“Nggak becus banget kamu. Gimana mau jadi istri yang bener kalau bersihin yang kayak gini nggak bisa!”
Kembali Jelita mendapat bentakan dari mama mertuanya. Tangisnya pun tidak bisa terbendung lagi.“Malah mewek lagi. Cengeng banget kamu!” Mamanya Devan pergi meninggalkan Jelita yang masih menangis sesegukan.Ibu ... mau pulang.Jelita duduk bersimpuh di lantai sambil mencoba membersihkan pecahan telur yang mengotori lantai. Ia bersihkan sebisanya saja menggunakan tisu. Hanya dibersihkan nodanya saja, sedangkan bau amis masih tercium dan lantai pun masih licin tapi menurut Jelita itu sudah bersih.Mana tahu dia cara mengepel lantai. Ini saja terpaksa, kalau bukan karena mama mertuanya.Menahan rasa lapar, Jelita kembali ke kamar dengan berderai air mata. Hari pertama bertemu mertua, Jelita benar-benar menderita. Tidak menyangka mamanya Devan akan segalak ini karena dulu“Ada apa? Kenapa wajahnya cemberut gitu?”Lea menatap suaminya dengan sorot mata sendu. “Mas, kalau misalkan kita pindah mau nggak?”Kening Adnan berkerut. “Pindah? Kemana? Memangnya disini kenapa?”Jika berada jauh dari sini Lea bisa merasa lebih tenang meskipun ia sadar tidak akan bisa terus menyembunyikan fakta dari suaminya. Tapi setidaknya dalam waktu dekat ia tidak diberondong dengan berbagai pertanyaan dari tetangga.Belum lagi Lea masih punya tanggung jawab karena ia sendiri yang memilih untuk kembali bekerja menggantikan sang ayah. Sekarang setelah kembali bersama Adnan, tidak mungkin Lea lepas tanggung jawab dari pekerjaannya. Ia juga butuh uang untuk pengobatan sang suami.“Boleh nggak kalo aku ceritanya nanti disana? Habis sarapan kita langsung pindah ya?”“Iya.” Adnan tidak berani bertanya lagi karena dari raut wajah Lea, ia sudah bisa membaca kalau ada sesuatu yang tidak baik-baik saja.“Mas tunggu ya, aku buatin sarapan.”“Aku bantu.”Lea menggeleng. “Nggak usah, mendin
Dengan kasar Devan menarik Jelita masuk ke dalam rumah.“Apa ini? Kenapa jadi begini, Lea?” bentaknya dengan mata menyala marah.“Kenapa Om marah ke aku sih? Aku aja nggak tahu kok.”“Nggak ada gunanya emang kerjasama dengan bocah ingusan kayak kamu! Sial!”Jelita terpaku, kedua tangannya mengepal. Dada perempuan muda itu bergemuruh, ia sekarang yakin kalau di hati Devan hanya ada Lea bukan Jelita.Jelita memang unggul soal paras dan umurnya tapi hati Devan tidak bisa dibohongi, cintanya hanya untuk Lea seorang.“Mulai detik ini, aku talak kamu. Kamu bukan istriku lagi.”“Om ….” Bibir Jelita bergetar, air matanya berjatuhan.Tanpa peduli pada Jelita, Devan pergi begitu saja. Ia murka karena Lea memilih untuk bersama Adnan.Hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa mau tahu kalau hati Jelita hancur. Sebenarnya itu salahnya sendiri, bermain api harus siap terbakar. Jelita salah karena merebut milik ibunya, sekarang ia berharap memiliki Devan seutuhnya. Tentu tidak akan bisa karena dari awa
Dengan kaki yang terasa lemas, Lea keluar toilet dan menghampiri Adnan.“Mas.”“Kamu kenapa?” Lelaki itu kaget melihat istrinya berlinang air mata.“Jelita, Mas. Kita ke rumah sakit sekarang.”“Jelita kenapa?” Adnan ikut panik.“Tadi aku baca chat dari kalau Jelita dibawa ke rumah sakit karena pendarahan. Ayo, Mas. Aku khawatir.” Lea menarik tangan suaminya itu keluar dari food court.Setelah masuk ke dalam mobil ia baru sadar kalau perjalanan sangat jauh kalau memakai mobil. Ia langsung memesan tiket pesawat. Ada penerbangan paling cepat dua jam lagi. Itu lebih baik daripada harus menempuh jalur darat yang memakan waktu lebih lama.Di perjalanan ke bandara, Adnan berulang kali menghubungi Rizky tapi tidak diangkat. Lea pun mencoba untuk fokus menyetir karena bandara juga hanya berjarak 10 menit perjalanan lagi dari tempat mereka sekarang.“Lita akan baik-baik saja.” Adnan meyakinkan sang istri dan juga meyakinkan dirinya sendiri.Tadi pagi ia baru saja diberitahu hal mencengangkan, s
Keduanya saling menjauh dengan perasaan campur aduk.“Ya, sebentar. Ibu baru selesai mandi.”Adnan menatap istrinya yang pipinya merah merona. “Masih ada nanti malam,” katanya dengan kerlingan mata menggoda.“Aku sampai lupa kalau ada Jelita di sini, Mas.” Lea mengambil pakaiannya sendiri. “Mas cari saja pakaiannya di dalam.” Ia buru-buru melangkah ke kamar mandi.Karena kejadian barusan, Lea masih malu. Padahal tidak seharusnya mereka bersikap malu-malu. Menikah saja sudah sangat lama, tapi itulah yang menciptakan debaran di dalam dada.Adnan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya. Gegas ia mengenakan baju lalu keluar dari kamar.Jelita terlihat duduk di sofa dengan pandangan lurus ke depan.“Lita.”Perempuan hamil itu menoleh. “Yah.”“Butuh sesuatu? Sebentar lagi ibu selesai.”“Nggak, Yah.”Jemari Jelita saling menjalin di atas pangkuan, ia terlihat ragu untuk bicara namun Adnan menangkap gelagat putrinya yang tak biasa itu.“Kenapa? Bicara saja. Jangan pendam apapun se
