"Apa yang kamu lakukan, Jav? Kamu mau kita dicap sebagai keluarga yang meng-eksklusifkan diri? Nggak mau berbaur dengan warga? Apalagi kamu tau stigma masyarakat tentang wanita bercadar. Aku, istri kamu bercadar, JAVAZ!" teriakan Shifra membuat bayi Ezra kaget dan menangis.Javaz mengusap wajahnya kasar lalu meletakkan kardus dan makanan ringan. Membelai rambut lebat Ezra di gendongan Shifra dengan berdesis agar bayi mungil yang masih kemerahan itu tak menangis lagi.Shifra mengayunkannya ke kiri dan kanan, lalu melirik pada Javaz, memberi isyarat dia akan menyu-sui bayinya.Pria itu tak mengerti dengan gerakan mata juga raut wajah yang tertutup itu."Mungkin dia haus?" Serentak keduanya terkekeh."Baiklah masuklah ke kamar, aku akan bereskan ini semua. Kemarin memang sudah ijin pada Pak Chandra, aku nggak ke bengkel hari ini." titah Javaz membalikkan badannya menuju ke dapur.Wanita itu masuk menggendong bayinya yang masih menan
'Maaf, Shif ... Elzien juga tak pernah tahu ini sebelumnya, dan biarlah akan menjadi rahasiaku dan Tuhan. Aku adalah anak Haribawa, selamanya begitu ... tak akan pernah bisa dirubah,' Javaz menggeleng merasakan luka yang harus kembali terbuka."Jav? Sudah dilepaskan, aku mundur, ya? Pelan- pelan kamu rebahin ke kasur, hati-hati!" bisik Shifra lembut sekali di telinga pria yang menelan salivanya."Ssstttt ...," Shifra terus berdesis dan menggumamkan bacaan ayat suci serta menepuk-nepuk bagian belakang Ezra, dari bawah tubuhnya di mana lengan Javaz masih menyangganya.Perlahan pria itu menidurkan di atas tempat tidur dengan gerakan lambat. Shifra juga mengikuti gerakannya hingga Ezra benar-benar tidur tanpa dekapan Javaz. Ibu muda itu menyelimuti dan meletakkan dua bantal kecil di dua sisi anaknya lalu tersenyum.Keduanya beradu pandang dalam posisi yang sama. Saling memberi isyarat ungkapan terima kasih melalui bibir yang bergerak tanpa mengeluarka
"Berbaringlah di samping Ezra, Jav! Dia masih belum bisa anteng, nih ...," Ucapan Shifra terdengar aneh dan seketika pria itu mengerutkan dahi sambil berbalik menatap wanita yang menepuk-nepuk sisi kasur di samping Ezra."Apa?" desisnya tak yakin.Javaz memejamkan mata dan menggeleng, tapi lengannya ditarik agar naik ke kasur. Dengan berjalan memutar dia akhirnya naik ke sisi Ezra yang langsung menggenggam satu jarinya."Iya, Sayaaang Ayah di sini, hm? Dengerin Bunda ngaji, ya? Ssstttt bobok yang nyenyak ...," desisnya mengelus kepala dan mencium pipi Ezra dengan mata tertutup, karena dalam posisi mengisap ASI.Lantunan ayat suci yang dibaca Shifra membuat pria itu ikut diserang kantuk yang tak tertahankan lagi. Beberapa menit berlalu dia benar-benar kehilangan kesadarannya, menuju alam mimpi.'Allah ... hamba hanya ingin melakukan kewajiban hamba patuh pada suami hamba ... lembutkanlah hati hamba agar bisa menerima semua takdir
"Assalamualaikum, Pak Javaz! Cepat buka pintunya!" Suara dari luar rumah semakin melengking dan memburu dengan ketukan lebih keras dari sebelumnya.Sedikit berlari Javaz menuju sumber keributan, memutar kunci dan menarik handle pintu dengan cepat."Apa yang membuatmu sangat panik, Ron?" pekik Javaz kesal saat melihat sosok yang langsung menarik lengannya, begitu mereka bertatap muka.Tak ada jawaban dari mantan asisten Elzien sekaligus sahabat Javaz itu. Baron mengempaskan tubuh pria yang bahkan masih memakai celana pendek rumahan dan kaos oblong polos ke dalam mobil. Gerakan cepat pria yang tak mengeluarkan sepatah kata pun itu berlari memutar dan duduk di balik kursi kemudi. Melajukan dengan kecepatan di atas rata-rata, menerabas semua kendaraan yang menghalangi. Tangan pun tak berpindah menekan klakson di tengah setir bundar berlogo tiga lingkaran itu."Lo gila, Ron?!" umpat Javaz menahan tubuhnya agar tak terombang ambing dengan berpegangan pa
