"Kalau Mbak mau cepat selesai, Mbak gak usah datang. Lagian udah gak ada lagi yang perlu diharapkan dari Mas Baja, Mbak." Ajiz menarik kembali fokusku."Apa begitu alurnya, Jiz?" tanyaku basa basi. Meski sebenarnya aku pun tahu.Ajiz mengangguk. "Iya, Mbak. Sebentar lagi juga Mas Baja mau nikah sama Raline."Deg!Menikah? Secepat itu?"Iya, Mbak. Keluarga besar sudah mempersiapkannya." Ajiz bisa menebak gurat wajahku.Hatiku pun mencelos. Cinta tak selalu berakhir bahagia. Semudah itu sirna dan berganti dengan cinta baru."Ibu!" teriak Akila dari halaman restoran."Ya!" jawabku semangat meski hati rasanya tersayat."Ya sudah aku mau pamit, Mbak. Tadi izin ajakin Akila gak lama. Kalau misal Mbak Amira beneran kerja di sini, kapan-kapan aku mampir lagi bawa Akila.""Gak nanti, Jiz? Aku masih mau sama Akila.""Gak bisa, Mbak. Aku takut Bude nyariin. Mbak bisa ngobrol dulu bentar. Aku ketemu Teo dulu." Ajiz nyaman saja memanggil nama Bos Teo. Segera kuberdiri. Berlari menuju Akila berada
Zaman sekarang berkomunikasi lewat media juga tak selalu mudah. Saat ibu lebih memilih ponsel lamanya dibandingkan versi android yang pernah kubelikan, rasanya kemajuan teknologi semacam itu tak selalu tepat guna. Menghubungi ibu terkadang tidak bisa dilakukan dengan cepat. Sudah pasti beliau tengah asik di kolam ikan lele atau kebun belakang. Ibu tipe orang yang tidak bisa diam. Setelah mencoba panggilan suara hingga tiga kali dan tetap tidak ada jawab dari beliau, aku pun hanya mengirimkan pesan singkat.[Amira sudah sampai]Kembali kuletakkan ponsel ke dalam tas. Lalu menatap ke luar jendela. Bos Teo sudah berada di bawah. Tangannya melambai. Mengintruksikanku untuk cepat turun. Dengan segera aku meninggalkan ruangan yang nantinya akan sering kukunjungi."Melamun itu gak baik buat kesehatan, Amira. Nanti kamu bisa kesambet." Bos Teo duduk di kursi tempat kami makan siang tadi."He, Ya, Bos.""Ini kunci cadangan ruang atas. Semisal kamu tidak menemukan tempat kos atau kamu harus le
Langit sore perlahan turun ke bumi. Sebagai tanda pergantian waktu akan tiba. Saat matahari kembali ke peraduan dan bergantikan bulan, satu hari jatah hidup manusia berkurang dengan sendirinya. Karena esok, masih menjadi rahasia bagi makhluk paling sempurna itu. Di keramaian sebuah rumah makan aku menekuri kejadian yang terlalui. Harusnya tak perlu ada insiden lemparan telur-telur dan cekcok di rumah ibu mertua. Tak perlu juga ada cacian untuk saling menyakiti. Namun, roda hidup seolah tak seru jika ia tak mempermainkanku seperti itu.Segelas teh hangat yang kupesan terasa asin. Buliran air dari pelupuk mata sedikit tercampur saat aku meneguknya. Sudah hampir petang dan aku belum menemukan tempat untuk menginap. Malam ini akan terlalui lebih lama lagi. Ponsel yang sudah berada dalam mode diam kulirik sekilas. Untuk memastikan apakah sudah ada balasan dari Ibu atau belum. Sialnya justru panggilan dari orang yang sejak tadi mencoba menghubungiku, datang membuat getar. Kubiarkan pangg
"Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti Arman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." "Sah?" "Sah!" seru beberapa orang yang ikut menyaksikan ijab kabul kami. Setelah mengaminkan doa Pak Penghulu, aku mencium punggung tangan Mas Baja dengan tersedu. Setelah beberapa waktu tak mengenal figur seorang pelindung, akhirnya hari ini aku memilikinya. Samar terdengar tangis ibu yang tak bisa menahan haru. Aku pun menoleh ke arahnya. Anggukan dari beliau meyakinkanku bahwa jalan ini yang terbaik untuk kami. Buku bersampul hijau tua dan merah itu kami tanda tangani secara bergantian. Foto dengan background biru juga tersemat di sana. Selepas ini perilaku, sikap, serta semua hal yang berkaitan denganku berpindah di tangan Mas Baja. Laki-laki dengan gelar suami tersemat di pundaknya.Mas Baja mengulas senyum. Ia tak kalah lega setelah akhirnya berhasil mengikatku dalam ikatan suci. Pendar di matanya tak berhenti menyala sejak pagi hingga siang ini. Dengan lembut, Mas Baja menaruh telap
