davin Sayang, sudah ya Nak!” pinta pak Suwardi sambil memeluk cucu sambungnya itu. “Habis ini, kita akan obati mama ke tempat yang jauh, yang paling bagus, yang paling mahal. Davin mau temenin Mamah berobat? Daffa juga?” tanya bu Mira sambil mensejajarkan tinggi badan dengan kedua bocah tersebut dengan bertumpundi atas kedua lututnya. Bocah yang usianya hampir 8 tahun itu pun tak berontak. Justru berhambur ke pelukan bu Mira yang baru ia temui di ruangan ini. “Sudah, kita harus secepatnya mempertemukan Athira dengan Zafran, ya!” pinta pak Suwardi yang membuat mereka semua beringsut dari tempatnya masing-masing.“Diman
Melihat lokasi istrinya sudah berada tepat di rumah sakit, Pak Suwardi langsung menghubunginya dan meminta untuk dibelikan dulu makanan di kantin rumah sakit. Untung saja bu Haliza bersedia dan segera menuju kantin rumah sakit yang letaknya berada di sekitar parkiran luar rumah sakit. Atira segera dibawa keluar oleh pak Syahid dan bu Mira, bahkan dengan Davin dan Daffa yang akan turut serta menemani pengobatan Atira. Mungkin beberapa bulan, atau bahkan lebih. Urusan cuti sekolah, akan diurus oleh pak Suwardi langsung. “Terima kasih pak Syahid karena sudah membawa Atira ke sini.” Pak Suwardi memeluk singkat Athira dan kedua cucunya.“Segera pergilah! Kita masih bisa berkomunikasi lewat ponsel. Papa nggak mau mama berbicara sesuatu hal yang menyakiti hatimu, Tira!” ungkap Pak Suwardi dengan gelisah. Ia takut kalau saja istrinya tiba-tiba sudah berada di sana. Atira segera memakai masker dan menutupkan tutup hoodie hitam yang ia pakai. Ia tersenyum kepada Pak Suwardi sebelum memak
“Huh, cepet banget sih? Lagian, sesibuk apa sih sampai-sampai abai sama panggilanku?” rutuk bu Haliza sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk beberapa saat. “Hemmmhhh... “ Ia pun menarik nafas dalam-dalam, mencoba menetralkan rasa kesal terdalamnya. Setelah yakin sosok bu Mira tak nampak lagi dari pandangan matanya, ia pun segera berbalik dan mengarah ke arah lift. Dia pun segera masuk ke dalam lift dan berhenti di lantai tempat Zafran dirawat. Cekrekkk... Gebrukkk! “Astaghfirullah!” seru Pak Suwardi terlonjak kaget. “Ada apa sih, Mah?” tanya Pak Suwardi sambil berdiri dan berkacak pinggang. Ia merasa bahwa istrinya sudah keluar dari jalan yang semestinya, ia berpikir harus sampai kapan ia memahami sikap istrinya ini. Ia bertahan karena ingat sifat istri yang sebenarnya saja. Bagaimana Pak Suwardi tak kaget, ia sedang menatap sendu ke arah Zafran. Ia menyesali nasib anaknya itu. “Atira sudah datang Nak, ia memberimu semangat lebih dari satu jam, tapi kenapa kamu bel
“Atira? Enggak ada, ini Mama!” ucap bu Haliza dengan kesal. “Aww... “Pak Suwardi menginjak kaki kanan bu Haliza dengan kaki kirinya. Ia tak habis pikir mengapa istrinya sampai berubah bebal hanya karena menganggap Atira bersalah di kehidupan Zafran. Padahal, istrinya itu tahu pasti bahwa Atira lah yang dulu sering membela Zafran saat kena rundungan teman-temannya di kampus. “Tadi Atira memang di sini. Ia kelelahan, Zafi! Sekarang dia lagi pemulihan dulu,” ucap pak Suwardi membuat mata bu Haliza mendelik sempurna. “Tapi Pa... ““Kamu mau minum?” tanya pak Suwardi kepada Zafran. Lelaki paruh baya itu mengabaikan pertanyaan istrinya, bahkan tangan kanannya mencubit paha samping bu Haliza sebagai peringatan agar wanita itu diam, tak membuat mental Zafran turun selagi dia baru sadar. Pintu ruangan dibuka oleh dokter dan satu suster yang membawa lembar anamnesa. Sedangkan, perawat yang sudah berada di dalam ruangan itu pun segera memberikan ruang kepada sang dokter untuk segera mem
“Ada apa, Pa – Ma? kenapa kalian diam?” tanya Zafran berusaha mencari jawaban dari kedua orang tuanya, namun nihil. “Boleh Zafi minta handphone Zafi? Kemaren ada kan di TKP?” tanyanya lagi karena ia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Namun, lagi-lagi kedua orang tuanya terdiam tanpa memberikan jawaban apapun. Zafran menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Ia mulai yakin ada sesuatu yang tak beres, yang membuat mereka seperti itu. “Apa Roni juga celaka?” tanya Zafran menebak yang sebenarnya terjadi.“Roni tertembak di kakinya, tapi operasi pengangkatan pelurunya sudah berjalan lancar dan... berhasil. Jadi, sekarang dia sudah ada di rumahnya. Hanya saja, masih dalam tahap pemulihan,” jujur Pak Suwardi yang tak ingin membuat anaknya lebih khawatir lagi. “Ah, syukurlah kalau dia selamat. Dia itu orang yang kuat, nggak mungkin tumbang hanya dengan hal seperti ini. Tapi ngomong-ngomong, apa mereka semua tertangkap?” tanya Zafran lagi.“Zafi...Zafi! Ayo, istira