"Zora!!!""NO!!!"Semua orang di rooftop dan di bawah sana berteriak histeris.Dengan gerakan cepat Javaz membungkukkan badan meraih tangan Zora yang sudah terlepas dari genggaman Baron. Pria itu meringis, sekuat tenaga menarik dua tubuh orang dewasa yang bergelantungan di tepi atap.Kacamata Baron terlepas dan terlempar ke bawah saat berusaha menggapai lengan Zora. Kedua kakinya sudah menggantung di tembok pembatas balkon seteng badannya menjuntai ke bawah. Lengan atasnya berhasil ditarik Javaz yang juga menahan tangan kanan adik perempuannya.Tiga orang petugas dari Damkar yang sudah stanby membantu Javaz menarik Zora dan Baron. Ketiganya berhasil selamat. Tim medis tiba di rooftop dan memeriksa keadaan satu-satunya wanita di atas rumah mewah itu yang tak sadarkan diri."Apa yang terjadi, Ron?" Masih dengan terengah-engah mengatur napas, Javaz menatap tajam Baron yang tengah diperiksa petugas kesehatan."Siapkan ambula
"Lo gila??? Gimana dengan Nadia? Mau dikemanain istri gue, wooy!!!" teriak Baron meninju pelan lengan Javaz.Keduanya terkekeh bersamaan dan saling sikut berebut untuk masuk ke ruang rawat Zora yang baru saja dipindahkan dari ruang tindakan."Kapan Lo waras sih, Ron? Kucing aja Lo kasih nama Nadia dianggep bini pula?! Dah berapa anak Lo?" Javaz menggeplak kepala Baron dengan tertawa geli sekali mendahului masuk ruangan VVIP khusus keluarga Kagendra.Wanita yang baru saja selamat dari kematian itu masih belum sadarkan diri. Matanya tertutup rapat dengan berbagai peralatan medis melekat di tubuhnya. Adik perempuan satu-satunya Javaz itu terlalu tertekan beberapa hari ini."Apa yang harus gue lakuin sama Bian, Jav?" tanya Baron duduk bersedekap dada di samping Javaz yang terus menatap wajah Zora."Yakin? Dia yang bertanggung jawab atas keadaan Zora hingga seperti ini?" jawab pria itu dengan wajah datarnya tanpa mengalihkan pandangan."Pertama kali Zora mulai mengenal dunia malam saat dia
"Dalam tidurku, dia datang melalui sebuah cahaya terang. Lalu memintaku menolongnya di jurang yang sama saat dia terjatuh. Mas El masih hidup, Kak ...! Masih hidup ... masih hi ... dup-" Kalimatnya terhenti saat tubuhnya tiba-tiba melemah."Zora!" Javaz mengguncang dan menepuk pipinya, tak bergerak sama sekali. Napasnya sesak tak mampu memanggil nama Zora.Baron dengan cepat menekan tombol darurat yang langsung terhubung dengan perawat jaga. Dia ikut panik dan mengecek semua monitor alat yang tampak normal dan tak berbunyi tanda bahaya."Mungkin dia hanya pingsan, Jav. Semua alat normal," katanya sedikit lega, memberi sebuah tepukan di bahu Javaz.Beberapa perawat memasuki ruangan VVIP berfasilitas layaknya hotel bintang lima itu setelah sebelumnya mengetuk pintu. Satu diantaranya memeriksa dengan stetoskop dan lainnya mengecek peralatan yang masih terpasang sempurna."Hanya belum pulih kesadarannya saja, Pak. Tidak ada masalah serius. Karena efek obat juga, jadi masih seperti halusin
'Aku bisa menahan rasa yang kamu berikan, Jav ... tapi aku nggak bisa hilangkan memori tentang Mas El dari kepalaku ... jadi, maaf aku hanya memanfaatkanmu demi Ezra!' ungkapnya dalam hati dengan dua tangan mengepal di sisi tubuh. Tangisan Ezra membuat keduanya berjarak, Shifra mundur dan mengusap wajahnya yang basah dengan dua tangan."Maaf, Shifra ...," lirih Javaz lagi menahan lengan wanita yang baru saja melewatinya."Ezra nangis, Mas!" Sapaan Shifra kembali membuat pria itu mengulas senyuman dan mengusap kepala wanita yang menatap sekilas wajah Javaz dengan anggukan kecil.Wanita yang sejak dulu dikenal dengan kepolosan dan keluguannya. Tak pernah neko-neko dalam hidupnya dan lebih memilih kesedrhanaan sebagai santri pada umumnya. Ternyata sekrang lebih mementingkan ego dan pembalasan rasa sakit yang diterimanya. Hatinya tak lagi sama seperi Shifra yang dikenal Javaz sebelumnya."Aku mungkin akan menjaga Zora beberapa hari di Rumah Sakit, apa ka--""Ya, dia tanggung jawabmu saat