Pagi kembali menyapa dengan sinar keemasan nan elegan. Membangkitkan kembali jiwa yang bersimbah luka setelah tidur lelapnya. Tak peduli seberapa banyak linangan air mata semalam, hari ini tetaplah hari pertama bagiku masuk kerja.Segera kusibak selimut yang membungkus tubuh. Pukul enam pagi bahkan alarm di hp tidak berhasil membangunkanku. Gedoran pintu dari luar lah yang membuatku berhasil membuka mata. "Bisa gawat semua," racauku seraya mencari sikat gigi. Salah satu item penting yang biasanya kuletakkan di tas kecil."Kamu lupa jam kerjamu, Amira?! Hah?!" Teriakan itu terasa lebih mengerikan dibandingkan saat dulu kami masih di perusahaan. Dulu masih ada pelapis Pak Ginanjar yang biasanya memberi aba-aba saat Bos Teo akan datang. Sekarang semua langsung berhadapan seperti ini."Sebentar, Bos. Saya lagi siap-siap!" jawabku sekenanya. Tiga puluh menit kemudian aku berhasil keluar dari kamar. Wajah Bos Teo sudah ditekuk seperti lipetan baju yang kusut. Tangannya bersedekap. Beliau
Waktu melesat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Tepat mengenai sasaran saat dilakukan oleh seorang profesional. Hari pertama bekerja dengan segudang tanya pun terlewati begitu saja. Semua terasa lebih singkat karena tak ada ruang untukku bersedih. Kamar kos pemberian Bos Teo terus kutinggali hingga hari ke tujuh setelah aku kembali ke kota. Semalam Arga sudah menjelaskan terkait proposal pengajuan daftar menu untuk makan siang di perusahaan Aditama. Arga juga sudah resmi mengundurkan diri dari pekerjaannya di tempat lama. "Pagi, Mbak," sapanya saat aku datang ke ruang kerja. Bos Teo tidak memberiku kunci lagi. Beliau membuka kantor lebih pagi."Pagi, Ga," jawabku seraya menyalakan komputer."Mbak Amira sudah siap?" tanya Arga begitu aku duduk di kursi kerjaku. Seakan tak yakin aku bisa melakukannya."Siap gak siap tetap harus siap, 'kan, Ga?""Iya, deh. Ya udah print dulu proposal yang semalam aku kirim, Mbak. Jam sembilan nanti kita berangkat." Arga memerhatikan jam
Mas Baja benar-benar meninggalkan kami berdua di ruangan Pak Aditama. Arga yang berusaha mengejarnya tetap tak bisa mengubah keputusannya. "Anda boleh keluar, Mbak. Mohon maaf tidak sembarang orang bisa berada di sini." Sekretaris Pak Aditama datang menghampiri. Aku masih terduduk dengan setetes air lolos dari pelupuk mata."Baik, Mbak," ucapku seraya berdiri. Mendongak agar aliran air ini tak semakin banyak. Langkahku sedikit gontai menuju pintu saat akan keluar ruangan."Mbak Amira gak apa-apa?" tanya Arga begitu aku keluar dari ruangan itu. Dari napasnya yang terengah, pasti Arga berlari."Gak apa-apa, Ga. Sorry, ya." Ya. Aku menyesal. Kenapa pula masalah pribadiku tercampur dengan masalah perusahaan. Harusnya Arga bisa mendapatkan kesepakatan ini jika bukan karena hubunganku dengan Mas Baja."Gak apa-apa, Mbak. Besok kita coba lagi," ucap Arga sembari melangkah. Ia mengajakku untuk turun ke lantai satu."Besok?" tanyaku heran. Arga menganggguk. Tangannya menekan tombol lift untu
Perang Dunia II adalah sebuah peperangan yang terjadi antara kurun waktu 1 September 1936 sampai September 1945. Perang yang hampir melibatkan seluruh negara di dunia dan memberi dampak yang luar biasa. Konon manusia menjadi saling mencurigai dan membenci satu sama lain karena masa perang yang menghanguskan sebagian wilayah negara terdampak. Tidak hanya itu, efek psikologis sekaligus traumatik akibat kekejaman serta kekerasan yang dialami pada masa itu juga tak mudah dihilangkan. Membekas seumur hidup bagi korban perang.Ya. Seperti menjalani sebuah perang yang mengharuskan salah satu dari mereka untuk kalah. Begitulah pertempuranku dengan Mas Baja. Mungkin tidak hanya kami saja. Sebagian besar orang yang menikah, lalu memutuskan bercerai dengan cara tidak baik-baik akan mengalaminya. Sebuah mahligai pernikahan tak pernah sederhana. Semua kompleks dan komprehensif seiring waktu tempuh perjalanan pasangan tersebut. Meski setelah ini aku mendapatkan akta cerai dan Mas Baja berhasil me