“Vika!”Vika masuk tergesa. “Iya, Pak.”“Beritahu posisi untuk anak ini,” katanya lalu melangkah meninggalkan ruangan itu.Lutut Lea lemas seketika. Padahal ia sudah menyusun rencana untuk pengobatan suaminya, untuk biaya kuliah Jelita. Sekarang sumber pendapatannya malah direnggut begitu saja.Lea tahu ayahnya itu sangat keras dan tidak akan mudah untuk mengambil hatinya. Bukan ia tidak menyayangi orang tuanya tapi Lea di sini adalah seorang istri, ia sudah tanggung jawab suaminya.“Le.”“Ayah begitu kalau marah.” Lea mencoba untuk tersenyum meski hatinya sakit.“Sabar ya.” Vika menepuk pundak Lea memberikan kekuatan.“Masih mending ayah kasih aku kerjaan, daripada aku jadi pengangguran,” guraunya.“Nanti posisi kamu diganti, aku juga.”Kening Lea berkerut. “Loh, kenapa kamu juga-”“Aku malah disuruh libur dalam waktu yang tidak ditentukan tapi gaji masih tetap dikasih. Aku bingung, Om Bagas baik banget tapi aku nggak enak. Masalahnya kamu juga jadi-”“Mungkin waktunya kamu buat libu
“Yah, Bun.” Lea menyapa dan menyalami keduanya.“Mas tunggu dibawah.” Bukannya ikut masuk ayahnya Lea malah melengos pergi.“Sudah jangan dipikirkan. Mana Lita dan Adnan?”“Ada di dalam, Bun. Lita baru saja istirahat.”Bunda Nilam duduk di sofa sembari menunggu Lea yang memanggil Adnan di kamar.Kalau Bundanya, Lea percaya tidak akan bicara macam-macam pada Adnan lain hal kalau ayahnya juga ada di sini.Lea menggandeng Adnan keluar dari kamar. Bunda Nilam bisa melihat pancaran kebahagiaan dari sorot mata putrinya. Ia tidak akan tega untuk memisahkan kedua insan yang baru saja bersatu itu.“Bunda banyak denger cerita dari Lea. Maaf ya baru datang sekarang,” kata Bunda Nilam setelah Adnan menyalaminya.“Saya yang harusnya minta maaf, seharusnya saya yang datang menemui Bunda dan Ayah.” Adnan merasa canggung bertemu dengan ibu mertuanya.“Aku panggil Lita dulu.”“Eh, Jangan.” Bunda Nilam menahannya. “Kasihan dia, orang hamil istirahatnya jangan diganggu.”Meski masih ada kemarahan dalam
Tidak ingin mempermalukan istrinya dengan mendatangi, Adnan memilih untuk pulang. Rasa lelahnya semakin terasa karena melihat istrinya bersama laki-laki lain. Ia memang percaya pada Lea tapi tetap saja cemburu saat wanitanya dirangkul lelaki lain.Sampai di apartemen, Adnan menghempaskan tubuhnya di sofa.“Ayah sudah pulang.” Jelita keluar dari dapur membawa air es, ia merasa sering haus dan ingin yang segar.Melihat sang ayah tampak kelelahan, ia menyerahkan gelas yang terisi penuh pada ayahnya.“Minum, Yah.”“Terima kasih.” Tenggorokan Adnan yang terasa kering sekarang lebih baik setelah dialiri air es.“Kamu sendirian? Bik Marni mana?”“Tadi aku minta buat pulang karena ibu juga lagi di jalan pulang.”Adnan mengangguk lalu menghabiskan setengah air sisanya.“Ayah cari kerja dimana? Kenapa sampai keringetan begini, bajunya juga kotor.” Jelita memperhatikan kondisi sang ayah sangat berbeda dari saat tadi berangkat mencari pekerjaan.“Cari kerja sekitaran sini saja kok. Ya sudah, ayah
“Selamat ya, Mas. Akhirnya kamu mendapatkan pendamping baru. Kamu sudah bebas sekarang, tidak perlu lagi mengurus aku yang berpenyakitan.”Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak mendengar suara Nilam. Darimana dia tahu kalau aku sudah menikah lagi?“Sa-sayang. Apa maksudmu? Mas tidak mengerti.” Aku langsung menutup pintu kamar pengantin dan mengunci dari dalam, jangan sampai ada yang tiba-tiba masuk.“Jangan lupa ambil barang-barangmu di rumah. Aku tidak mau ada satupun barangmu yang tertinggal.”“Nil-”Tut ....Sambungan telepon langsung terputus sebelum aku selesai bicara.“Argh!”Kenapa Nilam bisa tahu soal pernikahan ini? Orang tuaku saja tidak tahu.Dia pasti akan menerima setelah kujelaskan. Aku tidak ingin kehilangannya, aku sangat mencintai Nilam.Kusambar kunci mobil tanpa memperdulikan mereka yang meneriaki ku. Saat ini aku hanya ingin mendatangi Nilam, takut jika dia berbuat hal konyol.Mobil milik Nilam masih terparkir di pekarangan rumah. Aku langsung turun, berlari men